LOGIN
Rasa sakit yang luar biasa merambat ke dalam tubuhku. Ini adalah racun Ular Perak. Racun yang dikabarkan sukar untuk ditemukan. Namun begitu ia bersarang dalam tubuh, tak diragukan lagi, imbasnya terlampau bengis.
Hadirnya racun ini tak lain adalah melalui otoritas yang mencekam kekuasaan paling agung di istana, yakni sesosok wanita bersurai ungu gelap yang tak kapok dalam misinya menyingkirkanku sejak dulu. Ia berdiri di atas marmer dengan sepatu hak tinggi yang berdenting nyaring. Suara wanita itu melengking dengan gema yang terpantul pada langit-langit ruangan. "Belum mati juga? Ini sedikit mengecewakan, aku bahkan sudah repot-repot menyewa seseorang untuk mencuri racun itu dari jauh-jauh hari. Khusus untukmu dari kediaman tabib agung." ucap wanita itu memandang dengan tatapan yang merendahkan. Hanya tawa yang bisa aku beri untuk sesaat. Wanita itu mengatakan hal yang begitu mengerikan seakan itu bukanlah apa-apa. Darah turun dari sudut bibirku. Tanganku bergetar menopang pada meja bulat dekat jendela, tepat bersebrangan dengan tempat permaisuri berpijak. Aku tahu bahwa sudah terlambat untuk mencoba melindungi diriku sendiri. Tapi aku tidak akan puas sebelum melampiaskan rasa frustasi ini pada wanita itu. "Ternyata kalian para bangsawan sangat lemah sampai ketakutan oleh anak dari seorang pelayan?!" ucapanku berhasil memadamkan seringai wanita itu, langkahnya terkunci hingga bersemayam di atas kursi kayu berpahat rumit— kedua kakinya bersilang tertutup gaun tebal yang meliuk mengikuti lekuk tubuhnya. Bercak darah terlempar keluar. Asalnya dari tenggorokanku. Wanita itu tersenyum miring. "Yah... karena kau akan menyusul ibumu sebentar lagi. Aku akan menganggap ini sebagai kalimat terakhirmu!" ujarnya mengitari permukaan cangkir teh dengan telunjuknya yang lentik. Aku mengernyit, tubuhku terasa seperti ditusuk ribuan belati dari dalam, pandanganku mulai menjadi samar bagai kabut. Aku ambruk dalam timpuh itu. Duduk berlutut dengan wajah yang begitu menyedihkan. Aku bahkan enggan melihat wajah wanita itu. Mungkin dia tersenyum dengan puas. "Beginikah akhirnya?" bisikku lirih, desiran napasku keluar dengan kukuh, mataku hampir setengah terbenam bagai potongan bulan purnama. Akankah ada perbedaan jika saja ibuku bukan seorang pelayan? Entahlah. Saat ini istana dalam genggaman permaisuri, setelah insiden pemberontakan, bahkan ayahku yang seorang kaisar juga tak selamat dari rencana licik wanita itu. Aku tidak mengasihi pria tua itu. Dia telah membuang kami sejak aku lahir. Hanya saja, aku kira putra mahkota akan berbeda. Tak kusangka, undangan putra mahkota tentang memasuki istana tidak lebih untuk memberiku posisi sebagai pelayannya. SRATTT! CRATTTT! Tebasan pedang mendarat secepat kilat, nyawaku diambil dalam satu gerakan tanpa aku sempat bereaksi. BRUKK Tubuhku jatuh dalam posisi terlentang di marmer itu dengan kucuran darah yang menetes perlahan-lahan. Akhirnya sudah selesai. Aku menatap langit ruangan dengan pikiran itu, bibirku pucat, kering tak berair. Telapak tanganku lemas sampai ijakan permaisuri melumatnya. Tapi, aku sudah tak merasakan apa-apa. Mungkinkah Jasadku tenggelam dalam kubangan darah? Jika aku mendapatkan kesempatan kedua, permaisuri dan anggota istana yang bersekongkol dengannya, aku pastikan kalian membayar hutang ini. Lalu Kaisar bodoh itu harus menerima ibuku sebagai istri sahnya. Putra mahkota, kau tak akan kubiarkan semudah itu mendapatkan tahta. Perang saudara harus terjadi! Tapi apa gunanya sekarang? Permaisuri sudah berhasil merebut segala kekuasaan ayah dan seluruh isi dari kekaisaran Magnus. Yang tersisa hanyalah kegelapan. Aku ingat bahwa aku mati karena permaisuri, kenapa sekarang malah mendengar suara-suara yang tak asing. Anehnya, rasa sakit di tubuhku seketika hilang. "Hei anak haram!" sebuah suara menggema hingga dengungnya mengetuk gendang telinga. "Masih belum mau bangun juga?!" suara itu datang kedua kalinya, namun aku menghiraukannya. BYUURRR! GELONTANG! Rasanya ombak baru saja memukul wajahku. Mataku terbuka dan mendapati seluruh tubuhku sudah basah kuyup dengan air. Napasku terengah-engah mencari udara, sedangkan pandanganku tertuju pada ember yang tengkurap di lantai kayu tua berserat. Bola mataku membulat menelusuri lekuk sekitar, semuanya tampak tak asing. "Ini?" bisikku lirih, menyeka wajah yang basah dengan kedua tangan. "Tch, akhirnya bajingan ini bangun juga!" sentak seseorang sampai tiba-tiba kerah bajuku ditarik dengan paksa, di hadapanku saat ini adalah sosok yang sangat aku kenal. Aron, seorang pelayan berusia 15 tahun yang terus merundungku saat aku masih kecil. Awalnya ia hanya mengejekku dengan kalimat-kalimat hinaan ringan, tapi karena aku selalu diam, tingkahnya semakin menjadi-jadi. Meskipun mengetahui fakta bahwa aku adalah keturunan kaisar—dengan otoritas permaisuri yang membatasi tunjangan juga pelayan untuk kami serta beberapa rumor yang tersebar, semua orang di kekaisaran mengucilkan aku dan ibu. Tak menganggap kami lebih daripada seorang buangan. "Sejak kapan kau boleh bermalas-malasan!" telapak tangan Aron menepuk-nepuk pipiku. Suaranya bergetar dengan kedua bibir maju. Tamparan dilayangkan pada ku hingga bunyi kulit itu meruah. SLAP! Kepalaku terdorong ke samping, rasa nyeri bercampur panas berhasil membelalakkan kedua mataku. Namun, ada hal yang lebih membuatku heran dan bertanya-tanya. Kenapa ini terasa sakit? Aku mengelus-elus pipi kiri yang memerah. Satu tamparan dan rasanya tulang pipiku bisa remuk kapan saja. Sial. Bukankah ini cuma mimpi? Tapi kenapa rasa sakitnya begitu nyata? Aku berpaling ke arah kanan tempat tidur, di sana terpampang sebuah cermin yang berhasil menangkap bayanganku. Awalnya bayangan itu tampak samar. Namun, begitu aku mendekat. Tubuhku bergetar hebat mencengkram cermin berukuran 900 sentimeter persegi itu dengan sekelebat. "Ini!" Aku meneguk ludahku pelan, mengedipkan kedua mata beberapa kali. Mengguncang kepala ke kanan dan ke kiri. Memejamkan diri beberapa saat, berpikir mungkin semua ini hanya sekedar mimpi. Sampai sebuah hantaman keras di punggung kembali menyadarkanku. DUAKKKKK! Suara cekikikan terdengar dari Aron dan satu orang temannya. Aku mengatupkan rahangku, saat ini bukan itu yang sedang mengusik pikiranku. Wajah yang barusan aku lihat jelas berbeda dari wajah berusia 26 tahun itu. Rambutku hitam berpangkas pendek dan mata gelap yang tampak polos. Kalau tak salah, ini adalah wajahku di usia antara 10 - 14 tahun. "Jangan-jangan aku kembali kembali ke masa lalu?" gumamku lirih. Kepalaku berputar bagai tak ada habisnya mencari kesimpulan. "Apa itu mungkin? Tapi bagaimana caranya?" Tangan itu menggaruk bagian kepala atas yang terasa gatal, lalu turun ke area punggung bawah. "Apakah alam semesta mengabulkan doaku?" lirihku sesaat sebelum aku mengerling pada Aron dan temannya, berbalik badan Lalu dengan kedua tangan yang sudah kupersiapkan dengan penuh tenaga, aku mendorong Aron dan melangkah keluar dengan gesit. Saat berhasil menapak keluar, sinar matahari menghujani wajahku. Sangat terang, wajah yang sama kemudian menoleh dan melihat rumah yang baru saja dilangkahinya. Rumah kayu tua yang tampak usang dan sederhana. Katanya aku dan ibu hanya diberi rumah ini oleh kaisar, tapi semua orang tahu itu adalah perintah permaisuri. "Kalau begitu bukankah ibu?!—" Sebelum aku sempat melanjutkan, suara seseorang telah berhasil membuat tubuhku berbalik. "Cassian." Suara itu hanya berisi satu kata, namun lembut. Datang dari arah belakang. Suara yang sudah lama aku rindukan. Wanita berambut pirang, dengan mata berwarna biru bagai lautan kristal, memakai pakaian kumal dan sederhana. Siapapun yang melihatnya dapat mengatakan bahwa ia terlihat bak peri yang seolah datang dari kayangan. Dan peri itu adalah Ibuku, Cassandra. "Ibu!" Ujarku tanpa basa-basi berlari dan mengalungkan kedua lenganku dengan erat pada tubuhnya. Perasaan rindu ini akhirnya tersampaikan. "Cassian?" Kedua mata ibu membulat bagai menyimpan sebuah pertanyaan, mungkin heran memandang tingkah laku ku yang biasanya tak seperti ini. Pandanganku tertuju pada keranjang kayu berisi tumpukan pakaian yang baru saja kering dari jemuran. Rahangku mengatup, aku sudah bertekad. Jika aku bisa kembali ke masa lalu, aku akan mengubah semua tragedi yang menimpa aku dan ibu. Mereka yang telah menyakiti ibu harus menderita! "Cassian, kamu sudah bangun? Maka sarapanlah terlebih dahulu." ucap Ibuku dengan kedua mata almondnya. Rambutnya tergerai di udara berkilau indah bagai benang emas. Tangannya beralih mengusap pelan kepalaku. "Ibu berapa usiaku?" tanyaku dengan nada tergesa. Aku menatap mata ibu yang melebar sayu. Ia tersenyum tipis kemudian menjawab. "Tahun ini Cassian berusia 12 tahun." Aku tersentak, sebenarnya ada hal yang ingin kutanyakan lebih lanjut, namun tiba-tiba suara langkah kaki mencuat dari rumah usang tadi. Itu Aron dan temannya. Keduanya selalu diam-diam menggangguku dan ibu. "Bibi, kau harus menangani putramu dengan baik! Meskipun kalian adalah buangan Kaisar, tapi aib itu masih melekat pada silsilah keluarga istana." ucap Aron, kedua tangannya melipat bagai rantai besi yang bertaut, ia melayangkan senyum miring. Ibu melangkah ke depan seakan mencoba membentengiku. Wajah Aron perlahan keruh, bibirnya terangkat ke ujung memamerkan gigi-giginya. Alisnya melengkung tajam. SRAAAK! Wajah yang sama telah terhantam keranjang pakaian yang dilempar oleh ibuku dengan kedua lengannya. "Putraku! Aku yang paling tahu bagaimana cara mendidiknya! Tidak perlu ocehan dari anak berandalan sepertimu!" lugas ibuku mengatakan. Wajahnya yang gusar tak mengurangi kerupawanannya. Ia melipat ke atas lengan baju itu meskipun dengan tangan yang kecil bagai tulang berkulit. Aku membisu sesaat dengan pikiran yang tenggelam dalam duniaku sendiri. Ada satu cara untuk mengubah keadaan kami, yaitu mencari orang yang tak terikat kubu pewaris di antara anggota istana yang lain. Orang yang hanya berpihak pada aturan dan hukum kekaisaran. Aku harus membuat koneksi dengan orang itu, si maniak aturan. Marquis Lucien Devereuq yang saat ini merupakan administrator kekaisaran. Aku mengangkat wajahku kembali, satu hal telah ku putuskan dengan pasti. Sebuah langkah pertama untuk mengindari tragedi. Namun, pertama-tama. Mataku mengintai Aron dengan tajam, tanganku berkepal. Kedua bibirku akhirnya bersuara. "Aron! Memang kenapa jika kaisar tak mengijinkan kami memasuki istana? Dengan posisimu yang hanya seorang pelayan. Sikapmu sungguh lancang!" suaraku lantang bergema, ibuku berbalik badan. Kedua matanya melebar dengan bibir bercelah seakan ada kata yang ingin ia lesatkan. Namun yang tampak hanya sorot mata terkejut juga khawatir. Pemuda berkulit pucat itu menaikkan bibirnya diikuti senyum miring, alisnya berjungkat jungkit dengan tawa terbahak-bahak. Bersama dengan itu, tiba-tiba sebuah tandu kereta kuda melintasi jalan utama, dentuman tapak kaki bergemuruh mengikuti di belakangnya merambat ke tempat kami berpijak. Kedua bola mataku mengintai. Tandu itu... seperti pernah ku lihat di suatu tempat, lirihku menelisik setiap detilnya. Fokusku direnggut kembali oleh suara Aron yang ketus. "Anak haram! Bahkan jika kalian mati di sini. Kaisar tak akan mengadakan upacara pemakaman!" aku menaikkan bibir, dengan tinggi yang baru sampai telinga ibuku, aku melangkah maju dengan percaya diri berganti memperisainya. "Bahkan kalau itu benar, apa urusannya denganmu? Bukankah perbedaan kita sudah jelas? Darah kaisar mengalir dalam tubuhku sedangkan kau? Aku rasa nasibku tak akan lebih buruk dari seorang pelayan." ucap mulutku lincah, angin berderai lirih mengibas tunik usang yang kupakai. "Bajingan ini!—" Aron melesat ke depan, suaranya bergetar dengan gusar mencengkeram secarik bajuku hingga aku tersungkur. Ia lanjut melayangkan kepalan tangan kanannya ke area wajahku berulang-ulang dengan hantaman dahsyat. BUKKK! DUAKKK! DUAKKK! pipiku terjembab ke kanan dan kiri berbenturan dengan buku jarinya yang keras, sesekali darah muncrat ke udara bagai butiran manik merah. Ibuku menjerit, melangkah maju berniat memisahkan aku dengan pemuda itu, namun teman Aron dengan sekuat tenaga menarik tangan ibuku hingga tak bisa bergerak leluasa. Pipiku membengkak, kedipanku mulai terasa kabur, seringai tipis masih kupajang untuk Aron yang diselimuti kegeraman. Wajahku membeku begitu sesosok bayangan muncul di belakangnya. Tiba-tiba sebuah tangan mencengkeram kepala anak itu dengan begitu mudahnya, melemparkannya bagai pakan ikan. BRAKKKKK! Suara dentuman renyah datang dari meja kayu yang terpecah-pecah menjadi ukuran kecil atas hantaman tubuh pemuda berambut coklat pudar itu. Sosok itu kini tunduk dalam timpuhnya begitu tapakan sunyi dari sepatu boots berwarna coklat melayang di atas rumput hijau. "Hormat kepada Tuan Marquis." Dugaanku benar. Kebetulan sekali, tandu itu adalah milik Marquis Lucien Devereuq. kataku dalam batin kembali menoleh ke arah tandu yang telah berhenti di tengah-tengah jalan. Aku masih terbaring menyedihkan. Tapi kenapa dia repot-repot melakukan ini? Apa karena aku membiarkan Aron memukuliku? Marquis Lucien kini menatapku dengan kedua mata bak memindai. Aku terbujur kaku dengan wajah penuh gundukan luka. "Tangkap anak itu." ujarnya menilik ke tempat Aron terhempas. Ia terhenti dalam langkahnya masih melanjutkan dialognya dengan kalimat lain, "Aku akan melaporkan kejadian hari ini secara langsung kepada yang mulia." Pria itu melangkah ke teman Aron yang akhirnya melepaskan genggamannya pada ibu dengan tubuh gemetar. SLAPP! Pipi itu terhempas jauh dengan suara yang menukik. Satu hempasan tangan dari sosok itu dan teman Aron tepar dengan mudahnya. Ia mengibaskan tanganya sampai salah seorang pria bertubuh besar dengan baju besi mempersembahkan secarik kain. "Apa kalian ingin menyampaikan sesuatu untuk kaisar?" ucap pria itu menyeka kulitnya dengan kedua mata yang merancung dingin. Ibuku tertegun, ia mencengkeram dadanya dengan erat, bibirnya bergetar. "Anda... adalah Marquis Lucien Devereuq?" kata ibuku lirih, napasnya berhembus dengan terputus-putus. Aku meringis, luka-luka yang masih segar membenamkan kulitku dalam rasa perih. Namun aku tak bisa hanya terbaring di sini. Satu kepalan tangan itu kuhantamkan sebagai penekan tubuh untuk segera dalam posisi duduk. Sebelah mataku tenggelam dalam benjolan berwarna ungu. "Ada! Sampaikan pesanku!" ujarku dengan suara bergetar, aku menyeka darah di ujung bibir menekan perut hingga tegak berdiri. Bukan berarti rasa sakit itu telah sirna, namun rasa sakit yang sama telah tersingkir oleh sesuatu yang lebih kuat, yaitu tekad. "Katakan pada ayah! Biarkan aku dan ibu masuk istana atau kami akan meninggalkan kekaisaran dan bermigrasi ke daerah lain." kalimat itu adalah lanjutannya. Kedua mataku berhimpit perih, tajam menatap pria itu. Marquis Lucien terdiam, keheningan itu membuatku menelan ludah, jantungku hampir meledak begitu tawa lantang mencuat bagai guntur di tengah gelapnya mendung. Ia menyeka air matanya. "Anda sungguh arogan. Apa karena saya datang membantu sekali? Anda tidak lupa kan? Yang mulia kaisar punya banyak anak dan istri, apa yang membuat anda merasa layak?" pria itu bercetus dengan gamblang, kedua jarinya bergerak bersama dua penjaga yang menyeret Aron dan temannya. "Aku sudah mengatakan yang ingin ku katakan. Sisanya adalah keputusan kaisar. Kami sudah tidak bisa menetap di sini. Tentu kalian tahu pasti alasannya, beberapa orang hanya mengamati dari kejauhan seperti pecundang." aku menjawab penuh dengan kejelasan. Dapat aku lihat salah satu mata Marquis Lucien berkedut, ia berkepal dengan dengan dengusan kasar. "Baiklah, aku permisi." pria itu memutar balik badannya setelah melayangkan pandangan lancip. Geraknya layak disebut sebagai seorang bangsawan. Rambut panjang berkuncir kuda itu berkilau coklat keemasan bertemu matahari yang menjatuhkan kembali teriknya. Kedua tangan ibu mencengkeram pundakku dengan erat, sorot matanya menggelap. Aku mungkin tahu apa ada dalam benaknya, karena alasan itu juga aku mampu berkata, "Ibu, tolong percaya kali ini saja pada putramu." mendengar hal itu ibu menyipit, tak berucap lebih lanjut, ia meraih keranjang kayu berisi pakaian yang tadi ia lemparkan kepada Aron lalu berujar lirih. "Kamu tak seharusnya bersikap seperti itu di hadapan Marquis Lucien, Cassian." aku tertunduk dengan tangan mengepal. Apa yang ibu katakan menggores secarik harapan yang kumiliki. Pandanganku perlahan pudar bersamaan dengan tandu kereta kuda yang melanjutkan tapaknya di jalan. Sore berganti menjadi malam, aku dan ibu menikmati hidangan sederhana di atas meja makan yang terbuat dari kayu lapuk. Alas makannya pun jauh dari kemewahan. Tengkuk belakangku bergidik. Perutku naik ke atas bagai ada ganjalan batu yang bergerak. SRAAAKK. Tak sampai jarak satu sentimeter sebuah pedang menancap dengan laju bak kilat hampir menusuk kepalaku setelah akhirnya mendarat tepat di meja makan. "Cassian!" ibu menjerit. Bayangan melesat dari udara menampilkan beberapa orang berkostum serba hitam bergerak lincah mengepung kami. Sentak napasku mengerling pada suara lugas di antara mereka. "Seharusnya kalian hidup seperti tikus!" satu sapuan tanganku menggait teko berisi air mendidih untuk kusiramkan kepada mereka dengan lingkup memutar. "AKHHHH!" jeritan para pembunuh itu menggema begitu rasa panas menghantam bagai membakar tubuh mereka. Aku menggait tangan ibu melangkah lewat pintu belakang, menuju jalan semak-semak yang gelap menuju hutan belakang istana kekaisaran. Terlihat seperti jalan buntu, tapi bertujuan supaya tak ada orang yang tahu. "Ibu, anda pergilah ke sana dan minta bantuan!" ucapku dengan keringat yang bercucuran. Kini tugasku adalah menunggu para pembunuh sebagai umpan, ibu tak langsung setuju, ia mengajukan pertanyaan , "Bagaimana denganmu?!" ibu menggait lenganku dengan paksa. "Aku punya rencana sendiri! Ibu bergegaslah, kita tak punya banyak waktu!" Jika keberuntungan memihak kami, maka ibu akan menemukan tempat rahasia pasukan elite kekaisaran. Aku melepas jemari ibu dari secarik kain lusuh yang membalut tubuhku. Ia masih memberikan mata sendu itu, namun yang terjadi harus terjadi. Aku mengambil langkah mundur, berlari ke arah yang berlawanan dengan ibu. Untunglah ibu mendengar permintaanku dengan baik. Ia juga melaju ke arah yang sudah ku tunjukkan. SRAKKKK. Pembunuh itu menebas pepohonan, berhasil mengejar. Aku berlari sekuat tenaga masuk ke dalam gang sempit semak belukar, lalu terhenti di sebuah bangunan tua yang tak jauh dari rimpun pepohonan. "Kemana bocah itu pergi!" Mereka sebelumnya berjumlah lima orang, namun kini hanya sisa empat. Dimana satu yang lain? Aku menilik mereka, degup jantungku menendang dahsyat. Napasku tercekat hampir keluar dengan sentakan. Kesunyian menyelimuti, namun justru jantungku semakin menggebu-gebu karena situasi ini. Aku memindah tubuhku lirih berniat berbalik arah untuk bersembunyi di tempat lain, namun tiba-tiba suara napasku keluar dengan sentak kejut lantang. GASP! Sosok bayangan hitam ada di belakangku memandang dengan tatapan runcing meraup leherku dengan mudah dalam genggamannya. "Ketemu kau tikus!" Tubuhku menggantung di udara, kakiku menendang-nendang kehampaan tanpa suara. Jeritan sunyi melolong, air asin yang menetes di ujung mata. Jemari pembunuh itu menekan erat hingga titik rawan. Kedua tanganku memukul-mukul dengan ketidakberdayaan. "Tidak kusangka menangkap tikus seperti dia merepotkan." ucapnya dengan cengkeraman tangan semakin bertenaga. "Jangan buang waktu! Cepat habis dia, lalu kita cari wanita itu." ujar salah seorang dari mereka bersiap menarik sarung pedangnya. "KEUGHH! CUIHHH! Ludahku melesat tepat di atas pipi pria itu. Aku menyeringai, lengannya menegang, lalu dengan penuh kekuatan dia menghempas tubuhku hingga menghantam salah satu dinding kayu. BRUAAKKK. "KEUKKG! COUGH!" Dinding itu terpecah belah dengan retakan kayu yang tajam, setelah mendarat dengan dentuman keras, tubuhku tersungkur ke lantai bawah. Kepalaku berputar, napasku tertahan dengan kucuran darah dari ujung bibir. Hingga cairan kental berwarna merah itu menyembur. Pelipis pria itu berurat, rahangnya mengatup kuat. Dengan satu gerakan, sebuah pedang terhunus keluar. Pria itu meledak bersiap dengan tikaman tajam. Bilahnya telah dekat dengan leherku, tiba-tiba— KLANGG! Lesatan pedang dari arah tak teduga menepis pedang itu hingga terlempar jauh. "Lindungi pangeran dan tangkap para pembunuh!" lantang suara salah seorang diikuti gemuruh tipak langkah berat. Pasukan kerajaan? lirihku dengan mata yang akhirnya terbenam."Informasi ya, kurasa kalian tidak sepenting itu untuk ibuku repot-repot. Pada akhirnya anggota istana punya satu kesamaan, mulut mereka lebih besar daripada otaknya." ucapan Cassian membuat Ruby bangkit dari semayamnya, meraih secangkir teh itu lalu ia lemparkan ke arah wajah Cassian CPRAAAT***Pemuda itu tergelagap dalam lemparan air teh yang untungnya tak panas.Itu bisa menjadi masalah yang lain jika teh itu masih mendidih. Cassian menyeka wajahnya dengan secarik baju dari lengannya kemudian menatap Ruby dengan fokus yang mantap. Sedangkan Ruby mengatupkan rahangnya dengan alis yang naik penuh dengan kerutan wajah."Orang sepertimu ternyata punya mulut yang licin, sepertinya kau tidak bercermin ya? Ibumu adalah seorang wanita yang melebarkan selakangannya untuk kaisar!"GRAB"Keugh!" mata Ruby terbelalakkan begitu telapak tangan Cassian membalut lehernya dengan cekikan erat membuat wanita itu bernapas dengan tersumbat. "L-lepaskan!" mendengar ucapan itu, dari pada melepaskan
"Archduke! Jangan bicara seenaknya! Tanpa kami Kekaisaran ini sudah lama jatuh miskin! Jika bukan karena permaisuri bersedia menikah dengan kaisar, orang-orang dari kerajaan Zaraon tak akan Sudi harus bekerja di bawah kekaisaran!" Pria dengan perut besar kembali menjawab dengan sebuah pernyataan. ***Azriel melangkah maju dengan senyum penuh ejekan itu. "Kalian pikir jika bukan karena kaisar dan ayah kami yang merasa kaisar sebelumnya. Kalian masih bisa hidup dengan nyaman di kekaisaran ini? Kerajaan Zaraon adalah penyebab pecahnya perang besar di waktu itu." dengan tatapan tajam Azriel berucap lantang menantang paran bangsawan itu dengan berani.Tak hanya Azriel, namun Valkan pun ikut maju dengan tatapan tajam bak serigala yang siap memangsa. Tangannya bergerak ke area pinggangnya mencengkeram gagang pedang berukir rumit dalam satu gerakan, hingga pedang berdenting itu keluar dengan suara tajam. SRINGPara bangsawan seketika bergerak refleks mundur seakan menghindari bahaya. Tat
Di sana juga, Runette telah berdiri dengan banyak gulungan di atas meja."Kalian rupanya." cetusnya singkat mengarah fokus ke mereka bertiga.***Langkah Nin dan dua orang di belakangnya terhenti, ia meletakkan satu tangannya di dada kemudian berucap. "Saya Nin, tabib istana yang kaisar perintahkan untuk menjemput anda." cetusnya dengan suara pelan. Agnetto dan Bald melakukan gerakan yang sama tanpa menyebutkan nama mereka. Runette menutup mulutnya dengan kepalan tangan lalu suara gemuruh ringan berbunyi."Cough! Cough! Sepertinya kaisar sangat terhimpit sampai membutuhkan batuan pria tua sepertiku." katanya dengan suara serak yang lemah. Ia melangkah mendekat meninggalkan segala benda-benda yang ia genggam. "Ayo berangkat." ujar nya melangkah mendahului. Kembali ke istana kekaisaran, langit telah menyebarkan terang sekaligus terik yang sedikit menyakitkan.Cassian dengan seragam pelayanya menggerakkan kedua tangan untuk beraktivitas sepanjang jalur istana Bintang. Benar, pavil
"Aku tak punya apapun, kita bisa pergi sekarang." Alactra terdiam sejenak, kemudian kembali terkekeh dengan ucapan pemuda di hadapannya. "Baiklah. Ayo pergi." ***Dengan satu kuda yang sama, Cassian dan Alactra menuju ke istana dalam satu boncengan.Tapak kuda itu kendur setelah tiba di gerbang istana dalam beberapa waktu, tak sampai satu jam. Alactra membawa Cassian ke area istana bulan. Dengan bajunya yang lusuh, banyak pasang mata yang menilai pemuda itu dengan persepsi serba-serbi. Cassian berjalan dengan enggan seakan takut mengotori lantai-lantai istana. Pemuda itu menatap bangunan megah yang terpampang di hadapannya dengan kedua mata yang letih serta berkantung hitam. "Kemana kita akan pergi? Menemui kaisar?" tanya pemuda itu mengikuti langkah Alactra dari belakang. Mereka melewati ruangan demi ruangan, lorong demi lorong hingga Sampailah di sebuah pintu besar. Dengann dua orang penjaga di depannya. Alactra mendorong pintu itu dengan tangan kanannya hingga kayu perseg
Ucapan itu hanya menimbulkan tawa lantang dari kedua bibir Rosetta "Hahahaha!" ia mendongakkan kepalanya ke atas tertawa dengan puas.***"Valerius, sungguh. Melihat kisah cintamu dengan seorang pelayan membuatku tertawa geli." permaisuri melanjutkan dengan nada yang mengejek. "Lagipula, kenapa wanita itu sangat bodoh. Pria yang dia cintai punya banyak anak dan istri. Bukannya segera mencari pria yang dapat menghidupi kebutuhannya. Dia terus menunggumu seperti anjing patuh." mendengar ucapan Rosetta, semakin mengobarkan amarah Valerius. Ia tak kuat mendengar segala omong kosong itu, tapi pada saat yang sama ia merasa bersalah karena ucapan Rosetta ada benarnya."Cukup! Aku akan membawa putraku ke istana! Dia akan mendapatkan haknya juga kursiku untuk melanjutkan tahta kekaisaran!" Valerius menyambar dengan keputusannya yg sudah bulat. Tiba-tiba pintu terbuka menampakkan seorang pelayan dengan dua cangkir teh yang masih mengepulkan asap hangat. "Yang mulia, ini adalah teh herbal s
Mendengar ucapan Ruby, permaisuri menaikkan satu alisnya penuh dengan pengamatan yang intens. Sedangkan kedua adik Ruby, Damien dan Dalaine dengan rambut merah terangnya hanya membuat wajah penuh kepolosan. ***Seluruh orang kecuali Cassian telah meninggalkan ruangan itu. Diskusi telah selesai.Pemuda itu kini berhadapan dengan ayahnya sang kaisar.Suhu ruangan yang hangat menyebabkan dahi Cassian sedikit berkeringat, namun matanya masih menatap ke depan menunggu salah satu dari mereka untuk memulai percakapan. "Apa yang terjadi sangatlah cepat, dan kau menyelesaikannya dengan baik." kalimat itu keluar dari mulut kaisar. Entah apa yang sebenarnya coba ia katakan, namun apa yang ada dalam pikiran Cassian masihlah berupa kekecewaan."Jika saya tidak melakukan sesuatu dan membuat Kalaine mengaku. Apa anda hanya akan diam saja dan memenjarakan ibu dengan bukti-bukti itu? Bukankah para pelayan yang menjadi saksinya?" Cassian geram, namun tak ia tampakkan. Pria di hadapannya adalah ay







