Share

Anak Kecil yang Memanggil Suamiku Ayah di Mall
Anak Kecil yang Memanggil Suamiku Ayah di Mall
Author: Siti_Rohmah21

Bab 1

"Ayah!" teriak seorang anak kisaran berusia 3 tahun. Aku dan Mas Haviz menoleh secara bersamaan. Namun, ketika kami menoleh, ibunya menarik lengan anak tersebut dan membawa bocah itu pergi. Wajah bocah itu masih menyorot Mas Haviz sambil melambaikan tangannya.

"Kamu kenal anak itu, Mas?" tanyaku penasaran.

"Nggak, Sayang. Nggak kenal." Ia menjawab tapi seperti menyimpan rahasia.

"Apa sewaktu sakit kamu ...." Aku menghentikan ucapanku.

"Apaan sih, Dek. Aku nggak kenal bocah itu," jawabnya sambil merapikan belanjaan kami.

Sepulang dari mall, Mas Haviz pergi lagi, hanya mengantarkan aku sampai gerbang. Namun, ketika masuk ke dalam, aku dikejutkan dengan kedatangan mertuaku.

"Hai, Ara," sapanya.

"Mama," jawabku sambil meraih punggung tangannya.

"Duduklah, kamu ingat empat tahun lalu, ketika kamu sakit berbulan-bulan?" tanyanya mengingatkan aku musibah 4 tahun silam.

"Iya, aku sakit lama," jawabku sambil mengingat.

"Ingatkah saat Mama datang pagi-pagi, dan waktu itu suasana ramai?" tanyanya. Lalu aku berusaha keras mengingat masa lalu.

Aku sempat divonis urat saraf kejepit, dan saat aku sakit, yang aku ingat mertuaku selalu menyakiti dengan kata-kata yang menyakitkan. Namun, seiring waktu berjalan, aku sembuh dan berusaha melupakan lidah mertua yang tajam.

***

Flashback

"Ra, Mama harap cobalah suruh Haviz tinggalin kamu. Wanita sakit sudah berbulan-bulan, nggak bisa jalan, itu artinya sudah tidak berfungsi sebagai seorang istri, Haviz berhak bahagia!" cetusnya ketika mengelap tubuhku yang sudah dua bulan terbaring di tempat tidur.

"Maksud Mama cerai? Aku sudah lakukan itu, Mah, tanpa disuruh, tapi Mas Haviz tidak mau," jawabku sembari menahan air mata yang sudah mengambang di pelupuk mata.

Dua bulan sudah aku dinyatakan terkena penyakit urat saraf kejepit. Dua bulan lamanya aku hanya berbaring di ranjang. Semua aktivitas kulakukan di ranjang. Suamiku dan orang tuaku lah yang rajin merawat tubuh yang sudah kurus ini. Namun, hari ini orang tuaku pamit untuk pulang kampung dulu.

Mas Haviz sudah kupinta untuk menikah lagi, sebab aku tidak tahu kapan sembuh dari penyakit ini. Sudah berusaha berobat cara medis dan non medis, tapi sakit ini belum juga sembuh, hanya berkurang rasa sakit atau nyeri.

"Kamu rayu dong, Ra. Mama yakin, ini kamu terserang penyakit seperti ini karena dosa kamu yang menumpuk," cetusnya lagi. Astaga, sakit rasanya dicibir seperti itu, sudah sakit badan, ditambah sakit hati pula.

Aku menarik napas dalam-dalam, berharap kantung air mata tidak rembes di hadapannya.

"Iya, Mah. Nanti Ara rayu Mas Haviz." Aku mengembuskan napas berat,

"Kalau begini terus, ngerepotin tahu, ibumu juga ngapain sih pulang kampung segala, bukan rawat anaknya di sini," tuturnya lagi. Kemudian, tangan mama aku pegang, agar ia menghentikan mengelap tubuhku.

"Mah, kalau tidak ikhlas, nggak usah bantu aku. Biarin aja nunggu Mas Haviz pulang kerja," seruku sekarang meneteskan air mata. Sudah tak bisa kubendung lagi air mata yang sedari tadi kutahan, akhirnya kutumpahkan juga di hadapan mertuaku.

Bukan Mama Yuni namanya, kalau tidak menghardik menantunya setiap kali salah. Padahal nggak ada satupun manusia yang menginginkan sakit.

"Ya sudah kalau nggak mau diurusin, makanya jangan bikin dosa mulu, jadi kena penyakit tuh yang susah sembuh. Orang sakit tuh ngurangin dosa, kalau sakitnya parah itu artinya dosamu sangat besar. Mama tuh jadi penasaran, dosa apa sih yang kamu perbuat sampai diberikan azab seperti ini?" caci Mama Yuni kembali membuat hatiku teriris-iris. Sungguh kata-katanya tidak mencerminkan sebagai mertua yang bijak.

Kemudian Mama Yuni pergi dengan menghentakkan kakinya keluar seraya kesal.

***

Pagi ini, Mas Haviz libur. Mama mertuaku pun sudah pulang dari semalam. Namun, aku tidak memberi tahu apa yang mama katakan kemarin.

Seperti biasanya, Mas Haviz membantuku membersihkan tubuh ini, dan mungkin inilah saatnya aku bicarakan yang mama inginkan.

"Mas, aku ingin kamu menikah lagi, mau nggak?" tanyaku tanpa basa-basi.

"Nggak mau." Ia menjawab singkat.

"Kenapa, Mas?" tanyaku lagi. "Mas, aku ini nggak berguna, tinggalin aku, ya," tambahku lagi.

"Dek, aku punya teman, istrinya pernah kena penyakit seperti kamu, sembuh kok. Kita usaha bareng-bareng ya. Sedih dan senang kita akan selalu bersama," ucapnya sambil mengecup punggung tangan ini.

Tidak lama kemudian, mertuaku datang lagi. Namun kali ini bersama tamu yang tak kukenal. Kedengaran dari kamar sangat ramai. Siapa tamu yang ia bawa?

"Haviz!" teriak mama.

"Ya, Mah," jawab Mas Haviz. "Sayang, tunggu sebentar, aku temui Mama dulu, ya," jawabnya. Dengan sigap ia langsung menemui Mama Yuni.

Aku hanya mampu masang telinga untuk mendengarkan segala percakapan di luar. Namun, suara di luar sangat ramai, aku tidak bisa mendengarkan dengan seksama siapa yang sebenarnya datang?

***

"Ya aku ingat itu, Mah," ucapku terperanjat. "Memang ada apa? Waktu itu ketika aku tanya, Mas Haviz bilang tamu dari kampung, teman Mama, iya kan?" tanyaku lagi menyuruh Mama Yuni mengingatnya juga.

"Ya, itu teman Mama, tapi ada peristiwa penting saat itu," jawabnya membuatku semakin penasaran.

________

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Bunda Wina
wah jgn jgn peristiwa penting haviz menikah lagi tuh atas suruhan mamany haviz
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status