Share

Anak Kecil yang Memanggil Suamiku Ayah di Mall
Anak Kecil yang Memanggil Suamiku Ayah di Mall
Penulis: Siti_Rohmah21

Bab 1

Penulis: Siti_Rohmah21
last update Terakhir Diperbarui: 2023-03-31 22:17:32

"Ayah!" teriak seorang anak kisaran berusia 3 tahun. Aku dan Mas Haviz menoleh secara bersamaan. Namun, ketika kami menoleh, ibunya menarik lengan anak tersebut dan membawa bocah itu pergi. Wajah bocah itu masih menyorot Mas Haviz sambil melambaikan tangannya.

"Kamu kenal anak itu, Mas?" tanyaku penasaran.

"Nggak, Sayang. Nggak kenal." Ia menjawab tapi seperti menyimpan rahasia.

"Apa sewaktu sakit kamu ...." Aku menghentikan ucapanku.

"Apaan sih, Dek. Aku nggak kenal bocah itu," jawabnya sambil merapikan belanjaan kami.

Sepulang dari mall, Mas Haviz pergi lagi, hanya mengantarkan aku sampai gerbang. Namun, ketika masuk ke dalam, aku dikejutkan dengan kedatangan mertuaku.

"Hai, Ara," sapanya.

"Mama," jawabku sambil meraih punggung tangannya.

"Duduklah, kamu ingat empat tahun lalu, ketika kamu sakit berbulan-bulan?" tanyanya mengingatkan aku musibah 4 tahun silam.

"Iya, aku sakit lama," jawabku sambil mengingat.

"Ingatkah saat Mama datang pagi-pagi, dan waktu itu suasana ramai?" tanyanya. Lalu aku berusaha keras mengingat masa lalu.

Aku sempat divonis urat saraf kejepit, dan saat aku sakit, yang aku ingat mertuaku selalu menyakiti dengan kata-kata yang menyakitkan. Namun, seiring waktu berjalan, aku sembuh dan berusaha melupakan lidah mertua yang tajam.

***

Flashback

"Ra, Mama harap cobalah suruh Haviz tinggalin kamu. Wanita sakit sudah berbulan-bulan, nggak bisa jalan, itu artinya sudah tidak berfungsi sebagai seorang istri, Haviz berhak bahagia!" cetusnya ketika mengelap tubuhku yang sudah dua bulan terbaring di tempat tidur.

"Maksud Mama cerai? Aku sudah lakukan itu, Mah, tanpa disuruh, tapi Mas Haviz tidak mau," jawabku sembari menahan air mata yang sudah mengambang di pelupuk mata.

Dua bulan sudah aku dinyatakan terkena penyakit urat saraf kejepit. Dua bulan lamanya aku hanya berbaring di ranjang. Semua aktivitas kulakukan di ranjang. Suamiku dan orang tuaku lah yang rajin merawat tubuh yang sudah kurus ini. Namun, hari ini orang tuaku pamit untuk pulang kampung dulu.

Mas Haviz sudah kupinta untuk menikah lagi, sebab aku tidak tahu kapan sembuh dari penyakit ini. Sudah berusaha berobat cara medis dan non medis, tapi sakit ini belum juga sembuh, hanya berkurang rasa sakit atau nyeri.

"Kamu rayu dong, Ra. Mama yakin, ini kamu terserang penyakit seperti ini karena dosa kamu yang menumpuk," cetusnya lagi. Astaga, sakit rasanya dicibir seperti itu, sudah sakit badan, ditambah sakit hati pula.

Aku menarik napas dalam-dalam, berharap kantung air mata tidak rembes di hadapannya.

"Iya, Mah. Nanti Ara rayu Mas Haviz." Aku mengembuskan napas berat,

"Kalau begini terus, ngerepotin tahu, ibumu juga ngapain sih pulang kampung segala, bukan rawat anaknya di sini," tuturnya lagi. Kemudian, tangan mama aku pegang, agar ia menghentikan mengelap tubuhku.

"Mah, kalau tidak ikhlas, nggak usah bantu aku. Biarin aja nunggu Mas Haviz pulang kerja," seruku sekarang meneteskan air mata. Sudah tak bisa kubendung lagi air mata yang sedari tadi kutahan, akhirnya kutumpahkan juga di hadapan mertuaku.

Bukan Mama Yuni namanya, kalau tidak menghardik menantunya setiap kali salah. Padahal nggak ada satupun manusia yang menginginkan sakit.

"Ya sudah kalau nggak mau diurusin, makanya jangan bikin dosa mulu, jadi kena penyakit tuh yang susah sembuh. Orang sakit tuh ngurangin dosa, kalau sakitnya parah itu artinya dosamu sangat besar. Mama tuh jadi penasaran, dosa apa sih yang kamu perbuat sampai diberikan azab seperti ini?" caci Mama Yuni kembali membuat hatiku teriris-iris. Sungguh kata-katanya tidak mencerminkan sebagai mertua yang bijak.

Kemudian Mama Yuni pergi dengan menghentakkan kakinya keluar seraya kesal.

***

Pagi ini, Mas Haviz libur. Mama mertuaku pun sudah pulang dari semalam. Namun, aku tidak memberi tahu apa yang mama katakan kemarin.

Seperti biasanya, Mas Haviz membantuku membersihkan tubuh ini, dan mungkin inilah saatnya aku bicarakan yang mama inginkan.

"Mas, aku ingin kamu menikah lagi, mau nggak?" tanyaku tanpa basa-basi.

"Nggak mau." Ia menjawab singkat.

"Kenapa, Mas?" tanyaku lagi. "Mas, aku ini nggak berguna, tinggalin aku, ya," tambahku lagi.

"Dek, aku punya teman, istrinya pernah kena penyakit seperti kamu, sembuh kok. Kita usaha bareng-bareng ya. Sedih dan senang kita akan selalu bersama," ucapnya sambil mengecup punggung tangan ini.

Tidak lama kemudian, mertuaku datang lagi. Namun kali ini bersama tamu yang tak kukenal. Kedengaran dari kamar sangat ramai. Siapa tamu yang ia bawa?

"Haviz!" teriak mama.

"Ya, Mah," jawab Mas Haviz. "Sayang, tunggu sebentar, aku temui Mama dulu, ya," jawabnya. Dengan sigap ia langsung menemui Mama Yuni.

Aku hanya mampu masang telinga untuk mendengarkan segala percakapan di luar. Namun, suara di luar sangat ramai, aku tidak bisa mendengarkan dengan seksama siapa yang sebenarnya datang?

***

"Ya aku ingat itu, Mah," ucapku terperanjat. "Memang ada apa? Waktu itu ketika aku tanya, Mas Haviz bilang tamu dari kampung, teman Mama, iya kan?" tanyaku lagi menyuruh Mama Yuni mengingatnya juga.

"Ya, itu teman Mama, tapi ada peristiwa penting saat itu," jawabnya membuatku semakin penasaran.

________

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Bunda Wina
wah jgn jgn peristiwa penting haviz menikah lagi tuh atas suruhan mamany haviz
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Anak Kecil yang Memanggil Suamiku Ayah di Mall   Bab 25

    Tiba-tiba team medis yang menangani Mas Haviz keluar. Dokter menghampiri kami semua."Dok, bagaimana suami saya?" Mata Anggi mendadak menyorotku ketika aku menyebut ayahnya adalah suamiku."Alhamdulilah, operasi berjalan lancar, setelah observasi enam jam, pasien akan masuk ke ruangan rawat inap," jawab dokter seketika membuatku dan keluarga bernapas lega."Terima kasih, Dok," ucapku sambil memeluk Anggi.Lalu Dhea menghampiri, ia ikut mendekatiku dan Anggi. "Anggi, wanita ini mengaku-ngaku istri ayahmu loh, kuburan ibumu masih basah," celetuk Dhea."Kan Tante Ara memang akan jadi mamaku," sahut Anggi.Kemudian, aku memutuskan tidak meladeninya. Namun, aku curiga ketika Dhea mendapatkan telepon masuk, ia menjauh dari kami. Akhirnya aku coba ikuti langkahnya.Dhea mengangkat telepon di balik pembatas dinding rumah sakit, aku coba menempelkan telinga ini untuk menguping pembicaraan."Makasih ya, Toni, sopir truk yang kamu kirim kerjanya bagus, tapi sayangnya orang yang kuincar tidak ter

  • Anak Kecil yang Memanggil Suamiku Ayah di Mall   Bab 24

    "Bu, ayo Bu kita ke rumah sakit! Kasihan anaknya khawatir ada luka dalam!" ajak salah satu petugas kepolisian yang melihatku berdiri tertegun menyorot Dhea."Iya, Pak." Aku menjawabnya sambil ikut masuk ke dalam ambulance yang sudah ada Mas Haviz terbaring lemah.Wajah Mas Haviz keluar darah segar, sepertinya ada benturan di bagian rahang pipinya. Tangan dan kaki sebelah kanan masih utuh tapi tidak tahu kondisi dalamnya seperti apa, sebab posisi Mas Haviz terjepit pintu yang diserempet oleh truk."Tante, Ayah baik-baik saja, kan?" tanya Anggi. Aku terdiam, ia pasti trauma setelah kehilangan dua orang sekaligus dalam satu hari."Anggi doakan saja, ya. Semoga Ayah baik-baik saja." Aku mengelus-elus rambut bocah yang sedang memegang tangan ayahnya.Suara ambulance mengingatkanku pada peristiwa empat tahun silam. Dimana saat itu kondisiku sakit tak berdaya. Mas Haviz begitu panik ketika almarhumah mertua mengabarkan bahwa aku tidak mampu berjalan. Ia menghubungi ambulance khawatir Mas Hav

  • Anak Kecil yang Memanggil Suamiku Ayah di Mall   Bab 23

    "Ara ada di sini?" Mas Haviz bertanya dengan senyum semringah. Kemudian, Anggi diajak turun oleh Mas Haviz. Ketika Anggi turun, ia tidak seperti biasanya, menyergap lalu memelukku, yang dilakukan Anggi justru menunduk sambil berjalan ke arahku dengan wajah sendu.Perlahan langkahnya lama-lama mendekatiku. Kemudian ia menyodorkan tangannya yang memegang sekuntum bunga mawar merah."Loh, biasanya mawar putih, kenapa sekarang mawar merah?" tanya diiringi dengan senyum, namun Anggi tak juga menyunggingkan senyuman dari bibirnya."Tante, ini bunga terakhir untuk Tante, mawar berduri," celetuknya. Aku meraih bunga mawar yang ia berikan, setelah itu menatap wajah anak dari Mas Haviz dan istri sirinya, lalu menyorotnya sambil tersenyum, dan aku memeluknya erat.Responnya masih datar, ia tak kunjung menyunggingkan senyuman."Tante kenapa meluk aku? Bukankah Tante sudah tidak mau bertemu lagi dengan anak haram?" Astaga, anak ini dapat kata-kata itu dari mana?Aku tercengang mendengar penuturan

  • Anak Kecil yang Memanggil Suamiku Ayah di Mall   Bab 22

    "Tante, aku ingin tinggal dengan Tante Ara," lirihnya membuatku berkaca-kaca. Anak ini tidak paham siapa aku, jika ia tinggal bersamaku, sama saja aku menyiksa diri. Meskipun ia tidak salah apa-apa, tapi wajahnya mengingatkanku pada masa lalu."Anggi, Tante nggak bisa, maafin Tante, ya," ucapku padanya. Kemudian, aku masuk ke kamar dan mengunci pintu rapat-rapat.Kudengar suara tangisannya, ada rasa tidak tega bersemayam di dalam dada. Namun, aku tidak ingin menjilat ludahku sendiri. Ya, aku pernah berjanji akan meninggalkan Mas Haviz, dan tidak mungkin aku menarik perkataanku itu hanya karena kasihan kepadanya.Satu-satunya cara adalah tidak menemui anak itu untuk sementara waktu, agar iba dan belas kasih tidak muncul dalam benakku.Mama mengetuk pintu, ia izin untuk masuk dan bicara denganku. Mama duduk di sebelahku."Sudah pulang, Mah?" tanyaku saat mama duduk. Ia mengangguk, lalu aku tersenyum agak sedih."Mama tahu perasaan kamu, pasti teringat perbuatan Haviz padamu," ujar mama.

  • Anak Kecil yang Memanggil Suamiku Ayah di Mall   Bab 21

    "Apa-apaan kamu, Dhea! Sudahlah jangan menambah kesedihan Mama!" sentak Bu Dwi pada anaknya."Mah, kenapa sih Mama pilih kasih? Sewaktu Maya masih hidup, ia meminta untuk jadi suaminya Haviz diizinkan, padahal mereka sudah sebar undangan," sungut Dhea menjadikan pernikahan Maya suatu alasan."Cukup Dhea, cukup!" Bu Dwi pun berlalu pergi ke kamarnya.Kemudian, aku dan mama hendak pamit, supaya tidak menambah masalah dan kesedihan Bu Dwi. Namun, Anggi mencegahku untuk pergi. Ia merengek agar aku tetap berada di sampingnya.Akhirnya aku putuskan untuk menunggu Anggi tidur siang, setelah itu barulah kami berdua kembali ke kampung. Sambil mengelus-elus rambut dan punggung Anggi, aku dan mama tiba-tiba kepikiran dengan berkas yang telah kumasukkan ke pengadilan agama."Bagaimana dengan berkas kamu? Apa mau dicabut?" tanya mama, aku hanya bisa terdiam. "Cabut saja ya," suruhnya lagi."Kita bicarakan ini nanti, Mah. Sekarang lebih baik kita bersiap-siap pulang ke kampung, kasihan Papa, mungk

  • Anak Kecil yang Memanggil Suamiku Ayah di Mall   Bab 20

    "Anggi, aku juga Tante kamu, kenalkan ya, aku Tante Dhea." Dia memperkenalkan diri pada Anggi. Jadi namanya Dhea, entah apa hubungannya dengan Maya."Aku nggak kenal sama Tante, kata Mama, jangan dekat-dekat orang yang tidak dikenal," ucap Anggi. Lalu ia pindah ke dekatku. Aku tersenyum tipis, lalu menggandeng tangan kecil Anggi ke depan. Ya, proses pemakaman akan segera dilaksanakan. Nanti aku akan menanyakan siapa wanita tadi setelah pemakaman selesai.Kami berangkat dengan hati pilu, gerombolan orang yang serempak mengenakan baju hitam pekat pun mulai mengiringi jalannya jenazah untuk masuk ke ambulance.Tangisan Bu Dwi pecah, ia seakan tidak sanggup mengantarkan jenazah Maya. Namun, mamaku berusaha menguatkannya.Mobil beriringan menuju pemakaman yang katanya berjarak sekitar 7 kilo meter. "Yah, wanita tadi itu siapa ya, Yah? Yang mengaku Tante," tanya Anggi dengan polosnya. Mas Haviz yang menyupir mobil pun menoleh sedikit ke arahku seraya mempertanyakan padaku."Iya, Mas. Tadi

  • Anak Kecil yang Memanggil Suamiku Ayah di Mall   Bab 19

    "May, kamu baik-baik saja, kan?" tanyaku sulit melihatnya, sebab ada kepala Maya yang bersandar di bahuku. Kemudian, Anggi yang mendengar melihat ke arah mamanya."Mama bobo, Tante, nyenyak sekali Mama bobonya," sahut Anggi.Perasaanku mulai tak karuan, aku punya firasat buruk dengan kondisi Maya. Mama yang sederetan denganku pun menoleh."Iya tidur," celetuknya. Aku mau suruh mama cek napasnya khawatir membuat Mas Haviz panik, jadi diam-diam aku memeriksa denyut nadi tangannya.Aku raba lalu kucermati denyutannya, tapi tidak ada denyutan sedikitpun. Astaga, apa Maya juga telah ...."Mas, coba berhenti sebentar, ya," suruhku tapi berusaha tenang, supaya mereka semua tidak panik.Kemudian, setelah memastikan mobil berhenti. Mamanya Maya langsung turun dan buka pintu belakang. Sepertinya ia curiga sejak tadi aku bertanya pada Maya namun tak dijawabnya."Maaf, Bu. Saya mau lihat kondisi Maya," ucapnya."Bu Dwi, sepertinya Maya sudah nggak ada, tadi setelah ada suara seperti cegukan, ia t

  • Anak Kecil yang Memanggil Suamiku Ayah di Mall   Bab 18

    Kami keluar lagi, tapi hanya selang beberapa menit saja dokter memanggil kembali. Kali ini dokter menyampaikan bahwa Mama Yuni sudah mengembuskan napas terakhirnya."Pak, Bu, maaf, ternyata Allah berkehendak lain, Ibu Anda telah meninggal dunia barusan, sekali lagi kami team dokter minta maaf sebesar-besarnya, Bu Yuni tadi menolak ditransfusikan darahnya dan hanya berpesan pada saya sampaikan minta maafnya pada Ara," tutur dokter membuat Mas Haviz menghela napas panjang. Kemudian ia memukuli tembok dengan amat menyesalnya."Mah, maafin Haviz, seandainya Haviz yang mengantarkan Mama, tentu takkan terjadi seperti ini," keluhnya dengan penuh penyesalan.Aku mendekati Mas Haviz. Posisiku berdiri tepat di belakangnya. Kemudian, tangan ini memegang pundaknya yang kini rapuh, orang tua satu-satunya kini pergi meninggalkan dirinya.Kudengar suara isak tangis yang keluar dari arah Mas Haviz, setegar-tegarnya lelaki, jika ibunya yang meninggalkan dirinya, tentu akan sangat kehilangan. "Mas, ak

  • Anak Kecil yang Memanggil Suamiku Ayah di Mall   Bab 17

    "Maya sakit?" tanya mama."Bukan, Mah. Mama Yuni kecelakaan, ini minta tolong sama aku untuk jemput Ara, ia mau bicara pada Ara," ucap Mas Haviz terdengar sangat panik.Aku yang mendengar kabar mertuaku kecelakaan sontak terkejut. Meskipun ia selalu bersikeras untuk menjodohkan Mas Haviz dengan orang lain. Namun, ia dulu sempat merawatku ketika sakit. Makan dan minum ia layani meskipun dengan disertai ocehan yang kadang tak enak didengar."Ya, Mas, jemput aku segera ya," sahutku menyambar ketika ada kabar. Telepon pun terputus. Mama tersenyum tipis melihat wajahku. Matanya berkaca-kaca seraya sedih menatapku. "Kenapa, Mah? Kok mandang aku seperti itu?" tanyaku dengan mata menyipit."Mama salut denganmu, Ra. Begitu hormatnya kamu pada mertua, semoga jadi pahala untukmu," tutur mama sedikit sendu."Mah, kalau pada orang tua, aku selalu ingat orang tua kandungku, meskipun aku ini anak satu-satunya, dan tidak mungkin Mama melakukan hal seperti Mama Yuni, tapi tidak tega saja kalau itu te

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status