Ponsel berdering di saat yang tepat. Nayla mempunyai kesempatan segera pergi dari rumah untuk menghindari pertanyaan Kenan. Meski ia sadar hal ini hanya sementara karena lambat-laun Kenan pasti akan mengetahuinya.
Hati Nayla merasa sedikit tenang karena putrinya sudah mulai membaik dan ia mempercayakan pada Kenan untuk menjaganya hingga akhirnya mobil taksi yang ia tumpangi sudah terparkir di pekarangan bar yang tentu saja sudah begitu ramai."Nay, kau sudah ditunggu Mas Yoga," ucap Olivia yang sedang mengambil minuman. "Dia ada di ruang biasa, samperin, gih! Sepertinya sudah tidak sabar mau ketemu kau," ledek Olivia sambil berjalan pergi.Nayla tidak menjawab, ia hanya menghela napas panjang karena pasti ada satu masalah baru lagi. Meskipun Nayla setengah hati menemui Yoga, ia tetap menjalani kewajiban kerja melayani tamunya dengan sopan dan ramah. Di sudut ruangan seorang laki-laki tersenyum saat Nayla berjalan mendekatinya. Wajah cantik alami Nayla memang tidak diragukan, ditambah tubuh sintal yang terbalut dalam pakaian seksi membuat pria mata keranjang akan betah berlama-lama menatap keindahan ciptaan Tuhan."Nay, aku ingin mengajakmu bekerja sama," ucap Yoga saat Nayla duduk di sampingnya."Perihal apa?" ucap Nayla sambil menuangkan wine ke dalam gelas Yoga."Aku akan membantu meluluhkan hati istriku agar menerimamu," ucap Yoga yang tentu saja membuat Nayla tersenyum dengan binar bahagia."Serius?" Nayla memastikan ucapan Yoga dan laki-laki paruh baya itu pun mengangguk ketika gelas kristal sudah berada di tangannya.Yoga menyesap wine perlahan dan Nayla menunggu apa yang akan diucapkan Yoga tanpa ada rasa curiga. Lelaki paruh baya itu mulai menceritakan tentang ajakan kerjasamanya. Rupanya Yoga meminta untuk dilayani oleh Nayla. Ia tidak rela kalau sampai Kenan mendapatkan tubuh Nayla seutuhnya setelah menikah, karena diam-diam Yoga menyukai bahkan sudah terlena oleh tubuh Nayla yang malam-malamnya sering berfantasi dengan sosok Nayla."Tidak, Mas. Maaf, aku memang bekerja di tempat yang mungkin tidak baik di pandangan orang-orang, tapi––" ucap Nayla terhenti karena Yoga menyela."Hahaha ... tapi Kenan akan menerimamu, begitu? Buka matamu! Ibunya saja tidak menerimamu, terlebih kalau mengetahui kamu bekerja sebagai pemandu karaoke dengan pakaian yang––" ucap Yoga seolah dibiarkan menggantung di udara, matanya melihat dari ujung kepala ke ujung kaki Nayla. "Mu-ra-han!" sambung Yoga bersama seringai yang memuakkan."Kalau saya murahan, apa bedanya dengan Anda, Mas? Orang yang mengunjungi perempuan murahan!" Naila menjawab santai, tetapi menantikan bagi Yoga.Skakmat! Yoga tidak dapat menjawab pertanyaan Nayla. Ia memang gadis yang cerdas, hanya saja nasib membawanya pada putus sekolah karena Nayla kehilangan orang tua tunggal. Keluarganya dulu tidak ada yang sanggup membantu untuk membiayai sekolah. Bahkan dari dulu Nayla sudah bekerja serabutan di pasar, hingga akhirnya ia dipertemukan dengan sosok Kenan yang sedang menunggu ibunya berbelanja kala itu.Merasa dipojokkan, Yoga menarik tangan Nayla yang hendak meninggalkannya. Ia tidak ingin waktunya terbuang sia-sia sudah menunggu Nayla. Jari-jarinya menggenggam erat meski beberapa kali Nayla mencoba mengempaskannya. Meski Nayla wanita yang kuat, tetapi tidak dengan tenaganya."Kamu tidak bisa lepas dariku, Nayla," ucap Yoga dengan suara serak dan bibir yang tersenyum simpul.Nayla merasa terancam saat tubuhnya didorong ke sofa hingga terduduk. Apalagi saat melihat Yoga yang mulai melonggarkan dasinya dan mulai membuka kancing kemejanya satu persatu.Lelaki itu mendekat setengah bertelanjang dada ke sofa di mana Nayla terduduk dengan wajah ketakutan. Percayalah, pemandangan itu begitu membuat Yoga merasa masih muda ketika ia berkuasa atas tubuh seorang wanita."Layani aku sekarang juga, Nay," bisik Yoga dengan suara penuh hasrat.Nayla tidak ingin tubuhnya dinikmati lelaki yang sama sekali tidak ia cintai, bahkan seharusnya ia menjadi ayah mertuanya. Bagaimana mungkin seorang ayah mertua malah menikmati tubuh anak menantunya nanti?Akhirnya Nayla menendang sesuatu yang telah menegang di dalam sana. Yoga langsung terguling ke sofa dengan tangan yang memegang pada barang yang amat berharga miliknya."Astaga, kamu––" ucap Yoga terhenti karena lebih fokus pada kepunyaannya yang terasa begitu sakit bercampur ngilu saat Nayla menendangnya.Tentu saja momen itu tidak disia-siakan oleh Nayla. Ia kabur dari ruangan tersebut tanpa berpikir misalkan nanti ia akan dipecat oleh Madam Sahara."Nay, kamu mau ke mana?" Lagi-lagi Olivia yang memergoki Nayla.Nayla tidak menjawab, ia pergi dari bar tersebut tanpa tujuan. Yang ada dalam otaknya hanya ingin jauh dari lelaki biadab bernama Yoga. Namun, kepergiannya seolah sia-sia karena Nayla kembali tertangkap oleh anak buah Madam Sahara."Lepasin!" ucap Nayla mencoba melepaskan diri dari cengkeraman salah satu anak buah Madam Sahara."Enggak bisa, Nona. Kami harus membawamu kembali ke bar untuk menghadap Madam Sahara," jawab si lelaki dengan suara bariton.Nayla yang sudah cukup jauh kabur dari bar akhirnya dimasukkan ke mobil jip hitam oleh anak buah Madam Sahara yang berjumlah sekitar tiga orang. Dua orang menjaga di kiri dan kanan Nayla dan satu orang lagi memacu mobil.Tidak memerlukan waktu lama mobil jip tersebut telah kembali di halaman bar. Nayla sudah seperti penjahat yang diikat dan digiring ke ruangan Madam Sahara dengan mulut yang disumpel oleh kain. Di dalam sana sudah ada Madam Sahara, Yoga dan beberapa orang pria pekerja bar.Keributan kecil pun terjadi karena Yoga merasa mendapatkan kekerasan fisik dari Nayla. Ia menuntut Nayla dan Madam Sahara akan dilaporkan ke kantor polisi. Namun, Madam Sahara membela karyawatinya. Bukan karena ia pekerjanya, tetapi memang ada cctv yang memperlihatkan kebejatan dari Yoga pada Nayla."Sialan! Kalian semua bersekongkol," ujar Yoga tidak terima."Maaf, Tuan. Bukan saya memihak karyawati saya. Di sini hanya mencoba mengambil jalan tengah dan saya pun sebagai wanita pasti akan bertindak seperti Nayla. Dia bisa melaporkan balik Anda pada pihak kepolisian, bahkan saya bersedia menyewakan pengacara untuknya karena memang ada bukti kuat yang dapat menggulingkan Anda!" tegas Madam Sahara yang membuat Nayla sedikit lega.Kesal karena merasa nasib baik tidak berpihak padanya, Yoga pergi begitu saja dari bar dengan ekspresi kesal dan marah."Lepaskan ikatannya!" ucap Madam Sahara pada karyawannya."Baik, Madam!"Tali yang melilit di pergelangan Nayla akhirnya terlepas dengan sumpel di mulut yang sudah dilepas sedari awal dibawa ke ruangan Madam Sahara. Perempuan dengan rambut yang mulai memutih itu mendekat pada Nayla. Ia menyelipkan rambut Nayla ke telinga dan mengusapnya dengan lembut."Kenapa kamu malah lari, Nay?" tanya Madam Sahara."Saya––saya takut, Madam. Takut kalau Madam akan marah karena saya dianggap tidak memperlakukan tamu dengan baik."Madam Sahara tersenyum, ia berputar mengelilingi tubuh Nayla yang mematung kaku hingga akhirnya posisi Madam Sahara saat ini berhadapan dengan Nayla."Aku memang bukan orang baik, tapi aku perempuan yang tidak mungkin menjualmu, Nayla. Di sini aku hanya membuka bar dan memberikan lowongan pekerjaan sesuai apa yang diambil oleh karyawan atau karyawatiku. Bukan sok suci, meski tidak sedikit di sini memang melayani hal-hal seperti itu, tapi hal tersebut di luar dari kontrakku dan aku tidak mau ikut campur dengan urusan mereka."Mendengar kata-kata dari Madam Sahara membuat hari Nayla benr-benar merasa terlindungi. Ia mengaku bukan orang yang baik, tapi bagi Nayla, Madam Sahara sosok penyayang."Maafin saya, Madam. Karena malam ini mungkin satu pelanggan Madam pergi," ucap Nayla merasa tidak enak."Bar ini memang terbentuk dari pelanggan karaoke, tapi kepergian satu pelanggan malam ini bukan fure kesalahanmu, Nayla. Malam ini kamu pulang saja lebih awal," ucap Madam Sahara, tetapi Nayla masih mematung seolah ada rasa berat untuk pulang. "Tenang saja, gajimu akan kubayar full. Istirahatlah di rumah, biar esok hari kamu bisa kembali bekerja," ucap Madam Sahara sambil memberikan amplop berisi gaji Nayla."Tapi, Madam, saya bekerja malam ini hanya sebentar saja. Rasanya tidak pantas mendapatkan gaji dari Madam." Nayla mendorong dengan sopan amplop yang ada di tangan Madam Sahara."Tidak apa-apa, aku ikhlas. Pulang dan istirahatlah, Nayla. Peluk putrimu biar kamu bisa lebih tenang dan kuat menghadapi perjalanan hidup yang memang keras."Ucapan Madam Sahara membuat Nayla merasa bersyukur dipertemukan dengan orang baik, meski dalam versi yang seperti ini. Di mana banyak orang memandang sebelah mata pada pemilik bar yang dipandang sebagai tempat maksiat orang-orang berlumur dosa.Akhirnya Nayla memutuskan untuk pulang setelah amplop berisi uang dari Madam Sahara sudah berada di tangannya. Ia pamit kemudian menunggu taksi di depan bar.Beruntung mobil taksi putih berhenti di hadapannya. Nayla gegas masuk dengan tubuh letihnya karena sudah dikejar-kejar anak buah Madam Sahara atas kejadian kekerasan yang dilakukan pada Yoga.Mobil berjalan cukup kencang, apalagi jarum jam hampir menunjuk ke angka dua belas sehingga jalanan lengang. Tiba-tiba saja sopir taksi menghentikan mobilnya secara mendadak membuat tubuh Nayla hampir tersungkur, bahkan kepalanya sudah menghantam kursi depan mobil."Ada apa ini, Pak? Kok, ngerem mendadak?" tanya Nayla sambil mengusap dahinya yang terasa sakit.Polisi itu kembali menceritakan bahwa yang melakukan semua itu sang sopir yang saat ini sudah dibawa ke mobil polisi di depan rumahnya tanpa perlawanan karena sudah mengakui kesalahannya. Ia diiming-imingi uang oleh Yoga saat ia benar-benar membutuhkan uang tersebut hingga akhirnya ia tergiur dan mau melakukan tindak kriminal tersebut. "Saya semakin pusing!" Kinan memegang kepalanya yang terasa begitu nyeri. "Tidak! Eko berbohong! Aku tidak pernah menyuruhnya. Ini hanya fitnah semata!" Yoga yang baru ke ruang tamu langsung membantah pernyataan kepolisian tentang sopir Kinan bernama Eko telah memfitnahnya. "Semua bisa jawab di kantor, Pak. Mari, ikut kami," pinta salah satu polisi yang dibantah Yoga. Ia tidak mau ikut bersama petugas polisi. Sempat terjadi perseteruan karena Yoga berontak, tetapi ia kalah karena ternyata petugas polisi lebih banyak di luar sana yang akhirnya masuk untuk membantu meringkus Yoga. "Sayang, percaya aku. Aku tidak mungkin melakukan ini. Tolong aku, Saya
Setelah seluruh pekerja di toko kue Nayla pulang. Keadaan kembali sepi, tetapi tidak mengurangi kehangatan yang ada. Malah semakin terasa hangat dan syahdu ketika Kenan sudah sadar. "Kamu tidur, Sayang. Besok, kan, sekolah," titah Nayla pada putrinya. Allea mengangguk. Ia kembali ke sofa dan menarik selimut hangat setelah mencium pipi ibu dan ayahnya bergantian. "Ah, sepertinya kamu mau agar kita berduaan," goda Kenan pada istrinya. "Kamu juga tidur, Kak." Nayla menarik selimut Kenan. "Jangan ge'er begitu bilang ingin berduaan. Aku ingin kamu cepet sehat," lanjut Nayla dengan seulas senyuman."Kamu mau ke mana?" tanya Kenan. Ia menarik tangan istrinya saat Nayla beranjak dari tempat duduknya. "Rehat, lah. Apalagi?" "Di sini aja," ucap Kenan sambil menyibak selimut yang membalut tubuhnya. Nayla tersenyum. "Ada-ada aja, gak muat lah, apalagi badanku sudah mulai gendut." "Tapi aku rindu." "Makanya cepet sehat, biar nanti tidur seranjang lagi!" "Ya udah, ayok, pulang sekarang!"
Baru saja dua hari Kinan memberikan ijin pada Rebecca untuk tetap tinggal di rumahnya, ia sudah berani memamerkan kemesraannya pada Kinan meski sepertinya Yoga terus menghindar. "Sayang, kamu kenapa, sih? Bayi kita ingin terus dekat sama kamu," ucap Rebecca manja yang membuat Kinan muak saat berada di ruang makan. Gimana bisa bergerak? Usia kehamilan segitu baru berbentuk gumpalan darah saja belum ada nyawanya!Batin Kinan berbicara kesal mendengar Rebecca manja seperti itu. Ini sudah jadi risiko Kinan yang memberikan kesempatan pada sang suami karena ia juga harus siap kalau sampai terbukti bayi itu memang merupakan darah daging Yoga. "Sus, antar aku ke kamar!" pinta Kinan kesal. "Baik, Nyonya." Suster Rani mulai menarik kursi roda sang majikan agar bisa jauh dari meja makan. "Makananmu belum habis, Sayang!" Yoga menyahut, tetapi Kinan tidak menggubris. Rebecca melihat wajah Yoga dengan sorot mata memandangnya sinis dan cukup membuatnya takut. "Sini, kamu!" sentak Yoga saat Ki
Saat ini Yoga dan Rebecca sudah ada di dalam kamar Kinan. Keadaan hening sejenak saat Kinan menatap suami dan selingkuhannya bergantian. "Pokoknya aku menuntut tanggung jawabmu, Mas! Tidak mungkin aku pulang dengan keadaan seperti ini," ucap Rebecca. "Aku tidak ingin kehilangan istriku demi kamu!" Yoga menolak. Rebecca tersenyum getir. "Untuk apa? Bukankah istrimu saja tidak dapat memberikan kepuasan untukmu? Apalagi saat ini lumpuh, pasti semakin malas untuk melayanimu," ucap Rebecca. "Jaga mulutmu!" ucap Yoga setelah menampar pipi Rebecca. "Sebaiknya kamu pergi dari sini sekarang juga!" Yoga menunjuk pintu kamar Kinan, menyuruh Rebecca untuk meninggalkan kamar bahkan rumah mereka. "Enggak!" Rebecca bersikeras menolak. "Cukup!" Kinan menyela perdebatan mereka. Saat ini Yoga dan Rebecca yang sedang ribut beralih menatap Kinan yang duduk di ranjangnya. "Aku sudah memutuskan kalau Rebecca akan tetap di sini hingga bayinya lahir. Misalkan terbukti itu anakmu, maka kamu harus meni
Sudah jam delapan malam tetapi Kinan belum juga pulang dan hal ini membuat Yoga khawatir karena ia mengetahui kalau harusnya hari ini Kinan sudah pulang dari rumah sakit. Tidak ingin ada hal buruk yang terjadi pada sang istri, ia pun langsung meluncur ke rumah sakit dengan mobilnya sendiri. Mobil berjalan di bawah langit gelap yang disertai gerimis kecil serta kilatan-kilat kecil sepertinya sebentar lagi hujan akan turun. Kini mobil telah terhenti di parkiran rumah sakit dan ia pun keluar dari mobilnya menuju kamar inap sang istri. Namun, alangkah terkejutnya ketika di dalam ruangan malah terisi orang lain. "Siapa kamu? Masuk tanpa permisi, tidak sopan!" Seorang perempuan yang terbaring di bad mencaci kesal pada Yoga. "Astaga! Maaf, Nyonya. Sepertinya saya salah kamar. Satu kali lagi, maaf, maafkan saya salah memasuki ruangan," ucap Yoga merasa tidak enak pada orang tersebut. Untung saja pasien itu tidak memperkarakan ia pada pihak rumah sakit. Yoga masih berdiri di depan pintu d
"Lea? Kamu kenapa?" Bak menjelma seorang pahlawan Doni muncul di samping Allea yang sedang menangis. Allea baru sadar kalau ada Doni di sampingnya. Ia langsung mengusap air mata di pipinya. Namun, belum juga Allea menjawab Rey sudah memanggil namanya. "Lele!" Doni dan Allea kini menoleh ke belakang dan di sana ada Rey yang berlari mendekati sepasang muda-mudi yang berdiri di trotoar. "Kamu salah paham, Le." Rey mencoba menjelaskan. "Salah paham apa, sih, Kak? Kurang jelas apa lagi coba saat Kakak pegangan tangan sama dia? Lagian aku juga bukan siapa-siapa Kakak, jadi bebas kalau Kakak mau ngapain sama dia atau bahkan siapapun!"Rey tahu kalau sesungguhnya Allea sedang cemburu padanya. Namun, ia bingung menjelskan hal yang sesungguhnya apalagi di sampingnya ada laki-laki yang jelas-jelas suka padanya. "Sekali pembohong tetap akan jadi pembohong, Allea. Ngapain juga dipercaya? Mending ikut aku aja, yok!" Doni memegang tangan Allea. Allea memang masih kecil untuk memahami apa yang