Share

Jadi siapa itu Pria itu?

Keesokan harinya, Bara terbangun dengan kicauan burung yang merdu. Matanya terbuka perlahan, semalam dia tertidur sangat lelap.

Bara membuka jendela kamarnya melihat pemandangan yang menakjubkan hamparan sawah yang asri, aliran air yang gemericik tenang membuat pagi itu terasa sangat lengkap, dia meregangkan tubuhnya sebentar mencuci mukanya di kamar mandi, lalu mengambil kaos biru yang dia gantung di belakang pintu kemudian memakainya dan beranjak ke luar. 'Cuacanya sangat bagus, sayang kalau tidak dinikmati'

"Selamat pagi Sekar" Bara menyapa wanita itu yang sedang sibuk di taman bunganya

sekar menoleh dengan tersenyum, "Selamat pagi Prajurit" balasnya dengan tawa kecil

"Ada ada saja kamu, oh iya hari ini menunya apa?" tanya Bara yang nampak begitu penasaran

"Hmm, yang pasti semua yang disediakan takan pernah kamu dapatkan di tempat lain, karena disini kami memasak dengan penuh cinta" Sekar menjawab dengan menggambar bentuk hati di langit

"Wihhh, baiklah chef yang memasak dengan cinta. Aku pamit dulu jalan jalan keliling desa, barangkali bisa ketemu teman baru"

Sekar hanya tertawa dengan perkataan Bara, "Oh iya jangan sering sering ke taman bunga nanti bunganya cepat layu karena minder sama kamu" gombal Bara. Sekar hanya menggeleng tersenyum

Udara segar dan matahari terbit memberikan semangat baru untuk Bara. Saat sedang menikmati perjalanan paginya, tiba-tiba Bara melihat seorang nenek tua renta yang terjatuh. Muatan kayu bakar yang dia bawa menindih kakinya. Tanpa berpikir panjang, Bara dengan cepat berlari mendekati nenek itu untuk memberikan pertolongan.

"Nek, saya ijin membantu" sapa Bara dengan penuh kepedulian.

Nenek itu merasa terharu dan tersenyum. "Terima kasih, nak."

Bara dengan sigap membantu nenek itu mengangkat kayu bakar yang menindih kakinya. "Nenek mau kemana?" tanyanya

"Mau pulang, nenek dari kebun cari kayu bakar. Mungkin sudah kelelahan nenek tidak sanggup mengangkat kayu itu lagi" jelas nenek itu

"Ya ampun, Nek. Saya bantu sampai ke rumah yah" Bara memikul tumpukan kayu bakar itu. Berjalan perlahan agar nenek itu tak ketinggalan langkah

Saat mereka berjalan menuju rumah nenek, mereka saling berbincang. "Seandainya anak saya masih hidup, dia pasti senang bertemu dengan kamu" nenek itu menepuk pundak Bara dengan bangga

"Anak nenek pasti senang melihat nenek yang sehat dan sangat kuat, sampai bisa cari kayu bakar sebanyak ini sendirian" Bara membalas dengan tersenyum

Dari beberapa meter terlihat sebuah gubuk sederhana, dengan halaman yang tidak terlalu luas namun sangat bersih, gubuk itu berdindingkan anyaman bambu dengan atap dari ayaman daun nipah, terlihat sangat terawat.

Bara memandang gubuk itu takjub, wajar saja karena di kotanya semua rumah dan bangunan monoton dan itu itu saja menurutnya.

Setelah sampai di rumah sang nenek, "Letakkan saja nak disamping sana" Bara mengiyakan, lalu menata tumpukan kayu di tempat yang di tunjuk Nenek itu

Nenek mengajak Bara duduk di depan teras rumahnya. Dia berkata, "Nak, kamu mirip sekali dengan almarhum anakku. Dia juga selalu penuh semangat dan peduli terhadap orang lain." Nenek itu tampak bahagia saat menatap mata Bara

Bara tersenyum mendengar hal itu. Dia merasa terhormat karena dibandingkan dengan sosok yang dikagumi oleh nenek itu. Dia merasa bahwa pertemuan mereka tidak hanya kebetulan semata.

Bara kemudian bertanya, "Nenek tinggal di sini dengan siapa?"

Nenek itu menjawab dengan sedikit kesedihan, "Aku tinggal bersama cucu perempuanku. Tapi saat ini, dia sedang pergi ke pasar."

Bara menjadi penasaran dan bertanya lagi, "Bagaimana dengan suami nenek?"

Nenek itu pergi ke dalam rumah dan kembali dengan membawa bingkai foto. "Ini adalah suamiku," kata nenek itu sambil menunjukkan foto tersebut kepada Bara.

Degh..

Jantung Bara seperti berhenti berdetak beberapa detik, matanya melotot heran menatap foto tersebut . Bagaimana tidak, dia melihat wajah pria tua yang sangat dikenalnya. Itu adalah pria tua pemilik warung yang dia temui malam itu. Bara merasa kaget dan bingung dengan kebetulan yang terjadi.

Bara menatap nenek itu dengan wajah yang pucat pasi. Dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tetapi dia merasa ada sesuatu yang aneh terjadi di desa ini. Setelah berpikir sejenak, Bara memutuskan untuk tidak mengungkapkan pengetahuannya tentang pemilik warung kepada nenek itu. Dia tidak ingin menimbulkan kebingungan atau ketakutan pada nenek yang sudah tua renta.

"Ada apa Nak?" tanya Nenek itu khawatir

"Ma- maaf nenek. Tiba-tiba aku merasa tidak enak badan. Aku harus kembali ke Penginapan sekarang," kata Bara beralasan.

Nenek itu mengerti dan mengucapkan terima kasih atas bantuan dan perhatian Bara. Mereka berpamitan dengan harapan bisa bertemu lagi di lain waktu.

Bara melangkah dengan cepat ke arah penginapan, dengan pikiran yang penuh kebingungan.

Sesampai di penginapannya Bara duduk di teras .

"Hhhuffffttt...." dia meremas rambutnya sendiri mencoba memahami semua yang telah terjadi.

'Harusnya tadi langsung aku tanya saja pada Nenek' Bara memukul kepalanya

Arrghhh...

'Bagaimana mungkin dia sudah meninggal, lalu siapa yang ku ajak berbincang malam itu? Dan jika memang benar pria itu sudah meninggal, lalu apakah yang makan di warung itu tau?' Bara sangat bingung mencari jawaban dari begitu banyak pertanyaan di pikirannya

"Ini teh hangat, sepertinya udara dingin di desa ini sudah masuk sampai ke pikiranmu," kata Sekar dengan lembut sambil meletakkan segelas teh hangat di meja teras, menyambut aroma harum teh yang menyebar di udara.

Bara mengangguk sambil tersenyum, meraih gelas teh itu dengan tangan gemetar karena dinginnya udara. "Ada banyak hal yang ingin ku tanyakan tentang desa ini, Sekar. Aku merasa penasaran dengan sejarahnya, kehidupan penduduknya, dan segala misteri yang ada di baliknya."

Sekar tersenyum bijak, mengambil tempat duduk di samping Bara. "Aku mengerti perasaanmu, Bara. Desa ini memang memiliki banyak cerita yang menarik dan mungkin ada begitu banyak pertanyaan yang muncul di pikiranmu. Namun, kamu harus tahu bahwa di dunia ini, tak semua pertanyaan memiliki jawabannya yang jelas dan pasti."

Bara menatap Sekar dengan rasa penasaran yang semakin mendalam. "Apa maksudmu, Sekar? Apakah artinya bahwa aku tidak akan pernah menemukan jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan itu?"

Sekar menggeleng lembut, matanya penuh dengan kebijaksanaan. "Bukan begitu, Bara. Maksudku adalah bahwa seringkali jawaban-jawaban itu tidak datang dalam bentuk yang kita harapkan. Terkadang, kita akan mengerti dengan sendirinya seiring berjalannya waktu, tanpa ada penjelasan yang eksplisit. Atau mungkin, kita akan menyadari bahwa apa yang terjadi memang memiliki alasan untuk tetap terjadi, sebagai pertanyaan yang menggantung tanpa ada jawabannya yang jelas."

Bara mengerutkan dahinya, mencoba memahami kata-kata yang diucapkan Sekar. "Jadi, kamu mengatakan bahwa ada beberapa hal yang tidak perlu kita cari jawabannya secara aktif, tetapi membiarkan waktu dan pengalaman membawa kita pada pemahaman yang lebih dalam?"

Sekar tersenyum dan mengangguk. "Ya, itulah intinya. Terkadang, hidup memberikan kita pelajaran dan jawaban yang tidak terduga. Kita hanya perlu terbuka dan menerima prosesnya. Siapa tahu, suatu hari nanti kamu akan menemukan jawaban-jawaban yang kamu cari, atau mungkin kamu akan menemukan kedamaian dalam ketidakpastian itu sendiri."

Bara tertawa kecil, terkesan dengan kebijaksanaan Sekar. "Wah, sepertinya kamu cocok jadi motivator di acara TV, Sekar. Kata-katamu benar-benar memberikan inspirasi dan membuatku berpikir lebih dalam."

Wanita itu hanya tersenyum, berharap Bara memang sudah mengerti dengan apa yang dia jelaskan. Padahal Bara malah berpikir sebaliknya bagi Bara, Sekar tak paham apa yang dia alami karena perjalanan dan pertemuan dengan pria tua itu hanya di mengerti olehnya sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status