Share

06 : Dokumentasi

Perjuangan dilewati dengan berkorban.

Penurut, kreatif, penuh semangat, mungkin tidak salah pula jika dikatakan rupawan. Semua ada pada Zain, menjadi calon sejarawan baginya merupakan sebuah hasil usaha dan kemampuannya.

Sejak ia mencoba mengajukan rapot nilai hasil kelulusannya dua tahun lalu.

Zain bukan satu-satunya seseorang yang tak sesempurna dibayangkan di lingkungannya, semenjak di bangku madrasah tsanawiyah (Mts) , Zain yang penurut hanya memenuhi semua kebutuhan yang terbaik untuk dirinya ditangan orangtua.

Tidak jarang, keinginannya selalu ia batalkan karena fikiran negatifnya selalu menghantui jika ia melangkah sendiri.

Semua orang bangga pada Riri, begitu juga Zain. Ingatkanku kembali di masa dimana Riri, ia sesosok sebagai perempuan yang pintar juga optimis.

Selain bertetangga, Zain dan Riri juga merupakan teman sekelas di waktu SMA, jika jam sekolah berakhir, tak jarang mereka pulang bersama.

Kami berkenalan sepintas disana walau kami tidak sering bertegur sapa akhirnya.     

Saat satu hari kesedihan Riri membuat Zain dekat dengannya, Kakak lelaki tunggal yang sangat disayangi pergi untuk selamanya meninggalkan Riri.

Hanya kakaknya yang dapat mengerti keinginannya, ia sedih tak terbendung, tangis kesedihannya mampu membuat ia melupakan absen sekolah.

Dengan nomor yang didapat. Zain merogok ponsel dari saku celana kemudian memanggil sebuah panggilan dan diangkatlah,

“Saya Zain, guru serta teman-teman mencarimu khawatir dengan keadaanmu”.  

“ngapain?”, suaranya terdengar kecil.

“percuma hidup udah nggak ada yang bisa ku andalkan”.

“kenapa lo ngoceh sembarangan gitu?”, Zain terkejut, dia sebenarnya tak mengerti apa yang Riri rasakan, tapi ucapannya sangat tak pantas sehingga membuat Zain geram.

“seenggaknya lo mesti ngerti soal ini.”.

“ga-papa urus dirimu saja sendiri”, jawabnya tidak peduli. 

“cari perhatian, mau buat sejarah kelam untuk sekolah?” Sindir Zain, bicara dengan anak manja memang menghabiskan seluruh isi otakku.

“anggap aja gua siswi ghoib, jadi gausah ada yang tau”.

“HARUS TAU OI”. Kali ini Zain terengah-engah.

Feelingnya tepat. Saat itupun Zain yang sudah sedari tadi memantau rumah itu. mendobrak pintu rumah yang ditelpon, sehingga membuat pemilik rumah terkejut bukan main, inilah pengalaman pertamanya sebagai kesatria.     

Proyek video akan segera dilaksanakan.

Jam 08:30

Kami sudah sampai di tempat yang dituju, 2 mobil saling berderet di parkiran area alun-alun mengeluarkan beberapa penumpang yang akan menjalani sesi dokumentasi sejarah.

Sisanya hanya membantu. Jefri mempersiapkan kamera dengan mencoba menyorot objek-objek tertentu, kemudian memberikan aba-aba untuk memulai.  

Riri bersiap-siap, membuka suara,

“Assalamualaikum teman-teman, Sebelumnya perkenalkan, Saya Riri dan di sebelah Saya ada Zain.

Kami adalah Mahasiswa Sejarah semester dua dari Fakultas adab dan dakwah yang berkuliah di kampus Universitas Islam Negeri Bandung. disini Kami akan mendokumentasi tempat bersejarah ditujukan untuk mata kuliah sejarah pada Dosen Yona”.

Kamera kini berfokus pada arah lawan bicara kedua, Zain membuka suaranya,

“Sekarang Kami sedang berada di kompleks Keraton Kasepuhan, pada Kecamatan Lemahwungkuk yang berada di Kota Cirebon. Tepat di lokasi alun-alun Kota Cirebon”

tangannya mengatur ke arah yang dituju,  

“Tepat di belakang Kami ada sebuah Bangunan yang berdiri cukup lama, nama bangunan ini ialah Masjid Agung Sang Cipta Rasa”.

Beralih Riri berbicara, sehingga kamera menyorotinya,

“ya, Masjid Agung Sang Cipta Rasa adalah sebuah masjid yang sudah berdiri cukup lama sekitar tahun 1480-an. pada masa pemerintahan Sunan Gunung Djati anggota dari kesembilan Walisongo, yang dimana Beliau pada saat itu sedang menyebarkan Agama Islam di Tanah Jawa,”.

Scene beralih pandangan ke Zain,

“mungkin kesan pertama, akan terasa seperti klenteng karena desaian nya Nampak seperti Bangunan Cina. Pada pembangunan Masjid itu sendiri melibatkan lima ratus orang yang didatangi dari Majapahit, Demak. Dan juga dari Kota Cirebon sendiri.” 

Tangannya menggenggam, dan mimik muka memberi isyarat cameramen berpindah lokasi,

“Baik, sekarang kami ingin mengajak kalian berjalan sedikit pada arena parkiran ini”.

Mereka membagi sorot lokasi. 

Jefri menutup kamera.

Melirik Zain yang membelakanginya berjalan terlebih dulu,

“lu kaga berbobot malah bahas parkiran” lontar Jefri .

“ini juga penting biar pengunjung yang dari luar kota kendaraan miliknya aman”. Zain mengambil posisi,

“ Lu yang kesini Cuma numpang pake mobil Aga doang gayaan”.

“ngaca”. 

Zain memberi isyarat. Jefri ngangguk-ngangguk mengerti,

“nah, bagi kalian yang ingin berkunjung ke Masjid Sang cipta rasa jangan khawatir karena parkiran disini yang berada di posisi Timur cukup luas sekaligus berada di area alun-alun keraton Kesepuhan.”

Sedangkan bagian dalam masjid ditangani Riri. kemudian Brivio hidupkan kembali kamera, memberi aba-aba dan mulai,

“sekarang saya sedang berada di dalam masjid sang cipta rasa, saat saya memasuki ruang utama dari masjid ini terdapat 9 pintu.

Dari jumlah pintu tersebut ini merupakan jumlah dari kesembilan WaliSongo, kemudian dari pintu-pintu nya ini memiliki ukuran yang berbeda. Dimana memiliki tinggi 1 meter dan 2 meter.

Dari pembedaan inilah konon dikatakan bahwa semua orang Islam sama, maksudnya adalah semua manusia harus tunduk kepada Sang Maha Pencipta karena yang membedakan hanyalah ketaqwaan saja.”

Cewek berambut panjang itu melambaikan tangan, tampak menyudahi video. 

Oke cuttttt.

Video masing-masing sudah tersimpan, mereka keluar dari area masjid, mencari-cari keberadaan teman yang dikenalnya.

Tampak Yasmin paham berdiri dari tempat duduk, kemudian menghampirinya memastikan tak lupa membawa catatan yang dibawanya tadi.   

“guys aku tadi liat di g****e, katanya masjid ini ada tujuh puluh empat tiang yang memiliki simbolis juga”, panggil Yasmin.

Azka berfikir, dan berkata,

“betewe cuy, kita engga ada sesi wawancara gitu, supaya lebih terasa kaya acara-acara yang ada di televisi”.

“ini benar, tapi…Imam masjid dari tadi, belum keliatan wujudnya”, Zain berkedip melihat kedua arah secara bergantian.

“dzuhur masih satu jam lagi, apa kita ga istirahat dulu?”, Tanya Brivio.

Zain menimang keputusan,

“yaudah istirahat dulu, ngomong-ngomong Farel kemana?”

“lagi makan,,noh di mamang ketoprak”. Tunjuk Yasmin ke arah objeknya.

Brivio menganga, sekali kali menahan emosi dia mematikan rasa kesal karena memang perutnya lebih berkecamuk yang menyuruhnya untuk melahap sesuatu.

“kalian mau makan apa?”,Tanya Riri.

“Ketoprak”.

“Lontong sayur”.

“oke pesan makanan aja terserah, makannya di tempat ketoprak ya”, sahut Zain.

Walau sempat tidak bersemangat untuk melakukan dokumentasi sejarah ini namun pada akhirnya semua berjalan lancar hingga kini.

Di sela-sela makan.

Zain berpikir beberapa lama, keningnya berkerut, Dia memandangi kertas yang dipegangnya, mengamati sisi-sisi garis yang tertulis.

Azka yang berada di sisi tempat mereka duduk penasaran dan mencontek,

“Jalan Bahagia? Setau gua ada banyak orang arab disana, Farel pasti tau”.

“Eh ?Siapa??”.

“Farel Alatas Purnomo”.

Brivio melirik sang pemilik nama, sambil mengisap es teh manis nya dalam-dalam.

Tampak akan kekesalannya belum usai.

“jelas, orang dia pernah jadi babu disana”, Sahut Jefri sambil melahap ketopraknya penuh nikmat.  

Farel kian penasaran dan meraih kertas yang dipegang Zain,

“ini mesti jalan ke Pesantren Azzikri”, kali ini menatap Brivio,

“tempat mantannya nyantren disitu”.

“hm”. Brivio mengeryitkan keningnya,

“perut gua kembung kebanyakan es teh manis”. 

Riri menatap kertas, kini ia mulai berpikir, sambil bertopang dagu,

“kayaknya kita diundang untuk datang ke pesantren deh”. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status