Beranda / Fantasi / Anak Haram Sang Kaisar / Chapter 2 : Memasuki Instana

Share

Chapter 2 : Memasuki Instana

Penulis: Bakpaokukus
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-04 02:50:54

CLANG.

"Lindungi pangeran dan tangkap para pembunuh!"

Pasukan kerajaan?

Kepalaku mulai berputar akibat terbentur dinding. Pandanganku menjadi samar bagai kabut. Kesadaranku hilang seketika.

Samar-samar, suara bergemuruh mengerubungiku. Namun aku tidak kuasa menjawab suara-suara itu.

"Cassian!"

Teriakan ibuku terdengar menggema bagai tetesan embun memanggil namaku, namun aku tak bisa menjawab ataupun membuka mataku.

Pintu gerbang dibuka, pintu yang selama ini menjadi tanda perbatasan antara Istana dan daerah luar. Pintu itu terbuat dari baja berlapis yang tampak kokoh dan kuat. Berukir motif simetris dan nampak klasik.

Suara salah seorang penjaga menggema dengan lantang.

"YANG MULIA KAISAR TELAH TIBA...!"

Sebuah kereta kuda megah berlapis perak dan emas, ukurannya lebih besar dari milik bangsawan biasa. Sebuah tirai sutra berwarna merah tua tersingkap. Tandu itu memiliki atribut khusus disetiap sudutnya, sehingga bagi siapa saja yang melihatnya akan tau dengan jelas bahwa itu milik bangsawan kelas atas.

Sedangkan disudut ruangan yang lain, aku membuka mataku samar-samar. Terlihat atap langit yang berbeda dari kayu usang di rumahku tadi. Harum ruangan beraroma lavender menggelitik Indra penciumanku.

Tenggorokanku terasa kering dipadu dengan tubuh yang terasa lemas. Mataku melebar mencoba melihat pemandangan itu lebih jelas. Kudapati ruangan itu berwarna putih bersih dengan banyak perabotan klasik yang mahal, gorden jendelanya pun terbuat dari bahan berkualitas tinggi.

"Dimana?"

Batuk menderai bak pecahan kaca. Seseorang dengan tunik hitam putih mendekat dengan menundukkan pandangannya. Kedua tangannya memberikan segelas air.

"Pangeran anda sudah bangun?"

Apa?

Pangeran?

Apa dia baru saja menyebutku dengan panggilan itu?

Aku tidak salah dengar kan?

"Ucapkan lagi."

"Ya, pangeran? Maksud anda?"

Sepertinya aku berhasil masuk ke istana lebih cepat dari yang kuduga. Padahal rencananya aku akan mendekati Marquis Lucien terlebih dahulu. Tapi ini justru lebih baik.

"Dimana ibuku?"

"Yang mulia sedang bersama kaisar."

Ibu?

Bersama kaisar?!

Tidak! Aku harus segera kesana.

Aku beranjak dari tempat tidur megah itu dan berlari melesat keluar ruangan. Tujuanku jelas! Melihat apa yang ibu dan kaisar bicarakan.

Langkah kakiku gercap—menggema di koridor istana. Para pelayan yang berpapas pandang memberikan sorot mata ambigu kepadaku dengan rasa penasaran juga sedikit bumbu gosip.

Kaisar, apa yang akan kau lakukan pada ibuku.

Sampailah aku didepan pintu megah dengan tinggi 5 meter yang tersusun dari dua pasang penutup. Dua orang penjaga dengan baju besi mengkilap menghadangku dengan tombaknya yang menyilang.

"Tidak bisa masuk tanpa perintah kaisar!"

Rahangku mengatup karena kesal.

"Kalian tidak tau siapa aku?! Aku adalah putra kaisar!"

Tiba-tiba terdengar suara hak sepatu menelusuri lantai berbalut kain merah itu. Tapaknya menggema dengan lantang meraup dominasi atas keheningan ruangan.

"Arogan sekali! Baru memasuki istana ya?"

"Tidak mengejutkan, pasti anak haram dari seorang budak tidak pernah merasakan kekayaan."

Wajah yang yang tak asing, gadis muda berparas cantik dengan aura sadis dihadapanku ini pastilah putri selir pertama. Ruby Rynete Magnus.

Gaun berwarna merah yang selalu ia pakai masih tetap sama, gaun yang terbuat dari bahan beludru, hiasan embordir disetiap ujungnya menciptakan kesan berani dan mencolok.

Aku menghiraukan Ruby dan menatap penjaga dengan tajam.

"Buka!"

"Tidak ada perintah kaisar, tidak bisa masuk!" sentak keduanya lagi.

Ruby tertawa dengan mengejek. Ia melangkah mendekat mengepakkan kipasnya.

"Konyol."

Pandanganya tak lagi ke arahku, ia melajukan langkahnya melewatiku dengan dengusan kasar.

Tiba-tiba pria dengan pakaian bangsawan kelas atas berwarna putih dengan ukiran embordir keluar dari pintu masuk, pandangan matanya tertuju padaku. Orang itu adalah Marquis Lucien Devereuq.

"Yang mulia, kaisar telah memanggil anda."

Marquis Lucien kini juga memanggilku dengan sebutan resmi.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Dua penjaga tadi tak lagi menghadang, justru membungkuk memberikan hormat. Aku melangkah melewati pintu ruangan kaisar, pintu itu terbuat dari baja dengan warna corak keemasan.

DREEEETTTTT.

Silau.

Sosok yang ada dihadapanku saat ini adalah kaisar, alisnya tebal dengan garis naik.Bentuk wajah yang maskulin juga rupawan. Kumis dan jenggot tak melekat sama sekali pada wajahnya.

Ayah benar-benar tidak seperti dalam bayanganku selama ini. Dikehidupan sebelumnya aku belum Pernah bertemu kaisar, ia dikabarkan sakit-sakitan dan tidak boleh meninggalkan kamarnya. Sedang prosedur kepememimpinan kekaisaran dilakukan lewat permaisuri.

"Saya memberi hormat kepada matahari kekaisaran."

Aku meletakkan telapak tangan disamping dada kiriku, merendahkan tubuh dengan pandangan kebawah. Memberi hormat pada otoritas tertinggi dihadapanku.

"Angkat kepalamu."

Suara kaisar terdengar berat, setiap kata yang keluar menyatakan keyakinan dan tujuan yang jelas tanpa memberikan ruang bantahan.

Apa aku sekarang gemetar?

Aku mengepalkan tangan, menaikkan pandanganku tepat kearah kaisar. Figur itu tampak gagah dan berdiri tanpa rasa ragu.

"Cassian."

"Benar...?" tanyanya dengan intonasi seakan memberi komando pada sebuah perang.

"Ya, yang mulia."

"Cassandra."

"Kamu sepertinya tidak becus mengurus seorang anak."

Ibuku menumpukan kedua tangannya dan berlutut dengan gemetar. Aku segera melangkah memperisai ibuku.

"Cassian!"

Ibuku memanggil namaku dengan kekhawatiran, takut akan menyinggung sosok dihadapan kami.

"Jangan salahkan ibuku!"

Kaisar menyipitkan matanya. Ia mengamatiku dari atas sampai bawah seakan memindai sebuah objek.

"Lucien."

"Jelaskan apa yang terjadi."

Marquis lucien memberikan hormat kepada kaisar kemudian ia berdehem.

"Baik. Yang mulia, anak laki-laki ini adalah Cassian Leonce Magnus, anak anda dengan mantan pelayan pribadi anda Cassandra."

"Magnus?"

"Bukankah anda sudah mengijinkan Cassian untuk memasuki istana?"

"Jadi saya rasa, sudah sepatutnya dia menggunakan nama belakang kekaisaran."

Kaisar tak menanggapi lebih lanjut.

Ia melangkah dengan berat duduk dikursi kerja ruangannya.

"Cassian." ucapnya membenamkan diri serta merta memikul beratnya tanggung jawab juga tugas atas segala yang tertumpah dimeja kerjanya.

"Aku akan mengatakannya sekali." hening mendera ruangan itu. Tak satupun bersuara bahkan jangkrik sekalipun. Debar jantungku semakin cepat.

"Kau adalah anak haram." ucapan itu terasa seperti sayatan pisau. Aku mecengkram dadaku erat-erat. Menelan ludah dengan serat. Napas itu semakin berat.

"Ibumu seorang pelayan." kedua bibirku bergetar hebat. Mataku mengerling pria berusia 45 tahun itu. Jika aku lengah sekali saja. Kalimat itu sudah berhasil mencabik-cabik harga diriku.

"Darah tetaplah darah. Tapi istana tidak akan memberi ampun." Tanganku yang menggantung diudara mengepal. Rahangku mengatup menekan gigi-gigi itu satu sama lain. Aku terdiam, kini kaisar mengambil sebuah gulungan yang sudah ia persiapkan sebelumnya. Dan menandatangani gulungan itu lalu menghantamnya dengan stempel kerajaan.

"Kehadiranmu... adalah kekacauan." ia kembali menggulung kertas itu. Kedua matanya mendarat pada Marquis Lucien Devereuq.

"Ketidakbergunaan adalah dosa." desah nafasku lirih, hanya sebuah kalimat—tapi berhasil mengguncangku bagai palu besi.

"Kau boleh menyandang nama Magnus." setiap otot-ototku rasanya dibakar hingga merambat ke organ dalam. Perasaan tak nyaman ini adalah sesuatu yang sulit dijelaskan.

"Tapi..." pria itu terdiam sejenak. Sorot matanya berubah.

"Hidup dan mati." Ia berdesah pelan. Tangan kanannya mengepal tepat diatas meja.

"Kau tanggung sendiri." ia membenamkan kedua matanya. Mendongak keatas menatap langit-langit ruangan itu.

"Aku tak akan membantumu." ruangan yang memiliki luas 15×15 Meter. Terdapat lukisan yang terpampang megah dibelakang kursi kaisar. lukisan itu bercorak seorang pria gagah yang bertumpu pada pedangnya.

"Kau bisa menjadi pengeran, dan ibumu kuangkat sebagai selir." sedangkan disamping lukisan itu terkibas bendera berwarna merah dengan ukiran matahari berwarna kuning keemasan.

"Ingatlah, titahku mutlak." kaisar kembali melayangkan pandangannya padaku. degup jantungku perlahan tenggelam dalam sabdanya.

Aku dan ibu berlutut mendengar titah dari kaisar dengan seksama. Rasanya punggungku seperti ditindih dengan batu raksasa.

Bahkan meskipun aku berhasil masuk istana. Tak ada seorangpun yang akan menjamin keselamatanku dan Ibu. Termasuk kaisar sendiri. Pria itu tidak akan menolong aku dari tragedi-tregedi yang akan terjadi dimasa mendatang.

Keesokan harinya aku dan ibu sudah ditempatkan diarea kami masing-masing.

Denah kekaisaran terbagi menjadi empat bagian.

Pertama adalah istana Matahari yang merupakan tempat kediaman kaisar dan antek-anteknya. Kedua, istana bulan yang merupakan istana permaisuri juga pengikutnya. Ketiga, istana bintang yaitu Istana keturunan kaisar mulai dari anak permaisuri hingga para selir juga dengan begundalnya.

Dan terakhir adalah istana langit yang berisi para selir kaisar dan pelayannya.

Aku berdiri ditempat ini.

Istana bintang.

Sejauh ini kaisar mempunyai sepuluh orang anak dengan aku sebagai sibungsu, yang berarti terdapat sepuluh paviliun untuk para pangeran maupun putri termasuk aku.

Dihadapanku saat ini nampak paviliun yang sudah disediakan untuk ku tinggali. Terpampang dengan pintu baja yang bercorakkan warna emas, cat dinding yang tampak rapi dan bersih. Di halaman paviliunku terdapat banyak bunga mawar putih yang elok dan wangi.

Aku mencuri pandang ke area sekitar, dari jauh dapat terlihat bangunan yang paling mewah dan besar itu pastilah kepunyaan putra mahkota. Permaisuri melahirkan dua anak sejauh ini. Anak pertama adalah seorang putra bernama Alactra Derek Magnus berusia 16 tahun, sedangkan yang kedua adalah seorang putri bernama Alectra Derek Magnus berusia 12 tahun.

Hal yang paling Absurd dalam kekaisaran ini adalah permaisuri dan para selir mengandung dan melahirkan dihari yang saling berdekatan tak terkecuali ibuku, Cassandra.

Sehingga usia para keturunan kaisar tak jauh berbeda satu sama lain. Mungkin hanya bersekat paling jauh empat tahun.

Pandangan ku tertuju ke Paviliun berikutnya, pemiliknya adalah Ruby Rynete Magnus putri dari selir pertama kaisar yaitu Rosalina Rynete Magnus. Bangunannya tak kalah megah dari milik putra mahkota. Waktu berlalu beberapa menit, Marquis Lucien Devereuq tiba dikediamanku. Ia membawa seorang wanita yang berusia sekitar dua puluh lima tahunan.

"Salam kepada bintang kaisar."

Marquis Lucien membungkuk.

Dengan tangan kanan didada kirinya memberikan salam penghormatan diikuti wanita itu.

"Anda tidak perlu formal denganku."

Ucapku bertujuan memperakrab dinamika kami berdua demi hal-hal rumit dimasa depan.

"Aturan harus dijalankan."

Aku mengambil nafas panjang.

Bagaimana bisa aku hampir lupa si maniak aturan ini.

Ia berdiri tegap kembali.

"Saya akan menempatkan wanita ini sebagai salah satu pelayan anda."

Apa?

Kenapa?

Apa wanita ini adalah utusan kaisar untuk memata-mataiku? Atau hanya sekedar bagian dari rasa penasaran Marquis?

Sudut bibir Marquis Lucien terangkat miring bagaikan mengetahui kekhawatiranku.

"Anda berfikir terlalu dalam yang mulia."

"Wanita ini hanya sebagai hadiah atas kedatangan anda ke Istana."

Wanita itu melangkahkan diri lebih dekat kemudian berlutut.

"Saya Lux siap melayani anda."

Aku mengangguk, kemudian melihat seorang penjaga dengan seragam khas pengawal datang bersama rombongan pelayan.

Penjaga itu berhenti tepat didepanku juga Marquis Lucien.

"Memberi hormat kepada bintang kaisar!"

Suara itu diikuti banyak suara dibelakangnya.

"Memberi hormat kepada bintang kaisar."

"Yang mulia, permaisuri menghadiahkan anda para pelayan ini."

Ha?

Lihatlah ini!

Wanita beracun itu sudah menyiapkan begitu banyak mata-mata untuk mengawasiku dengan menempatkan orang-orangnya.

"Ya, katakan aku berterima kasih."

"Atas. Hadiah. Ini."

Begitulah yang aku ucapkan, tapi sebenarnya itu hanya sebuah ucapan sarkastik yang memiliki arti lain. Jika itu permaisuri, pasti dia akan langsung paham permainan kucing dan tikus ini.

Marquis Lucien terkekeh seakan sudah tau maksud dari ucapanku. Ia memindai satu demi satu para pelayan ini dengan seksama.

"Hmm, bukankah permaisuri sangat baik hati."

Itu adalah kalimat yang mengandung arti lain. Di Istana ini hanya sedikit orang yang mengenali watak asli permaisuri. Jadi bisa dibilang mereka adalah para orang yang cerdas juga jeli.

Penjaga itu membungkuk dan meninggalkan tempat setelah mengantarkan para pelayan yang sudah disiapkan untukku.

"Kalau begitu saya juga harus pamit yang mulia."

Aku mengangguk mempersilahkan Marquis Lucien untuk undur diri.

"Lux, kau ikut aku."

"Baik yang mulia."

Karena dikehidupan sebelumnya aku mati karena mendapatkan racun mematikan dari permaisuri. Kali ini aku harus berjaga-jaga terlebih dahulu.

Aku dan lux pergi ke pusat kota, sejujurnya aku tidak yakin apakah akan mendapatkan sesuatu sebagai pemberi solusi atas hal yang akan terjadi.

Pusat kota, area yang terbentang luas dengan batas dinding besar yang kokoh. Terbagi menjadi empat distrik utama dengan masing-masing empat menara penjaga disetiap distriknya.

Distrik Utara, wilayah kekaisaran sebagai jantung pemerintahan dan area para bangsawan. Distrik Timur merupakan area militer dan pertahanan.

Distrik Selatan,area perdagangan dan rakyat jelata. Terakhir Distrik Barat adalah area seni dan hiburan.

Jadi tujuanku kali ini adalah Distrik Selatan yang merupakan area perdagangan dan rakyat jelata.

Tibalah aku dan Lux disebuah rumah tua yang warga sekitar bilang sebagai tempat mantan alkemis bersembunyi.

Rumor menyebutkan ia memilih kehidupan biasa daripada harus terlibat dengan para bangsawan. Karena pada akhirnya mereka hanya akan tesibukkan dengan politik yang berfokus pada kubu dan perang tahta.

Lux mendahuluiku masuk untuk mengecek keadaan sekitar memastikan keamanan. Begitu melangkahkan kaki ke dalam rumah, kami disambut dengan berbagai obat juga ramuan yang berserakan.

Lantai rumah itu terbuat dari kayu, warnanya coklat gelap. Dari sisi kiri terdapat rak dengan banyak sekali jenis obat-obatan juga ramuan mirip seperti tata letak apoteker. Sedangkan sisi kanan terdapat sebuah meja yang luas berisi ramuan-ramuan yang berserakan.

Seorang dengan koran menutupi wajahnya terlihat dari bawah kolom meja, dengkurannya lumayan keras.

Lux memperisaiku mendekati sosok itu terlebih dahulu.

"Siapa kau?!"

Tangan itu meraih koran yang menutupi wajahnya. mata yang lebar namun juga tajam, kulitnya terlihat bersih dan segar.

Sosok itu terlihat seperti seorang siswa akademi yang membolos di jam pelajaran.

"Aish... kenapa kalian mengganggu waktu istirahat ku?"

Lux menatap pria itu dengan tajam.

"Beraninya! Apa kau tidak tau siapa kami!" sentak Lux bagai siap untuk berperang. Aku menggelengkan kepalaku sedikit terkekeh.

"Lux, tenanglah!" ucapku lugas.

Lux mengambil nafas sambil membungkuk seolah meminta maaf. Aku melangkah kedepan mendekati pria muda itu.

"Tuan muda, apa anda pemilik apotek ini?"

Pria itu berdiri dari duduknya melewati kolong meja sampai akhirnya terpentok oleh sisi yang tajam.

"Ouchhhh! Bocah kecil ini bukan tempat bermain anak-anak"

Lux menutupi wajahnya dengan lengan bajunya, namun aku tau bahwa dia sedang tertawa dengan puas.

"Hmm...bukan aku pemiliknya, pak tua itu sedang punya urusan."

Aku menaikkan alisku.

Pak tua?

Jadi kemungkinan pemilik apoteker ini adalah seseorang yang sudah tua.

"Tapi jika kalian membutuhkan sesuatu, aku bisa membantu."

Aku mengangguk.

Setelah dia mengisyaratkan tangannya, aku duduk disebuah kursi kayu.

"Apakah ada ramuan yang dapat menangkal segala jenis racun?"

Pemuda itu terdiam sejenak, ia mulai menggaruk bagian belakang kepalanya.

Lalu menatapku dengan pandangan serius.

"Ada."

"Tapi, itu adalah barang yang sangat langka."

"Selain itu, jika kau belum pernah minum racun yang kuat sebelumnya. Maka efeknya tidak akan bekerja dan justru menjadi racun."

Aku menyipitkan mata, Ternyata ini lebih rumit dari dugaanku. Ramuan penangkal racun ini harus beresonansi dengan bekas dari racun kuat yang ada ditubuh.

Aku melebarkan mataku.

"Bagaimana dengan racun ular perak?"

Lux tampak terkejut mendengar ucapanku.

"Yang mulia?Apa anda pernah—"

Aku mengibaskan tanganku lirik menandakan tidak ingin membahas hal itu lebih lanjut.

Masalahnya aku hanya pernah mencicipi racun itu dikehidupan sebelumnya, tidak ada jaminan racun itu masih ada didalam tubuhku.

"Racun ular perak?"

Pemuda itu tampak berfikir kemudian menyeringai.

"Orang yang meracunimu dengan benda itu benar-benar bodoh."

Aku menaikkan alisku, penasaran dan terkejut atas ungkapan pemuda itu.

"Apa maksudmu?"

Pemuda itu berdiri sambil melanjutkan.

"Racun ular perak."

"Adalah racun yang terkenal karena menyebabkan sensasi menyakitkan ditubuh lebih dari racun lainnya.

"Namun."

"Racun itu benar-benar sangat istimewa."

Lanjut pemuda itu melangkahkan kaki kebagian sisi rak.

"Apa kau tau kenapa racun itu dijuluki racun ular perak?"

Aku menggelengkan kepalaku pelan.

"Racun itu bisa menciptakan katalisator darah atau blood magic, membuka segel garis keturunan tertentu dan mengaktifkan sihir kuno."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Anak Haram Sang Kaisar    Chapter 5 : Tambang

    "Ibu pastikan tahta itu hanya untukmu." Rosetta melempar pisau kecil mengenai sebuah apel merah yang tampak segar. Kini tatapannya tajam, seakan siap menyingkirkan siapapun yang berani menghalangi tujuannya. Dengan semua ini jalan masihlah sangat panjang bagi Cassian dan ibunya. Posisi yang tidak aman bahkan dalam istana yang merupakan haknya, juga tidak ada bantuan dari siapapun. Hidup dan mati ada ditangannya. Alactra tak berucap apapun setelah itu, pandangannya nampak kosong sekakan tak terbesit sesuatu apapun dalam pikirannya. Ia hanya memberikan hormat kepada sang ibu lalu meninggalkan ruangan itu, menapak lantai dan kembali menuju kediamannya. *** Paviliun putra mahkota Alactra Derek Magnus Alactra sedang termenung dalam duduknya, dengan menghadap jendela. Ia sibuk namun juga tak fokus berbincan dengan sang penasehat. Dokan Laryn Dokan Laryn sendiri merupakan seorang sarjana muda yang direkrut permaisuri untuk membimbing putra tertuanya. Ia merupakan lulusan t

  • Anak Haram Sang Kaisar    Chapter 4 : Sudah Kembali

    Aku mendekatkan langkah ku mengitari satu sama lain dari mereka, lalu kembali berucap. "Mungkin jika kalian mengajari aku dengan baik." "Aku bisa kembali mengajari para putra dan putri kalian." "Untuk mengingat ajaran ibu mereka." Wajah mereka menjadi gelap, tatapan tajam menghujaniku. "Arogan! Sungguh arogan!" "Cassian Leonce Magnus, banyak-banyaklah bercermin." Ucap Wilona seraya meraih semangkuk tehnya. "Aku akui kau punya keberanian yang besar, Cassian." "Tapi, permainan kami anggota keluarga kekaisaran tidak semudah yang kau kira." Dua orang pengawal datang menekan tubuhku hingga aku berlutut. KGH! Bersamaan dengan itu aku merasakan sensasi aneh seperti ratusan jarum menusuk jantungku. Aku mengatupkan rahangku karena rasa sakit yang luar biasa. Tanganku mengepal menahan rasa perih dan harga diri yang mereka coba injak-injak. Mereka benar-benar tidak pandang bulu untuk menginjak seseorang! Aku masihlah putra kaisar! Beraninya kalian memperlakukan pangeran yang resmi

  • Anak Haram Sang Kaisar    Chapter 3 : Pesta Teh

    Lanjut pemuda itu melangkahkan kaki kebagian sisi rak."Apa kau tau kenapa racun itu dijuluki racun ular perak?"Aku menggelengkan kepalaku pelan."Racun itu bisa menciptakan katalisator darah atau blood magic, membuka segel garis keturunan tertentu dan mengaktifkan sihir kuno."Aku melebarkan mataku.Apa benar hal seperti itu ada?Jangan-jangan aku kembali ke masa lalu juga karena racun ular perak?Pemuda itu meraih rak paling atas, terdapat ramuan berwarna biru tua. Baunya sedikit menyengat, campuran antara bunga mawar dan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan.Ia menyodorkan ramuan itu ke meja."Ini dia penangkal racun yang kau cari."Pemuda ini tidak mempermainkanku kan?Apa dia benar-benar bisa dipercaya?Tidak, lebih dari itu apa aku masih punya waktu untuk pilih-pilih?Pada akhirnya aku harus mengambil resiko."Berapa?""Gratis."Aku menaikkan alisku.Gratis?Kenapa?"Kenapa?""Yah, soalnya.""Akan merepotkan aku mengambil uang jika nanti hasilnya ada seseorang yang akan mati."Di

  • Anak Haram Sang Kaisar    Chapter 2 : Memasuki Instana

    CLANG. "Lindungi pangeran dan tangkap para pembunuh!" Pasukan kerajaan? Kepalaku mulai berputar akibat terbentur dinding. Pandanganku menjadi samar bagai kabut. Kesadaranku hilang seketika. Samar-samar, suara bergemuruh mengerubungiku. Namun aku tidak kuasa menjawab suara-suara itu. "Cassian!" Teriakan ibuku terdengar menggema bagai tetesan embun memanggil namaku, namun aku tak bisa menjawab ataupun membuka mataku. Pintu gerbang dibuka, pintu yang selama ini menjadi tanda perbatasan antara Istana dan daerah luar. Pintu itu terbuat dari baja berlapis yang tampak kokoh dan kuat. Berukir motif simetris dan nampak klasik. Suara salah seorang penjaga menggema dengan lantang. "YANG MULIA KAISAR TELAH TIBA...!" Sebuah kereta kuda megah berlapis perak dan emas, ukurannya lebih besar dari milik bangsawan biasa. Sebuah tirai sutra berwarna merah tua tersingkap. Tandu itu memiliki atribut khusus disetiap sudutnya, sehingga bagi siapa saja yang melihatnya akan tau dengan jelas bahwa itu

  • Anak Haram Sang Kaisar    Chapter 1 : Aku Kembali?

    Rasa sakit yang luar biasa merambat ke dalam tubuhku. Ini adalah racun ular perak—racun yang orang-orang bilang sangat langka bahkan hampir mustahil untuk ditemukan. Yang menjadi ironi adalah seluruh anggota istana mengetahui dengan pasti bahwa ini adalah rencana permaisuri. Wanita licik itu tidak menyerah dalam misinya menyingkirkanku sejak dulu. Ia berdiri dengan senyum miring. Para pelayan yang betugas pun diam saja saat orang suruhan wanita berambut ungu gelap itu kerap mondar-mandir dengan gerak-gerik mencurigakan. Tak ada satupun yang melapor ataupun menghentikan. "Cassian! Jika kamu ingin menyalahkan seseorang, salahkan ibumu yang hanya seorang pelayan!" ungkap wanita itu membentangkan kedua lengannya bagai selebrasi atas sebuah kemenangan. Kalimat yang keluar dari kedua bibir bengisnya selalu mendarat tajam tanpa belas kasihan. Sosok itu mengenakan gaun beludru ungu tua, warnanya pekat dan berwibawa. Lengan bajunya panjang melebar, ujungnya disulam benang emas membentuk pola

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status