Share

Sabrina

Lelaki di hadapanku bernama Kukuh Ardi. Kami baru saja berkenalan tadi saat sampai di warung bakso.

“Teman main Sabia di saat suka maupun duka,” katanya.

Aku mengernyit. Sungguh romantis sekali. Itu teman main apa teman hidup?

“Jadi—lu juga tahu tentang gue?” Tanyaku lagi.

“Tentu.” Dia kembali menikmati baksonya. “Kalian anak kembar yang beda nasib.”

“Kami hanya beda jalan,” protesku.

“Sama saja.”

Terserahlah. Aku lebih suka menikmati baksoku dari pada menanggapi omongan Kukuh. Kapan lagi aku bisa bebas memakan apa pun yang ku mau. Mama tak akan tahu.

“Lu nyaman tinggal sama nyokap lu?”

Aku menghentikan kunyahanku. Kenapa dia ingin tahu?

“Lu tahu, Sabia nggak pernah nyaman tinggal di rumah nyokap kalian, karena selalu dibandingkan sama lu.”

“Gue juga merasakan hal yang sama, kalo lu mau tahu. Gue seperti hidup tanpa kemauan gue sendiri. Entah, rasanya berat banget harus menuruti keinginan Mama.”

“Jadi, lu melakukan semua kerjaan dengan terpaksa?” tanya Kukuh lagi.

Kepo sekali dia.

Aku mengangguk. “Kecuali konten gue. Semua yang gue lakukan tentang kecantikan itu adalah atas kemauan gue. Asal lu tahu, gue dulu bercita-cita jadi dokter spesialis kulit.”

“Kenapa nggak lu kejar?”

“Otak gue nggak sampai sana. Gue ngga sepintar Sabia.”

Kami sama-sama diam dalam pikiran masing-masing. Padahal baru saja kenal, kenapa bisa aku merasa nyaman berbicara dengan teman kakak kembarku?

Aku kembali ke rumah Papa saat kami selesai makan dan bertukar nomor telepon. Aku yang meminta tentu saja. Sepertinya dia tipe lelaki alim yang enggan bersentuhan dengan perempuan. Lalu, kenapa dia bisa akrab dengan Sabia?

Papa tak terlihat dimana pun ketika aku masuk ke dalam rumah. Kalau ada maling gimana? Pintu tak dikunci lagi.

Masuk ke kamar, aku cukup kagum dengan kerapian Sabia. Bahkan, dia sempat merapikan kamar ini. Satu hal yang tak pernah ku lakukan di rumah Mama sekalipun.

“Sabrina, kamu sudah pulang?”

Papa muncul dari pintu depan dengan membawa kantong plastik.

“Apa tuh?” tanyaku penasaran.

Bukannya menjawab Papa malah menyembunyikannya dariku.

“Bukan apa-apa,” ucapnya sambil masuk ke kamar, lalu keluar lagi tanpa plastik hitam tadi.

“Kamu nggak ada kegiatan hari ini?” tanya Papa.

Aku menggeleng.

“Biasanya Sabia akan membuat kue jika sedang tidak bekerja.”

Aku mendesah. “Aku bukan Sabia, Pa.”

“Tapi, tak ada salahnya kamu belajar terjun ke dapur.”

“Kapan-kapan.”

Aku duduk di depan tv, disusul oleh Papa yang duduk di sebelahku. Tak ada pembicaraan diantara kami. Hanya bunyi detak jam dinding menjadi backsound kebekuan aku dan Papa.

Aku melirik Papa yang masih fokus pada berita. Jujur aku penasaran dengan bingkisan yang Papa bawa dari luar tadi.

“Kamu makan apa tadi?” tanya lelaki berusia 55 tahun itu tanpa menoleh ke arahku.

“Bakso.”

“Mamamu akan memarahi Papa nanti.”

“Papa cukup bilang nggak tahu.”

“Mana mungkin Papa nggak tahu, sementara kamu sedang berada di sini, Sabrina.”

“Apa yang kamu makan di rumah Mama? Biar nanti Papa masakkan,” ucapnya.

“Nggak perlu,” lirihku. “Aku kesini karena terlalu tersiksa dengan aturan makan dari Mama.”

Papa menatapku sendu. Tujuan utamaku ke menginap di rumah Papa juga karena ingin menikmati masa bebas dari pantauan Mama. Sepertinya enak jadi Sabia. Coba saja wajah kami mirip, mungkin aku akan meminta Sabia bertukar tempat denganku.

Sepertinya dia juga perlu berasa diposisiku sebentar saja agar badannya tak terlalu gemuk. Dia terlalu banyak makan enak sehingga tubuhnya tumbuh subur.

“Jadi, kamu ingin makan apa malam ini?” tanya Papa membuatku menoleh ke arahnya. “Ayo kita makan sesukamu. Papa yang traktir.”

Mataku berbinar. “Benar?”

Padahal tadi aku baru saja makan dengan Kukuh, tapi Papa sudah mengajakku mengisi perut lagi. Pantas saja Sabia tumbuh ke samping.

Papa mengangguk, lalu tersenyum hangat. Senyum yang ku rindukan setelah beberapa tahun hanya pertengkaran kecil yang terjadi diantara kami.

“Apa Sabia juga sering Papa traktir makan?” tanyaku saat kami berada di dalam mobil. Papa mengajakku makan di tempat favorit beliau.

Papa mengangguk, “Dia selalu semangat saat makan. Kamu tirulah dia, agar badanmu nggak terlalu kurus.”

Aku tersenyum masam. Andai saja bisa seperti itu.

“Kalian hiduplah yang rukun. Kami nggak selamanya akan mendampingi kalian, sementara kamu dan Sabia hanya dua bersaudara,” ucap Papa yang membuatku sedikit tersentil.

Bukan kami tak rukun, tapi aku dan Sabia memang jarang sekali bicara. Mungkin, salahku juga yang dulu tak pernah membelanya ketika teman-temanku membully-nya.

Aku membuang napas kasar. Benar. Kelak kami akan hidup tanpa dampingan Papa dan Mama. Saudara yang ku punya hanya Sabia, harusnya kamu bisa seperti kakak adik yang lainnya. Saling bercengkerama dan saling menyayangi.

Sikap acuh yang Sabia berikan padaku membuatku enggan mendekat. Mungkin kami memang harus saling bicara dari hati ke hati.

“Nah, sampai.”

Lamunanku buyar mendengar ucapan Papa. Setelah memarkirkan mobil, Papa menyusulku yang telah lebih dulu masuk ke dalam restoran.

“Kayaknya enak,” ujarku.

“Kamu pasti ketagihan.”

“Papa sering makan di sini?”

Papa mengangguk. “Papa biasa makan di sini dengan Sabia.”

Lagi-lagi aku tersenyum masam. Iri.

“Lain kali Papa akan mengajak kalian berdua ke sini. Sepertinya seru bersenang-senang dengan kedua bidadari Papa.”

Aku hanya bergumam menanggapi omongan Papa. Papa memesan makanan tanpa menanyaiku terlebih dahulu. Aku juga tak protes, aku yakin Papa paham menu yang enak di sini.

“Sabrina,” panggil Papa lirih. “Apa kamu belum bisa menunaikan permintaan Papa?”

Aku yang sedang memainkan ponsel menatap Papa dengan kening berkerut.

Keinginan? Yang mana?

Papa mengembuskan napas, “Papa memintamu menutup aurat, Bri.”

Oh, itu.

“Pah, pekerjaan aku—“

“Papa rasa kamu masih bisa berkarier walaupun memakai hijab. Cantik itu bukan hanya dari luar, tapi juga dari hati,” kelas Papa memotong ucapanku.

“Aku belum siap.”

“Papa sangat khawatir kamu terjun ke dunia Entertainment. Kamu tahu sendiri bagaimana pergaulan orang-orang yang masuk ke sana. Papa khawatir kamu terbawa arus.”

Aku menunduk. Papa memang kurang setuju dengan pekerjaanku saat ini. Meskipun begitu, beliau tak banyak protes, hanya memintaku menutup aurat seperti yang Sabia lakukan.

Bukan hanya belum siap, Mama juga sepertinya lebih senang melihatku dengan pakaian terbuka. Akan lebih dilirik oleh sutradara film katanya.

“Apa Mamamu menghalangi?” tanya Papa seperti bisa membaca isi pikiranku.

Aku menggeleng ragu, Papa mendesah.

“Brina,” lirih Papa. “Kewajiban orang tua kepada anaknya, selain memberi nafkah, pendidikan juga mengajarkan ilmu agama. Papa bukan seorang ustadz yang sudah mumpuni ilmunya, yang Papa paham adalah wanita wajib menurut auratnya.”

Aku menunduk.

“Nggak apa, mungkin kamu masih perlu waktu untuk berpikir.” Papa memegang tanganku dengan senyum hangat di wajahnya.

Aku mengangguk.

Papa.

Andai saja dulu Papa yang mengajakku tinggal bersama.

Ah. Bukan. Andai saja kalian tak bercerai.

“Makanlah,” kata Papa setelah pelayan mengantarkan pesanan.

Menu di depanku terlihat begitu menggiurkan. Kata Papa restoran ini menjual makanan khas Bontang Kalimantan yaitu sambal gami. Sambal ini sangat unik karena disajikan dan dimakan di atas hotplate.

Aku begitu menikmati makanan yang sebelumnya belum pernah ku makan ini. Mungkin lain kali aku akan mengajak Risa ke sini.

“Papa?”

Kami menghentikan kegiatan makan saat mendengar suara yang kami kenal.

“Loh, Sabia?”

Ya. Sabia juga berada di restoran ini. Lebih tepatnya baru saja datang. Eh tunggu, dia datang dengan laki-laki?

Papa melirik pria di sebelah Sabia. Aku kenal dia.

“Kamu datang dengan siapa?” tanya Papa.

“Ah, ini bos Sabia, Pah,” jawab kakak kembarku yang lahir 5 menit lebih dulu.

“Pak, kenalkan ini Papa.”

“Rully, Om," ucap lelaki itu sambil menjawab tangan Papa. Pak Rully, produser yang memberiku bunga saat malam penghargaan.

Pak Rully melirikku sekilas, lalu mengernyit heran.

“Bukankah ini Sabrina?” tanya Pak Rully. Aku tersenyum canggung.

“Benar. Dia kembaran Sabia,” jawab Papa.

“Kembar?” Pak Rully melihat kami bergantian.

“Nggak usah heran gitu, Pak. Kami kembar non identik.” Sabia menjawab kebingungan Pak Rully.

“Tadinya, Papa pikir lelaki ini calon suamimu, Sabia.”

“Hah?!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status