“Semalam aku hanya menemani dia tidur, tidak lebih dari itu. Aku juga terpaksa menuruti permintaannya hanya karena mengingat anakku di dalam rahimnya. Dia sedang sakit, Selin, aku hanya mengkhawatirkan calon anakku.” Jeceline masih terdiam, tenggelam dalam sorotan manik hitam Kevin, mendengar serta memahami bagaimana perasaan Kevin jika mereka bertukar posisi. Namun hati Jeceline sudah terlanjur kecewa, bagaimana bisa seorang anak yang belum terlahir menggantikan posisinya secepat itu. Jika nanti anak itu terlahir, suasana dalam kehidupan rumah tangga mereka sudah tak sama lagi karena anak itu adalah bukti pengkhianatan Kevin yang akan hidup bersama dengannya. Bahkan mungkin nanti akan merampas hak anak pertama dalam kehidupan mereka berdua. Jeceline menghela napas panjang begitu mengingat acara pembukaan yayasan panti asuhan. Di sana banyak sekali anak-anak yang datang dengan nasib berbeda-beda, dibuang di depan pintu yayasan, diterlantarkan di jalanan, dan ada yang s
“Selama tujuh tahun ini, aku selalu mempercayaimu, memahami kesibukkanmu di luar sana meski sebenarnya aku sangat membutuhkan waktu berduaan yang lama bersamamu tanpa halangan panggilan tugasmu itu!” Jeceline mengungkapkan semua beban yang selama ini disimpannya karena tak mau Kevin terbeban. Namun sekarang, setelah mendapatkan luka teramat dalam, simpul itu telah terlepas sendiri. Kevin terbungkam, memilih tidak menyela saat Jeceline mengeluarkan semua bebannya selama tujuh tahun ini. Tanpa sadar kelopak mata Kevin mulai berkaca-kaca memperhatikan sorot mata Jeceline, seolah merasakan apa yang dirasakan istrinya itu. Sementara Jeceline masih terus mengungkapkan semua keluh kesah yang dia pendam sendiri. Dalam hatinya ada rasa lega meski telah bercampur dengan kepedihan. Bening di mata sudah tak bisa tertahankan sejak tadi, mengalir begitu saja setiap kali berucap. Saat semua telah berhasil dikeluarkan, dia terdiam. Suasana menjadi hening sebab Kevin tidak merespon. Je
Perlahan lengkungan di sudut bibir Kevin mendatar. Semangat yang ditunjukan juga menghilang begitu mendengar permintaan Jeceline. “Sa-sayang, aku....” Perkataan Kevin terhenti begitu melihat sorot mata tegas Jeceline yang mengisyaratkan tak ada negosiasi dari syarat yang diajukan. Dia terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang, “itu tidak mungkin! Bagaimana bisa anakku sendiri dilupakan? Aku bukan Ayah kejam yang menelantarkan anaknya!” “Aku hanya memintamu melupakannya,” balas Jeceline kesal, “kau bisa menyuruh Julius mengatur semua keperluan anak itu sampai dia besar tanpa berhubungan langsung denganmu!” “Baik!” Jeceline tercengang, “kau serius?” Lengkungan di sudut bibir perlahan muncul kembali saat melihat anggukkan kepala kesungguhan dari Kevin. “Aku akan meminta Julius mengaturnya.”*** Dua minggu telah berlalu dan Kevin benar-benar menepati janjinya. Meski beberapa kali kedapatan Hillary menghubungi Kevin, tapi dia hanya mengabaikan bahkan memblok
“Selamat untuk Pak Kevin!” Jeceline mengangguk dalam senyuman, merespon ucapan wanita yang duduk di sampingnya. Dia turut bahagia akan terpilihnya Kevin menjadi calon yang akan mewakili partai untuk maju dalam satu pemilihan kepala daerah tingkat kabupaten. Melihat Kevin berdiri di depan sana, ada kebanggaan tersendiri baginya. Namun bangga saja tak akan cukup untuk mendampingi Kevin mencapai satu tujuan itu, sebab yang menanti di depan ada begitu banyak tantangan dalam satu kompetisi. Setelah acara pertemuan itu berakhir, Kevin meminta Julius mengantarkan mereka ke apartemen sebab dia sudah sangat lelah dan jarak untuk ke rumah lebih jauh. Sejak tadi Jeceline belum mengangkat pembicaraan mengenai terpilihnya Kevin menjadi calon yang mewakili partai dalam pemilihan kepala daerah nanti, bahkan ucapan selamat saja belum sempat terucapkan. “Selamat untukmu, Kevin. Selamat berjuang.” Akhirnya Jeceline mengungkapkan kata hatinya yang sejak tadi tertunda. “Hmph!”
KLEEK! Kevin menarik kembali tangannya yang saat itu baru menekan salah satu tombol di sisi pintu mobil, “biarkan dia duduk di sampingmu, Julius.” Begitu Julius menghentikan mobil, Hillary mendekat. Mencoba membuka pintu di sisi Kevin, tapi sayangnya sudah terkunci dari dalam. Hal ini akhirnya membuat Julius menurunkan kaca mobil yang berada di sisi berbeda lalu meminta Jeceline duduk di depan, tepatnya di samping dia. Hillary memasang wajah kecut begitu dia membungkuk saat hendak masuk ke dalam mobil, pandangan matanya tertuju ke arah Jeceline setelah beberapa detik memandang Kevin. “Nona Hill, silakan duduk,” sela Julius merasa tak nyaman akan ekspresi dari kedua wanita itu ketika saling memandang. Hillary mengangguk, menuruti perintah Julius. Mobil masuk melewati gerbang. Meski halaman rumah tidak terlalu luas, tapi jika harus berjalan kaki membutuhkan berapa puluh langkah ke depan. Seperti biasanya, setiap kali akan keluar mobil, Kevin selalu membukaka
“Benar sekali! Aku juga akan mempertahankan suamiku agar tidak direbut oleh wanita lain. Akan aku lakukan apa pun asalkan dia masih mencintaiku,” balas Jeceline menjawab pertanyaan Hillary padanya. “Heh!” Hillary mendengus kesal, membuang pandangannya ke arah Kevin yang sejak tadi duduk diam di samping Jeceline. Kalau sudah seperti ini, Hillary hanya bisa memasang wajah memelasnya agar Kevin luluh dan membantu dia berbicara, “Kevin, apa kau sama sekali tidak menginginkan anakmu? Bicaralah Kev! Kau boleh mengabaikanku tapi tak boleh mengabaikan anakmu yang tak bersalah.” Kevin yang sejak tadi masih terdiam akhirnya merespon dengan mengembuskan napas berat, “Hill, aku tidak mengabaikan anakku. Semua kebutuhanmu dan kebutuhannya sudah kuminta Julius untuk mengurusnya. Kau jangan khawatir, kehidupan kalian berdua akan terjamin, terlebih khusus kehidupan anakku tidak akan pernah kekurangan apa pun.” “Bagaimana denganku? Kau akan mencampakkan aku setelah berhasil merebut ana
Sontak Jeceline memaku. Sangat khawatir dengan ancaman Hillary. Jika sampai skandal ini tersebar keluar maka tentu akan mempengaruhi posisi Kevin di dunia politik. Apalagi sekarang dengan statusnya di dalam partai sedang berada di puncak, akan sangat berbahaya. Bukan hanya nama baik, tapi karier Kevin akan hancur, dan tentu saja keluarga mereka yang menjadi panutan bagi banyak orang pasti tercemar. Impian Kevin pasti hancur, terlebih ada rasa malu teramat besar meliputi perasaannya. Perlahan Jeceline menoleh ke samping, melihat Kevin yang masih diam menatap Hillary yang berdiri di depan. Kebingungan dan sorot penuh tanya jelas terlihat di wajahnya. Bahkan dalam batin pun dia berucap, “cepat halangi dia Kev, aku tak mau dia merusak semua yang telah aku perjuangkan. Jangan diam saja. Lakukan sesuatu!” Suasana menegangkan ini membuat Hillary tersenyum sinis. Sorot mata itu begitu angkuh, menunjukkan betapa bangganya dia telah memenangkan perdebatan yang sejak tadi belum mend
Garis kening Hillary mengerut, bersamaan dengan itu gelengan kepala dan senyum paksa terlukis di wajahnya, “masa depan apa lagi yang aku punya!? Sebagai wanita, bagaimana kau bisa bicara seperti ini terhadapku, Selin? Apa kau bisa terima jika berada di posisiku!” “Justru aku yang seharusnya menanyakanmu, sebagai seorang wanita, bagaimana bisa kau menghancurkan kebahagiaan wanita lain?! Penderitaan yang kau alami ini karena ulahmu sendiri! Sedangkan aku ... aku adalah yang paling menderita karena dikhianati! Jika aku berada di posisimu, aku tak akan pernah bermain-main dengan api, Hillary!” “Cukup!” sela Kevin menengahi argumen dua wanita yang saling berbalas-balasan. Kevin melirik Julius, memberikan isyarat yang membuat Julius dengan cepat menyodorkan map berwarna coklat ke depan Hillary. Suasana menjadi hening. Tatapan mata sembab Hillary tertuju pada map coklat yang disodorkan Julius ke arahnya. Dia memaku sejenak, lalu melemparkan pandangan penuh tanya tepat ke waja