Katakanlah Sherin, murahan. Namun, dia mengakui hal itu. Tidak peduli toh ia dan Irwan sama gilanya. Awal datang menggebu-gebu karena menuntut kejelasan hubungan mereka setelah ini, Irwan malah memaksa bercinta.Seperti biasa, pergulatan mereka begitu panas. Sama-sama menikmati. Irwan bergerak cepat dan kasar, tapi Sherin bisa mengimbangi ketika berganti posisi. Ruang tamu kediaman orangtua Irwan menjadi saksi bagaimana panasnya kegiatan itu. Desah dan erangan bersahutan sampai pada puncak kenikmatan.Masih dengan nafas terengah dan memejamkan mata, Irwan merebah di sofa. Sedangkan Sherin beranjak memperbaiki penampilan dan pakaiannya.“Gila kamu,” ejek Sherin.“Bukan aku, tapi kita.”“Aku ke sini untuk bahas masalah lain, kenapa ….”“Sudahlah, aku tahu kamu mau ini. Kita sama-sama butuh,” sela Irwan lalu beranjak malas dan memakai kembali celananya.“Lalu, kelanjutan hubungan kita?” tanya Sherin sambil bersedekap.Irwan berdecak malas. “Kamu bisa keluar, bukannya jadi tahanan rumah.”
“Nggak usah nggak enak, nyantai aja. Kalau ada apa-apa hubungi gue ya.”“Iya,” ujar Luna.“Ayo, jangan kelamaan di sini. Nggak enak, sama tetangga.” Ratna menarik lengan Sadam agar gegas meninggalkan unit tersebut.Weekend biasanya Ratna akan pulang ke rumah orangtua, tadinya urung karena akan menemani Luna. Namun, kehadiran Sadam membuatnya khawatir. Saat ini status Luna masih istri Irwan meskipun berniat pisah, tidak ingin menambah masalah untuk sahabatnya itu. Bisa jadi kedekatan Sadam dan Luna diartikan lain oleh orang lain terutama keluarga Irwan. Yang mereka hadapi adalah keluarga toxic.Luna menutup pintu dan menguncinya. Masih harus istirahat pasca keguguran kemarin. Padahal ia kangen dengan Beni dan ibunya. Menonton film mungkin pilihan yang tepat mengusir jenuh. Baru menghidupkan tv ponselnya berdering.“Om Ardan,” ucap Luna.Tidak ada alasan untuk menolak panggilan itu. Bagaimana pun Ardan masih ada urusan dengan keluarganya, bisa dikatakan masih keluarga.“Halo, Om,” sapa
Gusar, itu yang Sherin rasakan. Sudah tidak bisa mengelak dan berbohong lagi. Masalah hubungannya dengan Irwan sudah jelas salah. Ditambah Ardan berada di Jakarta dan Ibu sudah tahu kejadian sebenarnya kenapa ia dan Ardan sampai bercerai. Yang lebih parah, hal yang selama ini dirahasiakan justru Luna yang pertama tahu langsung dari Ardan.“Ardan sudah kamu hubungi?” tanya Ibu sambil mengawasi Beni yang sedang belajar. Sherin baru keluar dari dapur, setelah mencuci peralatan makan malam mereka.“Belum bu.”“Tak usah nanti-nanti. Ardan masih punya niat baik untuk Beni.”“Bagaimana kalau Beni diambil Mas Ardan, bu?”Ibu mematikan tv, tidak ingin apa yang ingin disampaikan terganggu dengan siaran televisi.“Kalau mau Ardan bisa lakukan itu sejak kemarin, saat ia gugat cerai kamu,” jelas Ibu. “Dia punya bukti yang kuat kalau kamu bukan ibu yang baik dan bisa memberikan dampak buruk pada anakmu.”Sherin diam saja, apa yang dikatakan ibunya memang benar. Bahkan Ardan pernah juga mengatakan h
“Gue sarapan di luar ya,” ujar Ratna menunjuk ke arah pintu sambil mengangkat plastik berisi makanan yang tadi dia beli.Tidak ingin menjadi nyamuk dan memberikan kesempatan pada Luna dan Ardan untuk bicara. Bagaimanapun dia orang luar, bisa jadi yang akan dibicarakan adalah rahasia keluarga Luna.Luna hanya mengangguk. Ardan menarik kursi di samping ranjang lalu duduk di sana.“Tidak masalah saya di sini atau saya akan kembali nanti setelah ….”“Tidak masalah,” sahut Luna. “Aku tidak masalah Om Ardan ke sini.”Ardan mengangguk. Keduanya sempat terdiam, Ardan bukan bingung akan bicara apa hanya mencari kalimat yang tepat. Tidak ingin Luna tersinggung atau tidak nyaman.“Aku turut prihatin atas musibah ini,” ucap Ardan.“Hm, terima kasih Om. Mungkin sudah takdirnya begini. Ibu baru pulang tadi pagi, kalau mau bertemu aku bisa hubungi untuk janjian kapan kalian bisa bicara.”“Apa tidak masalah?”“Semua yang om Ardan katakan ibu sudah tahu, aku sudah ceritakan,” tutur Luna.Ardan kembali
Saat tersadar setelah tindakan, Luna sempat menangis dan Ratna berusaha menenangkannya. Entah karena masih dalam pengaruh obat atau memang lelah, akhirnya kembali tertidur.Ratna masih setia menemani, bahkan saat ibu Luna datang. Ia jelaskan secara runtut apa yang terjadi kecuali momen sebelum dia tiba di lobby. Ibu Salamah berterima kasih karena kepedulian Ratna.Menjelang malam Luna akhirnya terjaga, perlahan ia mengerjapkan mata menyesuaikan pandangan dan menatap sekitar.“I-bu,” ucapnya mendapati sang Ibu duduk di samping ranjang.Ibu mendekat, mengusap punggung tangan Luna. Tanpa kata yang terucap, kedua mata berkaca-kaca, tapi perasaan mereka berbicara.“Bu,” ucap Luna lagi lalu tangis keduanya pecah. “Maafkan Luna bu,” ujar Luna setelah cukup lama kedua wanita beda generasi itu mengeluarkan tangisnya.“Kamu tidak salah, jangan minta maaf terus. Ada yang sakit?” tanya Ibu dan Luna menggeleng pelan. “Makan ya, atau minum. Tidur kamu lama loh.” Ibu menuang air ke dalam gelas yang
Di mobil, Sadam dan Ratna bertukar peran. Sadam yang mengemudi, Ratna menemani Luna dikabin tengah. Tujuan mereka tentu saja rumah sakit terdekat. Jalanan lumayan padat karena jam makan siang banyak yang beraktivitas di luar. Luna masih meringis merasakan sakit di perutnya. Ratna tidak mengerti harus bagaimana menenangkan. Melihat darah yang mengalir sudah jelas ada yang masalah dengan kandungan Luna.“Sabar, sebentar lagi sampai,” ujar Ratna. “Sadam, cepetan!”“Ratna,” panggil Luna. Meski keadaannya darurat, tapi Ratna membentak Sadam yang jelas atasan mereka rasanya tidak pantas.“Sudah dekat. Setelah lampu merah di depan,” sahut Sadam. “Luna, kamu jangan tidur. Ratna jangan biarkan dia tidur.”“Lo nggak ngantuk ‘kan?” tanya Ratna. Luna menggeleng pelan.Mobil berbelok memasuki kawasan rumah sakit dan berhenti tepat di depan UGD. Sadam kembali menggendong Luna, Ratna berteriak memanggil petugas yang segera datang mendorong brankar. Sadam membaringkan tubuh Luna dengan pelan dan hat