Rasa sakit yang luar biasa merambat ke dalam tubuhku. Ini adalah racun ular perak—racun yang orang-orang bilang sangat langka bahkan hampir mustahil untuk ditemukan. Yang menjadi ironi adalah seluruh anggota istana mengetahui dengan pasti bahwa ini adalah rencana permaisuri. Wanita licik itu tidak menyerah dalam misinya menyingkirkanku sejak dulu. Ia berdiri dengan senyum miring. Para pelayan yang betugas pun diam saja saat orang suruhan wanita berambut ungu gelap itu kerap mondar-mandir dengan gerak-gerik mencurigakan. Tak ada satupun yang melapor ataupun menghentikan.
"Cassian! Jika kamu ingin menyalahkan seseorang, salahkan ibumu yang hanya seorang pelayan!" ungkap wanita itu membentangkan kedua lengannya bagai selebrasi atas sebuah kemenangan. Kalimat yang keluar dari kedua bibir bengisnya selalu mendarat tajam tanpa belas kasihan. Sosok itu mengenakan gaun beludru ungu tua, warnanya pekat dan berwibawa. Lengan bajunya panjang melebar, ujungnya disulam benang emas membentuk pola duri mawar. Dikepalanya bertengger mahkota tinggi berhiaskan safir biru gelap, berat seakan menjadi simbol beban kekuasaan yang ia genggam erat. Lehernya dihiasi kalung mutiara hitam yang kontras dengan kulit pucatnya, menambah kesan dingin dan kejam. "Hanya seorang budak dari pedesaan! Beraninya mengandung benih kaisar dan melahirkannya!" Tawaku menggema dengan lantang terlepas dari rasa sakit yang membakar tubuhku. Bernapas pun kini rasanya sulit. "Ternyata kalian para keluarga utama sangat lemah sampai ketakutan oleh anak dari seorang pelayan?!" ucapku pada sosok itu. Ia bersemayam diatas kursi kayu berpahat rumit— kedua kakinya yang bersilang tertutup gaun tebal yang meliuk mengikuti lekuk tubuhnya. "Permaisuri! Jika para leluhur menyaksikan! Reputasimu sudah bisa dipastikan benar-benar hancur!" batuk mendera. Tenggorokanku rasanya dikerumuni oleh ribuan semut yang menggigit. Aku mendongak. Rahang wanita itu berurat, dagunya mengatup hingga menekan gigi-giginya. Matanya semakin tajam memandangku seakan aku adalah serangga menjijikkan dan tidak berharga. Namun setelahnya senyum licik wanita berkulit pucat itu kembali. "Yah... karena kamu akan menyusul ibumu sebentar lagi. Aku akan menganggap ini sebagai kalimat terakhirmu!" ujarnya mengitari permukaan secangkir teh dengan ujung jarinya yang lentik. "Seorang budak! Selamanya akan tetap menjadi budak!" sentaknya lugas. Kedua matanya bak tombak yang siap mengoyak mangsa yang telah sekarat. Tubuku terasa seperti ditusuk ribuan belati dari dalam, pandangan ku mulai menjadi samar bagai kabut. Napasku tersengal-sengal bak ikan yang terlempar keluar dari kolam. "Beginikah akhirnya?" Jika saja aku bukan seorang anak haram. Jika saja ibuku bukan seorang pelayan. Jika saja aku lebih kuat! Jika saja aku lebih cerdik! Penyesalan-penyesalan itu menjerat jiwaku—menyayat dadaku. Menyalahkan takdir. "Tidak!" Air mata mengalir dari kedua bola hitam yang sudah merah berurat karena menahan racun. Cipratan darah terlempar keluar saat aku batuk, pandanganku mulai gelap. "Jika ada yang harus disalahkan." "Itu adalah kalian!" "Kalian sudah menyiksa ibuku juga aku selama ini!—" Tebasan pedang mendarat secepat kilat, nyawaku diambil tanpa aku sempat beraksi. Akhirnya sudah berakhir. Aku menatap langit ruangan itu, bibirku menjadi pucat, kering tak berair . Telapak tangan ku lemas sampai ijakan permaisuri melumatnya. Tapi aku sudah tidak merasakan apa-apa lagi. Jika saja aku bisa memulai semuanya dari awal, jika saja aku mendapatkan kesempatan kedua, aku pastikan permaisuri dan keturunannya menderita. Aku pastikan segalanya akan berbeda, aku akan membuat kaisar sialan itu menerima ibuku sebagai istri sahnya. Dan membuat perang saudara untuk tahta menjadi lebih kacau. Tidak apa-apa ibu, saya akan segera menemui ibu. Semoga direinkarnasi selanjutnya kehidupan kita menjadi lebih baik. Semua tampak pekat. Aku mendengar suara-suara yang tak asing. Anehnya rasa sakit ditubuhku sudah hilang semua. "Hei anak haram!" "Masih belum mau bangun juga?!" Rasanya ombak baru saja memukul wajahku. Aku membuka mata dan mendapati seluruh tubuhku sudah basah kuyup dengan air. Pandangan ku tertuju pada ember yang tergelotang dilantai kayu tua berderit. Mataku menelusuri enviromen sekitar, semuanya tampak familiar. "Ini?" "Tch, akhirnya bajingan ini bangun juga!" Kerah bajuku ditarik dengan tiba-tiba, dihadapan ku saat ini adalah sosok yang sangat aku kenal. Aron, seorang pelayan yang terus merundungku saat aku masih kecil. Meskipun mengetahui fakta bahwa aku adalah keturunan kaisar—dengan otoritas permaisuri, semua orang di kekaisaran mengucilkan aku dan ibu. "Sejak kapan kau boleh bermalas-malasan!" Tamparan dilayangkan pada pipi kiriku hingga suatu bunyi terlontar. SLAPP. Tunggu? Kenapa ini terasa sakit? Bukankah ini cuma mimpi—tapi kenapa rasa sakitnya begitu nyata? Aku menoleh ke arah cermin, ini...wajah yang sama saat aku berusia 12 tahun?! Apa-apaan? Jangan-jangan aku kembali kembali ke masalalu. Apa hal itu mungkin? Tapi bagaimana bisa dan kenapa? Apakah alam semesta mendengarkan doaku? Aku mendorong Aron dan melangkahkan kakiku dengan gesit. Saat berhasil menapak keluar sinar matahari menghujani wajahku. Sangat terang, aku menoleh dan melihat rumah yang baru saja aku langkahi. Rumah kayu tua yang tampak usang dan sederhana. Katanya aku dan ibu hanya diberi rumah ini oleh kaisar, tapi sebenarnya itu adalah perintah permaisuri. "Kalau begitu bukankah ibu?!—" "Cassian." Suara lembut datang dari arah belakang, suara yang sudah lama aku rindukan. Wanita berambut pirang, dengan mata berwarna biru bagaikan lautan kristal, memakai pakaian kumal dan sederhana. namun siapapun yang melihatnya dapat mengatakan bahwa ia terlihat bak peri yang seolah datang dari kayangan. Ibuku—Cassandra. "Ibu!" Tanpa basa-basi aku berlari dan memeluk ibuku dengan erat. Perasaan rindu ini akhirnya tersampaikan. "Cassian?" Sorot mata ibu nampak heran memandang tingkah lakuku yang biasanya tak seperti ini. Pandanganku tertuju pada keranjang kayu berisi tumpukan pakaian yang baru saja kering dari jemuran. Rahangku mengatup, aku sudah bertekad. Jika aku bisa kembali ke masa lalu, aku akan mengubah semua tragedi yang menimpa aku dan ibu. Mereka yang telah menyakiti ibu harus menderita! "Cassian, kamu sudah bangun? Ayo sarapan terlebih dahulu." Suara langkah kaki mencuat dari rumah usang tadi, itu Aron dan temannya. Mereka selalu diam-diam menggangguku dan ibu. Kali ini tidak akan aku biarkan ibuku ditindas! "Bibi, kamu harus mengajari putramu! Meskipun kaisar sudah menendang kalian, tapi aib itu masih tetap melekat pada silsilah keluarga kekaisaran." Ucap Aron, kedua tangannya mendekap bagai rantai besi yang bertaut, ia melayangkan senyum miring. Ibu melangkahkan kaki kedepan seakan mencoba melindungiku. Wajah Aron tampak gelap, bibirnya memicing memamerkan gigi-giginya. Alisnya melengkung tajam. Keranjang pakaian itu dilempar oleh ibu ke wajah Aron dengan tiba-tiba. SRAAAKK. "Putraku! Aku yang paling tau bagaimana cara mendidiknya! tidak perlu ocehan dari anak berandalan sepertimu!" lugas ibuku memberikan balasan kepada Aron. Memang seperti ibuku, orang yang ramah juga ceria namun tidak takut menghadapi segala situasi demi melindungi putranya. Hanya saja sejak aku lahir dan kaisar tidak mau menerimaku di istana, ibu menjadi lebih murung dan tidak seceria dulu. Hanya ada satu cara untuk mengubah keadaan kami, yaitu mencari pihak yang tak terikat pada anggota istana lain selain Kaisar. Hanya fokus pada aturan juga hukum kekaisaran. Jika tidak, maka seluruh masalah akan terulang kembali. Aku harus membuat koneksi dengan orang itu, si maniak aturan, Marquis Lucien Devereuq yang saat ini merupakan administrator kekaisaran. Sebelum itu, harus menangani Aron terlebih dahulu. Memalukan meminta bantuan untuk mengolah masalah sepele seperti ini. "Aron, bahkan jika kaisar tak mengijinkan kami memasuki istana. Dengan posisimu yang hanya sebagai pelayan. Kamu benar-benar menggali kuburanmu sendiri!" jelasku tenang, dengan baju kumal berwarna coklat yang telah membalut badan. Ibu menoleh ke arahku dengan sorot mata terkejut juga khawatir. Dimasa lalu aku adalah anak pendiam dan penakut terhadap dunia luar— oleh karena itu. Diinjak-injak oleh orang yang lebih rendah pun aku tidak sanggup membela diriku sendiri. "Anak haram ini sudah berani berbicara padaku rupanya hahaha!" Aron menaikkan kedua bibirnya dengan arogan, seakan yakin bahwa aku bukanlah apa-apa selain anak buangan. Sejujurnya aku juga berpikir demikian, tapi aku harus mencoba memerkirakan posisiku dikeluarga utama. Jika dengan ini terbukti bahwa aku memang tak dianggap sama sekali, aku harus menyiapkan rencana lain. "Meskipun aku adalah anak haram! Darah kaisar masih mengalir dalam tubuhku!" "Tapi kau! Aku bahkan tidak yakin kalau kau dilahirkan dari rahim manusia." Aron menaikkan alisnya kemudian tertawa terbahak-bahak. Sialan, apa ancamanku tidak berhasil. Aku juga tidak berekspektasi terlalu tinggi, masalahnya kaisar benar-benar belum pernah menengok kami sekalipun sejak aku lahir. Tiba-tiba sebuah kereta kuda melintasi jalan utama, nampak barisan pengawal dibelakangnya. Aku mengerling kepada mereka dengan rasa keingintahuan—sampai suara Aron terdengar kembali dengan lantang. "Bocah bodoh, bahkan jika aku membunuhmu juga ibumu disini lalu memberikan kalian sebagai makanan anjingku, kaisar juga tidak akan keberatan!" Aku menyeringai, tiba-tiba mempunyai ide—supaya bisa menyingkirkan Aron tanpa harus mengotori tanganku. Menggunakan orang itu bisa jadi cara yang lebih efektif. Aku melangkah memperisai ibuku lalu dengan suara lantang aku berkata kepada Aron. "Apakah kamu mau mengatakan bahwa kaisar hanya akan tunduk dan mengikuti pilihan mu?!" "Tentu saja! Kenapa tidak! Kalian tidak ada bedanya dengan makanan anjing!" Bocah sombong ini masuk kedalam perangkapku dengan mudah. Seharusnya sebentar lagi orang itu akan muncul. Aku melanjutkan argumenku dengan Aron. "Bahkan dengan mengetahui ada darah kaisar dalam tubuhku!? kamu berani berkata akan menggunakanku sebagai makanan anjing?! "Bukankah secara tidak langsung kamu berkata." "Kaisar sendiri tidak lebih dari makanan anjing." Kereta kuda itu tiba-tiba berhenti dipertengahan jalan, langkah kaki menapak keluar dari tandu. Pria dengan rambut panjang yang terikat berwarna coklat keemasan turun, mengenakan baju bangsawan bermotif rumit sedemikian rupa berwarna biru dengan gagah juga tenang. Marquis Lucien Devereuq. "Aku mendengar ada gonggongan anjing disekitaran sini." Semua orang merendahkan tubuhnya untuk tunduk kepada Marquis Lucien Devereuq, tak terkecuali Aron, aku juga ibu. Sekarang apa yang akan terjadi kira-kira, apakah itu cukup untuk menyingkirkan Aron. Ini keuntungan yang cukup bisa dipertaruhkan. Marquis Lucien Devereuq Melihat ke arahku, aku sedikit menundukkan pandangan untuk melewati kecurigaannya. Ia tersenyum tipis kemudian melangkah kedepan Aron, kini pandangannya seperti elang yang mengintai mangsa. Ia melucuti Aron dari atas hingga bawah dengan kedua matanya. "Tangkap anak ini." Aron terbelalak dan segera melangkah mundur. "Apa! Apa kesalahan saya!?" ucap Aron suaranya bergidik. Napasnya tertahan lalu berhembus dengan tak beraturan. "Bukankah sudah jelas, kamu menghina kaisar secara terang-terangan." jelas Marquis Lucien memandang Aron dengan kedua mata penghakiman. Aron menunjuk ke arahku juga ibu dengan senyum menyeringai namun terbata-bata. "Me-mereka lah yang seharusnya dihukum, mereka bahkan sudah ditendang oleh kaisar, tapi masih bersikap seolah bangsawan!" Marquis Lucien menyipitkan matanya. Ia menghela nafas panjang sampai akhirnya memberikan sapuan telunjuk. Seketika dua orang penjaga berbadan besar, kekar dan tinggi mendekat dan menyeret Aron dengan paksa. "Lepaskan! Apa salahku!" Marquis Lucien menoleh kearah ibu. "Sepertinya anda juga mengalami kehidupan yang sulit ya." Apa-apaan ucapannya itu? Bukankah sudah jelas! kami berdua tidak dipertimbangkan sama sekali oleh kaisar. Bahkan meskipun aku putra kandungnya ia menelantarkan kami dan membiarkan permaisuri si wanita licik itu berkuasa tanpa memberikan biaya hidup. "Aku akan melaporkannya langsung kepada yang mulia." Aku melihat Marquis Lucien dengan seksama sampai akhirnya mata kami bertemu. Ia merancungkan pandangannya. "Menarik." "Apa anda ingin menyampaikan pesan untuk kaisar?" Mataku melebar, bukankah itu kesempatan yang jarang bisa kudapatkan. Bahkan dikehidupan sebelumnya aku baru diperbolehkan memasuki istana diusia 25 tahun setelah ibu meninggal, hanya untuk menjadi anjing putra mahkota dan permaisuri. "Katakan pada ayah! Biarkan aku dan ibu masuk istana atau kami akan meninggalkan kekaisaran dan bermigrasi ke daerah lain." Marquis Lucien terdiam sejenak sampai akhirnya tawa lantang mencuat bagai guntur ditengah gelapnya mendung. Ia menyeka air matanya. "Bukankah anda terlalu arogan? Hanya karena aku datang membantu anda sekali." Aku juga tau itu. Tapi ini juga salah satu tes yang ingin ku coba untuk mengetahui cara mana yang bisa aku gunakan untuk merebut perhatian kaisar. "Aku sudah mengatakan apa yang ingin ku sampaikan." Kedua mata ibu tampak sayu setengah berair. Kedua alisnya turun kebawah, tubuhnya bergerak. Mungkin menerka jikalau tindakanku justru memicu amarah sang kaisar. "Baiklah, aku permisi." Marquis Lucien mlayangkan himpitan mata tajam sampai akhirnya ia kembali kedalam tandu kereta kudanya. "Cassian, apa yang kamu lakukan?!" Kedua tangan Ibu mencengkeram pundakku dengan erat, sorot matanya tampak lelah dan bingung. Ibu sudah kehilangan semangat hidupnya akibat taktik yang dilakukan permaisuri selama ini. "Ibu, tolong percaya kali ini saja padaku." Ibuku menyipitkan matanya tak berucap lebih lanjut, ia meraih keranjang kayu berisi pakaian yang tadi ia lemparkan kepada Aron. "Kamu seharusnya tidak bersikap seperti itu dihadapan Marquis Lucien." Aku mengepalkan tangan kananku. Suara ibu dingin bagai badai salju itu sendiri . Ia masih berpikir bahwa tindakanku akan menimbulkan masalah. Sore berganti menjadi malam, aku dan ibu menikmati hidangan sederhana diatas meja makan yang terbuat dari kayu lapuk. Alas makan yang sederhana jauh dari kemewahan. Tengkuk belakangku bergidik tiba-tiba sampai sebuah suara melesat digelanya malam. SRAAAKK. Sebuah pedang menancap dimeja makan kami seklebat membuat ibu terkejut juga ketakutan. "Cassian! Kamu baik-baik saja?" Melesat dari udara beberapa orang berkostum serba hitam seperti assasin. Aku yakin mereka adalah suruhan permaisuri. "Seharusnya kalian hidup seperti tikus." Aku tidak menduga hal ini akan terjadi secepat ini, apa mungkin karena aku bertemu dengan Marquis Lucien. Pertama aku harus mengamankan ibu terlebih dahulu.Aku mengambil sebuah teko besok lalu menyiram air panas kearah mereka sambil membawa ibu kabur lewat pintu belakang. "AGHHHH!" Suara jeritan para pembunuh itu menggema. "Ibu! Ibu pergi kearah sana! Jika ibu melihat bendera putih maka masuk ke area itu dan berlindunglah!" Aku menunjuk ke jalan semak-semak yang gelap, nampaknya memang seperti jalan buntu. Tapi itu didesain secara khusus supaya tidak ada orang yang curiga. "Bagaimana dengan kamu?!" ujar ibuku menggait lenganku dengan cengkraman kuat seakan paku yang telah berpaut pada papan kayu. "Aku punya rencana sendiri." Alasan kenapa aku menyuruh ibu kesana adalah karena itu area pasukan rahasia milik kaisar yang dilatih khusus untuk keadaan darurat. Aku baru mengetahui hal itu ketika ditunjuk sebagai anjing putra Mahkota dikehidupan sebelumnya. Pembunuh itu mengejarku dengan cepat, sekarang bagaimana aku harus mengatasi hal merepotkan ini. Aku berlari menuju sebuah rumah tua didekat hutan. Nafasku tersengal-sengal. "Sialan, seharusnya dikehidupan sebelumnya aku fokus mengasah kemampuan beladiriku." Dimasa lalu aku tak cukup membagi waktu dan hanya bekerja melayani putra makhkota sebagai kacung sampai akhirnya diracun oleh permaisuri. "Ayo pikiran Cassian!" Aku berhenti bernafas sambil bersembunyi dibalik sebuah kotak kayu. "Kemana anak haram itu pergi!" Mereka ada lima orang, bagaimana caranya untuk mengecoh perhatian mereka, aku bukan tipe pemeran utama pria yang jago bertarung! Aku menilik mereka sampai salah seorang dari mereka sudah berdiri dibelakang ku dalam satu Hembusan nafas. "Ketemu kau tikus!" Leherku dicekik dengan kencang hingga membuatku kesulitan bernafas. "Tidak kusangka menangkap tikus seperti dia merepotkan." "Hei cepat bunuh dia, lalu kita cari wanita itu." Sialan. Tidak akan aku biarkan kalian mengganggu ibu. Aku meludah ke arah salah seorang pembunuh. BRAAKKK. Aku dilemparkan Kedinding dengan keras hingga dinding itu hancur. Badanku merasa remuk. Pembunuh itu melayangkan pedangnya bersiap untuk menyelesaikan misi. Tiba-tiba sebuah pedang menghentikan pedang pembunuh itu. CLANG. "Lindungi pangeran dan tangkap para pembunuh!" Pasukan kerajaan? Kepalaku mulai berputar akibat terbentur dinding. Pandanganku menjadi samar bagai kabut. Kesadaranku hilang seketika. Samar-samar, suara bergemuruh mengerubungiku. Namun aku tidak kuasa menjawab suara-suara itu."Ibu pastikan tahta itu hanya untukmu." Rosetta melempar pisau kecil mengenai sebuah apel merah yang tampak segar. Kini tatapannya tajam, seakan siap menyingkirkan siapapun yang berani menghalangi tujuannya. Dengan semua ini jalan masihlah sangat panjang bagi Cassian dan ibunya. Posisi yang tidak aman bahkan dalam istana yang merupakan haknya, juga tidak ada bantuan dari siapapun. Hidup dan mati ada ditangannya. Alactra tak berucap apapun setelah itu, pandangannya nampak kosong sekakan tak terbesit sesuatu apapun dalam pikirannya. Ia hanya memberikan hormat kepada sang ibu lalu meninggalkan ruangan itu, menapak lantai dan kembali menuju kediamannya. *** Paviliun putra mahkota Alactra Derek Magnus Alactra sedang termenung dalam duduknya, dengan menghadap jendela. Ia sibuk namun juga tak fokus berbincan dengan sang penasehat. Dokan Laryn Dokan Laryn sendiri merupakan seorang sarjana muda yang direkrut permaisuri untuk membimbing putra tertuanya. Ia merupakan lulusan t
Aku mendekatkan langkah ku mengitari satu sama lain dari mereka, lalu kembali berucap. "Mungkin jika kalian mengajari aku dengan baik." "Aku bisa kembali mengajari para putra dan putri kalian." "Untuk mengingat ajaran ibu mereka." Wajah mereka menjadi gelap, tatapan tajam menghujaniku. "Arogan! Sungguh arogan!" "Cassian Leonce Magnus, banyak-banyaklah bercermin." Ucap Wilona seraya meraih semangkuk tehnya. "Aku akui kau punya keberanian yang besar, Cassian." "Tapi, permainan kami anggota keluarga kekaisaran tidak semudah yang kau kira." Dua orang pengawal datang menekan tubuhku hingga aku berlutut. KGH! Bersamaan dengan itu aku merasakan sensasi aneh seperti ratusan jarum menusuk jantungku. Aku mengatupkan rahangku karena rasa sakit yang luar biasa. Tanganku mengepal menahan rasa perih dan harga diri yang mereka coba injak-injak. Mereka benar-benar tidak pandang bulu untuk menginjak seseorang! Aku masihlah putra kaisar! Beraninya kalian memperlakukan pangeran yang resmi
Lanjut pemuda itu melangkahkan kaki kebagian sisi rak."Apa kau tau kenapa racun itu dijuluki racun ular perak?"Aku menggelengkan kepalaku pelan."Racun itu bisa menciptakan katalisator darah atau blood magic, membuka segel garis keturunan tertentu dan mengaktifkan sihir kuno."Aku melebarkan mataku.Apa benar hal seperti itu ada?Jangan-jangan aku kembali ke masa lalu juga karena racun ular perak?Pemuda itu meraih rak paling atas, terdapat ramuan berwarna biru tua. Baunya sedikit menyengat, campuran antara bunga mawar dan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan.Ia menyodorkan ramuan itu ke meja."Ini dia penangkal racun yang kau cari."Pemuda ini tidak mempermainkanku kan?Apa dia benar-benar bisa dipercaya?Tidak, lebih dari itu apa aku masih punya waktu untuk pilih-pilih?Pada akhirnya aku harus mengambil resiko."Berapa?""Gratis."Aku menaikkan alisku.Gratis?Kenapa?"Kenapa?""Yah, soalnya.""Akan merepotkan aku mengambil uang jika nanti hasilnya ada seseorang yang akan mati."Di
CLANG. "Lindungi pangeran dan tangkap para pembunuh!" Pasukan kerajaan? Kepalaku mulai berputar akibat terbentur dinding. Pandanganku menjadi samar bagai kabut. Kesadaranku hilang seketika. Samar-samar, suara bergemuruh mengerubungiku. Namun aku tidak kuasa menjawab suara-suara itu. "Cassian!" Teriakan ibuku terdengar menggema bagai tetesan embun memanggil namaku, namun aku tak bisa menjawab ataupun membuka mataku. Pintu gerbang dibuka, pintu yang selama ini menjadi tanda perbatasan antara Istana dan daerah luar. Pintu itu terbuat dari baja berlapis yang tampak kokoh dan kuat. Berukir motif simetris dan nampak klasik. Suara salah seorang penjaga menggema dengan lantang. "YANG MULIA KAISAR TELAH TIBA...!" Sebuah kereta kuda megah berlapis perak dan emas, ukurannya lebih besar dari milik bangsawan biasa. Sebuah tirai sutra berwarna merah tua tersingkap. Tandu itu memiliki atribut khusus disetiap sudutnya, sehingga bagi siapa saja yang melihatnya akan tau dengan jelas bahwa itu
Rasa sakit yang luar biasa merambat ke dalam tubuhku. Ini adalah racun ular perak—racun yang orang-orang bilang sangat langka bahkan hampir mustahil untuk ditemukan. Yang menjadi ironi adalah seluruh anggota istana mengetahui dengan pasti bahwa ini adalah rencana permaisuri. Wanita licik itu tidak menyerah dalam misinya menyingkirkanku sejak dulu. Ia berdiri dengan senyum miring. Para pelayan yang betugas pun diam saja saat orang suruhan wanita berambut ungu gelap itu kerap mondar-mandir dengan gerak-gerik mencurigakan. Tak ada satupun yang melapor ataupun menghentikan. "Cassian! Jika kamu ingin menyalahkan seseorang, salahkan ibumu yang hanya seorang pelayan!" ungkap wanita itu membentangkan kedua lengannya bagai selebrasi atas sebuah kemenangan. Kalimat yang keluar dari kedua bibir bengisnya selalu mendarat tajam tanpa belas kasihan. Sosok itu mengenakan gaun beludru ungu tua, warnanya pekat dan berwibawa. Lengan bajunya panjang melebar, ujungnya disulam benang emas membentuk pola