"Aku tidak akan membiarkanmu pergi setelah sekian lama menghilang dan melahirkan darah dagingku, Elena. Mereka anak-anakku, dan mereka berhak tahu siapa ayah mereka!" ucap Liam dengan suara tegas, penuh penekanan.
Mata Aleena langsung membulat, dadanya naik turun menahan gejolak emosi yang mendesak ingin meledak. Bisa-bisanya pria itu datang begitu saja, mengklaim hak atas anak-anak yang bahkan tidak pernah diakuinya sejak dalam kandungan. Pria itu seolah lupa dengan segala kepedihan yang telah ia sebabkan. "Kau… menginginkan mereka?" suara Aleena bergetar, setengah tak percaya. "Bukankah kau sendiri yang telah mengusirku? Kau bahkan berselingkuh dengan banyak wanita! Aku mencari tahu semuanya, Liam. Dan rupanya bukan hanya Laluna saja yang dekat denganmu, tapi banyak!" Aleena menghela napas panjang setelah mengucapkan kata-kata itu. Dadanya terasa sesak, matanya mulai berkaca-kaca, mengingat betapa ia pernah berharap pria itu berubah, namun semua hanya harapan kosong. Beberapa bulan lalu, ia masih berusaha mencari tahu tentang Liam, meski akhirnya ia menyerah. Tidak ada gunanya mengorek masa lalu yang hanya melukai hatinya sendiri. Liam menghela napas panjang. Rahangnya mengeras, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. "Itu hanya masa lalu, Aleena. Sekarang tidak lagi," ujarnya dingin. "Setidaknya mereka berhak tahu bahwa mereka memiliki seorang ayah. Biarkan mereka tahu, atau aku akan membawa masalah ini ke hukum!" Aleena tersentak. "Hukum? Apa kau gila? Untuk apa kau melakukan itu, Liam? Anak-anak sudah bahagia tanpa sosok ayah di hidup mereka! Jangan pernah mengancamku seperti ini!" serunya penuh kemarahan. Aleena tahu, Liam mungkin memiliki kekuasaan dan kekayaan, tapi ia tidak akan membiarkan anak-anaknya jatuh ke tangan pria yang bahkan dulu meminta untuk menggugurkan mereka. Pria itu sudah kehilangan haknya sejak pertama kali ia menolak keberadaan janin yang kini tumbuh menjadi anak-anak yang luar biasa. Apakah Liam lupa dengan semua kata-katanya di masa lalu? Tanpa pikir panjang, Aleena berbalik, meninggalkan pria itu dengan langkah tergesa-gesa. Hatinya berdegup kencang, kepalanya pening oleh berbagai pikiran yang bercampur aduk. Ia segera masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesin dengan tangan gemetar. Begitu roda mobil mulai bergerak, air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan lagi. Semua kenangan buruk kembali terputar dalam benaknya. Rasa sakit, pengkhianatan, dan ketakutan menyatu menjadi satu, membuatnya ingin berteriak sekencang mungkin. Ia tidak akan membiarkan Liam menyentuh anak-anaknya. Tidak akan pernah. Dengan kecepatan penuh, ia melajukan mobilnya, menjauh dari pria yang telah membuatnya takut dan membawa kembali luka lama yang seharusnya sudah ia kubur dalam-dalam. “Mommy. Apakah Paman tampan itu adalah ayah kami? Kenapa dia berkata seperti itu pada Mommy?” tanya Eve, memecah keheningan di dalam mobil yang melaju pelan di jalanan kota yang mulai diselimuti senja. Aleena menghela napas panjang. Jemarinya menggenggam kemudi dengan lebih erat, sementara matanya sekilas melirik ke arah kedua anaknya melalui kaca spion. Sorot mata Eve begitu penasaran, sementara Aiden, juga menatap penuh harap, seakan menunggu jawaban yang bisa menjernihkan kebingungan mereka. “Kita bicara nanti saja, ya?” ucap Aleena dengan suara setenang mungkin, berusaha mengendalikan perasaannya yang berkecamuk. “Tapi, Mommy. Kenapa Mommy mengatakan bahwa Ayah kami sudah di surga? Apakah dia sudah turun lagi ke dunia?” lanjut Eve, suaranya polos namun menusuk langsung ke relung hati Aleena. Aleena terdiam. Tenggorokannya terasa kering, lidahnya kelu. Ia tak pernah membayangkan akan berada dalam situasi seperti ini, di mana ia harus berhadapan dengan masa lalu yang selama ini berusaha ia kubur dalam-dalam. Bertahun-tahun ia hidup dengan keyakinan bahwa pria itu tidak akan pernah kembali, bahwa ia dan anak-anaknya bisa hidup tanpa bayangannya. Tapi kenyataan berkata lain. Liam muncul lagi, dengan wajah penuh keyakinan dan kata-kata yang membuat benteng pertahanan Aleena nyaris runtuh. Hatinya masih terasa perih saat mengingat bagaimana dulu pria itu dengan mudahnya menuduhnya sebagai wanita murahan. Bagaimana ia menolak mengakui kehadiran janin di dalam rahimnya, seakan nyawa yang tengah tumbuh itu tidak memiliki arti. Dan kini, setelah bertahun-tahun, dengan entengnya Liam mengatakan bahwa ia membutuhkan anak-anaknya. Apa pria itu sedang mabuk? Aleena menggeleng pelan, mencoba mengusir gejolak emosinya. Ia mengarahkan mobilnya ke halaman rumah, lalu memarkirkannya. Dengan langkah cepat, ia menggandeng tangan kedua anaknya masuk ke dalam rumah. “Sekarang waktunya tidur siang. Jangan banyak bertanya lagi atau Mommy akan mengurangi jatah jajan kalian!” ucapnya, sengaja menggunakan ancaman kecil agar kedua buah hatinya tidak terus mencecarnya dengan pertanyaan yang belum siap ia jawab. Eve dan Aiden saling pandang, sebelum akhirnya menurut. Mereka bergegas ke kamar masing-masing tanpa protes lebih lanjut. Begitu kedua anaknya menghilang di balik pintu kamar, Aleena menghela napas berat. Kakinya melangkah ke ruang tamu, lalu menjatuhkan tubuhnya di atas sofa. Kepalanya bersandar, matanya menatap langit-langit dengan pikiran yang berkelindan tanpa arah. Hatinya masih bergetar, campuran antara marah, kecewa, dan perasaan yang tak ingin ia akui. Namun, lamunannya buyar ketika suara bel rumah tiba-tiba berdenting nyaring. Aleena terkejut. Siapa yang datang di jam seperti ini? Dengan perasaan tak enak, ia bangkit dan melangkah ke arah pintu. Saat pintu terbuka, matanya langsung membola. “Apa lagi yang kau inginkan, Liam? Kau mengikutiku?” tanyanya dengan nada tinggi, emosinya langsung terpancing begitu melihat sosok pria yang baru saja ingin ia lupakan. Liam berdiri di ambang pintu dengan ekspresi penuh keyakinan. Tatapannya lurus menembus mata Aleena, seakan ingin menunjukkan bahwa ia tidak main-main dengan keputusannya. “Ya. Aku mengikutimu karena aku rasa urusan kita belum selesai,” jawabnya tegas. “Kalau kau tidak ingin memberitahu mereka tentang ayah mereka, maka biarkan aku sendiri yang memberitahu mereka!”Aleena menggeleng keras. “Tidak! Kau tidak bisa datang dan tiba-tiba mengklaim hak atas mereka! Kau tidak tahu apa-apa soal mereka! Aiden suka dinosaurus, Eve suka bunga matahari, dan mereka punya rutinitas, punya dunia yang tenang tanpamu!”“Dunia yang kau bentuk karena kau takut menghadapiku!” bentak Liam, kini hanya berjarak setengah meter dari Aleena. “Bukan karena mereka tidak butuhku, tapi karena kau tidak ingin aku kembali dalam hidupmu!”Aleena merasakan dadanya sesak. “Karena aku takut… mereka akan mencintaimu. Karena aku tahu, kau selalu bisa membuat siapa pun percaya padamu. Dan saat kau pergi lagi—”“Aku tidak akan pergi,” potong Liam tajam. “Tidak kali ini.”Keheningan menggantung di antara mereka. Suara hujan di luar terdengar samar, denting waktu seolah melambat. Tatapan Liam mengunci mata Aleena, seolah ingin menembus benteng pertahanannya.“Liam, tolong,” bisik Aleena dengan suara bergetar. “Pergilah. Aku mohon... jangan buat semuanya makin rumit.”Tapi pria itu tidak
Sementara itu, Aleena duduk di balkon rumahnya, memandangi langit sore yang mulai berwarna jingga. Angin berembus pelan, membawa aroma tanah kering yang sebentar lagi akan basah oleh hujan.Di pangkuannya, Eve tertidur dengan napas teratur, tangan mungilnya menggenggam ujung syal milik Aleena.Di dekat jendela, Aiden duduk dengan serius, matanya menelusuri halaman-halaman buku dongeng kesukaannya. Suasana terasa damai, sejenak seperti tidak ada apa-apa yang salah di dunia.Ponsel Aleena bergetar pelan di sampingnya. Ia menoleh dan meraihnya dengan hati-hati agar tidak membangunkan Eve. Sebuah pesan singkat masuk, dari nomor yang tak ia simpan:Kita perlu bicara. Bukan sebagai mantan. Tapi sebagai ayah dan ibu dari dua anak luar biasa.–LiamAleena menatap layar itu lama. Jemarinya gemetar ringan, tapi bukan karena dingin.Ia tahu, pembicaraan itu bukan sekadar pertemuan biasa. Apa pun yang akan dikatakan Liam nanti, itu akan menja
Siang itu, udara kota terasa panas dan menyengat. Matahari menyorot tajam di balik kaca jendela besar sebuah kafe berkelas di pusat kota.Di salah satu sudut ruangan yang cukup sepi, Liam duduk dengan pandangan kosong menatap cangkir kopinya yang sudah lama mendingin.Kemeja putih yang ia kenakan tampak kusut meski ia selalu rapi. Kancing teratas dibiarkan terbuka, lengan tergulung hingga siku, tapi tidak ada kesan santai dari penampilannya.Rahangnya kaku, dan matanya seperti terus terombang-ambing oleh pikiran yang tak kunjung menemukan dermaga.Cangkir itu sesekali ia putar dengan ujung jari, seolah mencari jawaban dari pusaran kopi hitam yang nyaris basi.Denting bel pintu kafe membuatnya menoleh cepat. Sosok tinggi dengan balutan gaun krem selutut dan sepatu hak tinggi memasuki ruangan.Rambutnya ditata sempurna, wajahnya dibingkai riasan profesional, dan di bibirnya terlukis senyum tipis yang tidak sepenuhnya hangat.Laluna.
Esok paginya, Aleena bangun lebih awal. Ia sengaja menyiapkan sendiri sarapan anak-anak meski tubuhnya masih terasa lelah.Ia ingin menghindari segala kemungkinan bertemu Liam lagi, apalagi setelah ketegangan yang terjadi semalam. Ia tak ingin anak-anak berharap lebih. Dan yang paling penting—ia tak ingin hatinya goyah lagi.Namun rencana tinggal rencana.Saat ia sedang mencuci tangan di dapur, suara bel rumah mengejutkannya. Ia menoleh ke arah jam dinding. Masih pukul 06.45 pagi. Alisnya langsung berkerut.Ia berjalan ke pintu depan, membuka sedikit tirai di jendela samping—dan jantungnya langsung berdegup kencang. Liam berdiri di sana.Membawa dua kotak makan putih dan dua kantong kecil berisi susu cokelat dengan gambar kartun kelinci di depannya. Susu favorit Aiden dan Eve.Aleena menghela napas panjang sebelum membuka pintu dengan cepat, menahan tubuhnya agar tidak langsung meledak.“Kau pikir bisa masuk semudah itu ke hidup kami?” desisnya kemudian menghadang pria itu sebelum sem
Aleena menatap kedua anaknya, lalu Liam. Ia tahu ini awal dari sesuatu yang besar—pertempuran panjang yang tak lagi bisa ia hindari.Tapi melihat tatapan tulus Liam pada anak-anak mereka, hatinya melemas, meski ia mencoba mengingkarinya.Liam masih berdiri di ambang pintu, dengan senyum tipis yang tak bisa disembunyikan.Tatapannya jatuh pada Eve yang menggenggam tangan Aleena erat, dan Aiden yang tampak ragu namun memancarkan rasa penasaran yang tak bisa disembunyikan.“Ayo cepat, sebelum Om Liam berubah pikiran,” ucap Liam sambil mengedip pada Eve. Suaranya ringan, tapi ada getaran harap yang dalam.Eve cekikikan kecil, dan Aiden menoleh ke arah Liam dengan senyum malu-malu. Ada sesuatu yang berubah dari anak laki-laki itu sejak mereka bertemu Liam—Aleena bisa merasakannya.Aleena tidak menjawab. Ia hanya mengikuti langkah mereka dari belakang, dengan segudang pikiran yang berkecamuk di benaknya. Setiap langkah terasa berat, seolah kaki dan hatinya tak lagi sejalan.Ia menunduk, mem
Aleena terpaku. Napasnya tercekat, seolah udara di sekelilingnya mendadak menghilang. Nama itu—John—keluar dari bibir Liam seperti peluru yang menghantam jantungnya.Ia tak tahu dari mana pria itu tahu, atau seberapa banyak yang sudah ia ketahui, tapi satu hal pasti: Liam tidak main-main.“Apa maksudmu?” bisiknya pelan, nyaris tak terdengar. Suaranya gemetar, matanya menatap Liam dengan campuran ketakutan dan kebingungan.Liam mengendurkan genggamannya, tapi tetap berdiri tak jauh darinya. Tatapannya masih menusuk, namun kini diselimuti aura yang lebih gelap.“Maksudku jelas, Aleena. Pria itu bukan seseorang yang bisa kau andalkan. Dia hanya datang saat keadaan tenang, saat semuanya baik-baik saja. Tapi ketika badai datang, dia akan lari.”Aleena menggeleng cepat, mencoba menyangkal. “Kau tidak tahu apa-apa tentang John!”“Tapi aku tahu segalanya tentangmu,” balas Liam tenang. “Aku tahu bagaimana caramu menyembunyikan luka. Aku tahu nada suaramu ketika kau berpura-pura bahagia. Dan ak