LOGINSenja keluar dari toko perhiasan dengan langkah lunglai. Teriris sakit hatinya mendapati kenyataan yang ada. Cincin palsu, kemungkinan perhiasan lain juga palsu, artinya ia tak punya apa-apa lagi sekarang. Uang tinggal delapan ribu, bahkan untuk pulang pun tidak akan cukup. Lapar, haus, yang perlahan mulai menyergap, entah dengan apa Senja akan mengatasinya.
"Ya Allah, harus bagaimana sekarang?" Senja menggigit bibir, menahan sesak dan perih yang menuntutnya untuk menitikkan air mata. Tatapan yang nanar itu terus tertuju pada layar ponselnya yang sudah butut. Berkali-kali ia melakukan panggilan pada Rivan, tetapi hasilnya nihil. Nomor Rivan tetap di luar jangkauan. Entah karena dahaga yang dibiarkan atau pikiran yang penuh tekanan, tiba-tiba perut Senja terasa melilit. Luar biasa sakitnya. Senja merintih sendiri. Menghentikan langkah dan kemudian bersandar pada batang pohon pinang di tepi jalan. Senja memegangi perutnya yang makin sakit. Sialnya, kepala juga mendadak pusing dan pandangan berkunang-kunang. Dalam sesaat, tubuh Senja serasa ringan, pijak kakinya seolah mengambang. Keringat dingin membasahi kening dan pelipis. Kemudian ... gelap. Penglihatan lenyap seiring tubuhnya yang jatuh terkulai, Senja tak sadarkan diri di sana. "Tolong! Tolong! Ada orang pingsan!" Beruntung, di sekitar Senja cukup ramai. Jadi, banyak orang yang langsung berkerumun menolongnya. Salah seorang langsung mengangkat tubuh Senja dan membawanya ke tempat teduh. Salah seorang lagi mengambil minyak kayu putih dan mengoleskannya di sekitar hidung Senja. "Mbak! Bangun, Mbak! Mbak!" Seorang ibu-ibu menepuk-nepuk bahu Senja, membantunya bangun dari pingsan itu. Namun, sedikit pun tak ada respon dari Senja. Tak ada tanda-tanda bahwa ia akan sadar. "Kita bawa ke rumah sakit saja. Kasihan mbak ini, mungkin sedang sakit." Ketika orang-orang itu sudah sepakat membawa Senja ke rumah sakit, seorang lelaki dengan perawakan tegap tinggi dan paras yang tampan, datang mendekat. Dia adalah Chandra Wijaya, manager keuangan di pabrik yang sama dengan Rivan. Sewaktu dia lewat, tak sengaja melihat wajah Senja sekilas. Merasa tidak asing, ia pun berhenti dan bertanya apa gerangan yang terjadi. "Mbak ini tiba-tiba pingsan, Mas. Kami nggak tahu apa yang terjadi. Tadi sudah kami beri minyak kayu putih, tapi tetap nggak sadar. Ini akan kami bawa ke rumah sakit." "Kalau begitu masukkan ke mobil saya saja. Saya mengenal mbak ini. Namanya Senja, dia adalah istri dari bawahan saya," jawab Chandra. Ada sedikit kekhawatiran yang tersirat di matanya saat melihat kondisi Senja. "Baik, Pak." Tanpa membuang waktu lagi, orang-orang itu segera membawa Senja ke mobil Chandra. Lantas, tanpa membuang waktu pula, Chandra langsung melajukannya menuju rumah sakit. "Kamu tidak boleh kenapa-napa, Senja," batin Chandra dengan kekhawatiran yang makin tercetak jelas. *** Senja membuka mata dan disambut aroma disinfektan yang sangat kuat. Ketika memindai sekitar, ia mendapati slang infus terpasang di tangan kirinya. Senja men-desah, mengingat-ingat kejadian sebelumnya. Lantas, bayangan di toko perhiasan yang pertama kali terlintas di otaknya. Perasaan miris kembali menghujam, menyadari bahwa dirinya tak punya uang dan sekarang dirawat di rumah sakit. Dengan apa ia akan membayarnya? Selama ini juga tak punya BPJS atau asuransi yang lain. "Sudah sadar?" Senja terkejut. Ia menoleh ke arah pintu dan melihat sosok lelaki asing datang bersama dokter. "Saya akan memeriksa kondisi Anda dulu ya, Bu," ujar dokter. Senja hanya mengangguk. Dalam hatinya masih bertanya-tanya siapa lelaki yang kini berdiri di sampingnya itu. Dari tatapan yang dilayangkan, seolah-olah itu sudah mengenalnya. Namun, Senja sendiri sama sekali tak tahu siapa dia. "Anda kelelahan dan kekurangan nutrisi, Bu. Tolong ke depannya dijaga ya pola makannya. Kalau memang mual dan tidak bisa makan banyak, usahakan minum susu secara teratur. Kasihan adik bayinya kalau tidak ada asupan," terang dokter dengan lembut, pun sambil tersenyum. "Iya, Bu." Meski bibirnya mengulum senyum, tetapi sebenarnya Senja merasa miris. Akhir-akhir ini, dirinya memang sering telat makan, juga telat tidur. Pikirannya masih kacau dengan masalah pernikahan, tidak bisa leluasa melakukan aktivitas seperti biasa. Ke depannya, tak tahu malah akan seperti apa. Dia tidak memegang uang, juga tak ada tabungan. Jangankan untuk beli susu, beli nasi tanpa lauk saja mungkin tak bisa. "Satu lagi, Bu, tolong jangan berpikir terlalu berat dan jangan beraktivitas ekstrim. Kehamilan di trimester pertama itu masih rentan, harus dijaga dengan ekstra. Apalagi ini masih kehamilan pertama. Jadi, tolong banget ya, Bu, dijaga kandungannya." Senja mengangguk meski tak yakin bisa mengikuti saran dokter. Jika Rivan benar-benar melupakan uang nafkah yang dijanjikan tempo hari, mau tidak mau Senja harus berusaha sendiri, yanh otomatis akan memaksanya beraktivitas berat. "Ya sudah, Bu, kalau begitu saya tinggal dulu. Bu Senja silakan makan, setelah itu minum obat." Dokter tersenyum. "Oh ya, administrasinya sudah dibayar oleh Pak Chandra. Beliau adalah orang yang membawa Anda ke sini," sambungnya sambil menunjuk Chandra. Sambil mengangguk, Senja mencoba mengingat-ingat nama Chandra. Sejauh yang ia ketahui, lelaki bernama Chandra hanyalah atasan Rivan. Namun, benarkah itu dia? "Ya, aku Chandra Wijaya, atasannya Rivan. Tadi aku melihatmu pingsan dan dikerumuni orang, lalu kubawa ke sini. Ternyata ... kamu hamil ya?" Chandra bicara sambil duduk di kursi, di samping ranjang pasien tempat Senja berbaring. Dia langsung memperkenalkan diri, seakan-akan mengetahui apa yang ada dalam pikiran Senja. Sementara itu, Senja mengangguk dan tersenyum samar. Lantas, mengucap terima kasih dan menanyakan jumlah biaya pengobatannya. Senja berniat menggantinya meskipun akan mencari pinjaman terlebih dahulu. "Hanya sedikit, tidak usah diganti," tolak Chandra. Dia ikhlas menolong Senja. "Tapi, Pak, saya—" "Rivan ke mana?" Senja diam sejenak. Lantas menjawab, "Kerja, Pak." "Kerja? Kamu bohong, Nja." Senja mengerjap, menatap Chandra dengan ragu. "Aku bertanya karena seminggu ini Rivan tidak masuk kerja. Katanya, karena asam lambungmu kambuh dan dirawat, jadi menjagamu di rumah sakit. Tapi, melihatmu pingsan di pinggir jalan, sendirian, kurasa kamu tidak dirawat di rumah sakit." Senja tak bisa menjawab. Dia mana tahu ke mana Rivan sekarang. Maksud hati hanya ingin menutupi masalah dalam pernikahan, tetapi malah tak sengaja menunjukkan kebohongan. "Katakan saja dengan jujur, ke mana Rivan?" tanya Chandra untuk kedua kalinya. "Maaf, Pak, saya juga tidak tahu." "Tidak tahu? Kamu kan istrinya." "Sebenarnya ... sekarang kami tinggal terpisah." Chandra mengerutkan kening. "Terpisah bagaimana?" "Mas Rivan tinggal di rumahnya, sedangkan saya ... tinggal di kontrakan. Beberapa hari ini nomor Mas Rivan juga tidak aktif, jadi saya tidak tahu ke mana dia dan kenapa tidak masuk kerja." Chandra mengusap wajahnya dengan kasar. Penuturan Senja barusan menghadirkan gejolak lain dalam batinnya. "Apa kalian ada masalah?" Senja diam, enggan menjawab. Namun, itu sudah cukup untuk membuat Rivan paham, bahwa di antara Rivan dan Senja memang ada masalah. "Apa itu berkaitan dengan kehamilanmu?" Senja diam lagi. Pikirnya, terserah Chandra mau menganggap apa, karena mungkin lelaki itu juga tahu kalau Rivan mandul. Namun, tanpa sepengetahuan Senja, Chandra justru mengumpat dalam hatinya, merutuki sikap Rivan yang kesannya membuang Senja begitu saja. Padahal, kehamilan yang dialami Senja, sebenarnya juga berkaitan dengan Rivan sendiri.Berbeda dengan Chandra yang pulang membawa kemenangan dan membagi kebahagiaan dengan wanita pujaan, sore ini Sintia pulang dengan langkah gontai.Niat hati mencari jawaban dengan menemui Benny, tetapi bukannya lega, ia malah makin hancur. Bisa-bisanya selama ini dimanfaatkan oleh pria sialan itu.Sudah totalitas dirinya dalam memberikan pelayanan di ranjang, berharap ada timbal balik yang memuaskan. Bahkan, dia sampai berani bermimpi untuk meninggalkan Dion dan berpaling pada Benny.Namun, balasan dari pria itu ternyata sangat kejam. Selain menikmati tubuhnya, Benny juga menjual informasi pada Chandra. Tak cukup itu saja, Benny masih merekam setiap adegan yang pernah mereka lakukan. Sialnya lagi, wajah Benny membelakangi kamera. Berbeda jauh dengan dirinya yang terpampang jelas.'Jadilah wanita yang patuh! Jual Altera pada Chandra dan jangan ikut campur lagi di perusahaan itu. Jika tidak ... maka video-video ini bisa menyebar di publik. Kamu pasti tidak ingin, kan, lekuk tubuhmu dinik
Tepat tengah hari, Chandra tiba di tempat Senja. Tanpa memberi kabar, tanpa meminta izin, ia langsung datang begitu saja. Dengan senyum dan hati yang berbunga-bunga tentunya.Kebetulan siang itu pelayan sedang sibuk di dapur, berkutat menyiapkan makan siang. Jadi Senja sendiri yang keluar membuka pintu, sembari membawa Askara dalam gendongan.Lantas, ia tertegun dalam beberapa detik lamanya. Menatap wajah Chandra yang begitu tenang mengulum senyum, perasaan Senja mendadak tidak nyaman. Terlebih lagi, hati malah dengan tidak tahu malunya berdebar tak karuan, seakan sengaja melawan kehendak otak yang makin gigih membangun tembok pertahanan."Aku boleh masuk, kan?" tanya Chandra dengan senyuman yang lebih manis, seolah sengaja menyadarkan Senja bahwa dirinya memiliki paras rupawan yang wajib dijadikan bahan pertimbangan."Silakan, Pak!" Senja menyahut gugup.Lantas, ia melangkah masuk dan membiarkan Chandra mengekor di belakangnya. Meski agak enggan, tetapi Senja duduk jua di sofa ruang
"Cukup, Mas! Berhenti membentak! Berhenti memukul! Kamu nggak pantas melakukan ini padaku!" teriak Sintia sambil berusaha bangkit.Habis sudah kesabarannya. Tak mau lagi direndahkan sang suami, apalagi membiarkan diri dihajar secara fisik sampai babak belur. Oh tidak!Tamparan barusan saja sudah menyisakan rasa perih dan panas di kedua pipi. Sintia tak mau merasakan sakit yang lebih parah lagi. Cukup! Dia harus melawan dan membuka mata Dion, agar pria itu paham bagaimana caranya berkaca."Aku melakukan semua ini demi kebaikan kita! Aku berkorban agar perusahaan nggak jatuh ke tangan Chandra brengsek itu! Aku—""Kamu sudah gila, Sintia! Berkorban apa yang kamu katakan, hah? Kamu selingkuh, kamu tidur dengan pria lain. Itu yang kamu sebut berkorban?" pungkas Dion."Itu adalah imbalan yang harus kubayar agar dia mau membantu perusahaan kita, Mas. Kamu pikir aku bisa mengandalkan siapa? Kamu sendiri malah terkapar di rumah sakit, nggak bisa melakukan apa-apa. Kamu kira aku rela melihat pe
"Bu Sintia, tidak menyangka Anda akan mengurusi masalah pribadi saya juga. Padahal sebenarnya itu tidak ada hubungannya dengan pekerjaan, kecuali ... saya pacarannya di sini, sambil rapat seperti ini." Chandra kembali mengulas senyum. Lagi-lagi masih tenang dan tidak terpancing emosi Sintia yang sudah menggebu-gebu. "Tapi—""Saya akui, memang tidak sekali dua kali menjalin hubungan dengan wanita. Karena memang ... ada saja masalah yang membuat hubungan berakhir. Ada saja ketidakcocokan yang membuat kami memilih berhenti dan tidak melanjutkan hubungan pada tahap yang lebih serius. Tapi, saya rasa ini masih termasuk hal wajar. Saya yakin di luar sana, baik laki-laki maupun perempuan, banyak juga yang berkali-kali gagal dalam hubungan. Dan ... tidak otomatis karena merekanya yang tak bermoral. Terkadang sudah niat serius, tapi masih saja ada masalah yang membuat hubungan putus. Jadi, saya rasa ini bukan hal yang patut dibesar-besarkan, Bu Sintia."Chandra memotong ucapan Sintia dengan
"Bu Sintia, beliau-beliau sudah menyatakan kesediaannya untuk tetap berinvestasi di Altera. Dan ...."Chandra menggantungkan kalimatnya sesaat. Menyisihkan sedikit waktu untuk menyodorkan dokumen yang sedari tadi ia bawa."Ini adalah surat kontrak yang baru dari Voltanic. Ke depannya, Altera akan kembali menjadi distributor utama bagi perusahaan tersebut. Jadi ... dua janji saya sudah terpenuhi," lanjut Chandra dengan sangat tenang, malah disertai senyuman lebar, seakan sengaja menertawakan kekalahan Sintia.Melihat itu semua, Sintia hanya bisa menggeram lirih. Ini tak masuk akal, pikirnya. Para investor yang sebelumnya sudah berjanji menghancurkan Chandra, nyatanya hanya omong kosong. Voltanic yang katanya akan tersandung kasus, faktanya sampai sekarang belum ada kabar kedatangan polisi di sana."Bu Sintia, bagaimana tanggapan Anda?" ucap Chandra lagi, masih dengan senyum yang sama.Sebuah pertanyaan yang dibiarkan mengabur bersama keheningan dalam ruang rapat tersebut. Alih-alih mem
Menurut jadwal yang ditentukan, rapat akan dimulai jam setengah sembilan. Namun, baru jam setengah delapan, beberapa peserta sudah hadir di sana. Sintia beserta keluarganya, Chandra yang didampingi Norman, dan juga beberapa investor yang sebelumnya sempat mengundurkan diri.Setelah Chandra yang mengambil alih kursi kepemimpinan, mereka bersedia menjadi investor lagi untuk Altera. Karena dari sebelumnya, mereka sudah berdiri di pihak Chandra. Namun, entah akan bertahan lama atau tidak kesetiaan tersebut. Hanya waktu yang akan memberikan jawaban akurat."Kamu boleh bersikap angkuh sekarang, tapi lihat saja nanti. Kamu ... akan menangis darah, Chandra! Dan asal kamu tahu, menyesal pun sudah tidak akan ada gunanya," batin Sintia dengan tatapan yang memicing, meremehkan Chandra yang saat itu tampak tenang dan penuh percaya diri.Awalnya, Sintia sekadar bicara sendiri dalam hati, meluapkan kepuasan atas kemenangan yang sudah terpampang di depan mata. Namun, melihat Chandra yang seolah tidak







