Home / Fantasi / Anak Haram Sang Kaisar / Bab 3 : Pesta Teh

Share

Bab 3 : Pesta Teh

Author: Bakpaokukus
last update Last Updated: 2025-10-04 02:52:18

aku menggelengkan kepalaku pelan. suara pemuda itu pecah.

"Racun itu bisa menciptakan katalisator darah atau sihir darah , membuka segel garis keturunan tertentu dan mengaktifkan sihir kuno."

***

Aku melebarkan mataku. Pupil hitamku bergetar bagai mencari kepastian.

Apa benar hal seperti itu ada?

Jangan-jangan aku kembali ke masa lalu karena racun ular perak?

Pemuda itu meraih rak paling atas, terdapat ramuan berwarna biru tua.

Baunya sedikit menyengat, campuran antara bunga mawar dan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan.

Ia menyodorkan ramuan itu ke meja.

"Ini penangkal racun yang kau cari." sorot mata pemuda itu lancip. Suaranya menjadi berat.

Pria ini tidak mempermainkanku kan?

Apa dia bisa dipercaya?

Tidak, sekarang bukan waktunya untuk pilih-pilih.

Pada akhirnya aku harus mengambil resiko.

"Berapa?" tanyaku, mengukir botol ramuan itu dengan telunjuk.

Sejujurnya ada beberapa hal yang masih terasa aneh bagiku.

Penjelasan pemuda itu juga sulit untuk kumengerti.

"Gratis." jawaban singkat itu membuat gerakku terhenti. Aku menaikkan alisku, rasa curiga yang kumiliki meningkat begitu saja.

"Kenapa?" tanyaku dalam suara yang menukik.

"Yah, soalnya. Akan merepotkan Kalau ternyata seseorang mati." kedua bahu pria itu terangkat bersama cetusan singkat.

Sepertinya dia tidak bercanda.

Lux melangkah maju.

"Yang mulia, apa anda yakin?" aku terdiam, tak menjawab pertanyaan Lux. Aku sendiri juga tak cukup yakin dengan jawabannya.

Aku beralih pandang ke pemuda itu.

"Aku ada pertanyaan lagi. Jika justru hal buruk terjadi, apa yang harus aku lakukan supaya selamat?"

Pemuda itu menyeringai. Ia melirikku sambil menyanggah dagunya seakan sedang berpikir.

"Hm, apa yang harus dilakukan ya...?" ia mendekatkan kepalanya dan berbisik.

"Ya tinggal mati saja." ucap pemuda itu dengan alunan menggoda.

Kedua bibirnya membentuk seringai. Setelah itu dia diam masih dengan mata bening itu menatap dengan dalam.

Lux menyentak pria itu.

"Beraninya!" sebelum pertengkaran terjadi, aku mengangkat tanganku mencoba mengarahkan Lux supaya tetap tenang. Lalu suara pemuda itu menimpali kembali.

"Yah, soalnya aku tidak tahu. Kenapa tidak pakai keberuntunganmu saja." apa yang dia katakan hanya menambah pertanyaan lain dalam pikiranku. Aku harus menanggapi perkataannya dengan serius atau tidak?

Lalu keberuntunganku? Apa maksudnya?

kedua mata pria itu membentuk bulan sabit.

"Karena sudah dapat yang kau cari, silahkan pergi." ketusnya melanjutkan. Ia berbalik ke tempat di mana tubuhnya terbaring tadi. Aku melihat rak-rak itu untuk terakhir kalinya kemudian berkata.

"Aku mengerti, terimakasih."

Aku dan Lux keluar dari rumah tua itu, ramuan penangkal racun sudah kusimpan dengan baik di kantongku.

"Yang mulia, pria itu jelas-jelas mencurigakan!" Lux menambahkan, alisnya turun ke bawah. Bukan hanya dia saja yang merasa seperti itu. Aku juga sama, tapi anggap saja beruntung karena mendapatkan barang gratis.

"Cukup, ayo kita pulang." Lux mengangguk, misi itu berakhir dengan perintah pulang dari kedua bibirku.

***

Sore hari : Istana kekaisaran

Sebuah tandu kereta kuda berwarna putih dengan lapis perak berlabuh di halaman istana Bulan.

Dengan berpijak pada jalan setapak beberapa saat, sesosok pria melangkah masuk ke istana permaisuri.

Koridor telah di lalui.

Ia berdiri di hadapan pintu kayu berukir rumit hingga suara membunyi.

DRETTT

Pintu terbuka, sosok itu melangkah pelan begitu memasuki ruangan.

"Yang mulia, tugas yang anda minta sudah saya kerjakan." ucap pria itu, gelagatnya tunduk bersama bahu yang bergetar samar-samar.

"Mulai sekarang, makanan yang masuk ke paviliun Cassian telah dicampur dengan racun yang tidak terasa maupun berbau."

Tawa mencuat dengan berat namun nyaring. Wanita bergaun beludru merah menyenderkan tubuhnya diatas kursi busa tebal yang panjang.

Rambutnya terurai dengan bentuk gelombang di setiap ujungnya.

"Kerja bagus." cetus wanita itu, kedua bibirnya naik dengan sorot mata dingin.

Pria itu merendahkan tubuhnya kemudian meninggalkan ruangan.

Sedangkan tangan wanita itu meraih anggur merah yang tergeletak di atas piring. Melahapnya satu persatu dengan jemari lentiknya.

"Dua ekor tikus berani menyerbu gudang penyimpananku? Tentu saja harus diberikan racun." gumamnya seraya mengoyak anggur-anggur itu dengan giginya.

Tawa wanita itu memekak berpantul pada dinding ruangan.

Cat dinding putih apik berhiaskan perabot emas di setiap sudutnya berpadu aroma bunga Lily meruah yang dibenamkan dalam vas bunga raksasa bercorak flora.

Sedangkan di sisi istana kekaisaran lain, seorang pria paruh baya berdiri dengan tegak menyeret jubah beludru berwarna merah dengan tapak berat, hingga akhirnya bersemayam di atas dipan berlapis emas.

Pria itu adalah sang kaisar, Valerius Leopold Magnus.

Sang penguasa kekaisaran Magnus saat ini.

Kaisar sebelumnya, Ataric Leopold Magnus yang sekaligus ayah Valerius, memiliki tiga orang anak laki-laki, tiga dari mereka adalah seorang pria tangguh dan berbakat dalam bidangnya.

Suatu hari Ataric yang telah tua renta dengan penyakitnya memilih menyerahkan tahta kekaisaran kepada putra tertuanya yang tak lain adalah Valerius.

Sedangkan kedua saudara Valerius yaitu Valkan Leopold Magnus dan Azriel Leopold Magnus dengan gelar bangsawan atas mendapatkan kedudukan sebagai Archduke dan berhasil mengembangkan wilayahnya masing-masing.

Kedua saudara Valerius menyerahkan tahta dengan hati yang lapang mengetahui bahwa kakak tertua mereka lebih dari mampu untuk memimpin kekaisaran.

Ketukan pintu dari ruangan kaisar terdengar, Marquis Lucien datang dengan raut wajah tak berlekuk menghadap dengan kepala tertunduk.

"Salam kepada matahari kekaisaran. Yang mulia, saya ingin melapor." kata pria itu mengangkat kepalanya.

Valerius masih menapak tubuhnya pada kursi solid dengan sibuk menggaruk penanya di atas dokumen-dokumen penting.

"Sepertinya, ada pertikaian kecil atara para bangsawan yang mulia. Apakah anda akan bertindak?" tanya pria dengan tunik beludru berwarna putih berpadu emas itu.

"Biarkan." cetus Valerius singkat.

"Apa anda yakin? Takutnya mereka akan menggangu anda di masa depan." pena kaisar terhenti, kini ia bertatap muka dengan Marquis Lucien.

"Apa permasalahannya?" tanya Valerius, fokus mendengarkan.

"Sebenarnya awal mula dari permasalahan ini, adalah soal perbatasan tambang yang tumpang tindih antara wilayah dua Duke. Keduanya tidak bersedia mengambil jalan tengah." Lucien menjelaskan secara gamblang.

Valerius berdesah kasar menaikkan alisnya.

"Baiklah, aku akan mempertemukan mereka di aula." ucap Valerius menyeka tinta yang merambat ke telunjuknya.

"Baik, yang mulia." Lucien membisu berjalan ke kursi kerjanya, sedangkan Valerius kembali pada tugas-tugas yang ada di mejanya.

"Yang mulia, saya ingin menanyakan satu hal lagi." ucap Marquis Lucien, sorot matanya menampilkan keengganan.

"Bicara." Valerius menjawab singkat tanpa bertatap muka.

"Sepertinya, para pembunuh yang mengejar Nona Cassandra dan pangeran Cassandra waktu itu adalah suruhan per—" sebelum Lucien sempat menyelesaikan kalimatnya, kaisar memotong dengan tegas.

"Aku tidak peduli, jangan bahas lagi!" ketus pria paruh baya dengan kemeja putih itu.

"Saya mengerti." Lucien kembali membisu, fokusnya beralih kepada tugas yang ada di mejanya.

***

Sebuah benda lembut berwarna merah muda mendarat pada bibir seorang wanita paruh baya.

Cassandra Leonce Magnus, selir yang baru di angkat oleh sang kaisar.

Ia bersemayam pada kursi kayu berlapis beludru, terbentang di hadapan benda bening yang mengunci bayangannya.

Selir yang saat ini dimiliki kaisar ada empat, di antaranya ; selir pertama —Rosalina Rynete Magnus. Selir kedua, Dalora Leona Magnus. Selir ketiga, Wilona Bactar Magnus, dan selir keempat adalah Cassandra.

Gaun beludru berwarna biru dengan desain jatuh kebawah dipilih Cassandra untuk pesta teh kali ini.

Gaun itu berumbai dengan embordir di bagian ujungnya.

Gaun yang terbuat dari beludru halus itu tebal serta memiliki lengan yang berhias bulu lembut berwarna hitam sebagai aksesoris yang menarik.

Jemari pelayan memasangkan kalung mutiara berwarna putih mengkilau, menyajikan perpaduan yang indah juga elegan.

"Yang mulia anda cantik sekali seperti peri." ucap pelayan pribadi Cassandra.

Siapapun yang melihat Cassandra pasti tak akan menyangka bahwasanya ia mantan pelayan kaisar.

Tubuh berbentuk jam pasir, memberikan kesan feminim klasik.

Wajah bulat nampak muda dan lembut. Mata Almond yang tampak proposional berwarna biru seakan tenggelam dalam langit.

Kulitnya bersih bagai lautan susu, dipadu rambut panjang pirang yang bergelombang.

Tak heran jika sang kaisar Magnus sempat berlabuh hati padanya.

Tapak langkah ringan menelusuri bagian luar ruangan sampai akhirnya mendarat masuk.

Cassandra yang baru saja bertoleh menaikkan kedua bibirnya dengan mata membulat berbinar.

"Cassian, putraku!" serunya dengan kehangatan. Ia menggait gaun biru itu hingga tak lagi terseret.

"Ibu...saya datang berkunjung." cetus pemuda dengan jubah bangsawan berwarna biru itu, di atas kain baju hitamnya terpampang manik-manik sebagai penghias yang apik.

***

Monolog.

Setelah aku dan Lux kembali, aku mendengar kabar bahwa akan ada pesta teh yang digelar untuk para selir dari beberapa pelayan.

Ada rasa mengganjal dalam benakku. Mungkinkah aku harus pergi ke istana langit dan mendampingi ibu terlebih dahulu?

Tanganku meraih ramuan penangkal racun yang ku dapat dari rumah tua.

"Lux, tunggulah di luar. Jangan biarkan siapapun masuk." ujarku kepada wanita berkepang dua itu.

Lux membungkuk, mendengarkan kalimat itu tanpa bantahan.

"Baik, yang mulia." jawabnya patuh.

Aku segera meneguk ramuan penangkal itu dalam satu luncuran.

Sudah ku persiapkan diri kalau-kalau terjadi sesuatu seperti efek yang mengerikan.

"Aneh. Kenapa tak terjadi apapun?" cetusku melemparkan botol ramuan tak bersisa ke tungku perapian.

"Lux siapkan pakaian, aku akan pergi ke tempat ibu." ujarku Lantang.

Lux memasuki ruangan, langkahnya menuju lemari besar di samping tempat tidurku. Memilah salah satu dari deretan pakaian yang ada.

Aku pergi ke ruang mandi dengan telanjang badan. Kedua kakiku melangkah ke kolam pemandian besar yang berisi air hangat dengan banyak kelopak bunga Lavender.

Sepuluh menit berlalu, Badanku telah basah kuyup dengan suhu tropis. Aku keluar dengan berbalut handuk sampai pinggang. Pakaian yang kuminta telah terpampang apik di atas tempat tidur.

Doublet bordir emas, dengan cloak beludru panjang yang dipadukan dengan Bros. Ikat pinggang dekoratif, sarung tangan dan medali kerajaan dengan keseluruhan berwarna biru tua sebagai warna vibes dominan.

Lux menata rambutku sedemikian rupa.

Aku menatap pantulanku di cermin. Tubuh berbentuk Rectangle, dengan bagian bahu dan pinggul hampir sejajar.

Rambut dan mataku berwarna hitam seperti milik sang kaisar.

***

"Cassian, ibu sungguh baik-baik saja."

Begitulah kata ibu, tetapi aku tidak pernah bisa tenang sedetik pun. Terlebih area ini masih dalam cakupan permaisuri.

Kaisar tidak akan pernah ikut campur dalam pertengkaran wanita, jika ibu atau aku mati, dia masih punya beberapa istri untuk bersenang-senang dan sembilan anak lain sebagai penerus tahta.

Arsitektur di istana Langit diatur hampir sama dengan istana Bintang.

Pintu-pintu dibuat dengan portal dengan satu Paviliun pribadi beserta pelayan di dalamnya.

Aku dan ibu telah melangkah melewati jalan setapak cukup jauh hingga pemberhentian kami tepat disebuah area lapang hijau dengan meja, kursi dan dekorasi yang terpasang sedemikian rupa.

Para selir lainnya sudah duduk di di kursi meja besar itu dengan disuguhi banyak sajian di atasnya.

Namun saat kami mendekat, tak seorangpun beraut ria.

Ibuku mengambil inisiatif dengan memulai pengenalan terlebih dahulu.

"Halo semuanya, nama saya Cassandra." ucapnya dengan merendahkan kepala, menarik gaun itu lirih dengan kedua tangannya.

"Pftt..." sebuah suara mendarat bagai lelucon.

Wanita itu?

Seorang wanita dengan kipas menyampul wajahnya menatap tajam ke arah kami. Ibuku menghimpitkan kedua bahunya, menggigit bibirnya dengan mata turun ke bawah.

Wajahnya memerah.

"Sepertinya anda belum mendapat etiket istana ya?" salah seorang wanita berujar, wanita dengan bentuk tubuh pear, rambutnya mencolok dengan warna merah muda.

Matanya berwarna terang kekuningan itu memandang kami dengan penghakiman.

Wilona Bactar Magnus— selir ketiga kaisar.

Ibuku mencengkeram erat gaunnya, ia menjawab dengan lirih.

"B-belum—" sebelum ia berencana melanjutkan, ucapannya kupangkas sebagai wakil atas dirinya.

"Ibu saya masih belum terbiasa, guru etiket pun belum di pekerjakan.

Apakah istana langit memang tidak becus seperti ini? Ah... maaf kalau membuat kalian bertiga merasa tak nyaman."

Ketiga wanita itu menatap dengan tajam.

"Lancang!" ketus wanita itu, gaunnya meliuk mengikuti gerak tubuhnya.

"Hanya seorang anak haram beraninya!—" aku menyela sebelum Wilona melanjutkan.

"Jika anda keberatan, mengadu saja pada kaisar!" Wilona melebarkan matanya, bibirnya membisu. Sepertinya ucapanku menembus tepat sasaran.

"C- cassian berhenti." ibuku gagap, keningnya berkeringat.

"Saya dan ibu telah resmi diangkat menjadi anggota istana. Tapi beberapa serigala masih mengaung dengan rakus melihat jatah pangan orang lain." ucapku lantang menggema di langit-langit.

"Bukankah mereka benar-benar." aku menunda sejenak, mencondongkan badanku sedikit, menyipitkan mataku dengan senyum miring.

"Putus asa." lalu melanjutkan.

Kata terkahir berhasil membuat wanita di samping Wilona mendengus kasar.

"Cassandra, kamu ke sini sambil membawa putramu sebagai pelindung? Bukankah kamu tidak bernyali?" ucapnya dengan badan tegak, suaranya dingin bagai rintihan salju.

Ibuku sedikit menunduk, ia masih membisu, ucapan wanita itu masuk akal untuk alasan tertentu.

Tapi siapa peduli? Mereka wanita yang pandai memanipulasi, tak perlu terkejut jika bermulut lincah.

"Yah, saya hanya berjaga-jaga. Soalnya kaisar sendiripun tak cukup berani menjamin keselamatan ibu saya." sahutku gamblang, aku menggait kursi untuk ibuku duduk.

Ia dengan enggan menatapku sejenak sampai akhirnya berhasil menapakkan tubuhnya di atas kursi kayu itu.

Wanita di samping Wilona tadi tampil dengan tubuh jam pasir, rambut panjang lurus berwarna silver dengan sekatan kepang di bagian belakangnya.

Pupil matanya berwarna merah bagai kristal darah.

Alis wanita itu melengkung tajam menyatakan ketegasan, dominasi dan keberwibawaan.

Sedangkan bibirnya tipis menyiratkan rasa tenang dan dingin.

Wanita itu adalah Dalora Leona Magnus, selir kedua kaisar.

Gaun beludru panjang berwarna kuning dikenakannya.

Ia beranjak dari semayamnya, melangkah pelan ke arahku. Kedua matanya tak gentar, namun yang membuatku bergidik adalah lekuk bibir ke atas wanita itu.

SLAPPP.

Sebuah tamparan itu mendarat di pipi kanan. Mata ibuku melebar, ia menjerit segera bangkit dari duduknya.

"Cassian!"

Dalora menarik kembali tangannya, ia amati sejenak sampai mengibaskankannya lirih.

"Baru saja menjadi pangeran, tapi tidak punya etika kepada yang lebih tua!" ia berucap dengan suara yang dingin. Mendengar hal itu aku hanya menyeringai, tawaku menggema.

"Apa kalian tidak punya cermin? Tidak kusangka kekuatan anggota istana hanya sebatas ini?" satu mataku memincing, suaraku lepas dengan parau.

Wanita yang menyampul wajahnya dengan kipas masih mengamati kami sedari tadi.

Bukankah kau menikmati teater ini? Selir pertama!

"Tolong ajari pangeran ini kalau begitu!" aku membisu sejenak sampai akhirnya kedua bibir ini kembali bercelah.

"Mungkin jika kalian mengajari aku dengan baik. Aku bisa membalas budi kepada anak-anak kalian!" tanganku terlentang, suaraku pecah bagai serpihan kaca.

"Biarkan mereka mengingat kembali

a j a r a n ibu mereka!" sorot mataku menjadi tajam.

Ucapanku keluar dengan ketus seraya memapah ibuku kembali bersemayam pada tempat duduknya.

Wajah para selir menjadi gelap, tatapan bengis menghujaniku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Anak Haram Sang Kaisar    Bab 36 : Pinjamkan Aku Pakaianmu

    "Informasi ya, kurasa kalian tidak sepenting itu untuk ibuku repot-repot. Pada akhirnya anggota istana punya satu kesamaan, mulut mereka lebih besar daripada otaknya." ucapan Cassian membuat Ruby bangkit dari semayamnya, meraih secangkir teh itu lalu ia lemparkan ke arah wajah Cassian CPRAAAT***Pemuda itu tergelagap dalam lemparan air teh yang untungnya tak panas.Itu bisa menjadi masalah yang lain jika teh itu masih mendidih. Cassian menyeka wajahnya dengan secarik baju dari lengannya kemudian menatap Ruby dengan fokus yang mantap. Sedangkan Ruby mengatupkan rahangnya dengan alis yang naik penuh dengan kerutan wajah."Orang sepertimu ternyata punya mulut yang licin, sepertinya kau tidak bercermin ya? Ibumu adalah seorang wanita yang melebarkan selakangannya untuk kaisar!"GRAB"Keugh!" mata Ruby terbelalakkan begitu telapak tangan Cassian membalut lehernya dengan cekikan erat membuat wanita itu bernapas dengan tersumbat. "L-lepaskan!" mendengar ucapan itu, dari pada melepaskan

  • Anak Haram Sang Kaisar    Bab 35 : Mulut Mereka Lebih Besar Daripada Otaknya

    "Archduke! Jangan bicara seenaknya! Tanpa kami Kekaisaran ini sudah lama jatuh miskin! Jika bukan karena permaisuri bersedia menikah dengan kaisar, orang-orang dari kerajaan Zaraon tak akan Sudi harus bekerja di bawah kekaisaran!" Pria dengan perut besar kembali menjawab dengan sebuah pernyataan. ***Azriel melangkah maju dengan senyum penuh ejekan itu. "Kalian pikir jika bukan karena kaisar dan ayah kami yang merasa kaisar sebelumnya. Kalian masih bisa hidup dengan nyaman di kekaisaran ini? Kerajaan Zaraon adalah penyebab pecahnya perang besar di waktu itu." dengan tatapan tajam Azriel berucap lantang menantang paran bangsawan itu dengan berani.Tak hanya Azriel, namun Valkan pun ikut maju dengan tatapan tajam bak serigala yang siap memangsa. Tangannya bergerak ke area pinggangnya mencengkeram gagang pedang berukir rumit dalam satu gerakan, hingga pedang berdenting itu keluar dengan suara tajam. SRINGPara bangsawan seketika bergerak refleks mundur seakan menghindari bahaya. Tat

  • Anak Haram Sang Kaisar    Bab 34 : Turun Tahta

    Di sana juga, Runette telah berdiri dengan banyak gulungan di atas meja."Kalian rupanya." cetusnya singkat mengarah fokus ke mereka bertiga.***Langkah Nin dan dua orang di belakangnya terhenti, ia meletakkan satu tangannya di dada kemudian berucap. "Saya Nin, tabib istana yang kaisar perintahkan untuk menjemput anda." cetusnya dengan suara pelan. Agnetto dan Bald melakukan gerakan yang sama tanpa menyebutkan nama mereka. Runette menutup mulutnya dengan kepalan tangan lalu suara gemuruh ringan berbunyi."Cough! Cough! Sepertinya kaisar sangat terhimpit sampai membutuhkan batuan pria tua sepertiku." katanya dengan suara serak yang lemah. Ia melangkah mendekat meninggalkan segala benda-benda yang ia genggam. "Ayo berangkat." ujar nya melangkah mendahului. Kembali ke istana kekaisaran, langit telah menyebarkan terang sekaligus terik yang sedikit menyakitkan.Cassian dengan seragam pelayanya menggerakkan kedua tangan untuk beraktivitas sepanjang jalur istana Bintang. Benar, pavil

  • Anak Haram Sang Kaisar    Bab 33 : Pekerjaan Baru

    "Aku tak punya apapun, kita bisa pergi sekarang." Alactra terdiam sejenak, kemudian kembali terkekeh dengan ucapan pemuda di hadapannya. "Baiklah. Ayo pergi." ***Dengan satu kuda yang sama, Cassian dan Alactra menuju ke istana dalam satu boncengan.Tapak kuda itu kendur setelah tiba di gerbang istana dalam beberapa waktu, tak sampai satu jam. Alactra membawa Cassian ke area istana bulan. Dengan bajunya yang lusuh, banyak pasang mata yang menilai pemuda itu dengan persepsi serba-serbi. Cassian berjalan dengan enggan seakan takut mengotori lantai-lantai istana. Pemuda itu menatap bangunan megah yang terpampang di hadapannya dengan kedua mata yang letih serta berkantung hitam. "Kemana kita akan pergi? Menemui kaisar?" tanya pemuda itu mengikuti langkah Alactra dari belakang. Mereka melewati ruangan demi ruangan, lorong demi lorong hingga Sampailah di sebuah pintu besar. Dengann dua orang penjaga di depannya. Alactra mendorong pintu itu dengan tangan kanannya hingga kayu perseg

  • Anak Haram Sang Kaisar    Bab 32 : Sebuah Lelucon

    Ucapan itu hanya menimbulkan tawa lantang dari kedua bibir Rosetta "Hahahaha!" ia mendongakkan kepalanya ke atas tertawa dengan puas.***"Valerius, sungguh. Melihat kisah cintamu dengan seorang pelayan membuatku tertawa geli." permaisuri melanjutkan dengan nada yang mengejek. "Lagipula, kenapa wanita itu sangat bodoh. Pria yang dia cintai punya banyak anak dan istri. Bukannya segera mencari pria yang dapat menghidupi kebutuhannya. Dia terus menunggumu seperti anjing patuh." mendengar ucapan Rosetta, semakin mengobarkan amarah Valerius. Ia tak kuat mendengar segala omong kosong itu, tapi pada saat yang sama ia merasa bersalah karena ucapan Rosetta ada benarnya."Cukup! Aku akan membawa putraku ke istana! Dia akan mendapatkan haknya juga kursiku untuk melanjutkan tahta kekaisaran!" Valerius menyambar dengan keputusannya yg sudah bulat. Tiba-tiba pintu terbuka menampakkan seorang pelayan dengan dua cangkir teh yang masih mengepulkan asap hangat. "Yang mulia, ini adalah teh herbal s

  • Anak Haram Sang Kaisar    Bab 31 : Sebuah Janji

    Mendengar ucapan Ruby, permaisuri menaikkan satu alisnya penuh dengan pengamatan yang intens. Sedangkan kedua adik Ruby, Damien dan Dalaine dengan rambut merah terangnya hanya membuat wajah penuh kepolosan. ***Seluruh orang kecuali Cassian telah meninggalkan ruangan itu. Diskusi telah selesai.Pemuda itu kini berhadapan dengan ayahnya sang kaisar.Suhu ruangan yang hangat menyebabkan dahi Cassian sedikit berkeringat, namun matanya masih menatap ke depan menunggu salah satu dari mereka untuk memulai percakapan. "Apa yang terjadi sangatlah cepat, dan kau menyelesaikannya dengan baik." kalimat itu keluar dari mulut kaisar. Entah apa yang sebenarnya coba ia katakan, namun apa yang ada dalam pikiran Cassian masihlah berupa kekecewaan."Jika saya tidak melakukan sesuatu dan membuat Kalaine mengaku. Apa anda hanya akan diam saja dan memenjarakan ibu dengan bukti-bukti itu? Bukankah para pelayan yang menjadi saksinya?" Cassian geram, namun tak ia tampakkan. Pria di hadapannya adalah ay

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status