Share

Bab 2

Ponsel Mama Yuni tiba-tiba berdering. Ada panggilan masuk. Kulihat dari layar ponselnya nama My Son yang tertera. Itu artinya Mas Haviz yang hubungi beliau.

Kemudian, mama angkat teleponnya, tapi ia menjauh dariku. Aku tunggu sampai ia selesai bicara dengan Mas Haviz, setelah itu barulah mendengarkan apa yang akan ia ceritakan.

Mama Yuni datang kembali, dan menghampiriku.

"Sudah, Mah?" tanyaku. Meskipun sewaktu sakit ia pernah menyakiti hati ini, namun aku berusaha tidak mengingat hal itu lagi.

"Emm, sudah, Ra. Tapi Mama mendadak ada acara nih, maaf ya, Mama pamit dulu," ucapnya sembari menyodorkan punggung tangannya. Aku pun turut mengantarkan mama mertuaku ke depan. Ia tampak tergesa-gesa melangkah, namun aku tak berani menanyakan apa-apa.

Kemudian, setelah ia pergi, aku pun masuk ke dalam rumah. Entah apa yang ingin dikatakan mama, pasti suatu saat akan kuketahui dengan sendirinya.

Matahari mulai cetar, aku pun membantu Mbok Susi mengangkat pakaian. Ia sudah menjadi asisten rumah tanggaku selama lima tahun. Aku sakit pun sebenarnya Mbok Susi lebih banyak juga mengurusku, hanya mengganti pakaian dan mengelap tubuhku saja yang aku larang. Sebab, ia termasuk orang lain.

"Bu, di rumah saja nih weekend?" tanyanya sambil memindahkan pakaian dari jemuran ke bak yang ia sediakan.

"Sudah tadi ke mall, Mbok," jawabku sembari ikut membantu. Tiba-tiba aku teringat ucapan Mama Yuni yang tadi sempat terhenti. "Mbok, boleh saya tanya sesuatu?" tanyaku padanya.

"Boleh, Bu." Kemudian, kami masuk ke dalam untuk melipat baju di ruang televisi.

Aku duduk bersama Mbok Susi layaknya seorang ibu dan anak saja yang sedang ngobrol. Kemudian, aku mulai bertanya pada Mbok.

"Mbok, apa masih ingat saat aku sakit dulu?" tanyaku mencoba mengingatkannya pada masa itu. Masa di mana aku terbaring lemah.

"Oh, ingat, Bu. Mbok sedih banget Ibu sakit, sehat terus ya, Bu," tuturnya perhatian.

Aku tersenyum tapi masih tersirat pertanyaan lain yang menjanggal.

"Ada lagi yang ingin kutanyakan, Mbok," ucapku. "Apa Mbok ingat, saat rumah ini kedatangan teman Mama Yuni?" tanyaku pada pertanyaan inti.

Mbok Susi menghentikan melipat pakaian. Ia terkejut dengan pertanyaan yang aku lontarkan. Namun, setelah itu ia tersenyum paksa.

"Oh, itu. Kalau nggak salah arisan, Bu," jawabnya terdengar gugup. Kemudian, tangannya kembali melipat pakaian yang ada di hadapannya.

Dari mimik wajahnya, sepertinya masih ada yang menjanggal tersorot di matanya. Aku hanya menarik bibir sedikit, lalu ikut membantunya melipat pakaian.

Mungkin nanti akan kutanyakan langsung pada Mas Haviz. Aku masih penasaran dengan apa yang Mama Yuni hendak katakan.

Sudah sore Mas Haviz belum pulang juga, di teras rumah aku melihat-lihat album foto milik kami. Foto pernikahan ku dengan Mas Haviz. Sudah hampir enam tahun menikah tapi belum dikaruniai anak juga, malah dulu hubungan kami sempat goyang karena aku sakit dan mertuaku menginginkan aku cerai dengan anaknya. Rasanya tidak habis pikir aku mampu melewati cobaan itu.

Jam di ponsel telah menunjukkan angka 16:35 WIB. Namun, Mas Haviz tak kunjung pulang. Kemudian, tiba-tiba ada panggilan masuk dari teman lamaku. 'Keyla, ada apa ia menghubungiku? Tumben,' ucapku dalam hati ketika melihat kontak yang menghubungiku.

"Ya, Key," ucapku setelah mengangkat telepon.

"Ra, bisa ketemu, nggak? Kangen nih, mumpung lagi di sekitar rumah kamu," tutur Keyla.

"Kapan, Key? Sekarang? Nggak bisa, aku lagi nunggu Mas Haviz pulang," tolakku secara halus.

"Yah, sebentar aja, aku mau ke Semarang nih besok, jadi hanya sekarang bisa ketemu, sekalian mau tanya sesuatu," ujarnya memaksa.

Aku terdiam sejenak, sepertinya tidak ada salahnya ketemu dulu, Mas Haviz juga pasti ngerti dan paham.

"Ya sudah, kamu di mana emangnya? Jangan bilang kamu di mall." Aku berusaha becanda dengan Keyla.

"Nggaklah, aku di taman nih, ke sini, ya," suruhnya. Kemudian, telepon pun terputus setelah aku mengindahkan permintaannya.

Aku ganti baju sekenanya, tidak terlalu rapi, tidak juga terlalu santai. Pokoknya pakaian yang pantas untuk ke taman yang kukenakan.

Setibanya di taman, aku mencari keberadaan Keyla, tapi aku cari dari sudut ke sudut ia tidak terlihat. Akhirnya aku ambil ponsel dan menghubunginya.

"Key, kamu di mana sih? Aku sudah di taman nih," ucapku agak sedikit kesal. Sebab, ia yang meminta aku untuk datang, tapi saat aku tiba malah nggak ada.

"Astaga, tadi suamiku jemput mendadak, kamu kelamaan sih. Tapi, aku nggak jadi ke Semarang besok, jadi besok aku ke rumah kamu, ya, Ra," sahutnya. Astaga, aku lupa kebiasaan Keyla yang pikun, kenapa ia tidak menghubungiku sewaktu suaminya jemput? Ini pasti karena pikunnya kambuh.

"Ya sudah, ditunggu besok di rumah," tutupku dengan nada kesal.

Jarak dari rumahku ke taman itu tidak terlalu jauh dan tidak terlalu dekat, dan aku ke taman dengan berjalan kaki. 'Keyla memang sering begini jika janji, kenapa aku tidak mengingat hal itu,' gerutuku dalam hati.

Akhirnya aku jalan keluar taman lagi untuk segera pulang. Namun, ketika ingin keluar aku melihat sosok anak kecil yang tadi di mall. Ibunya yang menarik lengan anak itu pun sedang menggandengnya menuju taman.

Aku berpapasan dengannya, dan seketika itu juga bocah itu berhenti di hadapanku. "Tante yang tadi bersama ayahku, ya?" sapa bocah kecil itu membuat mataku membulat.

"Ade, kamu usia berapa?" tanyaku balik disertai senyuman. Kulihat wajah ibunya jadi salah tingkah ketika aku menimpali anaknya.

"Usiaku lima tahun, Tante. Sudah sekolah TK," jawabnya. Aku pikir masih berusia tiga tahun, sebab badannya kecil.

Aku jongkok, lalu ingin menanyakan apa yang ia utarakan sejak di mall hingga tadi. "Dek, maaf, memang ayahnya namanya siapa?" tanyaku penasaran. Kusorot bola mata ibunya pun tak berhenti menyorotiku.

Bersambung

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Bunda Wina
mungkin ank itu ank kandung suami mu haviz kali jd pas di mall manggil ayah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status