"Sampai kapan pun, aku tidak akan menerimamu sebagai menantu, paham?!"
Sepanjang perjalanan Nayla selalu mengingat kata-kata menyakitkan yang meluncur dari bibir ibunya Kenan. Tentang penolakan menjadi menantu apalagi statusnya yang telah memiliki seorang anak dianggap tidak pantas untuk putranya yang masih lajang dan juga mapan.Keadaan hening di dalam mobil ketika Kenan memacu mobilnya menuju kontrakan Nayla. Kenan memang tidak mengetahui perihal penolakan tersebut karena ibunya menolak Nayla saat Kenan sedang menerima panggilan ponsel saat itu."Nay?" Kenan memanggil Nayla. "Kamu kenapa?" sambungnya saat Nayla terlihat diam saja."Gak pa-pa," jawab Nayla singkat.Kalau sudah seperti ini, Kenan hanya bisa diam. Hingga tidak terasa mobilnya telah sampai di depan kontrakan Nayla."Pulanglah, sudah malam," ucap Nayla sedingin es ketika Kenan membukakan pintu mobil untuknya.Waktu menunjuk hampir ke angka sebelas dan Kenan menuruti ucapan Nayla karena tidak ingin membuatnya marah atau pun kecewa. Perlahan mobil berjalan mundur kemudian melesat meninggalkan Nayla yang berdiri di halaman rumah."Dasar gak peka!" gerutu Nayla.Nayla dan Kenan memang merupakan dua pribadi yang berbeda. Di mana Kenan yang cuek terkadang membuat Nayla kesal. Padahal, Kenan hanya seorang yang tidak ingin berpura-pura. Namun, bagi Nayla ia ingin diperhatikan ketika sedang kesal atau marah padanya.Prahara tersebut menjadi pemicu ribut antara dirinya dan Kenan. Namun, tidak jarang sikap manis Kenan membuat luluh hati Nayla. Tidak diungkiri hanya Kenan yang mampu mengisi relung kosong hingga akhirnya ia memutuskan pergi dari laki-laki yang sesungguhnya sangat ia cintai."Mommy?" Suara Allea memanggil.Nayla yang sedang mengunci pintu rumah akhirnya terperanjat ketika menyaksikan putrinya masih terjaga dengan binar mata seolah menunggu cerita indah dari ibunya saat berada di rumah Kenan."Sayang? Kok, belum bobok?" tanya Nayla ketika ia sudah berjongkok di depan putrinya."Maaf, Non. Non Lea enggak mau tidur katanya sebelum mendengar cerita Non Nayla," ucap Inah.Mendengar kata dari pembantunya, Nayla hanya bisa menarik napas dalam serta mengembuskan perlahan. Memberikan senyum termanis meski ia harus menahan semua ucapan yang bisa saja dapat menyakiti hati putrinya."Kalau begitu, kita ngobrol di kamar aja, yuk? Sekalian biar Lea langsung bobok, ya?!"Nayla menggendong putrinya dan masuk ke kamar. Membaringkan tubuh kecil itu di sampingnya. Saat ini kepala Allea ada di pangkuan Nayla yang sedang duduk bersandar pada head board. Sungguh sangat jelas terlihat ekspresi mengantuk putrinya yang ditahan hanya karena ingin mendengar cerita dari sang ibu.Nayla mulai bercerita tentang perjalanannya menuju rumah Kenan. Ia juga menceritakan rumah Kenan yang begitu besar dengan halaman luas dan disertai kolam renang seperti rumah-rumah yang ada dalam khayalan putrinya. Lambat-laun mata Allea semakin berat, ia mulai diserang rasa kantuk hingga akhirnya terlelap di pangkuan sang ibu dengan usapan pada pucuk kepalanya."Namun keindahan yang kamu dengar ini hanya awal, Lea. Karena Mommy tidak diterima berada di tengah-tengah keluarga Uncle Ken," gumam Nayla ketika Allea sudah terlelap.Air mata hampir saja terjatuh, tetapi Nayla dengan cepat mengusap dengan punggung tangannya.***Sesungguhnya Nayla tidak terlalu memikirkan hal itu untuk dirinya. Namun, penolakan itu pasti akan melukai hati putri kecilnya yang sudah banyak mengharapakan Kenan menjadi sosok ayah untuknya. Bagi Nayla prioritas utama hanya Allea, ia merasa tidak membutuhkan pendamping karena lukanya sudah terlalu dalam di masa lalu, masa di mana ia harus berjuang seorang diri saat mengandung Allea tanpa sosok pendamping sehingga membentuknya menjadi sosok wanita tangguh.Nayla sudah bersiap ke tempat kerja saat jarum jam mengarah ke angka tujuh. Langit gelap menandakan kalau dirinya harus bekerja membanting tulang demi anak dan hidup mereka. Nayla––wanita kuat dan hebat yang memiliki satu orang anak bernama Allea. Anak kecil itu yang membuat sosok Nayla menjadi tangguh dengan mendengar tangis awal saat ia dilahirkan membuat Nayla menjadi lebih semangat lagi untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah."Mommy udah mau kerja, ya?" tanya Allea pada ibunya."Iya, Sayang. Kenapa belum bobok? Kamu baik-baik aja, kan?" tanya Nayla memastikan karena wajah Allea terlihat sedikit pucat.Allea hanya memandang wajah ibunya dengan binar mata sedikit berkaca––tidak seperti biasanya. Sorot matanya layu saat ini membuat Nayla menjadi khawatir.Nayla meletakkan punggung tangannya ke dahi Allea, ada sedikit kenaikan suhu badan sehingga ia ragu untuk meninggalkan putrinya malam ini. Nayla menggendong Allea dan masuk ke kamar, ia gegas mengambil kotak obat, lalu mencari obat sirup turun panas."Non Lea kenapa, Non?" tanya Inah saat melihat majikannya masih sibuk mengurusi putrinya."Badannya anget, Bi. Sepertinya mau demam dia. Aku mau kasih obat dulu," ujar Nayla."Biar sama Bibi aja, Non. Tadi pagi padahal Non Lea baik-baik aja. Apa yang salah, ya Allah ...." ucap Inah yang sepertinya menyesal."Enggak apa-apa, semoga hanya demam bisa aja.""Kalau Non Nayla mau kerja enggak apa-apa, Non Lea biar Bibi yang jaga."Nayla sesungguhnya merasa berat meninggalkan putrinya dalam keadaan sakit. Namun, ia juga berpikir kalau bukan dirinya yang mencari nafkah, lalu siapa lagi yang akan mencukupi kebutuhan diri dan putrinya?Nayla hanya mengirimkan pesan singkat kepada Madam Sahara, ia menceritakan keadaan putrinya dan meminta waktu untuk telat masuk kerja malam ini. Untung saja Madam Sahara berbaik hati mau memaklumi keadaan Nayla.Sudah setengah jam Nayla harusnya sudah bekerja, tetapi ia masih diliputi kekhawatiran putrinya hingga memutuskan masih menunggu panas Allea hingga turun. Tiba-tiba saja suara bel rumah berbunyi, Inah yang sedang duduk di samping kasur akhirnya bangkit untuk membukakan pintu."Siapa, Bi?" teriak Nayla dalam kamar, tetapi Inah tidak menjawab."Ini aku, Nay." Suara bariton yang sangat Nayla kenal."Kamu?" Sepasang mata Nayla membulat saat melihat Kenan sudah duduk di sampingnya."Lea sakit apa?" tanya Kenan yang kemudian meletakkan punggung tangannya pada dahi Allea."Panas.""Kita bawa ke rumah sakit saja, yok?" ajak Kenan."Sepertinya enggak perlu, ini panasnya mulai turun, kok." Nayla menjawab sambil menempelkan handuk kecil basah untuk mengompres dahi Allea.Berkali-kali ponsel Nayla berdering, tetapi wanita berusia dua puluh lima tahun itu tidak kunjung mengangkatnya hingga membuat Kenan bertanya."Kenapa enggak kamu angkat ponselnya, Nay?""Enggak penting, paling temanku yang menanyakan masuk kerja atau tidak," jawab Nayla tanpa memandang wajah Kenan."Kalau kamu mau kerja, berangkat saja. Biar Lea aku yang jaga dan enggak usah khawatir karena aku bisa menjaganya dengan baik," ucap Kenan yang buat Nayla menimbang-nimbang usulnya."Enggaklah, aku enggak mau repotin kamu," jawab Nayla."Repot?" ujar Kenan dengan bibir tersenyum sarkas. "Apa yang membuatku kerepotan? Lea anakku," jawab Kenan yang kemudian memandang wajah cantik anak kecil yang sudah terlelap.Sepasang mata Nayla membulat saat mendengar jawaban Kenan."Ke––kenapa kamu bicara seperti itu?"Kenan yang sedang fokus memandang wajah Allea akhirnya berpindah pada Nayla yang malah terlihat khawatir."Aku, kan, akan menikahimu. Anakmu, ya, anakku juga, kan?" jawab Kenan yang membuat Nayla bisa bernapas lega.Melihat Kenan yang begitu peduli pada putrinya, akhirnya Nayla memutuskan untuk pergi bekerja meski waktu kerjanya harus terlewat hampir satu jam."Maaf, ya, aku jadi ngerepotin kamu karena Allea," ujar Nayla pada Kenan."Lagi-lagi kamu bilang merepotkan, Nay. Aku bilang tidak, tidak merepotkan sama sekali karena Lea itu anak aku, aku sayang sama dia. Pergilah, tidak usah mengkhawatirkan Lea, aku janji akan merawatnya dengan baik," ucap Kenan yang membuat Nayla yakin menitipkan putrinya pada orang tepat.Akhirnya Nayla berjalan ke kamarnya dan meraih tas juga perlengkapan yang ia butuhkan saat bekerja nanti. Ia pun kembali ke kamar putrinya hanya untuk mencium kening Allea dan mengecek suhu tubuhnya sebelum ia berangkat kerja.Terima kasih, Tuhan ... suhu tubuh Lea berangsur normal. Nayla berucap dalam hatinya. Ia mengusap pucuk kepala putrinya dan kembali mengecupnya hangat seolah berat meninggalkan bekerja ketika putrinya sedang sakit."Aku titip Lea, ya?" ucap Nayla pada Kenan."Kamu tenang aja, enggak usah khawatir. Hati-hati, ya?" ucap Kenan yang disambut dengan senyum manis Nayla.Baru saja Nayla berjalan tiga langkah dari sisi Kenan, laki-laki itu kembali memanggil nama Nayla hingga langkahnya terhenti."Ya, ada apa?" Nayla menjawab dengan pandangan menoleh ke arah Kenan."Sesungguhnya kamu kerja di mana, sih? Kok, malam-malam begini?" tanya Kenan yang membuat Nayla bingung harus menjawab apa?Polisi itu kembali menceritakan bahwa yang melakukan semua itu sang sopir yang saat ini sudah dibawa ke mobil polisi di depan rumahnya tanpa perlawanan karena sudah mengakui kesalahannya. Ia diiming-imingi uang oleh Yoga saat ia benar-benar membutuhkan uang tersebut hingga akhirnya ia tergiur dan mau melakukan tindak kriminal tersebut. "Saya semakin pusing!" Kinan memegang kepalanya yang terasa begitu nyeri. "Tidak! Eko berbohong! Aku tidak pernah menyuruhnya. Ini hanya fitnah semata!" Yoga yang baru ke ruang tamu langsung membantah pernyataan kepolisian tentang sopir Kinan bernama Eko telah memfitnahnya. "Semua bisa jawab di kantor, Pak. Mari, ikut kami," pinta salah satu polisi yang dibantah Yoga. Ia tidak mau ikut bersama petugas polisi. Sempat terjadi perseteruan karena Yoga berontak, tetapi ia kalah karena ternyata petugas polisi lebih banyak di luar sana yang akhirnya masuk untuk membantu meringkus Yoga. "Sayang, percaya aku. Aku tidak mungkin melakukan ini. Tolong aku, Saya
Setelah seluruh pekerja di toko kue Nayla pulang. Keadaan kembali sepi, tetapi tidak mengurangi kehangatan yang ada. Malah semakin terasa hangat dan syahdu ketika Kenan sudah sadar. "Kamu tidur, Sayang. Besok, kan, sekolah," titah Nayla pada putrinya. Allea mengangguk. Ia kembali ke sofa dan menarik selimut hangat setelah mencium pipi ibu dan ayahnya bergantian. "Ah, sepertinya kamu mau agar kita berduaan," goda Kenan pada istrinya. "Kamu juga tidur, Kak." Nayla menarik selimut Kenan. "Jangan ge'er begitu bilang ingin berduaan. Aku ingin kamu cepet sehat," lanjut Nayla dengan seulas senyuman."Kamu mau ke mana?" tanya Kenan. Ia menarik tangan istrinya saat Nayla beranjak dari tempat duduknya. "Rehat, lah. Apalagi?" "Di sini aja," ucap Kenan sambil menyibak selimut yang membalut tubuhnya. Nayla tersenyum. "Ada-ada aja, gak muat lah, apalagi badanku sudah mulai gendut." "Tapi aku rindu." "Makanya cepet sehat, biar nanti tidur seranjang lagi!" "Ya udah, ayok, pulang sekarang!"
Baru saja dua hari Kinan memberikan ijin pada Rebecca untuk tetap tinggal di rumahnya, ia sudah berani memamerkan kemesraannya pada Kinan meski sepertinya Yoga terus menghindar. "Sayang, kamu kenapa, sih? Bayi kita ingin terus dekat sama kamu," ucap Rebecca manja yang membuat Kinan muak saat berada di ruang makan. Gimana bisa bergerak? Usia kehamilan segitu baru berbentuk gumpalan darah saja belum ada nyawanya!Batin Kinan berbicara kesal mendengar Rebecca manja seperti itu. Ini sudah jadi risiko Kinan yang memberikan kesempatan pada sang suami karena ia juga harus siap kalau sampai terbukti bayi itu memang merupakan darah daging Yoga. "Sus, antar aku ke kamar!" pinta Kinan kesal. "Baik, Nyonya." Suster Rani mulai menarik kursi roda sang majikan agar bisa jauh dari meja makan. "Makananmu belum habis, Sayang!" Yoga menyahut, tetapi Kinan tidak menggubris. Rebecca melihat wajah Yoga dengan sorot mata memandangnya sinis dan cukup membuatnya takut. "Sini, kamu!" sentak Yoga saat Ki
Saat ini Yoga dan Rebecca sudah ada di dalam kamar Kinan. Keadaan hening sejenak saat Kinan menatap suami dan selingkuhannya bergantian. "Pokoknya aku menuntut tanggung jawabmu, Mas! Tidak mungkin aku pulang dengan keadaan seperti ini," ucap Rebecca. "Aku tidak ingin kehilangan istriku demi kamu!" Yoga menolak. Rebecca tersenyum getir. "Untuk apa? Bukankah istrimu saja tidak dapat memberikan kepuasan untukmu? Apalagi saat ini lumpuh, pasti semakin malas untuk melayanimu," ucap Rebecca. "Jaga mulutmu!" ucap Yoga setelah menampar pipi Rebecca. "Sebaiknya kamu pergi dari sini sekarang juga!" Yoga menunjuk pintu kamar Kinan, menyuruh Rebecca untuk meninggalkan kamar bahkan rumah mereka. "Enggak!" Rebecca bersikeras menolak. "Cukup!" Kinan menyela perdebatan mereka. Saat ini Yoga dan Rebecca yang sedang ribut beralih menatap Kinan yang duduk di ranjangnya. "Aku sudah memutuskan kalau Rebecca akan tetap di sini hingga bayinya lahir. Misalkan terbukti itu anakmu, maka kamu harus meni
Sudah jam delapan malam tetapi Kinan belum juga pulang dan hal ini membuat Yoga khawatir karena ia mengetahui kalau harusnya hari ini Kinan sudah pulang dari rumah sakit. Tidak ingin ada hal buruk yang terjadi pada sang istri, ia pun langsung meluncur ke rumah sakit dengan mobilnya sendiri. Mobil berjalan di bawah langit gelap yang disertai gerimis kecil serta kilatan-kilat kecil sepertinya sebentar lagi hujan akan turun. Kini mobil telah terhenti di parkiran rumah sakit dan ia pun keluar dari mobilnya menuju kamar inap sang istri. Namun, alangkah terkejutnya ketika di dalam ruangan malah terisi orang lain. "Siapa kamu? Masuk tanpa permisi, tidak sopan!" Seorang perempuan yang terbaring di bad mencaci kesal pada Yoga. "Astaga! Maaf, Nyonya. Sepertinya saya salah kamar. Satu kali lagi, maaf, maafkan saya salah memasuki ruangan," ucap Yoga merasa tidak enak pada orang tersebut. Untung saja pasien itu tidak memperkarakan ia pada pihak rumah sakit. Yoga masih berdiri di depan pintu d
"Lea? Kamu kenapa?" Bak menjelma seorang pahlawan Doni muncul di samping Allea yang sedang menangis. Allea baru sadar kalau ada Doni di sampingnya. Ia langsung mengusap air mata di pipinya. Namun, belum juga Allea menjawab Rey sudah memanggil namanya. "Lele!" Doni dan Allea kini menoleh ke belakang dan di sana ada Rey yang berlari mendekati sepasang muda-mudi yang berdiri di trotoar. "Kamu salah paham, Le." Rey mencoba menjelaskan. "Salah paham apa, sih, Kak? Kurang jelas apa lagi coba saat Kakak pegangan tangan sama dia? Lagian aku juga bukan siapa-siapa Kakak, jadi bebas kalau Kakak mau ngapain sama dia atau bahkan siapapun!"Rey tahu kalau sesungguhnya Allea sedang cemburu padanya. Namun, ia bingung menjelskan hal yang sesungguhnya apalagi di sampingnya ada laki-laki yang jelas-jelas suka padanya. "Sekali pembohong tetap akan jadi pembohong, Allea. Ngapain juga dipercaya? Mending ikut aku aja, yok!" Doni memegang tangan Allea. Allea memang masih kecil untuk memahami apa yang