Hari hari berlalu dengan cepat kehidupan Wening tak lain tak bukan hanya bergulat dengan tiga rumah, rencana untuk membuka usaha harus kandas sebab dirinya tak memiliki modal. Namun, hal itu tidak membuat Wening putus asa baginya saat ini mendapatkan uang adalah hal paling utama mengingat ada Bibi Mirah dan putra semata wayangnya yang harus ia pikirkan.Akan tetapi sesuatu yang membuatnya terpuruk saat ini adalah hasil yang ia dapatkan setelah merasa tubuhnya lelah. "Nak, kamu melamun? Kalau lelah sebaiknya istirahat," Bik Mirah menyentuh pundak Wening, sejak tadi hanya duduk memperhatikan nasi di depannya tanpa berniat untuk memakannya."Ada apa? Katakan sama bibi, jangan di pendam sendiri akan semakin berat nak," Wening menolah sesaat. Benar, tidak mungkin menyimpan sendiri akan menjadi masalah kedepannya."Aku hamil bik,""Apa, kamu hamil nak?" Bibi Mirah syok sekaligus bahagia mendengar kabar yang baru saja ia terima."Masya Allah nak, ini rejeki yang tidak terduga. Bibi bahagia,
Di kantor pria tampan itu terkejut mendengar penuturan asisten pribadinya, mengenai kejadian warung Wening yang terbakar. "Kamu yakin ini karena arus pendek listrik?"Sam membulatkan matanya, berapa kali mencoba mencerna ucapan atasannya yang terasa aneh. Untuk pertama kalinya sang bos bertanya hal yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan."Kondisikan matamu Sam! Tugasmu sekarang cari tahu apa yang –" belum selesai Raffan bicara, tiba tiba pintu terbuka dari luar."Katakan pada mama, mana wanita itu? Kenapa kamu tidak bilang sama mama kalau acara kantor pesan makanan dari wanita itu, katakan Raf?" Vitoria memukul lengan anak lelakinya, bertubi kesal karena terlambat mengetahui jika wanita itu dekat dengannya."Aduh! Mama, duduk dulu ya, Sam ambil kan air minum dingin untuk mama," Raffan, merangkul bahu Ibunya."Mama nggak kepanasan Raffan!""Ya, aku tahu itu mama sayang, tapi mama butuh minum supaya tenggorokan mama nggak keeisng ya, kalau sudah katakan alasan mama mencari wanita
Berapa kali Wening menatap cincin di tangannya, sejak semalam bahkan ia sulit tidur memikirkan hari ini mereka harus makan. Namun uang telah habis."Maafkan aku buk, terpaksa aku menjualnya. Hanya ini harapan aku bisa membeli kebutuhan," lirihnya, melihat wajah tampan putranya. "Mama akan berjuang untukmu nak, meskipun kamu tidak di anggap oleh ayahmu, kamu adalah lentera indah dalam hidup mama. Kehadiran kamu adalah kekuatan untuk wanita rapuh seperti mama. Kelak kamu akan menjadi orang sukses dan waktunya menunjukan siapa kamu sebenarnya." Gumam Wening, setelah itu ia keluar. "Wening kamu sudah bangun nak?" "Bik, aku titip Zion sebentar ya. Aku cari sarapan dulu, bibi sedang apa?" Wening menghampiri bibi Mirah yang ada di dapur."Bib buat teh untuk kita. Duduklah dulu, bibi masih ada makanan untuk Zion," Wening menurut, ia duduk di meja makan."Nak, bibi akan bekerja salah satu rumah itu. Kita bergantian supaya Zion ada yang menemani di rumah," mendengar ucapan Bik Mirah, Wening
Mereka memutuskan untuk pergi dari tempat yang sebenarnya nyaman untuk mereka. Bagi Wening saat ini keselamatan Zion menjadi prioritas utamanya. "Bik, kita di sini dulu ya," Wening berapa kali harus menghapus air mata yang tak kunjung berhenti mengalir. Begitu sulit dan lelahnya berjalan cukup jauh, hatinya tak nyaman melihat Bibi Mirah. Wanita paruh baya yang memilih ikut bersamanya tanpa mendapatkan gaji dan kini harus merasakan lelahnya menyelusuri aspal panas."Ya, nak," napasnya memburu, mereka tidak tahu harus kemana lagi. Uang yang ia dapatkan hanya sisa berapa dan itu cukup untuk makan bertiga. Suara adzan berkumandang, Wening menoleh kearah Zion dan Bibi Mirah berdua memejamkan mata di pos keamanan."Bik, kita shalat dulu yuk. Disana ada masjid, kita sekalian istirahat," lirih Wening."Ah, apa bibi terlalu lama tidur nak?""Nggak bik, yuk kita kesana." Berdua bergantian shalat mereka tidak mungkin meninggalkan Zion yang tertidur. "Bik, sebaiknya bibi pulang kampung. Jangan i
Pagi harinya seperti biasa Wening menjajakan dagangannya, entah kenapa pagi ini hatinya tak tenang. Tidak di pungkiri ancaman Fathan mengusik hatinya. Berapa karyawan kantor mulai berdatangan untuk sarapan, tidak di pungkiri sejak hari itu warungnya selalu ramai oleh karyawan bahkan sampai pedagang lainnya di sekitar tempatnya berjualan. "Mbak tolong bungkus ya," ucap pria tinggi itu. Memindai seluruh warung sayang hak itu tidak di ketahui oleh Wening."I–iya, sebentar." Tangannya cekatan menyiapkan nasi uduk beserta temannya. Tak lupa sendok dan tisu, inilah perbedaan Wening dan warung makan lainnya ia akan menyediakan sendok khusus bagi mereka yang akan makan di tempat kerjanya."Ambil kembaliannya!" ujarnya, tersenyum lembut."Terima kasih, pak," pembeli semakin banyak berdatangan Bibi Mirah membantu menggoreng tahu, tempe dan bakwan. Wening yang sibuk melayani pembeli sedangkan Zion ia asik bermain di sekitar warung.Di tempat yang tidak jauh seseorang tersenyum miring, marah kar
Seperti janji Fathan kemarin, hari ini setelah pulang kerja ia memutuskan untuk mencari tahu keberadaan Wening beserta anaknya. Tidak seperti kemarin kali ini ia mencari tahu sendiri. Senyum licik terukir di bibirnya saat melihat kearah pos keamanan, tahu siapa yang akan ia tanyai agar mudah untuk mengetahui dengan detail. "Wah, pak Fathan. Apa Anda sedang mencari sesuatu?" Seorang satpam menghampiri Fathan yang terlihat mencari sesuatu. "Sebenarnya tidak penting, tapi mengingat istri saya yang sedang ngidam jadi mau tidak mau saya harus mencari tahu," ujarnya dibuat setenang mungkin ia tidak ingin keamanan perusahaan tempatnya bekerja curiga padanya. "Maksud pak Fathan apa ya, kalau boleh saya tahu barangkali saya bisa membantu anda?"Kena, ini yang diinginkan oleh seorang Fathan."Begini barangkali kalian tahu kemarin di acara nasi uduk itu beli di mana? Soalnya istri saya lagi ngidam minta nasi uduk, tapi tidak ada satupun nasi uduk yang cocok sama lidahnya saya ingat kemarin d