MasukHari masih sangat pagi, tapi Guru sudah membangunkanku. Bahkan ia sengaja membuka tirai agar cahaya matahari masuk dan mengganggu tidur nyenyakku. “Bangunlah, sudah pagi,” ucap Guru sambil menyenggol tanganku beberapa kali.
Aku memaksa kedua mataku yang masih ingin terpejam untuk terbuka, lalu segera bangun dari kasur yang sangat halus ini. “Segera mandi, karena Guru sudah menyiapkan air hangat bunga Lily putih dalam bak mandimu. Aku tunggu di kursi dekat kolam. Oh ya, selama berada di Alam Langit, kau jangan memakai kalung giok hijau pemberian Dewi Bunga Agung. Jadi, simpanlah dulu di tempat yang aman,” katanya. Padahal kalung giok hijau ini adalah tanda keberuntunganku dari Dewi Bunga Agung, yang harus kujaga dengan hati-hati. Lagipula ini, Alam Langit bukan tempat sembarangan bagi benda biasa — bahkan energi sehalus kalungku bisa dilacak oleh yang berkuasa. Aku hanya mengangguk. “Guru, bolehkah aku bertanya sesuatu?” “Tentu. Ada apa?” tanya Guru, matanya menatapku dengan ketenangan yang membuat jantungku sedikit tenang. “Kenapa kamarku serba bulu putih?” Pertanyaanku membuatnya tersenyum. Ada sesuatu yang hangat tapi misterius dalam senyum itu. “Ini hasil dari bulu rubah adikku. Saat ia nakal dan dihukum, ia lebih memilih menyerahkan bulu rubahnya daripada menyalin kitab suci. Bulu itu kemudian berkembang, dipenuhi energi magis yang lembut, dan aku gunakan untuk menghias kamarmu. Apakah kau tidak menyukai sentuhan energi ini?” jawab Guru sambil tersenyum lembut. Aku menahan tawa sekaligus terkagum pada cara energi rubah itu memanifestasikan kemegahan dan kenyamanan di kamar ini. “Tidak, Guru. Aku sangat menyukai hiasan bulu ini. Rasanya… seperti disentuh energi alam semesta, lembut dan hangat sekaligus,” jawabku dengan takjub. “Baiklah,” jawab Guru singkat, dan dengan langkah ringan ia keluar dari kamar, meninggalkanku dalam suasana hening namun penuh aura magis. Aku mendekati bak mandi yang sudah dipersiapkan. Asap hangat mengepul perlahan dari air, memancarkan cahaya lembut yang membuat ruangan terasa hidup. Di dekat bak mandi tergantung gaun merah muda dengan cadar senada, seolah menunggu untuk menyelimuti energi spiritualku. Di atas meja dekat gaun, tersusun perhiasan yang memancarkan kilau magis halus, seperti dipenuhi aura pelindung. Aku pun menyimpan kalung giokku di laci kecil dekat bak mandi — terasa aman, terlindung dari pandangan biasa. Aku mengenakan perhiasan satu per satu — mulai dari kalung, anting, gelang kaki, hingga bindi kecil di tengah dahiku, berhiaskan motif renda bunga Lily. Rambutku disanggul rapi dengan tusuk konde perak berukir bunga Lily yang berkilau lembut di bawah cahaya pagi. “Kakak Zhang Li sangat cantik dan harum,” ucap gadis kecil itu sambil menatapku kagum. “Aku ingin menjadi sepertimu saat sudah dewasa.” Aku tersenyum melihat tingkah polosnya. “Siapa namamu?” tanyaku lembut. “Namaku Ji Que, keturunan rubah merah yang ke-100,” jawabnya dengan bangga, ekor kecilnya sedikit bergoyang. “Berapa umur spiritualmu, Ji Que?” tanyaku lagi. “1.569 tahun, Kakak Zhang Li,” jawabnya tanpa ragu. Sebelum aku sempat menanggapinya, suara Guru terdengar dari arah pintu. “Cukup mengobrolnya. Ji Que, jaga rumah dan hafalkan mantra suci leluhur rubah. Saat Guru kembali, akan aku uji,” ucapnya tegas. Ji Que langsung menunduk dan menjawab patuh, “Baik, Guru.” "Kita akan kemana Guru?" tanyaku sambil mengikuti langkah kaki Guru. Guru kemudian menatapku dan memberi isyarat agar mengikutinya. Aku pun berjalan di belakangnya, langkahnya ringan namun berwibawa. “Guru, kita akan pergi ke mana?” tanyaku sambil menyesuaikan langkah. “Kita akan pergi ke tingkat sembilan untuk meresmikanmu sebagai murid pewarisku,” jawabnya tanpa menoleh. “Setelah itu, kau akan memulai proses menuju kebangkitanmu sebagai seorang Dewi.” Aku baru teringat — kemarin seharusnya kami menemui Kaisar Langit. Untung saja hari ini aku telah berdandan dengan sangat rapi dan cantik; aku tidak ingin mempermalukan nama Dewi Bunga Agung ataupun Alam Bunga. “Baiklah, Guru,” jawabku mantap. Belum sempat aku mengedipkan mataku, sekejap cahaya putih melingkupi tubuh kami. Ruangan berputar, udara menjadi ringan, dan dalam satu kedipan mata, aku sudah berdiri di depan pintu utama Altar Suci Alam Langit—tempat di mana hanya para Dewa tingkat tinggi yang diperkenankan melangkah. Terdapat karpet merah berhiaskan sulaman emas membentang dari pintu utama hingga menuju singgasana tempat Kaisar Langit dan Permaisuri Kaisar duduk. Saat kami mulai melangkah masuk, di sisi kanan dan kiri ruangan tampak empat kursi tahta kosong, sepertinya disediakan untuk semua anak Kaisar. Alunan musik lembut dari alat musik berwarna emas memenuhi ruangan, menciptakan suasana sakral. Di kanan dan kiri aula, tersusun tiga tingkat meja dan kursi yang tampak rapi, seolah menunggu para Dewa agung menempatinya. Kami berjalan di atas karpet merah menuju tengah aula. “Permaisuri, Kaisar,” sapa Guru sambil membungkukkan badan memberi hormat. Aku menirukan gerakannya dengan hati-hati, lalu kembali berdiri tegak. “Siapakah wanita ini, Dewa Pembasmi Roh Iblis?” tanya Kaisar Langit dengan suara yang dalam dan berwibawa. (Wajah wanita ini... kenapa terasa begitu familiar? Apakah aku pernah bertemu dengannya di suatu tempat?) batin Kaisar, menatap Zhang Li dengan pandangan yang seolah mengingat seseorang dari masa lalunya. Tak lama, Pangeran Ketiga melangkah masuk. Ia memberi salam kepada Kaisar dan Permaisuri, lalu duduk di kursi tahta kosong di sebelah kiri Kaisar Langit. “Dia Zhang Li,” ujar Guru dengan tenang. “Berasal dari Alam Bunga, dan akan kuangkat menjadi murid pewarisku, Kaisar.” Sebelum Kaisar sempat menjawab, datang seorang wanita berparas anggun dengan rambut panjang berhias mahkota emas. Ia mengenakan gaun merah menyala dan memeluk seekor kucing putih gemuk di pangkuannya. Wanita itu berjalan santai menuju kursi di sebelah kiri Pangeran Ketiga, lalu duduk dengan elegan. Di dahinya tampak empat cap kelopak bunga merah, tanda bangsawan tinggi di Alam Langit — sepertinya ia seorang Putri. “Sudah berapa lama kau menjadi gurunya?” tanya Kaisar lagi. “Sudah sejak lahir, Kaisar,” jawab Guru. Berarti... sejak aku masih bayi, Guru sudah mengenalku. Pantas saja rasanya begitu akrab. Seorang lelaki memberi salam kepada Kaisar dan Permaisuri, lalu duduk di kursi tahta kosong tepat di sebelah Permaisuri Kaisar Langit. Lelaki tampan itu tampak gagah dan ramah; setiap kali bertemu pandang dengan seseorang, ia selalu tersenyum sopan. Ia mengenakan jubah kerajaan berwarna biru laut, sementara rambut hitam pekatnya diikat rapi ke belakang, menonjolkan garis lehernya yang tegas. Di dahinya tampak dua cap kelopak bunga merah... “Apakah kau sudah siap, Zhang Li, menjadi murid pewaris Dewa Pembasmi Roh Iblis?” tanya Kaisar dengan suara berwibawa. Pertanyaan itu membuat konsentrasiku buyar seketika; aku segera menatap Kaisar dan menjawab, “Tentu saja, aku siap, Yang Mulia Kaisar.” “Baiklah,” ucap Kaisar. “Kau akan resmi menjadi murid pewaris Dewa Pembasmi Roh Iblis setelah lulus dari Sekolah Dewa dan Dewi yang akan berlangsung selama satu bulan di Lembah Langit. Kemarilah, aku akan memberikan tanda suci di dahimu.” Aku melangkah maju dengan hati-hati. Namun, tiba-tiba sesuatu seperti jarum melesat dari arah belakang kiri. Refleks, aku menghindar ke kanan—hanya untuk melihat jarum lain datang dari arah itu. Aku melompat ke kiri, tapi sekali lagi sebuah jarum terbang ke arahku. Tanpa berpikir panjang, aku langsung berbalik dan melesat ke arah sumber serangan itu. “Kenapa kau lagi!” seruku kesal. Lelaki itu—ya, pria menyebalkan yang kemarin mencekikku—tersenyum lebar. “Hahaha, kita bertemu lagi, Nona. Selamat, kau lulus dari ujianku,” ujarnya dengan nada mengejek. Aku mendengus pelan. “Ya, terima kasih banyak,” jawabku singkat, lalu berjalan mendahuluinya menuju Kaisar tanpa menoleh lagi. Tunggu… kenapa dia duduk di tahta kosong itu? Tidak mungkin—dia Pangeran? Tapi di dahinya ada satu cap kelopak bunga merah... ah, aku mengerti sekarang! Jadi, tanda di dahi mereka menunjukkan kedudukannya: satu, dua, tiga, dan empat. Setelah Kaisar Langit meneteskan air suci di tengah dahiku, Permaisuri turut mengangkat kedua tangannya, memberkatiku dengan senyum lembut. “Semoga umurmu abadi sepanjang abad dan semoga kau cepat lulus dari sekolah para Dewa,” ucapnya dengan suara selembut desir angin surga. Namun tiba-tiba, alis Permaisuri sedikit terangkat. “Kenapa tanda di dahinya berubah menjadi sehelai kelopak bunga berwarna emas, Kaisar?” tanyanya dengan nada heran. Aku spontan menyentuh dahiku. Berwarna emas? Memangnya kenapa? Bukankah warna emas sama seperti cahaya spiritualku? Kaisar Langit menatap tanda itu dengan tenang. “Itu adalah tanda dari wujud asli Dewa yang ia miliki, Permaisuri. Apakah ada yang salah?” Permaisuri menggeleng pelan. “Tidak ada yang salah, Kaisar. Hanya saja… selama Alam Langit berdiri, belum pernah ada yang memiliki tanda berwarna emas.” Kaisar tersenyum samar. “Mungkin karena ia berasal dari Alam Bunga—seorang wanita suci, sekaligus Peri Alam Bunga pertama yang menjadi murid pewaris dari seorang Dewa di Alam Langit.” Aku membeku sejenak. Peri Alam Bunga pertama…? Jadi memang belum pernah ada yang sepertiku sebelumnya. Rasanya aneh, sekaligus sedikit menakutkan. Setelah selesai memberkati, aku menuruni tangga suci dan kembali berdiri di sisi Guru. Beliau menatapku sebentar, lalu menyenggol lenganku perlahan—kode agar aku menirukan sikap hormatnya. Aku segera menundukkan kepala dalam-dalam. “Terima kasih, Yang Mulia Kaisar, atas air suci yang telah diberikan kepada muridku, dan kepada Permaisuri Kaisar atas berkat yang beliau anugerahkan,” ucap Guru dengan nada penuh hormat. Kaisar mengangguk ringan. “Kalian duduklah dahulu. Tak lama lagi, akan ada acara penyambutan keluarga Phoenix serta para murid pewaris Dewa dan Dewi yang akan bersekolah di Lembah Langit.” Ternyata, di Alam Langit banyak juga yang menjadi murid pewaris. Hebat sekali, pikirku kagum. Aku mengikuti Guru menuju meja jamuan, dan kami berhenti di dekat meja milik penasihat Kaisar. Saat baru saja duduk, suara lembut namun tegas terdengar dari arah seberang. “Ayah, wanita ini berasal dari Alam Bunga—tempat yang terkenal dengan tarian wanita sucinya,” ucap Pangeran Kedua dengan sopan. Permaisuri menatap putranya dengan sedikit kebingungan. “Lalu, ada apa, Pangeran Kedua?” tanyanya lembut. “Apakah Nona ini bersedia mempersiapkan tarian khusus untuk seluruh Dewa dan Dewi Alam Langit?” tanya Pangeran Kedua, melirikku dengan senyum yang penuh arti. Aku sempat terdiam. Menari dengan iringan lagu dari Alam Bunga sungguh menguras kekuatan spiritual… tapi bagaimana mungkin aku menolak permintaan seorang Pangeran? Guru menatapku sekilas lalu berkata tenang, “Bertanyalah langsung kepada Nona Zhang Li, Pangeran Kedua.” Pangeran itu tersenyum tipis, menungguku menjawab. Aku menegakkan punggung, menatapnya sopan, lalu berkata, “Menjawab Pangeran, dengan senang hati aku akan menampilkan tarian Alam Bunga untuk para Dewa dan Dewi Alam Langit.” Pangeran Kedua tersenyum lebar mendengar jawabanku, tatapannya hangat dan memuji. Aku ikut tersenyum membalasnya—namun seketika merasa tatapan lain menusuk dari arah samping. Lelaki menyebalkan itu—dia menatapku tajam, seolah memberi peringatan. Apa maksudnya? Apakah aku melakukan sesuatu yang salah lagi? Setelah seluruh Dewa, Dewi, dan para murid pewaris Alam Langit berkumpul, suasana Altar Suci dipenuhi cahaya lembut dan alunan musik surgawi. Dari barisan depan, salah satu keluarga Phoenix tampil dengan anggun. Gerakannya mengikuti irama alat musik yang dimainkan para pelayan istana langit. Dalam sekejap, tubuhnya berubah menjadi seekor phoenix berapi yang berputar di udara dengan sayap menjulang, sebelum kembali menjelma menjadi wanita cantik dengan busana berbeda dari sebelumnya—sebuah keindahan yang membuat semua mata terpana. Belum sempat tarian itu usai, aku sudah berdiri di depan pintu utama Altar Suci, bersiap untuk menampilkan tarian dari Alam Bunga. Kali ini, aku mengenakan gaun berwarna putih dengan kilauan halus seperti embun pagi. Di atas kepalaku tersemat mahkota bunga Lily perak, dan wajahku tertutup cadar tipis berwarna merah lembut. Saat instrumen khas Alam Bunga mulai mengalun, udara di dalam ruangan berubah. Bunga-bunga Lily merah dan putih turun dari langit-langit altar, menari mengikuti alunan nada. Aku terbang perlahan ke tengah ruangan, menggerakkan tubuh mengikuti irama yang pernah diajarkan oleh Dewi Bunga Agung. Pada pertengahan lagu, tempo musik meningkat. Gerakanku pun menjadi lebih cepat, penuh semangat, seolah menyatu dengan setiap nada yang tercipta. Aura spiritual dari bunga-bunga yang bermekaran di udara semakin kuat, hingga akhirnya tarian ini mencapai puncaknya. Kilauan cahaya emas menyerupai kupu-kupu memenuhi ruangan. Aku menutup tarian dengan lembut: kedua kakiku membentuk huruf V di lantai, kedua lenganku melingkar di depan dada dengan telapak tangan saling bertumpu, lalu sedikit membungkukkan tubuh dan kepala sebagai tanda penghormatan. Pangeran Kedua segera berdiri dan bertepuk tangan, diikuti oleh para Dewa dan murid lainnya. Aku pun bangkit, berdiri tegak kembali. Namun suasana mendadak hening ketika Kaisar Langit turut berdiri, membuat Pangeran Kedua segera duduk kembali. “Lily putih,” ucap Kaisar dengan suara dalam dan berwibawa, “melambangkan kesucian, ketulusan, kemuliaan, pengabdian, serta kehidupan baru. Sedangkan Lily merah melambangkan kemakmuran dan kekayaan yang berlimpah. Atas nama Alam Langit, aku mengucapkan terima kasih atas doa dan persembahan tarianmu, Nona Zhang Li.” Aku tersenyum lembut, membungkukkan badan dalam-dalam sebagai tanda terima kasih, lalu berjalan kembali menuju tempat Guru duduk. Setelah ini ada acara apa lagi ya?Alam langit yang sedang berbahagia dengan kemunculan dua bayi kembar dari keturunan Zhang Li dan Putra Mahkota, tentu saja menjadi momen terbaik dalam sejarah alam langit. Karena, alam langit tidak pernah kehadiran bayi kembar.Baik Dewa biasa ataupun Keluarga Kaisar, tapi semua kebahagiaan ini juga mendatangkan banyak pertanyaan karena bakat Dewa yang berada dalam diri Zhu Suyi dan Zhu Suye. Akhirnya, seluruh raja naga beserta para Dewa Dewi terus membantu Kaisar mencari tahu alasan dibalik Bakat Dewa muncul bersama kedua bayi ini.Sisi lain, Dewi Burung ternyata tidak mati. Bahkan, ia berhasil bertahan hidup dalam pagoda suci dan melahirkan anaknya "Anakmu tidak dapat keluar dari tempat ini, karena roh jahat menempel pada dirinya. Jadi, ia harus melewati penyucian berulang kali baru bisa keluar dari Pagoda." Bagaimanapun, bayi ini keluar dari perut pendosa yang kerasukan inti roh raja iblis. Walaupun sudah lenyap, tapi tetap saja harus melewati penyucian."Apakah anakku harus mena
Kepergian Kaisar dan Dewi Zhang Li, membuat dirinya bisa bernapas dengan legah. Karena alam langit benar-benar melepaskan rakyat kota Zhen dari perjanjian 1.000 tahun lalu, juga anak tercintanya Liu Zha, sudah terlepas dari kutukkan setengah siluman dan manusia. Liu Ge, segera mengutus prajuritnya untuk menampung air dalam 10 gentong besar agar tidak kekurangan saat proses pelepasan kutukan setengah siluman ini. Setelah semuanya siap, seluruh rakyat kota Zhen berkumpul ditengah lapangan istana kota untuk menyembuhkan kutukan mereka. Sekaligus, merayakan lepasnya kaum siluman dari perjanjian 1.000 tahun yang sudah menyulitkan mereka.Belum saja, Liu Ge berbicara sepatah kata apapun. Seluruh rakyat kota Zhen malah ingin membalaskan dendam kepada Alam Langit, karena sudah membuat generasi baru menderita dan terkurung dalam kota. Liu Ge langsung menghentikan niat buruk mereka dan menjelaskan maksud dirinya mengutus para prajurit mengumpulkan mereka ditengah lapangan istana kota zhen, te
Hutan Meraire sudah tidak bisa menahan raja iblis lagi, karena kekuatan Dewa Pu Chai melemah.Akhirnya, Zhu Yi hanya berhasil memecahkan inti roh raja iblis menjadi tujuh bagian dengan kekuatan yang telah tercampur darahnya. Meskipun Zhu Yi gagal mengurung keenam inti roh lainnya, tapi setidaknya Zhu Yi berhasil mengurung inti roh ketujuh yang memiliki aura pembunuhan sangat kuat dan merupakan kekuatan inti raja iblis.Zhu Yi Melilit paksa Inti roh Raja Iblis ke-7 untuk memasuki Alam Ilusi Rasi Bintang Gugur. Ruang Hampa yang terletak pada dimensi bintang mati dengan massa tak terbatas ini. Sebenarnya, tidak dapat dijangkau oleh mahluk manapun. Bahkan, banyak Dewa ataupun siluman menganggap tempat ini hanya sebuah legenda kuno.Berusaha menyelamatkan dunia. Dirinya, dihampiri oleh utusan surgawi yang langsung membuka portal sebagai jalan pintas menuju alam ilusi rasi bintang gugur. Bahkan, ia dibekali rantai air mata bidadari yang tak pernah ada dalam sejarah manapun "Gunakan ini." S
Xai yang sudah aku utus seharian penuh untuk mengamati aktivitas Liu Zha lebih dekat. Akhirnya, membuat aku cukup mudah mendekati Liu Zha hingga mempercayaiku dan bermain bersamaku.Sedangkan, Pangeran ketiga dari kemarin mencoba berdiskusi tentang pembatas transparan yang dibuat oleh Zhu Yi. Bahkan, ia sengaja mengulur waktu dengan mengeluarkan seluruh pedangnya untuk mencobai pemabatas ini."Gadis manis, aku punya hadiah untukmu." Liu Zha langsung mendekat dan matanya berbinar ketika melihat gelang Lily Hitam. Ia langsung memintaku untuk memasangnya, tapi saat terpasang. Inti Roh Iblis Kelaparan bereaksi dan memberontak, tapi untung saja ada Xai yang membuat tabir pelindung hingga suara teriakkan Liu Zha tidak menarik perhatian siapapun."Keluarlah dari tubuh gadis ini, jangan terus membuat masalah raja iblis. Apakah kau tidak lelah? Selalu menindas yang lemah? Apakah kau tidak memiliki kemampuan untuk menindas yang kuat?" Ucap Zhang Li yang sengaja memancing."Hanya seorang gadis
Setelah keluar dari hutan, kami memutuskan untuk kembali ke kota Zhen. Pemandangan kota ini, jauh lebih indah daripada siang hari. Baru saja keluar dari perbatasan hutan, kami semua disambut pemimpin kota Zhen. Pemimpin kota Zhen yang sudah mengetahui kami akan turun gunung dari Xai, langsung menyambut kami dengan hangat.Mereka juga sudah mengatur sebuah paviliun megah nan mewah untuk kami semua singgah selama beberapa hari dalam kota Zhen yang sangat indah ini.“Perkenalkan, namaku Liu Ge dan istriku Cheng Mi yang berasal dari dunia manusia." Setelah memperkenalkan diri satu samalain, kami diberikan waktu untuk beristirahat.Malam telah tiba, kami semua diundang secara langsung oleh pemimpin kota Zhen untuk menikmati pesta sambutan yang dibuat secara khusus untuk kami semua "Nikmatilah acara ini," Ucap Liu Ge lalu menyuruh pengawal pribadinya untuk menutup pintu aula istana kota zhen.Acara dimulai dengan tarian pembuka-an dari klan siluman ular piton hijau yang sangat gemulai da
Tubuhnya yang terasa lemah hanya bisa membuat dirinya memandangi para dewa dan dewi yang nampak legah, karena Zhang Li sudah membuka kedua matanya "Apakah masih terasa sakit?" Tanya Dewi Tabib dan aku hanya bisa menggelengkan kepala, agar mereka tidak khawatir. Kaisar yang baru saja tiba bersama beberapa dayang, langsung sibuk mempersiapkan ramuan herbal terbaik untuk meningkatkan energi dan pertumbuhan bayiku. Sedangkan, para Dewa Dewi hanya bisa menatap haru perlakuan Kaisar terhadap Zhang Li yang sangat khawatir. “Kaisar, Nona Zhang Li sekarang sudah memasuki massa kehamilan 40 minggu. Jadi, normal saja kalau sering terjadi kontraksi palsu. Mengejutkannya lagi, anak Zhang Li merupakan bayi kembar." Zhang Li merasa bahagia, sekaligus sedih. Karena, anak kembar ini tidak disambut oleh Ayah mereka. Seandainya, disini ada Pangeran Pertama. Pasti kabar ini akan menyempurnakan kehidupan kami dengan membuat keluarga kecil. Apakah langit akan adil terhadap kedua bayi kecilku ini? Ap







