Share

Sabia

“Saya masih nggak menyangka kalau kamu kembaran Sabrina,” kata Pak Rully menatapku curiga.

Setelah Papa dan Sabrina pulang, aku dan Pak Rully masih duduk di restoran untuk rapat. Katanya.

Aku berdecak.

“Nggak usah heran gitu deh, Pak.”

“Kamu yakin bukan anak pungut?”

E buset itu mulut.

“Astaghfirullah. Mulut enak benar ngomong.”

“Ya, kan, siapa tahu.”

“Bapak nggak liat muka Papa saya? Kami mirip loh.”

“Iya sih, mirip bulatnya.”

Astaga.

Hampir saja aku melempar gelas jus di depanku kalau tak ingat kalau dia bosku.

“Jadi intinya Bapak ngajak saya ke sini untuk apa?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.

“Saya mau besok kamu ikut ke lokasi.”

Ck. Padahal bisa kirim pesan saja, kenapa mesti suruh datang? Bilang saja kalau kangen.

“Pulsa Bapak habis?”

Dia menggeleng. “Kuota habis?”

Dia menggeleng lagi.

“Kamu mau belikan kuota?”

“Idih, ogah!”

Dia ketawa. Matanya menyipit. Kok ganteng?

Astaghfirullah! Sadar Sabia. Dia bos menyebalkan tukang bully.

“Sepertinya kalian nggak terlalu akrab.”

Aku menyipitkan mata.

“Kamu dan Sabrina,” lanjutnya.

Oh.

“Begitulah.”

“Kenapa?”

“Kok Bapak kepo.”

“Saya hanya bertanya.”

“Kami sudah hidup terpisah sejak SMP. Mama dan Papa berpisah. Tapi, memang sejak kecil kami nggak seakrab saudara kandung lainnya. Aku dan Sabrina terlalu berbeda.”

Aku menunduk. Mengingat masa-masa kecil dulu cukup membuatku sedih.

“Kamu sedih?”

“Nggak, Pak. Saya sedang tertawa bahagia,” ucapku kesal.

Pertanyaan macam apa itu. Sungguh menjengkelkan. Dia malah tertawa melihat reaksiku.

“Wajah kamu nggak pantas dengan ekspresi murung itu.”

Aku mengangkat kedua alisku.

Dia berdehem. Lalu mengeluarkan laptopnya.

“Untuk beberapa hari ke depan sepertinya kita akan sibuk.”

Kita?

“Bagaimana dengan naskahnya?”

“Aman, Pak.”

Sebagai produser sekaligus pemilik kantor penerbitan, lelaki di depanku memang terlalu sibuk. Sampai usianya menuju 30 tahun masih jomblo. Kasihan. Padahal masih muda.

“Apa kamu lihat-lihat saya, Sabia? Naksir?”

“Idih. Saya cuman kasihan lihat Bapak yang kerja sampai lupa cari jodoh,” ucapku.

Dia menghentikan jarinya yang sedang menari di atas keyboard.

“Laki-laki itu walaupun sudah tua tetap berproduksi, Sabia, beda dengan perempuan,” katanya.

“Lagian saya nggak kelihatan tua. Muka saya terlalu tampan.” Pak Rully menaikkan turunkan kedua alisnya.

Kantong keresek mana? Jadi mual. E tapi benar sih, dilihat dari sisi mana pun dia terlihat tampan. Sedangkan aku—sudahlah. Tak usah dibayangkan.

Aku melirik ponsel yang berkedip. Mama.

“Ha—“

“Kamu dimana, Sabia? Nggak lihat sudah jam berapa?”

Aku sedikit menjauhkan ponsel dari telinga. Nyaring sekali suaranya. Pak Rully menatapku penuh tanya.

“Masih kerja, Ma.”

“Kerja apa kamu sebenarnya?”

Aku mengembuskan napas. Lalu mematikan sambungan telepon.

“Mamamu?”

Aku mengangguk. “Sepertinya saya harus pulang.”

“Biar saya antar.”

Aku menggeleng. “Nggak perlu, Pak. Bisa disambit saya kalau pulang malam-malam dengan lelaki.”

“Tidak ada penolakan,” katanya sambil membereskan laptop dan beberapa berkas diatas meja.

“Ayo.”

Aku mengekorinya. Dari belakang saja dia kelihatan ganteng. Astaga. Ingat Sabia, dia bosmu.

“Ingat, Sabia! Besok kamu hadir dalam pencarian talent,” ucapnya saat kami sudah berada hampir sampai di rumah Mama.

Aku mengangguk.

“Pak, sampai sini saja.”

Rumah Mama masih sekitar 10 meter lagi, tapi aku meminta turun di depan gang.

“Kenapa?”

“Mama akan marah saya pulang dengan laki-laki larut malam begini.”

“Ini baru jam setengah 11, masih sore.”

Masih sore kepalamu, Pak.

“Mama saya seram, Pak.”

“Seseram apa?”

“Seseram kalau Bapak mencintai saya.”

Uhuk.

Kabur saja ah, dari pada kena timpuk. Buru-buru aku keluar dari mobil Pak Rully, bisa kena sambit menggoda bos galak itu.

Rumah Mama terlihat sudah gelap. Aku mengendap masuk ke dalam kamar. Dalam hati, aku membaca ayat kursi, memohon pertolongan Allah dari godaan Mama galak. Soalnya, hawanya sudah terasa horor.

Sedikit melonjak, ternyata Mama sudah duduk diatas kasurku. Tuh, kan!

“Kamu dari Mana?” tanyanya dengan muka tak senang. Kedua tangannya melipat di depan dada.

“Kerja.”

“Sampai larut begini?”

Aku mengangguk. “Sabia, Mama tahu kamu marah, nggak perlu kamu berbohong seperti ini.”

Aku mengembuskan napas. Terserahlah.

“Selama kamu tinggal di rumah Mama, kamu wajib mengikuti peraturan yang ada di sini. Sabrina bahkan nggak pernah pulang larut seperti ini.”

Kuletakkan tas berisi laptop di nakas. Walaupun apa yang dikatakan Mama ada benarnya, terkadang aku masih susah mencerna cara Mama menegurku.

“Kamu dengar Mama Sabia?”

“Dengar.”

“Termasuk dengan asupan makananmu, semua Mama yang akan atur,” ucapnya lalu pergi dengan suara pintu yang sedikit dibanting.

Itu sih, lebih horor dibandingkan dengan hantu mana pun. Yang benar saja? Aku harus makan tumbuhan hijau seperti Sabrina? Bisa hilang lemak kesayanganku dalam kurun waktu yang singkat.

Ish. Ada-ada saja.

___________________

Harusnya sih, aku kabur saja saat sarapan pagi ini. Tapi, mata Mama yang melotot ke arahku membuat nyaliku menciut. Kasihan juga kalau bola mata Mama keluar, kan aku yang rugi kalau harus mencari gantinya.

Astaga. Durhaka sekali Sabia.

Aku bergidik ngeri melihat salad sayur yang tersusun rapi di depanku. Manatap Mama dengan penuh permohonan. Mama mengangkat dagunya memberi kode untuk menghabiskan sarapanku.

Bismillahirrahmanirrahim.

“Ingat Sabia—“

“Oke,” selaku sebelum Mama memberikan kultum pagi. Aku memasukkan sedikit salad ke dalam mulutku. Astaga. Aku mau muntah!

“Siang ini Sabrina ada casting, jadi Mama harus menemaninya.”

Mama memasukkan salad ke dalam mulutnya dengan lincah. Sementara aku, masih menatap piring di depanku, berharap isinya berubah menjadi bakso urat.

Casting?

“Coba lihatlah Sabrina, dengan penampilannya yang menarik, dia bisa dengan mudah mendapatkan pekerjaan. Kamu tahu, endorsnya bahkan sudah banyak.”

Aku bergeming.

“Mama ingin kamu seperti dia.”

“Jadi Selebgram?”

Mama menggeleng, “Penampilanmu.”

Aku menelan ludah.

“Adikmu akan segera menjadi artis, itu artinya kehidupannya juga akan diliput. Apa kata netizen jika Sabrina mempunyai kakak kembar yang tak bisa menjaga penampilannya.”

Aku tersenyum sinis. Jadi karena itu?

“Mama lebih mementingkan omongan orang?”

“Tentu saja. Itu sangat berpengaruh pada karier Sabrina.”

Aku mengangguk mengerti. Anak Mama sepertinya hanya Sabrina.

“Aku sudah selesai,” ucapku. “Maaf aku ada kerjaan.”

“Sabia!”

Tak kuhiraukan suara Mama yang bergema di seluruh rumah.

Aku sampai di gedung yang Pak Rully beri tahu semalam. Sebenarnya, aku sudah mempercayakan kepadanya untuk talent yang akan menjadi tokoh dalam novelku. Namun, dia malah ingin aku yang memilih sendiri.

“Kamu sudah datang?” tanya Pak Rully.

Penampilannya lebih santai, kaos putih dan celana denim.

Aku mengangguk.

“Kamu tahu kalau Sabrina juga ikut casting?”

Oh, jadi dia ikut?

Aku menggeleng. Lagi pula aku tak begitu peduli dengannya. Setelah acara sarapan yang gagal total pagi tadi, aku lebih memilih pergi ke warung bubur ayam sebelum berangkat ke gedung ini.

“Bukannya itu mereka?”

Aku mengangkat kepala melihat ke arah yang ditunjuk Pak Rully.

“Ayo,” ucapnya.

“Ke mana?”

“Menyapa Mamamu.”

Astaga. Ada saja. Apa dia tidak tahu kalau aku dan Mama sedang perang dingin?

“Bu Astri,” panggil Pak Rully.

Inginku bersembunyi dibalik badan jenjang Pak Rully, tapi sayangnya badanku terlalu lebar.

Mereka saling sapa, semoga saja Mama tak melihatku.

“Loh, Sabia?”

Tuh kan! Aku tersenyum canggung. Jadi benar kata Pak Rully kalau Sabrina ikut pencarian talent di sini?

Haruskan aku balas dendam untuk tak meloloskannya?

Jahat sekali aku.

“Iya. Mereka kembar beda nasib.”

Astaga. Apa-apaan Mama. Aku dapat melihat raut tak enak hati dari Pak Rully.

“Sabia ngapain di sini?” tanya Mama.

“Dia kan pen—aw.” Aku mencubit pinggang Pak Rully dengan keras.

Aku masih belum siap Mama mengetahui pekerjaanku. Apalagi tahu kalau naskahku yang diangkat menjadi series. Bisa syok dia.

“Kamu mencubit saya, Sabia?”

“Maaf, Pak. Sengaja.”

Aku tak peduli dengan tatapan penuh tanya Mama dan Sabrina.

“Kamu mau ikut casting juga?”

“Iya, Ma.”

“Jadi apa?”

“Bola basket.”

Ku dengar tawa dari Pak Rully. Ish bodo amatlah.

“Jadi—“

“Bapak nggak perlu kepo dengan kehidupan saya.”

Setelah Mama dan Sabrina pergi, aku dan Pak Rully masih berdiri mengawasi jalannya pencarian talent ini.

“Bekerja keraslah agar kamu dihargai,”

Dih. Sok bijak sekali. Aku menarik napas dalam.

“Berapa harganya memang?” Tanyaku berniat bercanda.

“Memangnya kamu mau mahar berapa?”

Apa-apaan!

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Tita Arianti
sabia belum up sich ydh 2 hari
goodnovel comment avatar
Dika Ac
ceritanya gak jelas di ulang ulang terus
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status