Share

  Ambisi Tuan CEO
Ambisi Tuan CEO
Penulis: Ochel Fuadi

1. Putus

"Kita putus!"

Setelah menunggu cukup lama sang kekasih membuka suara, Shira menganga atas penuturan Farel. Dada Shira terasa sesak, seolah ada peluru yang menembus masuk ke dalamnya. Wanita bermata hazel itu hampir saja menitikkan bulir kesedihan. Bagaimana tidak, karena seminggu lagi mereka akan menikah, dan undangan telah tersebar. 

"K-kenapa? Lalu pernikahan kita bagaimana?" 

Farel mendesah. Dalam nafasnya, ada rasa berat yang tak bisa diungkapkan dalam satu tarikan nafas.  Namun, dia harus mengatakan itu.

"Batal!"

Shira benar-benar tak habis pikir pada lelaki yang sudah menjadi tunangannya selama setahun tersebut. Begitu mudahnya Farel membatalkan pernikahan impiannya. Padahal, Shira tahu betul bagaimana Farel memperjuangkannya sejak di bangku perkuliahan dulu. Yang jelas, untuk sampai di tahap itu, semuanya butuh proses yang tidak mudah. 

"Katakan! Alasannya kenapa?"

Runtuh sudah pertahanan Shira. Tangisnya seketika pecah, bersamaan dengan gemuruh dalam hati yang membuat wajahnya panas menahan air mata. Tetapi tetap saja Shira lemah, siapa wanita yang tidak akan menangis jika di hadapkan pada posisi itu.

"Aku masih ingin sendiri, aku belum siap menikah," tandas Farel. 

Shira menelisik wajah kekasihnya yang berkata tanpa beban. Dia seolah melihat diri lain pada pribadi Farel. Biasanya, Farel akan dengan sigap  menghapus air mata Shira ketika bersedih, dia akan menenangkan dengan pelukan, dan kata-kata romantis yang menyejukkan. Tetapi kali ini, Farel begitu tega. 

"Alasanmu tidak masuk akal! Kalau kamu memang belum siap menikah, kenapa begitu sengat memperjuangkanku dan meyakinkan orang tuaku dengan begitu gigih? Orang tuamu juga sudah sangat setuju dengan pernikahan kita. Tolong ... beri aku alasan yang jelas!" cecar Shira.

Farel menunduk. Rasanya ia telah menjadi lelaki terjahat saat ini. Dia sungguh tidak bisa melihat wanita tercantiknya terluka, apa lagi karena dirinya. 

"Katakan, Farel! Kalau ada yang salah dariku, aku minta maaf. Tapi tolong kasih tahu alasanmu kenapa membatalkan pernikahan kita yang tinggal menghitung hari?"

"Tidak ada yang salah darimu, Shira."

"Terus apa?"

"Kamu terlalu baik untuk aku."

"Jawabanmu klise, Farel. Tolong jawablah dengan jujur!"

"Aku sudah tidak mencintaimu!"

Sekuat hati Farel mengatakan itu. Kalimat yang sangat menyakitkan untuk keduanya telah terlontar begitu tajam dari mulut Farel. 

Shira menyandarkan punggungnya pada kursi. Jika ia berdiri saat ini, mungkin akan terjatuh karena tulang dalam tubuhnya tidak bisa menopang karena terlalu lemas.

"Kamu bohong ... kamu ...," 

Shira tak kuat melanjutkan ucapannya, semuanya terjeda dalam tenggorokan yang terasa kian nyeri. Ia lebih sibuk menghapus air mata dan mengatur nafas yang memburu.

Farel mendongak, menatap Shira dengan segala kesempurnaannya. "Maafkan aku, Shira. Dalam seminggu ini aku merasa hubungan kita hambar, itu sebabnya akhir-akhir ini aku selalu menolak jika kamu mengajak aku jalan. Dan baru sadar ... aku sudah tidak mencintaimu lagi."

"Sejak kapan?"

"Entahlah ... aku tidak tahu pasti. Yang jelas, sudah cukup lama."

"Apa kamu tidak ingin memikirkannya lagi?"

"Tidak, tekadku sudah bulat. Aku tidak mau menikahi wanita yang berawal dari sebuah pertaruhan."

Mata Shira memicing. "Maksudmu? Pertaruhan apa?"

"Baiklah aku kujur. Dulu, aku, Aldo, Smith, dan Rama bertaruh untuk bisa mendapatkan para mahasiswi populer untuk dijadikan kekasih, siapa di antara aku dan mereka yang paling lama hubungannya dengan pacar masing-masing, dialah pemenangnya yang akan mendapatkan uang dua miliar. Jika hampir sampai ke titik pernikahan lalu berani membatalkannya, bertambah jadi tiga miliar."

Shira menganga. "Jadi aku ini taruhanmu? Demi uang?"

"Seperti yang kamu dengar barusan!"

Tak ada lagi percakapan setelah itu. Mereka berdua lebih memilih menata hati, Shira dengan segala kebingungan serta rasa nelangsa, dan Farel dengan kebohongan pengakuannya. Sementara, orang lain yang satu restoran dengan mereka, hanya bisa menjadi penonton pada dua insan yang asmaranya telah terpatahkan. 

"Aku pamit. Kamu baik-baik di sini."

Ucapan Farel memecah keheningan di antara keduanya. Sejenak ia terdiam, sebelum akhirnya pergi meninggalkan Shira yang kini duduk seorang diri. 

Namun Shira tak ingin menerima keputusan Farel begitu saja. Ia putuskan untuk mengejar lelaki bertubuh tinggi itu dengan tenaga yang tersisa. 

"Farel! ... tunggu!"

Farel sudah masuk mobil siap meninggalkan area restoran di Jakarta. Meninggalkan kekasihnya, meninggalkan cinta yang masih membekas rapi di pelabuhannya. Semua kenangan yang ada di kota itu, akan tetap terpatri indah walau harus pergi jauh sekian mil. 

Farel Terkejut, saat Shira mengetuk-ngetuk kaca mobil dengan memanggil-manggil namanya. Entahlah yang akan dia katakan, yang jelas Farel sudah tidak sanggup lagi melihat terpukulnya wujud dari separuh jiwanya itu. 

"Aku tahu kamu, Farel. Pasti ada yang disembunyikan dari aku. Kamu pasti bohong bilang kalau sudah tidak mencintaiku lagi dan menjadikanku sebagai taruhan ..., kamu bohong!"

"Kamu bohong, Farel!!"

Shira meracau seraya terus mengetuk kaca mobil yang tak kunjung dibuka oleh Farel. Tak peduli tatapan orang-orang di sekitarnya, Shira hanya ingin Farel tidak membatalkan pernikahannya. 

Sementara di dalam mobil, Farel menoleh ke arah jendela. Melihat telapak tangan yang menempel di baliknya. Ada cincin bersejarah yang tersemat indah di jari manis sana. Sedangkan pemiliknya, menunduk lesu berurai sendu. Kabut di matanya membuat hati Farel semakin teriris pilu. 

"Dibuka saja, Mas. Kasihan." Saran sang sopir yang menatap tak tega pada kekasih majikannya. 

Farel hanya terdiam. Sebelum akhirnya memberi intrufsi pada sopirnya untuk menjalankan kemudi. 

Shira tersungkur dengan isak yang semakin menjadi, kedua lututnya pun berhasil menyentuh aspal. Tak ia rasakan, lututnya berdarah karena goresan cukup keras. Ternyata Farel benar-benar pergi, tanpa mempedulikan  panggilannya.

"Kamu tega, Farel!" lirih Shira, seraya mata terus menatap kuda besi nan jauh di sana, yang semakin jauh dari pandangan. 

***

Sore harinya, di rumah sederhana yang asri, David—ayahnya Shira menyibak gorden saat terdengar deru motor, masuk ke pelataran rumah. Dia melihat puterinya dengan mata sembab dan berjalan tanpa semangat. Ibunya yang melihat kedatangannya pun langsung memeluk erat untuk menenangkan. 

"Kamu yang sabar ya, Sayang. Mungkin Farel memang bukan jodoh kamu," ucap Angeline usai memeluknya. 

"Ibu? sudah tahu kalau Farel ...," Shira tak melanjutkan ucapannya.

Angeline mengangguk seraya mengusap rambut hitam puterinya. "Iya, Ibu dan Ayah sudah tahu, tadi Farel menelvon Ibu."

Entahlah. Shira hanya melengos pergi, menghindar dari apa pun untuk sekadar menenangkan hati di kamarnya. Keputusan Farel yang tiba-tiba seperti sudah direncanakan. Saat dilihatnya layar ponsel, ternyata Farel sudah memblokir kontaknya. Ternyata secepat itu dia melupakan semua yang telah berlalu, padahal Shira hanya ingin memberi pesan. Untuk terakhir kalinya.

 

Shira yang tengah merebahkan tubuh mendengar sedikit keributan di luar kamarnya. Itu suara orang tuanya yang membahas gagalnya pernikahan. 

"Dari dulu juga aku tidak setuju anak kita bergaul dengan lelaki itu. Mentang-mentang sudah kaya, meninggalkan anak kita begitu saja. Berani-beraninya lelaki tak tahu diri itu mencoreng tanda hitam di mukaku. Harga diri kita benar-benar diinjak, Angeline!"

 

Itu suara ayahnya. Sangat murka.

"Tenang, David. Aku juga menyesal telah memberi restu pada lelaki itu. Aku juga malu, dan yang harus kita pikirkan sekarang adalah bagaimana memberi tahu semua orang kalau pernikahan anak kita batal?"

David melempar majalah ke sofa. Dia sendiri bingung harus melakukan apa untuk pernikahan puterinya

 "Arrrggh!! Ini semua salahmu, kamu terlalu lembek karena begitu cepat memberi restu!"

"Kenapa giliran kejadiannya seperti ini hanya aku yang kamu salahkan?"

"Jelas, karena dulu kamu menolak untuk aku menjodohkan Shira dengan anak teman lamaku yang sudah jelas-jelas tahu bibit bebet bobotnya! Ingat soal itu?"

"Tapi Shira sendiri tidak mau, David! Apa kamu mau menambah beban Shira dengan menikahi orang yang tidak dicintainya?"

"Bagaimana Shira bisa cinta kalau kamu saja menutup pintu rapat rapat untuk mendatangkan Mario di rumah ini hanya karena Shira sudah menjalin hubungan dengan lelaki brengsek itu?"

"Lalu maksudmu kamu mengizinkan Shira memiliki hubungan dengan dua pria sekaligus? Kalau begitu apa bedanya, berarti kamu mencap anakmu sendiri sebagai perempuan murahan?"

"Bukan itu maksudku, Angeline!"

Mereka berdua sampai tidak sadar ada yang memperhatikan di luar jendela, mendengarkan perdebatan yang menurutnya patut diapresiasi sebagai keberhasilan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status