Seseorang pernah berkata kepadaku, tulislah jika ingin menulis.
Semua cerita bisa kamu tuangkan dalam sebuah bentuk tulisan yang kamu ciptakan, tak terkecuali peristiwa serta kejadian yang pernah dialami.
Lambat laun manusia pasti akan menua. Dalam artian bukan tua, melainkan mereka tumbuh menjadi pribadi kuat.
Dimana kuat bertempur dalam lingkungan pergaulan baru, kuat menghadapi masalah, serta kuat menerimanya, begitupun hal semacam lainnya.
Setiap kisah selalu punya makna.
“Genggam pena catat peristiwa”
Begitulah kalimat spontanitas yang dilontarkan pemuda-pemudi yang jauh kulihat namun bisa ku pandang wujudnya, dilihatnya sambil membawa bendera kebangsaannya.
Semangatnya 45, teriaknya sungguh menembus gendang telingaku. Kalau saja pisau yang menjadi deskripsi sebuah teriakan itu, mungkin ku sudah tertusuk.
Dan cerita pun berakhir.
Terbesit dalam sanubariku, ada hal ganjal dingatan.
Bukan mereka, namun seseorang di sebrang jalan yang memisah dari kerumunan pemuda-pemudi itu.
Dia melihatku sedari tadi, Seketika gerak tubuhku menyuruh menghampirinya. Sekedar bertanya tak masalah, tetapi bukan diriku jika mempunyai nyali seperti itu.
Sejenak ku berpikir, bagaimana bisa sesuatu pikiran tercipta muncul tetapi terasa tak asing di ingatan?
“mau ketoprak?”, kini orang tersebut yang menghampiri jadinya.
“emang gua kek tampang kelaperan, ada racun ya”.
“astagfirullah, saya hanya menawarkan ketoprak bukan minta kamu makan ketoprak saya”, Jawabnya lembut,
selembut bahan pelembut pakaian Bunda di rumah.
“tapi saya tidak kenal anda tuan”.
“Zain panggilan jenjen, itulah kau?”.
Bagaimana bisa dia mengetahui namaku, julukan yang seharusnya diketahui orang terdekat malah dia tahu. Siapa dia?
“tuan ini peramal ya? Jangan tatap mata saya om, entar ketauan berbagai masalah saya, nanti om pusing sendiri”, Candaku.
“ini sulit untuk dimengerti ku paham, tapi harus ku selesaikan kalimat ini bahwa aku itu adalah kamu di masa lalu”, bicaranya serius seperti layaknya motivator yang menasehati pengikutnya dan aku tertegun mendengarnya.
“wah wahh, bapack pasien rsj ya, imajinasinya melayang-layang di udara pak”.
“saya Fathurahman, panggil saja Fathur”.
“hai bapak Fathur, wah wahh gua punya bapak baru ahayy. Panggil bapak aja ya pak, supaya enak ngobrolnya”.
Akan ada masanya pergi untuk kembali dan datang untuk memperbaiki. Namun untuk apa diperbaiki sementara selama ini baik-baik saja.
Sesulit apapun itu, pasti dianggap mudah bila sesuatunya tidak di fikirkan, tapi pernahkah kamu menginginkan sejarah.
Dimana pelaku dalam berbagai peristiwa yang terjadi dimainkan oleh dirimu sendiri.
Semua punya sejarah, baik dalam bidang aspek manapun, hal yang sulit ialah mengingat.
Melupakannya adalah hal buruk baginya, karena bisa menghambat jalan berikutnya sebagai tiang penegak.
Tapi tunggu, aku adalah masa lalumu??
Kini terasa begitu dingin, sedingin hembusan angin kencang, terdengar suara ranting pohon yang beramai-ramai bergoyang diselingi satu per satu daun runtuh dari tempat.Dan menghantam wajahku.
Namun raga ini belum beranjak dari tidurku.
Mimpi memang begitu misterius jika untuk di lewatkan.
Secercah kepingan seperti kaca terjatuh, suaranya sangat dekat dan nyata.
Akupun terbangun akhirnya..
“oalaaaa Cuma mimpi, ah sangat aneh”.
“ZAIINNNN”, ya. Persis tepat di telingaku.
Itulah adikku yang menjengkelkan, namanya Via.
“pasti kakak masukin boneka ku di mesin cuci, lihatt bulunya jadi kasar kann”.
Ah sial, ada apa dengan anak itu? Berisik sekali.
“BOONG DOSA”.
“pokoknya pulang dari kerja kelompok beliin aku boneka!!!! cepat , ayo bangun itu mobil jemputan akan datang 5 menit lagiii”.
Fikiranku belum utuh sepenuhnya, mungkin karena malam itu otakku di penuhi hal-hal mistis yang diceritakan Jeff.
Jeff Si anak indigo yang dimana merusak momen minum teh hangatku, percaya tidak percaya diskusi tadi malam ancur gegara Jeff membuat semua bulu kuduk kami merinding saat itu.
Dia serius sekali mengenai hantu.
“astagfirullah baru bangun?? CEPET MANDII”, bunda menyuruhku mandi.
“MINGGIR GUA DULU, MAU BOKERR”, berlari sekencang angin sehingga membuat Zain terpental.
“ini saya belum mandi. Lu bisa kaga ditahan dulu bokernya”, tanyaku.
“kalau tunggu dulu kira-kira cukup waktu kaga Bri?”, menatap Brivio yang sudah menunggu semenjak Zain belum bangun. Rajin sekali..
“5 menit lagi zen, mana bisa”, ah sial mengapa dia menanggapinya begitu biasa saja.
Jadi, mengenai tugas dokumentasi belum usai sehingga diskusi berlanjut hingga larut malam, bukan anak nolep namanya kalau bukan seratus persen membahas satu poin saja pasti beranak pinak dan alhasil membahas diluar poin itu sendiri.
Kejadian bertemu bapak bernama Fathur itu juga kami bahas tadi malam, setelah waktu itu Zain dan Jefri menemuinya ternyata beliau sudah terlebih dulu bekerja sebagai tukang sapu jalanan begitupun menjadi marbot masjid di daerah rumah pula tak begitu jauh jarak waktunya beliau memulai pekerjaan itu.
Yang buat kami terkejut, beliau memberi sepucuk surat, berisi denah yang mengarah pada sebuah pesantren.
Setelah kami melihat dengan seksama hujan turun kemudian kami berteduh alhasil kami berpisah dengan Fathur.
“twin..twinnn”, terdengar bising dari luar ditengok.
Mobil elite keluaran terbaru bermerek ferari muncul dihadapan Rumah, mustahil untuk tak terkesima dengan wujudnya.
Bunda menoleh menengok pintu kamar mandi sejenak,
“Vi, selama ini kamu punya pacar kaya nggak bilang-bilang bunda?”.
Zain mengukir senyuman kecil, “mungkin ini dinamakan jodoh nggak kemana bun”.
Sementara Brivio keluar rumah, tertegun melihat Jefri yang bersanding dengan bodyguard
“permisi, selamat pagi.” Pria bodyguard dengan jas hitam serta kaca mata berlapis emas di lepas bertujuan sopannya dalam memulai interaksi.
“selamat pagi, saya Brivio. Ada yang bisa dibantu tuan?”.
“saya Aga. Salah satu Teman Jefri tongkrongan depan gang”, Brivio cengo seketika itu.
“maaf, izinkan saya memperkenalkan diri, Diana. Selaku bunda dari Via Agatha. Ingin perlu dengannya? Atau mungkin bercakap-cakap dulu didalam”.
“sssttt bunda, dia bukan pacarnya via, tapi temannya Jefri”. Bisik Brivio.
“oh tenang Bro. Saya kesini untuk diminta menjemput lu, sama Zain katanya Riri, kita akan ke suatu tempat sebelumnya maaf bun, atas kesalafahamn ini”.
“HAYUK ATUH, GASSKEUN”. Brivio Nampak bersemangat dengan ini.
Cowok yang sudah bersiap pun datang menghampiri mobil elite tersebut.
“asik, anda tepat sasaran dalam memberi tumpangan, tuan Aga haha”.
Memang gak salah lagi kalau Jefri terkenal sebagai sultan kw karena ia selalu bertingkah seperti orang kaya.
Namun ini menyenangkan.
“tunggu apalagi Zain, naik mobil eksekutif nih kita”. Brivio terkesima dengan terus menatap mobil tanpa henti.
“gratis Jef?”, tanyanya Zain.
“oh ya tentu”.
Pucuk di cinta, ulam pun tiba.
Seperti kata-kata begitu untuk diwakilkan pada kami.
Kami pun beranjak pergi dan memulai mengerjakan projek dokumentasi mata kuliah sejarah.
Menunggu serta berdesakan di mobil Farel itu suatu hal buruk nantinya.
Alangkah baiknya Jefri datang tepat waktu lalu menawarkan ini langsunglah diterima haha.
Akhirnya Zain berpamitan kepada bunda dengan meninggalkan Via yang mungkin sedang berangan-angan jodohnya, miris.
***
Setelah kami beberes mempersiapkan apa yang dipersiapkan selanjutnya naiklah ke mobil tersebut.
Bersama Brivo, Zain serta Jefri di dalamnya kami duduk di tempat ternyaman yakni posisi tempat duduk tengah.
Aga menyuruh kami bersantai didalamnya layaknya seorang tamu eksekutif yang harus dilayani dengan sangat baik, seriring perjalanan kami makan serta bersanda gurau sambil menikmati siaran televisi yang di suguhkannya di mobil tersebut.
Ya, disana tersedia seperti hotel hanya saja ukurannya sama seperti mobil pada umumnya jadi kami hanya bisa duduk menikmati layanan yang diberi.
Perjalanan ini sungguh menyenangkan, namun agak cukup menguras tenaga. Sekitaran waktu 2 jam menempuh.
Perjuangan dilewati dengan berkorban.Penurut, kreatif, penuh semangat, mungkin tidak salah pula jika dikatakan rupawan. Semua ada pada Zain, menjadi calon sejarawan baginya merupakan sebuah hasil usaha dan kemampuannya.Sejak ia mencoba mengajukan rapot nilai hasil kelulusannya dua tahun lalu.Zain bukan satu-satunya seseorang yang tak sesempurna dibayangkan di lingkungannya, semenjak di bangku madrasah tsanawiyah (Mts) , Zain yang penurut hanya memenuhi semua kebutuhan yang terbaik untuk dirinya ditangan orangtua.Tidak jarang, keinginannya selalu ia batalkan karena fikiran negatifnya selalu menghantui jika ia melangkah sendiri.Semua orang bangga pada Riri, begitu juga Zain. Ingatkanku kembali di masa dimana Riri, ia sesosok sebagai perempuan yang pintar juga optimis.Selain bertetangga, Zain dan Riri juga merupakan teman sekelas di waktu SMA, jika jam sekolah berakhir, tak jarang mereka pulang bersama.Kami berkenalan sepintas dis
“Bukannya lu itu nggak jadi putus? Kok malah dibilang mantan?”, Tanya Azka pada Brivio. mereka ada di sisi depan meja. Atmosfer kini mengelilinginya saat ditanya perihal hubungannya dengan sang perempuan yang dibilang mantan oleh Farel.Namanya Atla. Bisa dikatakan ialah cinta pertamanya. Sewaktu dibangku madrasah tsanawiyah (MTs) pertemuan mereka yang singkat pada ujian nasional ternyata menimbulkan suatu getaran asmara diantara keduanya.Laki-laki bertubuh gembul itu merupakan anak dari Ustad di tempat sekolahnya di MTs, Ya, Brivio memang dikenal laki-laki yang mengumbar pesona. maksudku populer. bagaimana tidak? Hampir semua kalangan area tempat perempuan mengenali Brivio. Tak heran ia selalu dicurigai banyak pengintai guru-guru BK namun sejauh ini, Nyatanya belum ada sesuatu kasus pun menimpa Brivio.Hanya saja, saat ujian nasional dimana para murid akhi dan ukhti bercampur sehingga beberapa diantaranya mengambil kesempatan disitu, pada momen selesainy
Aku seperti berada dalam tempo hari yang cukup cerah. Secerah matahari juga hati Jefri saat sekarang ini. Perjalanan kami belum saja tuntas, aku termenung memikirkan surat yang berisi denah lokasi pesantren. Karena mereka masih memenuhi energi untuk berkeliling, maka setelah ke Masjid Sang Cipta Rasa selesai berbuah manis. Tak lama kemudian kami pun menyusuri daerah Pesantren Azzikri untuk dikunjungi.“antum Lurus saja.. ka sana. A…nanti ada perempatan beloklah ke kanan”, ujar bapak-bapak yang kami temui di jalan.Kami mengangguk dan kembali menyusuri jalan. Sekitar waktu 25 menit hampir setengah jam, mobil melaju penuh kebingungan menyesuaikan arah yang benar pada lokasi denah yang tertulis,Belum lama ini aku baru saja mengetahui adanya Pesantren di kawasan ini, Farel mungkin sudah bisa ketebak bahwasannya dia punya pengalaman sewaktu kecil disana, Farel menjelaskan dirinya itu yang pernah tinggal di Pesantren berumur 5 tahun. Semua orang yang ber
“silahkan duduk”, ucap seorang Pria paruh baya tersebut. rupanya beliau adlah Adik kandung dari Fathur, beliau bernama Andi. Wajahnya ternyata agak terlihat lebih muda dari biasanya kulihat waktu itu.Tapi sekilas mirip, seperti saudara kembar seiras.Kami dibawa ke sebuah kantoe miliknya. Santri yang membawa Kami pamit pergi dan meninggalkan Kami dengan Kak Andi di ruangannya.Dengan tampak canggung, banyak diantara Kami diam. Bingung ingin membahas apa. Alhasil Kak Andi membuka suaranya dan memulai sebuah Topik pembicaraan.“Apakah ada kendala untuk, perjalanan menuju tempat ini?”, Tanya nya kepada Kami. Menoleh sebagian dari pada Kami. “tidak ada kak, justru kami sangat antusias karena bisa ditawarin untuk main ke Pesantren”. Jawabnya Farel.Zain memainkan manik matanya, Beliau terlihat sedikit mengenal sosok Farel hanya saja agak lupa darimana, ia mencoba membantunya mengingat siapatau beliau mengetahui Farel yang dulu
Usai berkunjung selesai Kami pulang dengan berpamitan. Sampai rumah pada sekitaran jam setengah lima. Zain berpamitan untuk pulang, dan yang lain juga ikut mengekor pulang ke rumah masing-masing. Sungguh hari yang menyenangkan.Zain sampai rumah. Sebelum membuka pintu, ia merogoh sakunya untuk mengambil kunci rumah cadangan yang di bawanya setiap bepergian ke luar, takutnya seisi rumah tidak ada orang, jadi dia antisipasi dengan membuat kunci duplikat yang saat itu ia pinjam dari bundanya. “cklekk..”,suara kunci membuka pintu rumah.Dan benar keadaan rumah tampak sepi. Kayaknya Via,Bunda, Abang serta Ayah sedang tidak berada di rumah. Sudah kuduga dirinya selalu saja ditinggali tanpa diberi kabar mereka pergi kemana. Zain melepas jaket yang terpasang di badannya. Ia selempangkan di atas tiang gantungan dekat laci ruang televisi. Lalu badannya ia lemparkan ke setumpuk bahan empuk yakni sofa. Ia rentakan kaki disana. Rebahan dimulai.Tepat setengah jam kedep
Jam 00.00Zain masih terjaga. Belum tidur daritadi. Malam ini Zain begitu malas untuk beranjak dari sofa busa yang empuknya berkali-kali lipat dengan stiker bergambar boygrup andalan adiknya itu. Zain masih dengan merasa nyaman rebahan disana, nyaman pada posisi tidurnya. Walaupun Via masih jinkrak-jingkrak dengerin musik bahasa korea yang ia setel itu.Walaupun ruangan ini sekitar ukuran 5 x 5 meter tapi ya sekiranya kalau Zain masuk kamar bakalan gak kedenger suara dari ruang tivi. Bukan soal ukuran sih tapi kedap suara nya kamar Zain, ga masalah lagian lagunya adem, bisa sebagai pengantar tidur gitu, “dek judul lagunya apa?”. Tanyaku ngasal.“bye my first”, katanya. Lalu ia kembali lambaikan tangannya kayak semacam berkonser di tempatnya langsung.Ingatan Zain kembali melekat kalau ia setidaknya kembali merencakan kegiatan liburan Kuliah ini. Apalagi Ramadhan bentar lagi, tekadku bermalas-malasan harus di hilangkan dari sekarang.
Dulu. Selasa, 30 Juni 2015Mengingat Brivio, kini throwback Kembali membawa kenangannya di hari-hari kelulusan masa MTs berakhir. Dimana saat itu Atla adalah cinta pertamanya.Tepat di pagi hari yang masih agak gelap Brivio terbangun dari tempat tidur tanpa lihat jam Brivio udah nyimpulin kalo ini jam 5. mengingat bahwasannya dirinya absen ngaji malam karena tertidur pulas sehabis salat malam.Tindakan pertama yang Brivio lakukan adalah lempar guling favoritnya ke kursi, kadang Brivio lipet selimut dulu tapi kali ini kagak soalnya cowok gembul itu kebelet boker, terus habis itu wudhu dan solat subuh.Setelah kelar solat subuh, Brivio cek hape siapatau ada notif dari orangtuanya yang janjinya mau menjemputnya hari ini untuk pulang. Jadi… di hari-hari kelulusan para santri khusus pada kelas sepuluh diperbolehkan untuk memegang ponsel. Saat itu Brivio meminjam ponsel milik kakak-kakak penjaga asrama alias musrif.Hanya memantau pesan chat ora
Malam harinya. pada posisi yang lain…POV Riri.19.00 wib.Riri: pRiri : ppRiri : gua ada di depan rumah loRiri : LifOlif : spam njirrRiri : OliffffRiri: eh udah bales heheOlif membuka pintu rumahnya dan ya, ada Riri disana beserta makanan minuman yang ia beli dari minimarket depan gang.Tenang kok, malam-malam begini Riri udah biasanya bawa makanan ke rumah Olif, bukan Olif yang minta sih tapi Riri nya sendiri yang mau, apalagi kalau Riri tau kalau Olif habis ditinggal pergi keluarganya anter adik ke pondok.Ya, sedekat itulah hubungan Riri dan Olif saking dekatnya rumahnya pun saling berdampingan. Yups, selain mereka bersahabat sejak kecil mereka juga bertetangga juga, makanya Riri tau situasi apa yang ada di rumah Olif.“lu tuh ya jadi orang boros banget, dirumah gua tuh udah ada banyak makanan eh lu dateng-dateng malah bawa-bawaan”, Olif.“bukannya makasih udah dibawain juga s