Jumadi melangkah masuk ke lobi hotel ketika Cindy tiba-tiba meraih lengannya dengan helaan napas dramatis.Dia hampir terjatuh, pura-pura kehilangan keseimbangan."Aduh, aku agak pusing," gumamnya sambil mengedipkan bulu mata. "Tekanan darahku tiba-tiba turun. Bisa bantu aku? Aku janji cuma sebentar saja."Jumadi membantunya, wajahnya menegang karena cemas. "Kau baik-baik saja?""Biasanya nggak pernah begini," jawab Cindy merapatkan tubuhnya."Biarkan aku istirahat sebentar." Dia bersandar ke tubuh Jumadi seolah-olah tak bisa berdiri sendiri, memastikan semua orang di ruangan melihat betapa mesranya dia bergelayut.Siti yang berdiri satu langkah dari mereka, hanya memutar bola mata.Cindy melihat itu dan langsung memanfaatkannya."Siti, kau bilang ingin bertemu seseorang yang penting tentang koneksi yang sedang kau bangun? Lanjutkan saja, jangan khawatirkan aku," ucapnya manja.Siti mengangkat bahu. "Baiklah, aku ke aula pesta di atas." Tanpa menunggu lagi, dia pergi.Cindy bahkan tida
Amarah Zed sudah tidak bisa ditahan, siap meledak dengan rentetan makian.Bahunya tegang, tinju terkepal di sisi tubuhnya, lalu Fiona melangkah masuk di antara dia dan Cindy."Zed, cukup!" katanya, suaranya menembus amarah Zed."Cindy itu bibimu. Tunjukkan sedikit rasa hormat. Dia datang jauh-jauh dari Kota Verma, dan pesta ulang tahun ini bisa membantunya menjalin koneksi. Biarkan dia pergi bersama Jumadi dan Siti."Tatapan tajam Zed beralih dari Fiona ke Cindy. "Aku dengar dengan jelas kok, Bu. Membantu Bibi Cindy tercinta bergandengan dengan Bu Melisa, rencana yang hebat. Beri tahu aku kapan aku bisa daftar giliran untuk mencium tangannya."Cindy mengangkat dagunya dan menyeringai. "Hidupku akan naik pangkat begitu aku berteman dengan Bu Melisa. Nantinya mungkin aku juga akan melemparkan beberapa 'remahan' untukmu!"Ucapan itu bagaikan percikan api yang menyulut sumbu Zed.Dia menghantamkan telapak tangannya ke tepi vas antik, membuatnya bergetar hebat. "Bantu kami semua, Cindy, dan
Alvaro berkedip bingung."Maaf Guru. Apa yang Guru maksud?"Orang tua itu menyeringai."Kau dengar aku, Bocah. Dunia yang kau lihat ini cuma tipuan murahan. Ilusi. Pernahkah kau bertanya kenapa kau hidup? Apa tujuan hidup? Ke mana kau pergi setelah mati dan apa kau sungguh percaya bisa hidup lagi setelah kematian?"Hawa dingin merayap di tulang belakang Alvaro. "Guru, maksudmu reinkarnasi? Kita mati, lalu lahir kembali ... dengan kehidupan baru, 'kan?"Tawa orang tua itu berderak kasar."Jangan besar kepala, Bocah. Siapa yang bilang kau bakal dapat awal yang baru setiap kali mati? Gimana kalau setelah ajalmu tiba, kau kembali ke hari pertama dengan kehidupan yang sama? Berulang-ulang. Seperti video rusak yang terus memutar karena kau terlalu buta dan bebal untuk menyadarinya."Alvaro menelan ludah. "Itu ... mengerikan.""Mengerikan?" Bibir sang guru melengkung, setiap suku katanya penuh dengan hinaan."Yang benar-benar menakutkan adalah kenyataan bahwa kau hidup saat ini tapi sama seka
Malam itu sama sekali tidak bersahabat bagi Jasmin.Menjelang fajar, lingkar matanya menghitam karena lelah. Setiap lembar dokumen yang dia balik terasa makin berat.Dia belum tidur sama sekali. Baru saja hendak memejamkan mata sekejap, ketukan tegas di pintu membuatnya tersentak kembali pada kenyataan."Nona." Suara pelayan tua terdengar dari luar, tenang tetapi mendesak. "Tuan Jumadi bersikeras ingin bertemu denganmu."Tanpa menoleh dari tumpukan berkas, Jasmin menghela napas. "Bersikeras ya? Biar dia menunggu sampai pingsan di luar, aku nggak peduli."Pelayan itu berdeham pelan. "Dia datang untuk urusan resmi, Nona. Dia mengaku mewakili beberapa pemegang saham. Dia juga bilang nggak akan pergi sebelum kau bersedia menemuinya."Bibir Jasmin melengkung sinis. "Khas sekali. Baru dapat secuil kekuasaan sudah merasa bisa masuk seenaknya."Jasmin akhirnya menyingkirkan dokumen-dokumen itu. "Baiklah. Suruh dia masuk. Kalau dia bikin masalah, aku percaya kau bisa menanganinya."Pelayan itu
Celyn berseru riang, melompat kegirangan."Alvaro, dasar bajingan beruntung! Kau nekat menghamburkan 7,5 miliar, dan sekarang hasilnya kembali berkali-kali lipat. Aku nggak nyangka ini benaran benih Akar Verdana!"Bahkan Celyn yang sudah sering melihat harta langka, tak mampu menyembunyikan rasa kagumnya."Aku belum pernah sekalipun melihat benda yang kabarnya bernilai triliunan. Tapi berkat dua orang bodoh ini yang melepasnya, kita jadi bisa dapat ini."Dia menatap Cindy dan Fiona dengan tatapan tak percaya, nada suaranya sedingin es."Seriusan, kalian berdua pantas dapat medali Penjual Paling Tolol Tahun Ini. Aku hampir merasa kasihan kalian melepasnya dengan harga begitu murah."Ucapan itu menusuk tajam, membuat Cindy dan Fiona semakin terpukul.Mereka baru saja membuang harta yang seharusnya bisa memberi mereka kekayaan melampaui impian mereka.Dari samping, kerumunan mulai berbisik penuh rasa penasaran, iri, sekaligus tidak percaya."Aku nggak salah dengar, 'kan? Benih Akar Verdan
Celyn menengadahkan kepala, tertawa begitu keras sampai terdengar di seluruh ruangan. "Tujuh puluh lima miliar hanya untuk sepotong akar busuk? Itu lelucon terbaik yang kudengar tahun ini," ejeknya, matanya berkilat penuh kegembiraan.Dia sama sekali tidak punya simpati untuk Cindy. Dia sudah menunggu saat yang tepat untuk melihat Cindy jatuh dan hancur.Tatapan Cindy begitu tajam seakan bisa membelah baja. "Tutup mulutmu. Sebelum aku yang menutupnya.""Oh, menyeramkan sekali." Celyn mendesah malas sambil menaikkan alis."Coba saja, Sayang. Lihat apa kau bisa mendekat dua langkah dariku tanpa ada tulangmu yang patah."Pipi Cindy memerah padam, dia tampak siap melempar akar layu itu tepat ke wajah Celyn.Fiona yang sadar situasi hanya akan memburuk, segera ikut campur.Dia menampilkan senyum putus asa pada Celyn, seperti orang tenggelam yang meminta pertolongan. "Bu Celyn, kami dari Grup Sarjono, partner kalian di beberapa kerja sama, ingat?""Bukankah kau bilang kau menginginkan Akar V