Masuk"Lindungi pangeran dan tangkap para pembunuh!" lantang suara salah seorang diikuti gemuruh tipak langkah berat.
Pasukan kerajaan? lirihku dengan mata yang akhirnya terbenam. *** "Cassian!" suara lembut penuh kasih mendarat dengan isak tangis lirih. Casandra tersungkur di samping putranya yang terbaring bergelimang noda merah penuh goresan. Wanita itu berhasil melacak keberadaan Cassian dengan kemampuan para anggota pasukan elite kekaisaran yang ia temui berdasarkan arahan Cassian. Dengaan kekuatan yang sama pula, para pembunuh itu telah diberantas habis tanpa jejak. Kini kedua ibu dan anak itu diangkut kembali menuju tempat yang seharusnya. *** Malam hari : Istana kekaisaran Gerbang kekaisaran telah dibuka, sebuah akses yang selama ini menjadi tanda perbatasan antara Istana dan daerah luar. Gerbang itu terbuat dari besi berlapis seng berukuran lebar × tinggi yaitu 20 × 30 meter dengan bentuk persegi panjang. Pada permukaan besi terdapat benjolan-benjolan besi kecil sebagai salah satu bentuk dekorasi juga penguat keamanan. Lampu-lampu yang berderet pada posisinya masing-masing telah bersinar menyinari siapapun yang hendak lewat. Bersama suara pekikan kuda yang datang, suara seorang penjaga menggema dengan lantang. "YANG MULIA KAISAR TELAH TIBA!" Sebuah tandu kereta kuda megah berlapis perak melangkah masuk dengan gemuruh, ukurannya besar, lebih daripada kepunyaan bangsawan biasa. Sebuah tirai beludru berwarna merah tua tersingkap. Tandu itu memiliki atribut khusus di setiap sudutnya, hingga bagi siapa saja yang melihatnya akan tahu dengan jelas bahwa itu bukan milik sembarang orang. Sedangkan di sudut ruangan yang lain, sepasang mata membuka samar-samar. Dapat ia lihat atap langit yang tak sama dari kayu usang di rumah tua miliknya. Harum ruangan beraroma lavender menggelitik indra penciuman. Dengan setengah badan berbalut selimut, ia mendesah lirih meregangkan tubuhnya. "Di mana?" Ujarnya lirih, tubuhnya terbenam di atas kasur busa tebal dengan kain beludru berkualitas premium. Pandangannya beralih, di sampingnya terdapat laci meja yang terbuat dari kayu solid mengkilap. Kini ia mendongak. Di atas sana telah hinggap lampu besar yang berbentuk kristal. Ia mengusap kedua matanya. Tenggorokan pemuda itu masih gersang. Sunyi melanda. Kedua matanya terbuka-tutup beberapa kali sampai akhirnya tersadar dengan sebuah sentakan. "Gasp! Ibu?—" Teriaknya tak cukup lantang. Batuk menderai bak pecahan kaca. Kedua pundaknya bergetar sampai seorang wanita dengan tunik hitam putih mendekat menundukkan kepala. Tangannya samar bergetar menyodorkan wadah bening berisi air putih. "Pangeran Cassian, anda sudah bangun?" ucap wanita muda itu. Tubuhnya merendah dengan sorot mata ke bawah bagai enggan atas keberadaan seseorang. (Pangeran? Apa dia baru saja menyebutku dengan panggilan itu?) —ujar Cassian dalam batinnya. Ia menyeka kedua bibir itu dengan sapuan. Diraihnya segelas air putih dari sang pelayan untuk ia teguk sebagai pengobat dahaga. (Sepertinya aku berhasil masuk ke istana lebih cepat dari rencana. Padahal niatku adalah mendekati Marquis Lucien terlebih dahulu.) Jemari Cassian meletakkan balik gelas itu di atas sebuah nampan. Wanita itu menaikkan bibirnya tipis. "Dimana ibuku?" Cassian bertanya dengan dahak lirih, suaranya parau. "Nyonya Cassandra sedang menghadap kaisar." (Ibu? Menghadap kaisar?!) (Tidak! Aku harus segera kesana.) Pemuda itu beranjak dari tempat tidurnya. Langkah pertamanya masih terhuyung, namun setelah beberapa pijakan, ia sudah cukup mampu berlari melesat keluar ruangan. Tujuannya jelas, untuk melihat apa yang ibunya dan kaisar bicarakan. Beberapa menit berlalu, sampailah ia di depan pintu megah dengan tinggi 5 meter yang tersusun dari dua pasang penutup. Dua orang penjaga dengan baju besi berdiri tegak dengan persenjataannya. Cassian mencengkram dadanya melaju tanpa rencana, sampai dua tombak dengan sigap menahan tubuhnya. "Tidak bisa masuk tanpa perintah kaisar!" cetus kedua penjaga itu lantang. Pemuda itu berdecak, masih dengan tunik lusuh yang penuh luka. Ia berdiri dengan pandangannya yang tajam. "Kalian tidak tahu siapa aku?! Aku adalah putra kaisar!" ucapnya lepas dengan suara pecah. Tiba-tiba terdengar suara hak sepatu menelusuri lantai berbalut bludru merah itu. Tapaknya menggema dengan sebuah dentuman telah berhasil meraup dominasi atas keheningan ruangan. "Kampungan sekali! Baru memasuki istana ya?" cetusnya dengan suara melengking. "Yah...tidak terlalu mengejutkan, anak dari seorang budak sepertimu pastilah belum tahu aturan dan sopan santun." ujar seorang gadis muda berparas menawan. Rambutnya panjang bergelombang dengan warna merah gelap. Riasan tebal pada wajahnya dipadu gaun bangsawan terbuat dari beludru hitam menambahkan aura kuat nan mencekam. Wanita itu sudah tak asing lagi bagi Cassian di kehidupan sebelumnya. Ruby Rynete Magnus, putri kaisar dengan Selir pertamanya, Rosaline. Mata pemuda itu menyipit. Ia kembali memandang pintu besar yang masih disegel penjaga. Tak berniat beradu mulut dengan Ruby untuk saat ini. Karena apa yang terpenting adalah ibunya, Cassandra. "Buka!" ketusnya sekuat tenaga. "Tidak ada perintah kaisar, tidak bisa masuk!" kedua penjaga itu masihlah melemparkan kalimat yang sama. Ruby mengepakkan kipasnya, tawanya melolong bagai cemooh. Kakinya melaju melewati Cassian dengan satu ucapan terakhir. "Konyol." Ucapan itu berhasil membuat Cassian mendengus. Matanya lancip memandang Ruby yang telah menapak jauh. Tak berselang lama, seorang pria dengan pakaian bangsawan kelas atas berwarna putih berukir embordir keluar dari pintu besar itu, langkahnya sunyi namun terasa berat. "Pangeran, kaisar telah memanggil anda." ucap pria itu dengan senyum dingin, yang tidak lain adalah sang administrator Kekaisaran. Marquis Lucien Devereuq. DREEEETTTTT. Derit pintu berbunyi lantang, cahaya dari lampu kristal di ruangan itu telah berhasil menusuk kedua pupil hitam Cassian. "Silau." lirihnya dengan gigi yang meringis. Sosok yang ada di hadapannya saat ini adalah kaisar, alisnya tebal dengan garis naik. Bentuk wajah yang maskulin juga rupawan. Kumis dan jenggot tak melekat sama sekali pada wajahnya. (Ayah sungguh tidak seperti yang ada dalam bayanganku selama ini.) (Di kehidupan sebelumnya, aku belum pernah bertemu kaisar. Ia dikabarkan sakit-sakitan dan tidak boleh meninggalkan kamarnya.) (Sedang, prosedur kepememimpinan dilakukan lewat permaisuri.) Di ruangan itu telah tampak sosok yang Cassian cari. "Saya memberi hormat kepada matahari kekaisaran." Cassian menunduk dengan pose badan tegak. Suaranya lemah nan serak. Namun mata itu masih mengamati wanita yang berdiri tak jauh dari tempat ia berpijak. Ibunya, Cassandra. "Angkat kepalamu." ungkapan kaisar terdengar berat, setiap kata yang keluar menyatakan keyakinan dan tujuan yang jelas tanpa memberikan ruang bantahan. (Apa aku sekarang gemetar?) Cassian mengepalkan tangan, menaikkan pandangannya tepat ke arah kaisar. Figur itu tampak gagah dan berdiri tanpa rasa ragu. "Cassian, Benar?" tanya pria paruh baya itu dengan intonasi seakan memberi komando pada sebuah perang. "Ya, yang mulia." Jawab Cassian dengan kedua tangan yang menggantung di udara. "Cassandra. Kamu sepertinya tidak becus mengurus seorang anak." cetusnya dengan kedua bibir tipis itu. Matanya lancip memandang. Cassandra menumpukan kedua tangannya dan berlutut dengan gemetar. Pemuda itu mengerling pada kaisar dengan tajam, segera melangkah memperisai ibunya. "Cassian!" Cassandra memanggil putranya dengan isak tangis bercampur kekhawatiran, takut akan menyinggung sosok di hadapan mereka. "Jangan bicara seenaknya pada ibuku!" cetus Cassian lugas, rahangnya mengatup kuat. Kaisar menyipitkan matanya. Ia mengamati pemuda itu dari atas hingga bawah seakan memindai sebuah objek. "Lucien. Jelaskan apa yang terjadi." Kaisar melanjutkan. Marquis lucien memberikan hormat kepada kaisar sampai ia berdehem. "Baik. Yang mulia. Jadi...singkatnya, anak laki-laki ini adalah putra anda dengan mantan pelayan pribadi anda Cassandra. Namanya, Cassian Leonce Magnus" usai Marquis Lucien menjelaskan. Suaranya tenang bagai rintik hujan. "Magnus?" sela Kaisar dengan ketus. "Bukankah anda sudah mengijinkan Cassian untuk memasuki istana?" tanya Marquis Lucien memastikan. Kaisar tak menanggapi lebih lanjut. Ia melangkah dengan berat membenamkan dirinya pada sebuah kursi kayu solid berwarna coklat. "Cassian. Aku hanya akan mengatakannya sekali." hening mendera ruangan itu. Tak satupun berani bersuara bahkan seekor lalat sekalipun. "Kenyataannya adalah benar—bahwa... kau seorang anak haram. Dulunya Ibumu, Cassandra adalah pelayan pribadiku, darah memang tetaplah darah dan siapapun tak bisa mengubur fakta itu. Tapi istana ini bukanlah tempat bermain. kekaisaran punya aturan sendiri yang terkadang tak akan memberi ampun pada siapapun tak terkecuali." ia masih melanjutkan. "Kehadiranmu... adalah sebuah kekacauan...banyak pihak yang akan keberatan akan keputusan yang kubuat. Ingatlah satu hal, bahwa ketidakbergunaan manusia adalah dosa. Kau boleh menyandang nama Magnus. Tapi..." pria itu terdiam sejenak. Sorot matanya berubah. "Hidup dan mati. Kau tanggung sendiri. Aku tidak akan membantumu. Kau bisa menjadi pengeran, dan ibumu akan kuangkat sebagai selir, Ingatlah selalu bahwa titahku mutlak di istana tempatmu berpijak." Cassandra membungkam kedua bibirnya dengan tangan berkulit putih itu, Isak harunya hampir keluar. Kedua matanya meneteskan secercah kebahagiaan. Cassian terdiam, ia memejamkan kedua matanya kemudian melihat kaisar dengan kepalanya yang terangkat. (Bahkan sekalipun aku berhasil memasuki istana. Pada akhirnya, tak ada seorangpun yang akan menjamin keselamatanku dan Ibu.) (Termasuk kaisar sendiri.) Pandangan Cassian menjadi kosong. Ia menerawang ke arah jendela, namun pikirannya mungkin sudah berlabuh lebih jauh. *** Pagi hari : Keesokan harinya Aroman semerbak bunga mawar menjangkau di antara sela jalan berpagar tanaman. Di salah satu area yang masih dalam cakupan istana, berderet pohon hijau subur dengan aroma segar khas embun pagi. Cassian melangkah bersama sang ibu. Jalan setapak itu terbuat dari batu paving yang ditanam rapi berhiaskan bunga mawar putih di pinggirannya. Baju lusuh nan usang telah berganti. Sunyi tiba-tiba datang, bibir Casandra bersela. "Cassian...maafkan ibu." lirih wanita dengan gaun putih itu. Langkahnya terkunci di tengah jalan dengan mata sayu. Ia memandang sang putra. Sesuatu ingin keluar, namun belum tersampaikan. Cassian menoleh ke wanita itu, menggelengkan kepalanya. Bibirnya melekuk ke atas. Pandangannya melaju ke depan. "Itu sudah berlalu Bu, kita akan tinggal di sini mulai sekarang." ucapnya dengan tenang, ia menilik tangan yang bergantung saling menggenggam. Tawa samar-samar keluar bersama gema langkah yang melesat kembali. Dua orang wanita dengan tunik hitam putih telah menghadang. Satu memandu Pemuda berambut hitam itu. Satu lagi membawa ibunya. Istana kekaisaran adalah wilayah yang terbentang dengan luas 288 Hektar berisi segala bangunan di atasnya. Denahnya telah membagi area itu dalam beberapa arsitektur, di antaranya ; 4 istana utama, satu bangunan besar berupa perpustakaan , satu area lapangan luas sebagai latihan berpedang, aula halaman utama, area kompetisi, gudang persenjataan, asrama para prajurit, area perkumpulan umum, paviliun tamu dan masih banyak lagi. Cakupan dari 4 istana utama adalah istana kaisar dengan sebutan istana Matahari. Istana permaisuri atau disebut juga istana Bulan. Istana para pangeran dan putri yang dinamai istana Bintang. Sedangkan istana para selir disebut istana Langit. Sementara Cassandra telah menuju istana Langit, kedua kaki Cassian telah melalui jalan setapak cukup lama hingga akhirnya melangkah pada sebuah gerbang tanpa penutup. Dua orang penjaga merendahkan kepalanya. Cassian mengangguk, namun perjalanan itu belumlah usai. Ia masih melaju hingga terhenti pada deretan cahaya berbentuk oval. "Ini... adalah sihir?" ujarnya dengan pandangan berkeliling. "Yang mulia, ini adalah arsitektur yang kaisar buat sendiri untuk para pangeran dan putri. Mereka akan mendapatkan satu Paviliun pribadi dengan tempat yang saling berjauhan." ucap pelayan itu mempersilahkan. Mata Cassian masih membelalak, ia melangkah pada salah satu pintu cahaya dengan arahan wanita itu. Dalam sekejap tubuhnya berpindah. Di hadapannya saat ini adalah bangunan megah yang terbentang dengan luas. Pagar dan taman bunga mengerubungi di sekelilingnya. "Silahkan yang mulia." wanita itu melanjutkan. Dari kejauhan mata Cassian berhasil menangkap sosok yang tak asing baginya. "Salam kepada bintang kekaisaran." Marquis Lucien membungkuk. Dengan tangan yang berpaut di dada. Ia memberikan salam penghormatan di ikuti seorang wanita muda di belakangnya. "Anda tidak perlu formal denganku." ujar Cassian menatap pria itu dengan bibir naik ke atas. "Aturan harus dijalankan." Marquis Lucien membenamkan kedua matanya. Suaranya melayang datar. Cassian berdesah kasar, hanya mengangguk sebagai pengusai formalitas. "Yang mulia, saya akan menempatkan wanita ini sebagai salah satu pengikut anda." ujar pria dengan pakaian berbahan beludru coklat itu mempersembahkan senyum tipis. "Saya Lux, siap melayani anda." wanita itu melangkah ke depan dengan penuh ketundukan. Suaranya lembut namun tegas. Cassian menyetujui, hanya selang beberapa menit seorang penjaga berbaju besi dengan tubuh kekar datang berhirit dengan para wanita bertunik hitam putih. "Memberi hormat kepada bintang Kekaisaran!" ucapanya diikuti suara lain, totalnya sekitar 15 orang. "Yang mulia, permaisuri menghadiahkan anda para pelayan ini." ucap penjaga itu, suaranya bergetar dengan penekanan. (Begitu rupanya.) (Wanita beracun itu sudah menyiapkan begitu banyak mata-mata.) "Ya, sampaikan rasa terimakasihku." Cassian mengibas tangannya lirih. Marquis Lucien menghimpit kedua matanya, kedua bibirnya tak membuat lekuk. Ia memindai muda-mudi yang baru datang itu dengan raut wajah penghakiman. "Kalau begitu saya juga harus pamit yang mulia." ucap sang admistrator kekaisaran menundukkan kepala. Cassian merendahkan kepalanya sekilas mengembalikan penghormatan dengan baik. "Lux, kau ikut aku." cetus Cassian melangkah menuju jalan keluar. "Baik yang mulia." wanita itu mengikuti dari belakang. Kedua matanya membulat dengan segudang tanya. *** Monolog. Di kehidupan sebelumnya aku mati karena meneguk racun dari permaisuri. Kemungkinan asalnya dari makanan yang dihidangkan setiap harinya. Kali ini tidak ada yang menjamin hal yang sama tak terulang kembali. Aku membawa wanita bernama Lux itu pergi ke pusat kota. Pusat kota adalah area yang terbentang luas dengan batas dinding besar yang kokoh. Terbagi menjadi empat distrik utama dengan masing-masing empat menara penjaga di setiap distriknya. Distrik Utara, wilayah kekaisaran sebagai jantung pemerintahan dan area para bangsawan. Distrik Timur merupakan area militer dan pertahanan. Distrik Selatan, area perdagangan dan rakyat jelata. Terakhir, distrik Barat adalah area seni dan hiburan. Tujuanku kali ini adalah Distrik Selatan yang merupakan area perdagangan dan rakyat jelata. Hal kedua yang sudah ku putuskan yaitu meminimalisir tragedi racun. Aku dan Lux telah berjalan dengan kereta tandu sederhana, melewati jalan setapak, bukit, jalan hutan Merah, lalu menerobos ke area penuh dengan warga berbusana biasa. Perhentian kami ada di sebuah rumah tua yang warga sekitar bilang sebagai tempat mantan alkemis bersembunyi. Rumor menyebutkan ia memilih kehidupan biasa daripada harus terlibat dengan para bangsawan. Karena pada akhirnya mereka hanya akan tesibukkan dengan politik dan ketamakan akan kekuasaan. Lux mendahuluiku masuk untuk memantau keadaan sekitar, memastikan keamanan. Begitu melangkahkan kaki ke dalam rumah, kami disambut dengan dekorasi rumah tua yang berantakan. Lantai rumah itu terbuat dari kayu, warnanya coklat gelap. Dari sisi kiri terdapat rak dengan banyak sekali jenis obat-obatan juga ramuan, mirip seperti tata letak apoteker. Sedangkan di sisi kanan, terdapat sebuah meja luas berisi ramuan-ramuan yang terlantar. Aroma obat-obatan yang saling bercampur menciptakan kepulan bau aneh yang tak menyenangkan. Sosok manusia dengan lembar koran menutupi wajahnya telah terpajang di bawah kolom meja, dari sosok itu bunyi dengkuran keras menggema. Lux memperisaiku mendekati sosok itu terlebih dahulu. "Bangun! Sebutkan identitamu!" Tangan itu meraih lembar tipis yang menutupi wajahnya. Pupil berwarna putih dengan lekuk mata tajam. Kulitnya terlihat bersih dan segar. Sosok itu terlihat seperti seorang siswa akademi yang membolos di jam pelajaran. "Ugh... kenapa kalian mengganggu waktu istirahatku?" ujar pria itu dengan bualan setengah sadar. Lux menatap pria itu dengan tajam. "Perhatikan tingkah lakumu! Di hadapanmu saat ini adalah—" ucapan itu kupotong segera. "Lux, tenanglah!" lugasku. Lux menoleh ke arahku dengan kepala tertunduk, mengambil napas dalam sampai akhirnya membisu. "Tuan muda, apa anda pemilik apotek ini?" tanyaku dengan kedua bibir naik ke atas. Pria itu berdiri dari duduknya melewati kolong meja sampai akhirnya kepalanya berhantam dengan sisi meja yang tajam. "KEUGHH! Bocah kecil ini bukan tempat bermain anak-anak." lanjutnya, ia mengusap kepalanya berulang-ulang dengan gigi yang meringis. Lengan baju Lux terangkat, tawa gelinya samar terdengar. "Hmm...bukan aku pemiliknya, pak tua itu sedang punya urusan. Tapi jika kalian membutuhkan sesuatu, aku bisa membantu." kepalaku berayun ke depan. Suara pemuda itu tenang dengan pandangan teduh. Kedua jarinya berisyarat agar aku segera duduk. "Apakah ada ramuan yang dapat menangkal segala jenis racun?" tanyaku pelan, bersamaan dengan tubuh yang terbenam di atas kursi kayu tua. Pemuda itu terdiam sejenak, ia mulai menggaruk bagian belakang kepalanya. Lalu pandangannya berubah. "Ada... Tapi itu adalah barang yang sangat langka. Selain itu, jika belum pernah meneguk racun yang kuat. Maka efeknya tidak akan bekerja maksimal dan justru bisa menjadi melapetaka." (Ternyata ini lebih rumit dari dugaanku. ) Kedua jariku menyangga dagu. Aku bergumam, masih beputar dalam pikiranku sendiri. "Bagaimana dengan racun ular perak?" tanyaku pelan. Keheningan melanda. "Racun ular perak?" ulang pemuda itu, pandang matanya tampak kosong kemudian timbul dengan seringai. "Orang yang meracunimu dengan benda itu benar-benar bodoh!" aku menaikkan alisku, suara pemuda itu lantang penuh dengan kepercayaan diri. "Apa maksudmu?" kepalaku miring, satu alisku terangkat dengan kening yang berkerut. Pemuda itu berdiri sambil melanjutkan. "Racun ular perak adalah racun yang terkenal langka karena memberikan sensasi mengerikan di tubuh, lebih dari racun lainnya. Namun, Racun itu benar-benar sangat istimewa." Pemuda itu melangkahkan kaki ke bagian sisi rak. Ungkapan yang ia lontarkan bagai sebuah dongeng misteri. "Apa kau tahu kenapa racun itu dijuluki racun ular perak?" aku menggelengkan kepalaku pelan. Suara pemuda itu pecah. "Racun itu bisa menciptakan katalisator darah atau sihir darah , membuka segel garis keturunan tertentu dan mengaktifkan sihir kuno.""Informasi ya, kurasa kalian tidak sepenting itu untuk ibuku repot-repot. Pada akhirnya anggota istana punya satu kesamaan, mulut mereka lebih besar daripada otaknya." ucapan Cassian membuat Ruby bangkit dari semayamnya, meraih secangkir teh itu lalu ia lemparkan ke arah wajah Cassian CPRAAAT***Pemuda itu tergelagap dalam lemparan air teh yang untungnya tak panas.Itu bisa menjadi masalah yang lain jika teh itu masih mendidih. Cassian menyeka wajahnya dengan secarik baju dari lengannya kemudian menatap Ruby dengan fokus yang mantap. Sedangkan Ruby mengatupkan rahangnya dengan alis yang naik penuh dengan kerutan wajah."Orang sepertimu ternyata punya mulut yang licin, sepertinya kau tidak bercermin ya? Ibumu adalah seorang wanita yang melebarkan selakangannya untuk kaisar!"GRAB"Keugh!" mata Ruby terbelalakkan begitu telapak tangan Cassian membalut lehernya dengan cekikan erat membuat wanita itu bernapas dengan tersumbat. "L-lepaskan!" mendengar ucapan itu, dari pada melepaskan
"Archduke! Jangan bicara seenaknya! Tanpa kami Kekaisaran ini sudah lama jatuh miskin! Jika bukan karena permaisuri bersedia menikah dengan kaisar, orang-orang dari kerajaan Zaraon tak akan Sudi harus bekerja di bawah kekaisaran!" Pria dengan perut besar kembali menjawab dengan sebuah pernyataan. ***Azriel melangkah maju dengan senyum penuh ejekan itu. "Kalian pikir jika bukan karena kaisar dan ayah kami yang merasa kaisar sebelumnya. Kalian masih bisa hidup dengan nyaman di kekaisaran ini? Kerajaan Zaraon adalah penyebab pecahnya perang besar di waktu itu." dengan tatapan tajam Azriel berucap lantang menantang paran bangsawan itu dengan berani.Tak hanya Azriel, namun Valkan pun ikut maju dengan tatapan tajam bak serigala yang siap memangsa. Tangannya bergerak ke area pinggangnya mencengkeram gagang pedang berukir rumit dalam satu gerakan, hingga pedang berdenting itu keluar dengan suara tajam. SRINGPara bangsawan seketika bergerak refleks mundur seakan menghindari bahaya. Tat
Di sana juga, Runette telah berdiri dengan banyak gulungan di atas meja."Kalian rupanya." cetusnya singkat mengarah fokus ke mereka bertiga.***Langkah Nin dan dua orang di belakangnya terhenti, ia meletakkan satu tangannya di dada kemudian berucap. "Saya Nin, tabib istana yang kaisar perintahkan untuk menjemput anda." cetusnya dengan suara pelan. Agnetto dan Bald melakukan gerakan yang sama tanpa menyebutkan nama mereka. Runette menutup mulutnya dengan kepalan tangan lalu suara gemuruh ringan berbunyi."Cough! Cough! Sepertinya kaisar sangat terhimpit sampai membutuhkan batuan pria tua sepertiku." katanya dengan suara serak yang lemah. Ia melangkah mendekat meninggalkan segala benda-benda yang ia genggam. "Ayo berangkat." ujar nya melangkah mendahului. Kembali ke istana kekaisaran, langit telah menyebarkan terang sekaligus terik yang sedikit menyakitkan.Cassian dengan seragam pelayanya menggerakkan kedua tangan untuk beraktivitas sepanjang jalur istana Bintang. Benar, pavil
"Aku tak punya apapun, kita bisa pergi sekarang." Alactra terdiam sejenak, kemudian kembali terkekeh dengan ucapan pemuda di hadapannya. "Baiklah. Ayo pergi." ***Dengan satu kuda yang sama, Cassian dan Alactra menuju ke istana dalam satu boncengan.Tapak kuda itu kendur setelah tiba di gerbang istana dalam beberapa waktu, tak sampai satu jam. Alactra membawa Cassian ke area istana bulan. Dengan bajunya yang lusuh, banyak pasang mata yang menilai pemuda itu dengan persepsi serba-serbi. Cassian berjalan dengan enggan seakan takut mengotori lantai-lantai istana. Pemuda itu menatap bangunan megah yang terpampang di hadapannya dengan kedua mata yang letih serta berkantung hitam. "Kemana kita akan pergi? Menemui kaisar?" tanya pemuda itu mengikuti langkah Alactra dari belakang. Mereka melewati ruangan demi ruangan, lorong demi lorong hingga Sampailah di sebuah pintu besar. Dengann dua orang penjaga di depannya. Alactra mendorong pintu itu dengan tangan kanannya hingga kayu perseg
Ucapan itu hanya menimbulkan tawa lantang dari kedua bibir Rosetta "Hahahaha!" ia mendongakkan kepalanya ke atas tertawa dengan puas.***"Valerius, sungguh. Melihat kisah cintamu dengan seorang pelayan membuatku tertawa geli." permaisuri melanjutkan dengan nada yang mengejek. "Lagipula, kenapa wanita itu sangat bodoh. Pria yang dia cintai punya banyak anak dan istri. Bukannya segera mencari pria yang dapat menghidupi kebutuhannya. Dia terus menunggumu seperti anjing patuh." mendengar ucapan Rosetta, semakin mengobarkan amarah Valerius. Ia tak kuat mendengar segala omong kosong itu, tapi pada saat yang sama ia merasa bersalah karena ucapan Rosetta ada benarnya."Cukup! Aku akan membawa putraku ke istana! Dia akan mendapatkan haknya juga kursiku untuk melanjutkan tahta kekaisaran!" Valerius menyambar dengan keputusannya yg sudah bulat. Tiba-tiba pintu terbuka menampakkan seorang pelayan dengan dua cangkir teh yang masih mengepulkan asap hangat. "Yang mulia, ini adalah teh herbal s
Mendengar ucapan Ruby, permaisuri menaikkan satu alisnya penuh dengan pengamatan yang intens. Sedangkan kedua adik Ruby, Damien dan Dalaine dengan rambut merah terangnya hanya membuat wajah penuh kepolosan. ***Seluruh orang kecuali Cassian telah meninggalkan ruangan itu. Diskusi telah selesai.Pemuda itu kini berhadapan dengan ayahnya sang kaisar.Suhu ruangan yang hangat menyebabkan dahi Cassian sedikit berkeringat, namun matanya masih menatap ke depan menunggu salah satu dari mereka untuk memulai percakapan. "Apa yang terjadi sangatlah cepat, dan kau menyelesaikannya dengan baik." kalimat itu keluar dari mulut kaisar. Entah apa yang sebenarnya coba ia katakan, namun apa yang ada dalam pikiran Cassian masihlah berupa kekecewaan."Jika saya tidak melakukan sesuatu dan membuat Kalaine mengaku. Apa anda hanya akan diam saja dan memenjarakan ibu dengan bukti-bukti itu? Bukankah para pelayan yang menjadi saksinya?" Cassian geram, namun tak ia tampakkan. Pria di hadapannya adalah ay







