Войти"Kamu udah nengok Senja? Atau ... minimal telfon gitu?"
Pertanyaan pertama yang dilontarkan Bima pada Rivan adalah seputar Senja. Bentuk kepedulian lelaki itu terhadap mantan istri temannya, yang memang patut dikasihani. "Untuk apa? Kami bukan suami istri lagi." Dengan angkuh Rivan mengisap rokok di tangannya. Terus menikmatinya dan tak acuh dengan tatapan Bima. Kini, keduanya sedang ada di sebuah cafe yang tak jauh dari pabrik. Mereka sengaja minum di sana sambil mengobrol, melepas penat setelah seharian berkecimpung dengan pekerjaan. "Kamu yakin akan sekejam ini, Van? Senja itu istrimu. Sebelumnya kamu juga mencintainya setengah mati. Sekarang sedingin ini, kamu nggak takut nyesel?" Bima ikut mengambil sebatang rokok dan menyulutnya. Bukan untuk melepas penat, melainkan mengikis kegundahan karena cinta yang dipaksa patah sebelum mengepakkan sayapnya. Senja Pramudita, wanita yang berhasil mengusik hatinya pada pandangan pertama. Wanita yang sejak awal ia kenal sebagai pasangan Rivan, malah dengan andalnya mencuri cinta yang yang sebelumnya tak pernah berlabuh. Sempat terselip sesal dan kecewa dalam benaknya, mengapa Senja lebih dulu mengenal Rivan. Andai tidak, pasti dia punya kesempatan untuk memenangkan hati wanita itu. Karena baginya, Rivan bukan pasangan yang tepat untuk Senja. "Aku udah memikirkan ini dengan matang. Jadi nggak mungkin nyesel," sahut Rivan, penuh percaya diri. "Senja itu cantik. Meski jadi janda beranak satu, aku yakin banyak yang bersedia menjadi suaminya. Kamu rela, melihat Senja menikah dengan laki-laki lain? Hidup bahagia, seperti awal-awal kalian menikah dulu." "Kenapa nggak. Sekarang kami udah hidup masing-masing. Misal nanti dia mau nikah ya terserah, bukan urusanku." Rivan mengisap kembali rokoknya, lalu mengembuskan asapnya yang membentuk gumpalan-gumpalan putih. "Yang penting aku udah mengingatkanmu. Jangan sampai nanti nangis darah kalau Senja beneran bahagia dengan orang lain." Bima memperingatkan Rivan dengan serius. Akan tetapi, lelaki itu hanya tertawa sumbang. Menganggap angin omongan Bima. Mungkin, kekecewaan terlanjur membunuh perasaan dalam hatinya. "Senja ... laki-laki ini memang nggak pantas untukmu. Ke depannya, biar aku saja yang membahagiakanmu," batin Bima sambil membuang puntung rokoknya ke dalam asbak. Dia berani berpikir demikian karena tahu benar kalau Senja tidak pernah selingkuh. Dia pun sangat paham, anak siapa yang dikandung Senja saat ini. *** Genap dua puluh hari Senja tinggal di rumah kontrakan, sendirian. Sampai sejauh itu, belum sekali pun ia dihubungi Rivan. Malah Senja yang sudah berulang kali mencoba menelepon dan mengirim pesan. Namun, berakhir gagal karena nomor Rivan di luar jangkauan. Entah sengaja ganti atau nomor Senja saja yang diblokir. Selama ini, justru Bima yang sering mendatangi Senja. Terkadang pagi-pagi dengan membawa bubur ayam, terkadang sore sambil membawa bakso dan buah-buahan. Tidak pernah lama, tetapi terhitung sekitar sebelas kali. Sebenarnya, Senja ingin bertanya tentang Rivan pada Bima. Tak dipungkiri, ada sesuatu yang ingin dia bicarakan dengan lelaki itu. Meski tak bertemu, Senja berharap bisa berbincang lewat telepon walaupun hanya sesaat. Namun, nyalinya terlalu ciut. Takut jika nanti Rivan tahu dan malah menganggapnya terlalu dekat dengan Bima. "Tinggal dua puluh ribu. Apa kujual sekarang aja ya, sekalian untuk modal usaha. Dengan keadaan hamil gini, sering pusing, sering mual, aku nggak akan bisa kerja ikut orang." Senja terdiam di ranjang kamar sambil memandangi selembar uang dua puluhan ribu dan juga cincin seberat empat gram miliknya yang dulu dibelikan Rivan. Mulai sekarang, Senja harus bisa memutar otak untuk memenuhi hidupnya. Mau berharap pada siapa lagi? Rivan? Dia saja tak bisa dihubungi, mana mungkin masih menggantungkan uang nafkah darinya. Perhiasan yang dibawa kemarin, ada dua anting-anting, dua kalung, dua gelang, dan tiga cincin, termasuk cincin pernikahannya dengan Rivan. Rencananya Senja akan membuat kue kering kecil-kecilan. Untung sedikit-sedikit asal cukup untuk makan setiap hari. Perhiasan yang lain biarlah menjadi tabungan, dijual nanti kalau memang ada keperluan mendadak. "Baiklah, kujual saja yang ini. Terus sekalian beli bahan-bahan kuenya. Ya Allah, semoga nanti usahaku bisa lancar, biar aku bisa menjamin kehidupannya nanti," gumam Senja sambil mengusap perutnya. "Baik-baik ya, Nak, di sana. Jangan rewel. Bunda akan mulai berjuang untuk hidup kita nanti." Senyum samar terukir di bibir Senja. Menyiratkan harapan atas mimpi yang mulai sekarang akan ia rangkai sendiri. Dengan niat dan tekad yang sudah bulat, Senja bangkit dan mengganti kaus pendeknya dengan kemeja panjang. Lalu menutup rambutnya dengan kerudung warna abu-abu. Wajahnya sekadar dipoles bedak tipis, seperti ciri khasnya yang memang tak suka riasan tebal. Sambil menyemangati diri sendiri, Senja berangkat dengan menggunakan angkot. Lebih hemat, dibanding naik taksi atau ojek online. Tak mengapa meski sedikit lebih lebih lama karena sering berhenti dan menaik-turunkan penumpang, yang penting ramah di kantong. Mulai sekarang, Senja harus pandai-pandai mengelola keuangan. Hampir satu jam kemudian, Senja baru tiba di toko perhiasan. Dulu ia dan Rivan juga membelinya di sana. Senja langsung disambut ramah oleh penjaganya, ditawari kalung, gelang, dan cincin model terbaru. Senja tersenyum tipis. Lalu mengutarakan niat kedatanganya. Ingin menjual, bukan membeli. "Oh, iya, Bu silakan. Mana cincin yang akan Anda jual?" "Ini mbak," jawab Senja seraya menyodorkan cincin yang akan dia jual, lengkap dengan surat pembeliannya. Awalnya Senyum Senja begitu kentara, membayangkan nanti ada modal untuk membuat kue kering, yang kemudian akan dijual. Namun, senyum itu mendadak sirna saat mbak-mbak penjaga kembali mendekatinya dengan senyum masam. "Mbak, ini cincinnya palsu." Senja terperanjat. Tak percaya dengan apa yang dia dengar barusan. Mustahil palsu, pikirnya. Dulu saja dia ikut membeli dan memilih sendiri cincin itu. "Mbak, coba periksa lagi! Nggak mungkin ini palsu. Suratnya saja masih ada kan, Mbak?" "Suratnya tidak palsu, Bu, benar ini dari toko kami. Tapi, cincinnya palsu. Ini bukan emas, hanya imitasi yang dibuat persis." "Hah?" Senja mendekap mulutnya. Lur biasa kaget. "Saya kasih contoh ya, Bu." Mbak-mbak penjaga mengambil dua cincin dan menunjukkannya pada Senja. "Semua perhiasan di toko kami ada nomor kodenya. Tapi, cincin milik Ibu tadi tidak ada. Artinya, ini bukan cincin yang dulu dibeli dari toko kami. Mungkin sudah diganti," sambungnya. Meski tak menjawab, tetapi Senja langsung mengambil cincin miliknya. Memang benar, tidak ada nomor kode di sana. Berbeda dengan cincin yang ditunjukkan oleh mbak-mbak penjaga. Lantas, Senja langsung melepas cincin pernikahannya dan melihat ada atau tidak nomor kode di sana. "Nggak ada juga," batin Senja dengan perasaan yang kacau. "Bagaimana, Bu?" "Mbak, tolong periksa cincin ini! Apakah juga palsu?" Mbak-mbak penjaga tidak keberatan. Dengan ramah dia mengabulkan permintaan Senja, memeriksa cincin pernikahan yang baru saja dilepas. "Sama, Bu, ini juga palsu." Senja tercekat, tak bisa lagi berkata-kata. Cincin pernikahan ... sedetik pun ia tak pernah melepasnya. Lantas, bagaimana mungkin itu berubah palsu? Kalaupun ada seseorang yang sengaja menukar, hanya satu orang yang bisa melakukan itu. Rivan.Mendengar tudingan Chandra, Rivan malah tersenyum miring. Lantas tanpa merasa bersalah, dia berucap santai, "Pak Chandra yang terhormat, di antara kita hanya ada transaksi jual beli. Masalah lain, itu bukan urusan Anda. Semoga Anda bisa memahaminya.""Kalau dari awal tahu niatmu seperti ini, aku tidak akan pernah menerima tawaran gilamu. Lebih baik kulaporkan tindakan korupsimu daripada tutup mulut dengan meniduri istrimu! Dulu aku mau karena katamu ingin anak dalam pernikahan. Kamu tidak mau istrimu mengetahui kondisimu yang mandul. Tapi rupanya, kamu hanya mencari kambing hitam untuk menutupi kelakuan bejatmu. Kamu ingin menceraikan Senja dengan nama tetap bersih. Begitu, kan?""Kalaupun iya, memangnya kenapa, Pak Chandra? Itu urusan saya dengan Senja, bukan urusan Anda. Oh ... atau Anda mulai menyukai mantan istri saya, makanya mengurusi hal-hal privasi ini?""Jaga ucapanmu, Rivan! Buang jauh pikiran picikmu! Aku hanya tidak suka kamu manfaatkan untuk melancarkan trik kotormu."Riv
"Pak, Anda baik-baik saja?" tegur Senja. Ia menyadari perubahan ekspresi Chandra yang terjadi begitu cepat. "Ahh, iya, aku tidak apa-apa."Senja hanya mengangguk pelan. Tidak bicara, pun tidak melanjutkan niatnya untuk keluar dari mobil. "Senja!""Iya, Pak.""Boleh tanya sekali lagi? Tapi, ini lebih privasi dan ... ya, kuharap kamu bisa jujur."Senja diam sejenak. Agak ragu. Namun, akhirnya mengangguk. Chandra adalah orang baik, setidaknya seperti itulah penilaian Senja tentangnya. "Dalam perceraian ini, Rivan memberimu apa?"Senja menunduk. Pertanyaan Chandra sedikit melenceng dari dugaannya. Dia kira Chandra akan bertanya seputar kehamilan lagi, tetapi ternyata malah soal uang. "Kalau kamu keberatan, tidak apa-apa, tidak usah dijawab. Lupakan saja!""Awalnya Mas Rivan memberikan semua perhiasan yang kami punya. Tapi, saya tidak tahu sejak kapan semua perhiasan itu berubah palsu. Bahkan, cincin pernikahan yang tidak pernah saya lepaskan juga palsu. Semua hanya imitasi yang tidak
Sesampainya di rumah, Senja menangis sejadi-jadinya. Ia kecewa, sedih, tak rela diperlakukan sedemikian rupa. Sikap Rivan berubah drastis, seolah-olah menegaskan bahwa sikap manisnya selama ini adalah palsu.Di tengah tangis yang tak kunjung reda, Senja teringat lagi dengan Marissa, wanita yang cantik dan mendekati sempurna. Tempatnya telah digantikan oleh wanita itu, entah sejak kapan."Aku nggak pernah mengkhianatimu, Mas, kenapa semudah ini kamu membuangku? Apa sebenarnya salahku ke kamu, Mas?"Senja meratap sendiri, menangisi cinta dan pernikahan yang tinggal puing-puingnya.Tak lama berselang, Senja merasa mual. Janin di rahimnya seakan mengingatkan bahwa saat ini masih ada sesuatu yang harus diperjuangkan."Bunda janji akan kuat, Nak. Bunda janji ini terakhir kalinya menangisi ayahmu," batin Senja seraya bangkit dari tempat duduknya. Lantas, ke kamar mandi untuk muntah dan membersihkan diri.Keadaan memaksanya untuk bangkit, mengusaikan kesedihan dan memulai hidup barunya dengan
Hati Senja seperti tersundut api. Panas, sakit, dan perih. Semudah itu Rivan mengakui Marissa sebagai calon istri. Lantas, dianggap apa dirinya selama ini? "Kita pisah baru hitungan hari, Mas. Kamu sudah ada calon istri?" "Memangnya kenapa? Kamu saja bisa hamil anak orang lain selagi kita masih suami istri, kan?" Rivan menjawab sarkas. Sikapnya jauh berbeda dari terakhir kali mereka bersama. "Mas! Aku nggak pernah selingkuh. Ini anakmu, bukan anak orang lain!"Senja mulai meninggikan intonasi. Sampai sekarang dia tetap tak rela jika Rivan menuduhnya berselingkuh, karena dirinya memang tak pernah melakukan itu. "Kamu kan sudah dengar sendiri bagaimana penjelasan dokter. Aku mandul, mustahil bisa menghamili kamu.""Tapi, aku beneran nggak selingkuh, Mas. Aku—""Sstt, cukup! Aku sudah muak dengan jawaban itu. Aku nggak mau lagi mendengarnya. Sekarang katakan saja, apa tujuanmu datang ke sini?" Sembari menepis perasaan sesaknya, Senja mengerjap cepat, berusaha menahan air mata yang t
Wanita yang mengaku Marissa, tersenyum seraya menyibakkan rambut panjangnya yang kecokelatan. Wanita itu tidak bertanya balik, seolah-olah sudah tahu siapa yang berdiri di hadapannya. "Mas Rivan di mana?" tanya Senja dengan suara yang setengah tercekat. Sebenarnya ia takut untuk bertanya lebih lanjut. Ia tak sanggup andai kenyataan sama persis dengan prasangka buruknya kala itu. "Dia masih tidur. Maaf ya, aku nggak bisa membangunkannya, semalam dia kecapekan banget.""Capek kenapa?" Marissa tertawa renyah. "Kamu yakin ingin tahu?"Senja melengos. Rasanya Marissa sedang menertawakan dirinya yang mungkin memang kalah telak. "Kamu dan Mas Rivan ada hubungan apa?" Bisa disebut pertanyaan bodoh. Namun, mau bagaimana lagi, Senja penasaran dan ingin tahu jawaban yang sebenarnya. "Senja Pramudita. Benar, kan, itu namamu?" Senja terdiam, sekadar memandang Marissa dengan nanar. "Bukannya kamu dan Rivan sudah cerai ya? Kok ... masih ingin tahu aja? Kamu sendiri yang selingkuh dan mengkh
Malam sudah menyapa. Lagi-lagi hujan setia mengguyur kota. Senja masih terbaring di ranjang rumah sakit. Meski sudah keluar dari IGD, tetapi dokter belum mengizinkannya pulang. Paling cepat masih besok sore, itu pun jika keadaannya terus membaik.Selama berjam-jam itu, Senja tak sendirian. Sama seperti hujan, Chandra juga masih setia menemaninya. Walau tak banyak interaksi, tetapi sikap lelaki itu menunjukkan kepedulian yang tinggi. Selain sigap memanggil perawat ketika Senja ingin ke kamar mandi, Chandra juga berinisiatif membelikan buah dan susu khusus ibu hamil. Padahal, sedikit pun Senja tak memintanya."Jangan repot-repot, Pak, saya sudah berterima kasih Anda mau menolong saya." Begitulah kata Senja tadi. Dia merasa segan mendapat perlakuan yang luar biasa baik dari Chandra."Tidak repot. Kebetulan aku keluar beli kopi." Seperti biasa, Chandra tanggapan Chandra terkesan tak acuh. Mungkin, memang itu ciri khasnya.Kini, dua orang itu masih terdiam di ruangan yang sama. Senja berba







