LOGINVania membanting pintu kamarnya.
"Bagus bu, sekarang si jalang itu tak mungkin bisa bertahan lama disini," ujar Elisa dengan senyum liciknya. Elisa dan juga bu Lina pun masuk ke dalam rumah. Vania mencari berkas-berkas kepemilikan rumah dan juga perusahaan yang ia simpan di nakas samping tempat tidurnya. "Loh, bukannya ini dikunci?" Vania kaget saat tahu nakas tempat menyimpan berkas-berkas sudah dirusak tempat kuncinya. "Arrgghh, kenapa bisa seperti ini sih," teriak Vania. Ia sungguh frustasi dengan semua ini. Vania kemudian masuk ke dalam kamar ayahnya. Saat ini sang ayah terbaring lemah tak berdaya dengan berbagai alat kesehatan yang menempel diseluruh tubuh. Enam bulan yang lalu sang ayah, pak Widodo, mengalami serangan jantung mendadak dan belum diketahui sebabnya sampai sekarang. Serangan jantung tersebut membuat seluruh saraf pak Widodo tak berfungsi dengan baik. Bahkan untuk membuka matanya saja dia tidak bisa. Pak Widodo seperti mayat hidup, bernafas namun tak bisa melakukan apapun. Ia menjadi pria vegetatif sejak terkena serangan jantung. "Ayah bangunlah, sampai kapan ayah akan terus seperti ini? Vania hanya punya ayah sekarang." Vania menangis sembari memeluk tangan sang ayah. Tak disangka sang ayah juga ikut menangis. Terlihat dari sudut matanya mengeluarkan bulir bening, seakan ia mendengar apa yang diucapkan putrinya itu. "Ayah tahu, sepeninggal ibu, istri barumu itu semena-mena padaku yah. Sekarang istri barumu dan anaknya semakin menjadi. Entah sampai kapan aku bisa bertahan yah, bahkan rumah ini dan juga perusahaan sudah berpindah nama menjadi nama mereka." Vania menceritakan semua yang terjadi pada sang ayah walau ia tahu sang ayah tak akan membalas ucapannya. Vania pun mengusap air matanya. Tiba-tiba ponselnya berdering. "Halo Aldo," sapa Vania diujung telepon. "Halo Vania, sedang apa kau?" tanya Aldo. Aldo adalah teman Vania semasa kuliah. Mereka memang kuliah di kampus yang sama namun dengan jurusan yang berbeda, Vania di managemen bisnis, sedangkan Aldo di kedokteran. Namun mereka terlihat sangat akrab dan bisa dibilang mereka adalah sahabat. "Aku sedang bersama ayahku," ucap Vania sendu. "Oh ya, bagaimana keadaan om Widodo?," tanya Aldo. Ia pernah beberapa kali main ke rumah Vania saat masa kuliah dulu. "Masih seperti ini Do. Entahlah, aku hanya berharap ayah bisa bangun secepatnya." Ujar Vania sembari sesenggukan. Ia tak kuasa menahan air matanya yang kembali menetes tanpa aba-aba. "Van, sebenarnya aku memiliki kenalan seorang dokter ahli saraf. Jika kau berkenan, kita bawa ayahmu ke rumah sakit temanku agar ayahmu bisa cepat sembuh," ujar Aldo. Seperti mendapat angin segar, Vania pun langsung menyetujui ide itu. "Aku setuju Do. Hanya saja aku bingung dengan biayanya. Uangku pasti tak akan cukup untuk biaya pengobatan ayah." Ujar Vania sedih. "Benar Vania, kapan aku pernah bercanda dengan ucapanku. Masalah biaya, tak perlu kau risaukan, lebih baik kau bersiap-siap karena aku dan juga temanku akan kesana untuk menjemput ayahmu," ucap Aldo. "Baiklah," ujar Vania. Telepon pun ditutup. Vania segera membereskan semua pakaian ayahnya dan juga beberapa barang penting milik sang ayah. Ia juga membereskan semua pakaiannya. Ia tak mungkin terus menerus berada di rumah yang sudah ia anggap seperti neraka ini. Sekitar 1 jam kemudian, Aldo benar-benar datang dengan membawa temannya yang seorang dokter ahli saraf. "Cari siapa?" tanya bu Lina ketus. Kebetulan ia sedang berada di ruang tamu. "Maaf bu, Vanianya ada?" tanya Aldo. Dia sudah tahu kalau bu Lina adalah ibu tirinya Vania. 3 bulan setelah ibunya Vania meninggal, bu Lina dan juga pak Widodo menikah. Pak Widodo berpikir kalau Vania pasti butuh sosok seorang ibu pengganti karena pak Widodo melihat bu Lina sebagai seorang wanita yang penyayang. Sebenarnya dulu bu Lina adalah asisten rumah tangga di rumah Vania. Dia juga terlihat baik pada Vania, itulah kenapa pak Widodo mau mempersunting bu Lina dan menjadikannya istri. Pak Widodo bahagia saat bu Lina hamil Elisa. Sebagai anak yang baik, Vania selalu membantu pekerjaan ibu tirinya. Itulah kenapa sejak saat itu tenaga Vania selalu dimanfaatkan oleh bu Lina. Awalnya memang hanya sekedar membantu, tapi lama-kelamaan Vania malah benar-benar dijadikan pembantu oleh ibu tirinya sendiri. Apalagi saat pak Widodo melakukan perjalanan dinas ke luar kota ataupun keluar negeri, maka semakin menjadilah sikap bu Lina pada Vania. Vania yang saat itu masih kecil pun hanya bisa menerima perlakuan ibu tirinya dan hanya bisa meluapkannya dengan tangisan. "Mah, Vania ikut sama mamah aja ya, bu Lina jahat sama Vania mah. Vania selalu disiksa saat ayah nggak ada dirumah," tangis Vania pun pecah tatkala ia mengunjungi makam sang ibu. Sejak ditinggal ibunya, Vania memang sering ke makam sang ibu untuk sekedar melepas kangen dan curhat. Makam mamahnya Vania memang tak jauh dari rumah Vania. Pak Widodo pun memaklumi Vania karena mungkin Vania masih belum ikhlas melepas kepergian ibunya. Jika pak Widodo ada dirumah, ia pasti akan menemani Vania ke makam ibunya. Bu Lina selalu mengancam Vania agar tak memberitahu ayahnya jika ia tak memperlakukan Vania dengan layak. Itulah kenapa Vania tak pernah bilang kalau dirinya selalu diperlakukan tak sepantasnya oleh sang ibu tiri. Sakit hati yang ia pendam sejak kecil membuat diri Vania menjadi anak yang kuat. Ia juga memiliki dendam kesumat pada sang ibu tiri dan juga adik tirinya. Apalagi sekarang semua harta peninggalan sang ibu telah dikuasai oleh ibu dan anak itu. "Aldo, ayo masuk," Vania menarik tangan Aldo. "Eh tunggu," hadang bu Lina.Kata-kata Xander menggema di ruang itu, membawa gelombang ketegangan yang mencekam. Reno terpaku, hatinya berdebar. Jika bosnya sudah menyebut Vania ‘wanitanya’, maka nasib Elisa tak akan mudah. Sebuah pertaruhan berbahaya baru saja dimulai."Suruh beberapa anak buahmu segera kembali mencari Vania! Aku harus tahu apa yang sedang terjadi padanya, tanpa tunda!" perintah Xander menggelegar, suaranya bergetar oleh kecemasan yang terpendam di balik tatapan dingin penuh ambisi."Siap, Tuan," jawab Reno dengan langkah mantap, menghilang dalam bayang-bayang malam.Keesokan harinya, Reno kembali bukan hanya membawa kalung pesanan Xander, tapi juga mengemban misi rahasia yang jauh lebih berat. Dia harus merangkai kata dan janji manis yang bisa menghipnotis Elisa, memutar tali kekuasaan lewat tawaran kerja sama dan saham yang menggiurkan."Ingat," bisik Xander sambil memutar-mutar pulpen di tangannya, "bujuk dia dengan trik halus. Adik Vania itu haus akan ua
"Maaf jika kedatangan saya mengejutkan anda nona," ucap pak Nagato tak enak hati. Vania pun menggeleng dan tersenyum."Desain yang anda berikan dua Minggu yang lalu, ternyata meledak dan laku keras di pasaran nona. Banyak kaum hawa yang menyukai desain dari perhiasan ini. Rata-rata mereka bilang kalau desain anda sangat modis dan tak ketinggalan jaman, jadi mereka berbondong-bondong untuk membelinya. Pengrajin kami juga kewalahan mengatasi hal ini." Pak Nagato tersenyum sumringah."Syukurlah kalau begitu. Berarti kerja sama kita masih berlanjut kan pak?" Tanya Vania memastikan."Tentu nona, tentu. Saya yang seharusnya berterima kasih pada anda. Anda bagai malaikat tak bersayap yang dikirim oleh Tuhan untuk menyelamatkan rumah usaha saya." Kembali pak Nagato tersenyum.Vania pun tersenyum dan mengangguk pelan. Ia sangat lega jika karyanya bisa diterima di masyarakat Jepang."Sesuai dengan janji saya, saya akan memberikan bonus pada nona Va
"Pak, Anda sudah tahu alasan saya di sini, ayah saya sedang sakit dan di rawat disini." Vania menatap tajam, suaranya berat penuh harap."Kalau memang Bapak setuju, saya siap bekerja sama dengan anda, tapi saya tak bisa meninggalkan ayah saya dan ikut ke rumah usaha Bapak." Lanjut Vania.Dahi Pak Nagato mengerut, pandangannya penuh tanda tanya."Maksudmu...?"Vania menghela napas dalam, mencoba menjelaskan dengan hati-hati."Saya akan bekerja di sini, sambil menjaga ayah saya. Di negara ini, kami hanya berdua, jadi saya tak mungkin meninggalkam ayah saya sendirian disini." Jawab Vania.Setelah sejenak terdiam, Pak Nagato mengangguk pelan, menandakan ia mulai mengerti. Namun, dari balik ketegaran wajahnya, tersirat kerumitan yang menghantui pikirannya. Keputusan ini bukan tanpa konsekuensi. Ia tahu, harus bolak-balik ke rumah usaha untuk memberikan sketsa dan gambar yang dikirim Vania ke para pengrajin, semua demi menjaga pekerjaan tetap berjalan."Baiklah. Apakah ada hal lain yang ing
"Bukan. Lihat ini, ada goresan kecil bertuliskan 'VL'. Ini bukan karya adik Vania, tapi karya asli Vania yang mungkin belum pernah dipublikasikan. Aku juga melihat beberapa hasil karya Vania yang diunggah di sosial media miliknya, dan itu pasti ada goresan kecil bertuliskan VL ini," ucap Xander dengan suara dingin, menusuk sampai ke tulang.Reno membara, dadanya sesak oleh amarah yang membuncah, tangannya mengepal sampai urat-uratnya menonjol."Gila! Berani sekali dia mencuri karya nona Vania dan mengaku sebagai miliknya! Perintahkan aku, tuan, agar aku bisa balas dendam atas penghinaan ini!" Ucap Reno geram.Senyum licik meluncur di bibir Xander, sebuah rahasia gelap terpatri di matanya yang tajam. Reno menatap bosnya dengan bingung, tak mengerti kenapa ekspresi itu muncul di saat kemarahan membara."Diamlah, aku tahu cara membuatnya berhenti mencuri karya Vania. Cara yang tak pernah dia duga sebelumnya," gumam Xander, penuh keyakinan yang membua
Ia mundur dengan hati yang berdebar, melepas perjuangan itu pada dokter dan suster-suster yang sigap. Suster pertama membuka kancing baju Pak Widodo dengan hati-hati, lalu memasang elektrokardiogram, alat kecil yang kini menjadi harapan mereka untuk mengawasi setiap denyut jantung ayahnya.Sementara itu, suster satunya lagi menusukkan jarum suntik berisi obat perangsang saraf, dosis tepat yang mereka harapkan mampu memicu perubahan. Dokter Willy mengawasi semuanya dengan mata yang tak pernah lepas, penuh harap namun juga ketegangan, menyadari bahwa hidup dan harapan berayun di ujung jarum kecil itu."Sebelum pak Widodo sadar, saya akan memberikan obat perangsang saraf ini dalam bentuk cairan dan disuntikkan ke infusan ayahmu. Nanti jika beliau sudah sadar, barulah kita bisa memberikan obat berupa pil atau semacamnya. Saya masih memberikan obat ini dalam dosis yang kecil terlebih dahulu, untuk mengetahui keefektifannya. Jika masih belum ada perubahan, maka akan saya
Elisa menatap layar laptop yang tak kunjung memberinya secercah inspirasi. Dua jam berlalu tanpa hasil, membuat dadanya sesak dan kesabarannya terkikis perlahan."Aarrggh!" Suaranya pecah, tenggorokannya tercekat oleh kekecewaan."Kenapa otak ini makin dipaksa malah makin mentok?!" geramnya, jari-jarinya menekan tombol dengan gelisah.Dia sudah menggali referensi dari berbagai sumber, menyusuri jejak-jejak desain orang lain, namun tak satu pun yang menyentuh harapan tuan Bernett. Rasa putus asa menggerayangi pikirannya, seolah setiap detik adalah pengkhianatan bagi kreativitas yang ia butuhkan.Tiba-tiba, sebuah kilatan ide melintas, mendorongnya berdiri mendadak."Ah, bodoh! Kenapa baru sekarang terpikir? Kenapa nggak dari tadi?!" keluh Elisa, suara penuh penyesalan sekaligus semangat membara. Langkahnya cepat mengarah ke kamar Vania yang sengaja tak terkunci, terbuka lebar seperti peluang yang baru saja datang menghampiri. Di balik pint







