Duduk santai di rooftop sambil senyum-senyum. Luis tampak santai walau George berteriak memanggilnya dari depan ruang administrasi, ada tamu check in, minta dibawakan barang. Ia tidak pernah nampak sebahagia itu sebelumnya, terlihat tidak biasa hari ini. Padahal sebelum pergi ziarah ia masih mengeluh soal rumah dan tidak ikhlas bekerja cuma-cuma.Apa ini efek berziarah? Tentu bukan, ini efek uang. Ya, lagi-lagi. Sehabis berjumpa dengan sang ibunda, Luis diajak pergi menuju bank terdekat untuk membuka rekening atas nama pribadinya. Sebagai sarana menuruti keinginan Luis."Katakan saja permintaanmu. Apa yang kau inginkan?" tanya Thalia sebelumnya, hendak menebus kesalahan telah meninggalkan Luis selama bertahun-tahun."Yang kuinginkan?" Luis sangat memanfaatkan kesempatan emas tersebut. Kalau dilihat-lihat, gaya berpakaian Thalia mulai dari dress, sepatu hak, serta perhiasan di telinga, leher, dan pergelangan tangan. Oh, jangan lupakan cincin-cincin di jarinya, semua terlihat mahal dan
Dua minggu telah berlalu, masa skorsing sudah berakhir. Luis kembali ke sekolah dengan penuh percaya diri, makin berlagak. Berjalan penuh pesona di koridor sekolah, merasa diri paling jago seantero SMA. Ia tersenyum miring memerhatikan murid-murid di koridor yang minggir ketika dia lewat. Tidak ada yang sanggup mengalahkan pamor Luis, meningkat seribu persen. Siapa yang berani macam-macam lagi dengannya? Anak pemilik sekolah saja berhasil dibantai, bagaimana dengan murid-murid lain? Tidak, mereka memilih kabur alih-alih harus saingan dengan si jagoan baru demi menghindari masalah. Mata pelajaran sudah cukup membebani para murid, jangan ditambah dengan persaingan pamor.Masa-masa indah mengiringi hidup Luis, bisa dibilang, kehidupannya berada pada tingkat maksimal. Prestasi akademik di sekolah, tidak ada yang berani membuat masalah, George menaikkan gajinya walau sedikit—sangat sedikit. Hubungan asmaranya pun lancar, komunikasi jalan terus tanpa putus. Surat-surat dan telepon datang be
Dua keluarga masih bersatu di meja bundar pada acara makan malam para pemuka kota. Orang-orang kelas atas, para sosok terpandang, berkumpul di ruangan yang sama. Masing-masing dari mereka memamerkan apa yang bisa dipamerkan, mulai dari pakaian branded, perhiasan, jabatan, bahkan prestasi keturunan mereka.Begitu pula Imelda, istri Dean yang bergelar walikota saat ini. "... Sayangnya Ed tidak mau menyusul kakaknya belajar ilmu teknologi di Jerman. Dia akan kuliah di dalam negeri saja."Luis tersenyum sinis. Kalau Edward dilepas di negeri itu, bisa-bisa menjadi Hitler kedua. Sepersekian detik kemudian, Luis menyanggah pendapatnya. Hitler itu orang hebat meski kejam, sementara Edward tidaklah memiliki dua sifat tersebut. Edward menjadi tidak terkalahkan berkat geng yang terpaksa ikut gara-gara pamor yang ia sandang sebagai anak pemilik sekolah, harus disegani.Saat Luis sedang sibuk berpendapat tentang Edward di dalam pikirannya, Imelda tiba-tiba mengajukan pertanyaan, "Bagaimana sekolah
"Uang? Untuk apa?" Thalia ingin terkejut tatkala George bilang butuh pinjaman. Namun, itulah George, orang yang selalu bermasalah dalam keuangan. Jadi, sudah tidak kaget lagi. "Aku perlu dana segar untuk bisnis. Jangan takut, aku punya aset sebagai jaminan.""Aset yang kau maksud, bangunan motelmu?""Iya. Hanya itu.""Hmm, tidak! Aku bukan pabrik uang! Kalau mau cari pinjaman, kau bisa ajukan kredit di bank.""Itu maksudku, tolonglah, katakan pada suamimu untuk mencairkan pinjaman untukku. Kau bisa, kan?" bujuk George. "Aku tahu suamimu seorang bankir.""Pasti Luis yang bilang. Huh, berapa yang kau butuhkan?""Satu juta.""Satu juta?!" sontak Thalia."Ayolah, pasti bisa! Minta suamimu untuk tanda tangan, itu saja.""Jumlah itu keterlaluan! Bagaimana jika kau tidak bisa membayar? Belum bunganya.""Tolonglah, aku sedang berusaha mengembangkan bisnis. Aku tidak ingin Luis menyaksikan ayahnya bangkrut. Aku tidak sudi dia menghinaku lagi, Thalia."Thalia masih bergeleng."Bantu aku, Thal.
"Emma!" Suara itu terdengar menggembirakan di telinga Emma. Luis memanggilnya dengan nada riang. Ia sangat terkejut berkat kehadiran sang kekasih yang mendadak. "Kau tidak bilang kalau kau akan datang!"Emma tersenyum menampakkan gigi, rasanya ingin sekali memeluk Luis. Namun, George menatap sinis ke arah mereka."Kejutan ...," gurau Emma.Luis merasa butuh menghabiskan waktu berdua bersama Emma. Namun, orang tua di antara mereka eksistensinya sangat mengganggu. "Bagaimana cara membuat dia pergi?""Em, ayo, kita bertemu teman-temanmu!" Luis lantas menarik lengan Emma tanpa permisi. Sengaja melakukannya guna menghindari George. Orang tua itu ditinggalkan begitu saja, ia mematung di tempat mengamati putranya pergi dengan gadis yang paling tidak George sukai.Sementara itu, Luis membawa Emma kepada kumpulan teman-temannya yang hari ini wisuda. Andai Emma tidak drop out, ia juga pasti ikut bersuka cita. Luis khawatir akan perasaan Emma, gadis itu pasti terluka. Terlihat dari tatapannya ya
Emma bangun pagi-pagi buta. Seluruh tubuhnya terasa pegal akibat bermanja-manja semalam. Sial, kalau kondisinya seperti ini bagaimana mau kerja? Belum sampai tempat saja sudah kelelahan. Perasaannya terbelah antara menyesal dan tidak menyesal. Bukan menyesal sebab sesuatu teristimewanya telah lenyap, ia menyesal mengapa tidak dari dulu dilakukan. Ternyata sensasinya lebih baik dari perkiraan kendati menyakitkan. Sakit, tapi menyenangkan. Kesan yang aneh.Emma telah selesai mandi dan berpakaian lengkap ketika Luis membuka mata tak rela. "Kau sudah rapi?""Aku harus bergegas.""Kurasa hari ini kau perlu izin lagi karena sakit," gurau Luis di tempat tidur. Dadanya dibiarkan terumbar, beruntung selimut menutupi sebagian tubuhnya."Cukup bersenang-senangnya. Ada kewajiban yang harus dilaksanakan!""Aku antar kau pulang.""Tempatku jauh, Luis. Kau akan lelah.""Kau juga lelah, Em. Tidak masalah, kita sama-sama lelah. Jangan membantah, anggap saja ini sebagai sedikit tebusan."Emma menghela
Luis menempuh tingkat pendidikan baru. Kata orang-orang ini tingkatan prestisius bagi seorang pelajar, memasuki masa-masa kuliah. Belajar di universitas acapkali membuat kebanggan sebagian orang membumbung tinggi. Katanya mahasiswa itu berada di level lain dalam dunia pendidikan, katanya mereka itu golongan pintar dan cerdas, apalagi kalau sampai mendapatkan gelar paling tinggi. Motivasi sesungguhnya di balik keputusan Luis meningkatkan jenjang pendidikannya lebih kepada pride itu sendiri. Kalau cuma ilmu bisnis, ayahnya lulusan SMA bisa membangun bisnis—bermodal cara licik. Harapannya usai lulus, Luis bisa membangun bisnisnya dengan cara bermartabat.Ia bertemu seorang mahasiswa yang bisa dibilang satu frekuensi. Abraham Lincoln, tapi dia bukan mantan presiden negeri Paman Sam. Abra—nama panggilannya, juga bukan sosok humanis. Ibunya terlalu mengidolakan sang bapak bangsa sampai terlalu berharap anaknya bisa sehebat sang legenda. Abra terbilang hebat, kok. Ia anak seorang pengusaha p
Dear Luis,Maaf, aku tidak pernah meneleponmu lagi. Kau pasti menunggu kabarku hampir sebulan terakhir ini. Pesawat telepon di rumah bibiku rusak. Jadi, kita berkomunikasi seperti dulu lagi, ya. Surat-menyurat memang cara efektif, tapi tidak juga, perlu waktu lama untuk menerima balasan darimu. Aku merindukan suaramu, Luis. Aku rindu sekali. Aku sedang berusaha mencari kesempatan untuk bisa meneleponmu. Ada telepon umum di blok tempat tinggalku. Namun, aku selalu tidak sempat. Bibi tidak mengizinkanku keluar malam. Siang hari juga tidak bisa pergi bebas.Lupakan soal kesulitan hidupku, bagaimana kuliahmu? Kuharap kau tidak kehilangan semangat sebab semester masih panjang. Aku bersyukur kau tidak mengalami perundungan lagi seperti waktu SMA. Kondisi hidup mengubah semuanya, syukurlah keadaanmu semakin baik.Lu, tidak banyak yang bisa kuungkapkan. Aku hanya ingin bilang betapa aku sangat merindukan dirimu. Kalau sempat, datanglah kemari. Aku tidak memaksa, tapi sudah lama kita tidak men