Share

Sabia

Aku mencoba fokus pada layar laptop di depanku. Menjadi seorang penulis adalah keinginanku sejak SMP. Hobi membaca dan menulis buku diary, membuatku terbiasa menyusun setiap kalimat yang muncul di kepala menjadi sebuah tulisan.

Aku memasukkan karakter Mama pada tokoh antagonis yang sedang ku tulis. Siapa suruh marah-marah terus, inilah akibatnya jika membuat masalah dengan penulis. Karaktermu bakal diabadikan di dalam tulisan.

“Hapus, deh,” ucapku menghapus tulisan tentang Mama.

Bisa dikutuk jadi cantik kalau ketahuan. Lagi pula aku juga masih menaruh hormat pada Mama dan tak ingin dianggap durhaka.

“Bisa bantu Mama?”

“Astaghfirullah!”

Bikin kaget saja! Mama tiba-tiba muncul dibalik pintu.

“Apa?” tanyaku malas.

“Keluarlah,” ucap Mama.

Pintu kamarku ditutup lagi. Tanpa mematikan laptop, aku menyusul Mama yang berjalan lebih dulu.

“Mama habis belanja bulanan.” Mama menunjuk pada beberapa kantong belanjaan yang berserakan di dapur.

“Kebetulan yang biasa bantu-bantu sedang pulang, bisa kamu bantu Mama membereskan ini?” tanyanya.

Ini sih, gampang. Aku sudah terbiasa membereskan dapur bahkan berbelanja bersama dengan Papa setiap akhir minggu. Kami yang memang tak memakai jasa art, sudah terbiasa melakukan semua pekerjaan rumah sendiri.

Aku mengangguk.

Jujur saja, aku masih kesal dengan Mama yang memaksaku agar bisa cantik seperti Sabrina. Apa setelah aku cantik nanti Mama akan menjadikanku artis seperti Sabrina?

Aku membereskan belanjaan Mama yang kebanyakan sayur dan buah. Mungkin Mama dan Sabrina herbivora, pemakan tumbuhan. Bisa mati aku kalau mengikuti gaya makan mereka.

“Serius ini cuma ada sayur dan buah?” tanyaku tak percaya. “Proteinnya mana?”

“Sabrina sedang diet.”

Memangnya hanya Sabrina yang ada di rumah ini?

“Protein juga penting, Ma. Memangnya Sabrina kambing.”

Kasihan sekali kembaranku itu, pantas saja badannya ceking. Lain kali akan aku traktir mi gacoan biar senang. Tapi, dia yang bayar.

“Selama di sini, kamu juga akan makan seperti yang Sabrina makan. Mama akan beli daging nanti,” kata Mama membuatku merinding disko.

Apa lebih baik aku kabur saja?

“Jangan coba-coba kabur dari sini, Sabia. Mama tahu apa yang kamu pikirkan.”

“Aku manusia, bukan kambing.”

“Tapi badan kamu sudah mirip-mirip dengan spesies mereka.”

Astaghfirullah! Dia Mamaku bukan sih? Sama anaknya kejam sekali.

“Mulailah membenahi penampilanmu, Sabia. Kamu sudah 25 tahun, kalau kamu seperti ini terus kapan akan di lirik lelaki?”

Aku menghentikan tanganku yang sedang menata foodprep ke dalam lemari es.

“Apa standar kecantikan perempuan hanya dilihat dari fisik?”

“Bukankah semua orang melihat luarnya terlebih dahulu?” tanya Mama. “Ibarat beli buku pasti yang dilihat covernya terlebih dahulu.”

“Dan mereka mengabaikan isinya,” kilahku.

“Sabia—“

“Apa dulu Mama memilih Sabrina yang ikut dengan Mama karena Sabrina cantik sementara aku nggak?”

Tuh, kan, aku jadi su’udzon.

Mama terlihat terkejut. Sepertinya aku telah tahu jawabannya. Bahkan, Mama tak menghiraukannya yang menangis sesenggukan saat beliau dan Sabrina meninggalkan rumah Papa.

Aku menyelesaikan tugas dari Mama dengan segera. Rasanya terlalu lelah berbicara dengan Mama.

“Sabia—“

Aku tak lagi menghiraukan Mama yang masih mencoba mengajakku bicara. Terlalu sulit untuk mengikuti kemauan Mama yang memaksaku harus seperti Sabrina.

Aku memang ingin lebih baik dari segi penampilan, tapi bukan dengan hinaan seperti yang Mama layangkan setiap kali kami bertemu.

“Apa karena ini juga Mama bercerai dari Papa?” tanyaku.

“Apa maksudmu, Sabia?”

“Papa nggak ganteng, apa itu juga salah satu alasan Mama meminta cerai?”

“Sabia—“

“Kenapa Mama nggak menyalahkan diri sendiri karena telah melahirkan anak yang buruk rupa sepertiku?”

Mama membeliakkan matanya. “Apa yang kamu bicarakan, Sabia?”

Aku tersenyum sinis, lalu meninggalkan Mama yang masih memanggil namaku. Menutup pintu kamar dengan sedikit bantingan.

“Nangis nggak ya?” gumamku sendiri. “Ingin nangis tapi gengsi. Gitu saja nangis. Tenang ya, Sabia, udah biasa kok,” lanjutku bicara sendiri seperti orang stres.

Aku menangis.

Padahal sudah terbiasa menerima perlakuan seperti ini dari Mama, tapi kenapa masih saja menangis?

Cengeng sekali aku.

Heran sih, Mama selalu memarahiku tapi tak memberi solusi.

“Minim-minim beliin skincare, kek,” kesalku. “Ini ngomel saja tapi nggak kasih solusi.”

Ponsel di nakasku berdering.

Pak Rully.

Jam berapa ini dia menelepon? Apa dia tidak tahu kalau aku sedang sibuk?

Sibuk nangis!

“Halo?” ucapku menerima panggilannya tanpa mengucap salam.

“Sabia, tolong jauhkan telingamu, ini video call,” katanya dari seberang sana.

Eh masa?

Aku menatap layar ponsel. Wajah Pak Rully terpampang di sana.

“Bapak kangen sama saya?”

“Astaga. Selain badanmu yang besar, kepercayaan dirimu juga tak kalah besar.”

Bully saja terus. Besok kalau aku diet dan berhasil kurus paling naksir. E tapi, kapan mau diet ya?

“Bapak juga besar.”

Ngomong apa sih?

“Apanya?”

“Bapak ada apa telepon saya?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.

“Temui saya di kantor. Ada yang perlu saya bicarakan.”

Aku melirik jam dinding.

“Pak ini jam 7 malam, loh.”

“Saya nggak bilang ini subuh.”

“Lalu?”

“Cepat! Nggak pakai lama, Sabia.”

Klik.

Dih! Kebiasaan suka mematikan telepon seenaknya. Minimal salam kek.

Aku memakai pasmina instan berwarna burgundi dan memakai gamis abaya hitam. Setelah memastikan penampilan, aku bergegas keluar rumah.

“Mau ke mana?”

Aku menghentikan langkahku.

“Kerja.”

“Jam segini?” tanya Mama. “Sebenarnya kamu kerja apa?”

“Mama tanya? Mama bertanya-tanya? Aku kasih tahu ya—“ aku sengaja menirukan gaya si rambut cepmek. Gemes sih, jadi pengen cemplungin dia ke sungai Ciliwung.

“Sabia—“

“Aku kerja pagi, siang, sore, malam, tengah malam, subuh,” ucapku.

Ya memang begitulah pekerjaan penulis. Mama semakin mengerutkan keningnya.

“Pekerjaan aku menghalu, Ma.”

Tapi memang benar sih, pekerjaan penulis memang berhalu. Suka membayangkan yang indah-indah walaupun hidup tak seindah dinovel buatanku sendiri. Bayangkan saja dulu, siapa tahu jadi kenyataan. Amin paling kenceng!

“Mama tanya baik-baik, Sabia.” Sepertinya Mama terlihat kesal.

“Sabia juga bicara benar-benar, Ma.”

Mama mengembuskan napas, menyerah berdebat lagi denganku, Mama masuk ke dalam kamarnya.

___________________

Aku sampai di kantor 15 menit kemudian. Suasana ruko lumayan sepi karena memang bukan jam kerja. Iya, Pak Rully menyewa sebuah ruko tingkat dua yang lumayan besar untuk dijadikan kantor penerbit. Enak sekali jadi bos. Sesuka hati menyuruh karyawannya datang malam-malam begini.

“Bos,” panggilku pada Pak Rully yang sedang memainkan ponsel.

“Lama!”

Dih.

“Saya lapar.”

“Makan, Pak.”

“Ayo.”

“Ke mana?”

“Makanlah.”

Bilang saja minta di temani makan. Kenapa harus dengan embel-embel ada pekerjaan penting?

Cih. Sepertinya dia naksir aku.

Kami sampai di restoran yang biasa aku dan Papa sambangi. Aku merekomendasikan tempat ini karena memang sudah menjadi pelanggan tetap.

Eh tunggu! Sepertinya kenal.

Aku mendekati dua orang yang sedang makan bersama.

“Papa?”

“Sabia?”

Sedikit terkejut karena Papa mengajak Sabrina makan di tempat ini. Jika ketahuan Mama, tamatlah riwayatnya. Sebenarnya aku lebih khawatir Mama akan memarahi Papa, sih. Soal Sabrina itu urusan dia.

“Kamu sama siapa?”

Aku sampai lupa dengan sosok yang datang bersamaku. Aku mengenalkan Papa dengan bos menyebalkan itu. Mereka saling berjabat tangan.

“Bukankah ini Sabrina?” tanya Pak Rully saat melihat Sabrina yang tengah makan bersama Papa.

Rupanya mereka saling kenal.

“Benar. Dia kembaran Sabia," jawab Papa bangga.

Aku dapat melihat keterkejutan di wajah Pak Rully. Wajar sih, orang juga akan tak menyangka jika kami adalah anak kembar karena bagai langit dan bumi.

Dia langit yang banyak disanjung orang karena kecantikannya, dan aku adalah Bumi yang menjadi bahan injakan orang-orang.

“Tadinya Papa pikir lelaki ini calon suamimu, Sabia.”

“Hah?!”

Ucapan Papa sukses membuatku terkejut. Sabrina bahkan sampai terbatuk. Sepertinya tersedak piring.

Eh, maksudnya sambal.

Pak Rully menatapku sambil bergidik ngeri.

Memangnya aku genderuwo, sampai dia memamerkan wajah horor ke arahku?

“Sepertinya ide bagus,” bisik Pak Rully di dekat telingaku.

Maksudnya?

“Kalau punya istri sepertimu, sepertinya saya nggak perlu beli kasur. Kamu bisa menggantikan peran kasur itu.”

Astaghfirullah!

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Mifta Nur Auliya
hahahahahhahahahahaha
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status