Share

5. Bawa Dia Pergi

Author: Rafli123
last update Last Updated: 2025-05-07 21:21:25

Pagi harinya, Fathan bersikap seperti biasa sekarang tidak ada kejadian apapun semalam. Bu Gema, sikapnya yang angkuh dan kebencian pada Wening semakin menjadi, namun lebih menyebalkan di mana Fathan justru diam tanpa merespon apapun tentang permintaannya untuk menghapus nama belakang Zion.

"Kenapa kamu diam saja?" kata Fathan yang tajam memecah keheningan di ruang makan. Wening yang teringat kata-kata Fathan semalam hingga tidak sadar melamun, gebrakan meja membuatnya terkejut, tangannya yang memegang sendok bergetar. Ia tidak tahu apa lagi yang harus ia katakan. Setiap kali Fathan membuka mulut, yang keluar hanyalah kebencian dan tuduhan.

"Aku hanya ingin kita bicara dengan tenang, mas. Tentang Zion tapi yang ada kita– " Suaranya lirih, mencoba meredakan ketegangan yang tak kunjung surut.

Fathan memalingkan wajahnya. "Zion? Anak itu bukan darahku! Keluargaku benar, dia tidak mirip sedikit pun denganku! Kamu lupa apa yang kalian lakukan di acara semalam?"

Kata-kata Fathan menghantam Wening seperti petir. Setiap kali Fathan meragukan Zion, hatinya terasa hancur. Anak yang dilahirkannya dengan penuh cinta kini menjadi alasan kebencian dalam pernikahannya.

"Apa kamu tak ingat, mas? Kita pernah begitu bahagia saat menantikan kelahirannya," Wening berusaha mengingatkan Fathan akan masa-masa bahagia mereka dulu, tetapi Fathan hanya menatapnya dengan dingin.

"Itu dulu. Sebelum aku melihat kenyataan!" Fathan bangkit dari kursinya, berjalan mondar-mandir di depan Wening. "Keluargaku sudah bilang dari awal, Zion bukan anakku. Dia tidak mirip denganku! Kau pasti selingkuh!"

"Mas, demi Tuhan, aku tak pernah mengkhianatimu," jawab Wening dengan suara bergetar. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, tapi ia menahannya. Ia tidak ingin terlihat lemah, meskipun kenyataannya ia sudah hampir tidak kuat menahan rasa sakit ini.

Fathan mengabaikan kata-kata Wening, matanya menyala dengan kemarahan. "Jangan pura-pura! Keluargaku semua tahu. Ibuku, adikku, bahkan tanteku semua melihatnya. Kamu tidak bisa membohongi mereka."

Wening terdiam, tenggelam dalam keheningan yang menyakitkan. Ia ingat betul bagaimana dulu Ibu mertuanya memperlakukan dirinya. Di awal pernikahan, Wening masih merasa diterima, meski ada beberapa sikap sinis yang ditunjukkan Ibu Fathan. Namun, sejak Zion lahir, semuanya berubah.

Ketika pertama kali Ibu mertua menyebut Zion, "anak tak sah," Wening merasa dunianya runtuh. Tuduhan itu tidak hanya datang dari ibu mertuanya, tapi juga dari tante dan keluarga besar Fathan. Mereka semua bersatu padu memusuhi Wening dan anaknya.

"Zion tidak mirip Fathan sedikit pun. Wajahnya lebih menyerupai keluargamu, Wening. Bagaimana bisa begitu? Tapi kalau di lihat bukan dari keluargamu saja tapi juga dari ayah biologis Zion!" Pertanyaan penuh racun itu selalu terngiang di telinga Wening. Ibu mertuanya selalu menciptakan alasan baru untuk merendahkannya. Setiap kali Fathan berada di rumah, mereka menjelek-jelekkan Wening, menuduhnya melakukan dosa besar.

"Apa kamu tidak kasihan pada Zion? Dia anak kita!" Wening berseru, suaranya naik beberapa oktaf, tak mampu lagi menahan emosi yang bergejolak.

Fathan menggelengkan kepala, ekspresinya dingin. "Kita? Kamu yang melahirkan dia, bukan aku. Aku tidak yakin dia anakku, Wening. Keluargaku juga tidak percaya."

Air mata yang ditahan Wening akhirnya mengalir deras di pipinya. Ia tidak tahu lagi apa yang bisa ia lakukan untuk membela dirinya dan anaknya. "Aku sudah menyerahkan seluruh hidupku untukmu, mas. Aku abdikan semua, mempercayakan segalanya padamu. Tapi lihatlah, ini balasannya?" ucap Wening dengan nada putus asa.

"Kalau kamu tidak senang, kamu tahu pintunya ada di sana," Fathan menunjuk ke arah pintu dengan nada dingin.

Kata-kata Fathan kembali menusuk hati Wening. Di titik ini, ia sadar bahwa Fathan sudah bukan lagi suaminya yang dulu. Fathan yang penuh cinta dan perhatian telah berubah menjadi pria yang tak ia kenali lagi. Ia melihat Fathan yang sekarang sebagai orang asing, orang yang lebih memilih keluarganya daripada istri dan anaknya sendiri.

"Apa ini yang kamu inginkan? Mengusirku dan Zion, mas?" tanya Wening, suaranya bergetar. "Kamu benar-benar tega, mas?"

Fathan tidak menjawab, tetapi tatapan matanya cukup untuk memberikan jawaban yang menyakitkan.

_

_

Di tengah kesunyian yang menyakitkan itu, bayangan kejadian pagi di meja makan terus mengusik Wening. Lamunan panjang getir kehidupan yang terus di rasakan, haruskah menyerah? Lalu bagaimana bagaimana dengan masa depan Zion? Wening belum siap untuk memikirkan gelapnya masa depan Zion, dan kurangnya kasih sayang dari ayah kandungnya meski kenyataannya memang tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari Fathan sedikit pun.

Suara tangis Zion terdengar dari kamar sebelah menyadarkan Wening dengan lamunan panjang. Wening bangkit, mengusap air matanya dan bergegas menuju kamar anaknya. Zion terbangun dari tidurnya, terguncang oleh perasaan yang ia sendiri tidak mengerti. Mungkin, meski masih sangat kecil, Zion bisa merasakan ketegangan yang terus terjadi antara kedua orang tuanya.

Wening menggendong Zion, memeluknya erat. "Mama di sini, Nak, mama akan tetak berada di samping Zion. Mama pastikan itu, tidak ada yang bisa memisahkan kita," bisiknya dengan lembut, meskipun hatinya penuh kesedihan. Wening tahu bahwa ia harus segera mengambil keputusan. Ia tidak bisa terus hidup dalam situasi yang penuh kebencian ini. Zion dan keluarganya sudah merusak semuanya.

Namun, meninggalkan Fathan bukan keputusan yang mudah. Di satu sisi, ia ingin bertahan demi Zion, berharap Fathan suatu hari bisa berubah dan menerima mereka kembali. Namun di sisi lain, Wening tahu bahwa harapan itu semakin hari semakin tipis. Setiap hari yang dilaluinya bersama Zion hanya dipenuhi dengan caci maki dan tuduhan.

"Jika kamu tetap mempertahankan anak itu. Sebaiknya kamu pergi, bawa dia pergi dari sini. Aku tidak bisa melihat wajahnya, wajah pengkhianatan kamu dengan pria sialan itu tidak bisa di toler lagi! Pergilah dari sini, jika kamu ingin mempertahankan anak sialan itu!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ambil Suamiku, tapi Jangan Sakiti Anakku!   43. Ending

    Tiga bulan setelah hari itu, kini Zion tidak lagi memikirkan siapapun. Keluarga baru ibunya dan kehidupan pribadinya adalah satu hal terpenting dan utama untuknya. Mengenai perempuan yang ia lihat di pemakaman, Zion memilih untuk menutupinya dari ibunya. Sebagai seorang anak, Zion tak ingin melibatkan ibunya terlebih masa lalu yang tidak seharusnya di ingat. Senja menyelimuti langit Jakarta, menciptakan gradasi jingga dan emas yang memantul pada dinding kaca gedung pernikahan megah itu. Lampu-lampu kristal berkilau di langit-langit, menggantung bagaikan bintang yang jatuh ke bumi. Musik orkestra lembut mengalun, menyatu dengan aroma bunga mawar putih yang menghiasi setiap sudut ruangan.Zion berdiri tegak, gagah dalam balutan jas putih elegan. Wajahnya tenang namun mata itu tak bisa menyembunyikan kebahagiaan yang meluap. Di hadapannya, berjalan anggun dalam gaun pengantin panjang berpayet kristal, Tasya Kamila—sosok yang menjadi jawaban doa panjangnya. Tepuk tangan tamu mengiringi l

  • Ambil Suamiku, tapi Jangan Sakiti Anakku!   42. Memaafkan

    Tubuh Zion menegang, wajahnya seketika berubah. Kabar yang baru saja ia dengar mampu membuat dirinya terdiam. Matanya terpejam mengingat bagaimana sikap ayah kandungnya yang dengan sengaja menorehkan luka begitu dalam. Luka yang hingga kini masih menganga. Jemarinya yang memegang buku harian itu bergetar hebat. Setiap huruf yang tertulis di halaman itu seperti anak panah yang menghujam ke dadanya. Nafasnya terasa sesak, seakan dunia menutup dirinya dalam ruang hampa udara.Teruntuk anakku Zion Putra Byantara...Maafkan Ayah, Nak. Jika dulu Ayah terlalu angkuh untuk mengakui darah daging sendiri. Ayah menyesal. Tapi penyesalan ini datang terlambat. Ayah ingin memelukmu, meski sekali saja, sebelum Tuhan memanggil Ayah pulang.Zion menggigit bibirnya hingga terasa asin darah. Ingatan itu datang bertubi-tubi, seperti film yang diputar tanpa henti—suara tangisan ibunya yang dipaksa pergi, wajah Wening yang menahan sakit ketika Fathan menikahi sahabat dekatnya, dan dirinya, seorang bocah k

  • Ambil Suamiku, tapi Jangan Sakiti Anakku!   41. Surat Wasiat

    Tubuh lemah itu terbaring di tempat tidur pasien. Fathan tidak menyangka jika tubuhnya lemah, saat dirinya ingin mengejar maaf dari darah dagingnya yang pernah ia tolak. "Tuan, anda sudah sadar? Apa yang anda rasakan?" Remon, asisten pribadinya menjaga pria lemah itu khawatir. "Apa aku pingsan, lagi? Ah, aku akan menemui anakku Re, aku takut waktuku tidak cukup," ujar Fathan, berusaha untuk bangkit. Namun dengan sigap Remon menahan tubuh itu. "Anda baru sadar, setelah seminggu tidak sadarkan diri. Dan sekarang anda ingin pergi? Tunggu tubuh anda fit lebih dulu, anda bisa menemui den Zion," sahut Remon. Tahu bagaimana perjuangan bosnya yang tengah mengejar maaf dari Zion dan mantan istrinya. Fathan menatap langit-langit ruangan putih itu, matanya berkaca-kaca. Nafasnya berat, dan selang oksigen yang menempel di hidungnya membuatnya merasa semakin rapuh. “Seminggu? Aku kehilangan waktu selama itu? Apa Zion datang ke sini?" Suaranya lirih, seolah setiap kata adalah beban. Ia memejam

  • Ambil Suamiku, tapi Jangan Sakiti Anakku!   40. Penyesalan

    Selepas kepergian Fathan, kini di ruang kerja Wening berubah hening. Terlebih Zion yang tiba-tiba datang membuat mereka memilih bungkam atas kehadiran Fathan sebelumnya."Sayang, aku serahkan keputusan ini padamu dan Zion. Kalian yang memiliki hak itu semua, sebagai ayah dan suami, aku ingin yang terbaik untuk kalian. Bicarakan berlahan dengan Zion, aku percaya anak kita adalah anak yang baik dan bertanggung jawab. Dia tahu mana pantas untuk bersikap, sudahlah kamu jangan risau." Raffan memeluk pinggang Wening, wanita yang amat ia cintai. "Ya mas, aku tahu itu. Sudah waktunya untuk bertemu," lirihnya., tak lama Zion bergabung bersama mereka. [Assalamualaikum Wening, maafkan ibu. Maafkan semua kesalahan ibuku. Aku sebagai anak mewakili, sekaligus meminta kamu dan Zion untuk membuka hati atas kesalahan yang kamu berbuat. Wening, ibu sudah tidak ada.] Terkirim, Wening terkejut bukan main membaca pesan yang di kirim Fathan padanya."Ada apa sayang?" tanya Raffan, melihat gelagat istriny

  • Ambil Suamiku, tapi Jangan Sakiti Anakku!   39. Hanya Mantan

    Hari berikutnya, senja baru saja menggantung di langit saat Fathan melangkah masuk ke sebuah restoran kecil namun nyaman di sudut kota. Restoran milik Wening. Tempat yang beberapa tahun terakhir menjadi saksi bagaimana wanita itu membangun hidupnya dari luka dan puing masa lalu.Wening tengah berdiri di balik meja kebesarannya, penampilannya yang elegan menunjukan bagaimana dirinya yang sebenarnya. Meski penampilan sederhana tak menutup siapa Wening sebenarnya."Wening..." suara Fathan terdengar berat namun pelan. Seolah ia takut wanita itu akan pergi jika ia bicara terlalu keras.Wening tidak langsung merespons. Tatapannya hanya mengeras, penuh pertahanan."Kalau kau datang untuk membicarakan proyek, aku sedang tidak tertarik. Aku tidak ingin terlibat apa pun lagi denganmu, apalagi di luar bisnis," ucapnya datar, lalu hendak berbalik."Tunggu, Wening! Aku tidak datang untuk itu. Aku hanya ingin bicara. Bukan sebagai rekan kerja. Tapi sebagai, seseorang yang sudah terlalu lama memenda

  • Ambil Suamiku, tapi Jangan Sakiti Anakku!   38. Pertemuan Pertama

    Dua puluh tahun kemudian, Wening tengah sibuk membantu berapa karyawannya yang sibuk. Pengunjung membludak membuat mereka kekurangan tenaga, tidak ada yang tidak sibuk hari itu.Tanpa di sadari, dari jauh seseorang begitu intens menatap restoran miliknya. Satu jam berlalu dan Wening baru bisa mendudukkan tubuhnya."Setelah ini kalian tutup saja ya, bahan makanan sudah habis. Alhamdulillah hari ini luar bisa buat kita." Ucapnya tidak hentinya bersyukur."Ibu, benar. Sejak adanya menu baru restoran ini semakin ramai dan juga semakin banyak orderan," sahut salah satu waiters."Sudah, kalian selesaikan semua? Kita akan tutup secepatnya." Berapa watres kembali sibuk. Wening, mengingat hari ini ada janji temu dengan keluarga di salah satu tempat makan favorit keluarganya,"Langkah anggunnya menuju ke mobil, begitu sibuk dengan ponselnya sehingga tanpa sadar tubuhnya bertabrakan dengan seseorang.Brakk!!"Maaf, aku tidak ...," Wening terdiam, menatap tidak percaya pria yang di depannya. Pri

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status