“Janin dalam perutku milik Kevin!”
“Apa katamu!?” tanya Jeceline Lorena tertawa bodoh menatap seorang wanita berambut panjang bergelombang yang berdiri di depan pintu rumah. “Anak yang saya kandung milik dari Pak Kevin, suami Bu Selin!” ungkap seorang wanita muda berusia sekitar sembilan belas tahun sambil mengelus perutnya yang membulat besar. “Nona, mungkin Anda salah alamat. Silakan pergi dari rumah saya, jangan membuat sensasi di sini.” Jeceline antara kesal dan ingin tertawa keras, sebab hal yang dituduhkan oleh seorang wanita asing sama sekali tidak benar dan tak menunjukkan karakter suaminya. Jeceline bahkan menganggap kalau wanita hamil itu pasti hanya salah alamat sebab tidak mungkin suaminya—Kevin yang begitu setia dan menyayangi dia akan memiliki simpanan di luar sana. Bahkan jika itu memang harus benar, sangat tidak mungkin jika Kevin akan membiarkan wanita simpanannya secara terang-terangan mengakui hubungan mereka. Seribu wanita atau pun gosip yang beredar di luar sana tidak akan menghancurkan kepercayaan terhadap Kevin sebab dia sangat tahu persis karakter dan sikap sang suami. Jadi kedatangan wanita tak dikenal ini sama sekali bukan urusannya. “Saya rasa Bu Selin pasti lebih paham, ini hanya sensasi atau bukan. Apa Bu Selin sama sekali tidak mengenal saya?” sekali lagi sang wanita hamil menatap Jeceline dengan memasang wajah pengasihan. Jeceline terdiam, dia memperhatikan wajah sang wanita, mencoba mengingat di mana dia pernah melihatnya. Kedua alis kening Jeceline mengerut menatap keseluruhan wajah wanita hamil yang masih berdiri di hadapannya. Dalam semenit, dia berhasil mengingat kembali adegan pertemuan dengan wanita itu saat mendampingi suaminya di undangan acara resepsi. “Kita memang pernah bertemu sekali, tapi itu tidak akan membuktikan kebenaran dari perkataanmu. Silakan pergi dari sini, tolong!" Mata sang gadis mulai berkaca-kaca, dia masih terdiam tak mau pergi dari hadapan Jeceline meski sudah diusir. Jeceline semakin kesal sebab kedatangan wanita hamil itu memicu mobil misterius yang baru saja terparkir di luar pintu gerbang. “Hei, apa yang kau lakukan? Cepat berdiri!” sergah Jeceline begitu melihat wanita hamil di depannya telah menekukkan kedua lutut di lantai. “Aku tidak mau sebelum Bu Selin dan Pak Kevin bertanggung jawab akan bayi yang saya kandung,” tegas sang wanita mempertahankan posisinya meski Jeceline telah berupaya membantu dia berdiri. Perasaan Jeceline bercampur aduk sebab telah menduga mobil misterius yang ada di luar gerbang pasti para wartawan. Dia terpaksa membujuk si wanita hamil untuk berdiri dan masuk ke dalam rumah agar bisa berbicara secara leluasa. Meski dalam hati begitu kesal karena telah diancam secara halus oleh wanita hamil, tapi Jeceline mencoba menenangkan dirinya, berharap bisa mengorek informasi siapa yang mengirim wanita hamil itu sebab kedatangannya bertepatan dengan para wartawan di luar rumah. Jeceline duduk di samping wanita dan menatapnya, terlebih memperhatikan perut yang mulai membesar. Dia memaksakan senyum di sudut bibir untuk membangun suasana agar lebih santai. “Jadi, siapa yang menyuruhmu kemari dan membawa para wartawan itu?” Sang wanita tersenyum paksa sambil menggelengkan kepalanya, “mengenai wartawan aku tidak tahu, tapi tentang siapa yang menyuruhku tentu saja karena ingin meminta tanggung jawab dari anak di dalam kandunganku terhadap ayah biologisnya?!” Mata Jeceline memaku tepat ke manik sang wanita. Seberapa keras dia membujuk agar mendapatkan kenyataan sebenarnya, tapi tetap saja tak mendapatkan jawaban yang diinginkan. “Berapa pun yang mereka bayar padamu untuk menjebak suamiku, akan aku bayar tiga kali lipat!” “Bu Selin! Apa kau pikir lelaki di dunia ini hanya akan setia pada satu wanita saja?! Meski kau cantik, baik, perhatian, dan sempurna di matanya, tetap akan tergoda dengan wanita lain yang menawarkan apa yang tak pernah kau berikan padanya!” Kalimat yang diucapkan sang wanita menusuk langsung tepat ke hati Jeceline. Selama tujuh tahun ini hal yang tak bisa dia berikan pada suami adalah melahirkan keturunan bagi keluarga mereka. Mulai dari sini timbul keraguan setelah beberapa menit lalu tetap teguh mempertahankan kepercayaannya terhadap sang suami. “Bu Selin, aku bisa memberikan bukti padamu kalau perkataanku ini benar.” sang gadis merogoh tas dan mengeluarkan ponsel dari dalam. Dia menunjukan riwayat pesan dan panggilan yang tersimpan. Jeceline yang mulai ragu mengambil ponsel dari tangan sang gadis lalu melihat riwayat chat antara wanita itu dan Kevin. Dia bahkan memeriksa kontak nomor untuk memastikan kalau itu benar-benar Kevin. Sudut bibir Jeceline melengkung bersamaan dengan gelengan kepala setelah selesai membaca kembali riwayat chat di ponsel sang wanita. Meski ada kesamaan cara pengetikan dan pembicaraan mereka tentang pertemuan-pertemuan yang pernah Kevin kunjungi, tapi Jeceline malah menduga kalau itu semua hanyalah rekayasa, apalagi nomor kontak yang tersimpan dengan nama Kevin bukan milik suaminya. Jeceline menyodorkan kembali ponsel ke depan sang wanita, “mungkin Kevin yang kamu maksudkan bukan suamiku.” Sang wanita mengangguk tersenyum, dia masih belum menyerah mengotak-atik layar ponselnya seolah mencari bukti lain untuk ditunjukan. “Bu Selin mungkin tidak mempercayaiku, tapi bukti yang akan aku tunjukan sudah pasti akan membenarkan perkataanku!Mata Jeceline terbuka lebar begitu sang wanita menunjukan layar ponselnya yang menampilkan bayangan Kevin sedang dikecup oleh wanita itu. Bahkan di slide berikutnya ada vidio berdurasi sepuluh detik yang memuat kemesraan intim mereka berdua. Jeceline merampas cepat ponsel di tangan sang wanita untuk memperhatikan lebih dekat lagi bayangan Kevin di dalam rekaman itu. Suara tawa Kevin menusuk telinga hingga sampai ke dalam hatinya. Bahkan jemari tangannya semakin kuat mencengkeram ponsel, berusaha menahan kenyataan pahit yang datang secara tiba-tiba. Mata Jeceline masih memaku pada layar ponsel, bahkan berulang kali dia memutar kembali rekaman tersebut untuk memperhatikan dengan benar kalau Kevin yang terekam benar adalah suaminya sendiri. Namun semakin berulang, bening di kelopak mata mulai muncul dan terbendung. Seperti ada seribu anak panah yang menancap di jantung Jeceline hingga bukan hanya sakit melainkan sesak untuk bernapas. “Sejak kapan kalian berhubungan?” ta
Bunyi bel rumah telah berdering beberapa menit lalu bersamaan dengan suara Kevin yang memanggil-manggil dari luar pintu. Sementara Jeceline bergegas kembali mendekati pintu dan menyambut kedatangan Kevin dengan senyuman melengkung indah di sudut bibirnya. Begitu membuka pintu, Kevin segera menyapa dengan kecupan lembut di dahi Jeceline, “I miss you so much.” Seperti biasa setiap kali Kevin habis melakukan perjalanan jauh karena panggilan tugasnya sebagai seorang anggota dewan di daerah, Jeceline selalu mendapatkan kecupan dan rangkulan hangat begitu dekap yang memakan waktu sekitar dua menit. Kerinduan Jeceline terhadap Kevin selama hampir dua minggu telah menutupi kenyataan pahit yang dibawa Hillary. Saat ini dia lebih memilih membiarkan dirinya melepaskan kerinduan dengan sang suami sebelum mempertanyakan hubungan gelap yang disembunyikan darinya. Hangat pelukan, dan aroma tubuh Kevin membuat Jeceline menarik napas dalam, menikmati bau khas dari sang suami tercinta
“Kau boleh keluar sekarang!” Ucapan Jeceline yang begitu kuat bersamaan dengan munculnya Hillary yang keluar dari balik dinding pemisah ruangan. Jeceline terdiam, memperhatikan bagaimana reaksi Kevin begitu melihat Hillary dalam keadaan perut mulai membesar. Manik hitam Kevin membesar dan terpaku melihat Hillary yang berjalan mendekatinya. Dia menelan saliva. Udara di dalam ruangan yang tadinya sejuk kini mulai memanas hingga membuat peluh keluar di dahi. “Kevin, kau ke mana saja? Kenapa kau menghindariku?” sapa Hillary begitu berdiri tepat di hadapan Kevin dan di samping Jeceline. “Hill, apa yang kau lakukan di sini?” tanya Kevin mengerutkan kedua alis keningnya. “Aku kemari untuk meminta tanggung jawabmu sebagai Ayah biologis dari bayi dalam kandunganku!” Mata Kevin melotot, “apa katamu? Bayiku?!” Kevin menggelengkan kepalanya bersamaan dengan jari telunjuk yang ikut digerakkan di depan wajahnya, “kita sudah lama tidak berhubungan, itu tidak mungkin
“Jadi kau ingin aku tinggal serumah dengan selingkuhanmu?!” Jeceline memelototi Kevin sambil mengarahkan jari telunjuknya ke arah Hillary. “Bukan seperti itu, Selin. Aku hanya memikirkan calon anak yang ada di dalam rahimnya.” Hati Jeceline semakin sakit mendengar pernyataan Kevin yang memberikan kepastian kalau benih dalam kandungan Hillary benar-benar adalah milik sang suami. Sekarang dia tak tahu harus turut merasa senang atau kecewa karena anak pertama Kevin bukan dilahirkan olehnya. “Baik! Kalau begitu kau tinggal memilih, aku atau calon anakmu di dalam rahim wanita ini!” Pilihan yang diberikan Jeceline jelas membuat Kevin bingung sebab kedua hal ini sangat penting dan berarti bagi kehidupannya. Ada istri yang sangat dia cintai dan ada calon bayi yang selama ini dinanti-nantikannya. “Tak perlu aku jawab, kau pasti sudah tahu pilihanku. Tapi Selin, bagaimana pun anak yang akan lahir ini bukan hanya anakku melainkan anakmu juga—” “Aku tidak akan per
Keputusan Jeceline jelas ditolak oleh Kevin, sebab dia sangat mencintai sang istri. Masalah perselingkuhannya hanya kekhilafan dan sekedar rasa kekaguman akan sosok Hillary. Meski setelah mengetahui kehamilan itu ada sedikit rasa bahagia di hati Kevin, tapi dia jelas mengerti bagaimana perasaan Jeceline. “Aku tahu aku salah, Selin. Tapi jika kau meminta cerai, aku tidak akan menyetujuinya! Jadi, jangan pernah berpikir untuk meninggalkanku begitu saja!” “Kau egois! Sejak dulu aku selalu mematuhi dan memaklumimu, rasa cintaku padamu begitu besar, tapi apa yang kau balas?!” bentak Jeceline dengan suara lantang. Dalam pikirannya mulai timbul bayangan-bayangan tentang kedekatan dan kemesraan Kevin bersama Hillary. Terasa nyeri di pelipisnya karena menahan rasa yang bercampur aduk di dalam hati. Bahkan mata kini mulai membengkak dan terasa panas ketika memikirkan hubungan Kevin dan Hillary sehingga bisa menghasilkan buah dari perselingkuhan mereka. Jeceline terduduk k
Kevin terbungkam sejenak, begitu merasakan telapak tangan menyentuh perut Hillary yang mulai membesar. Rasa kesal di dalam hati perlahan mulai luntur begitu mengingat kalau saat ini Hillary sedang mengandung anaknya sendiri. Meski dalam hati tak terima jika anak pertama harus dilahirkan oleh kekasih gelap, tapi kerinduan yang sudah begitu lama ditunggu berhasil menyingkirkan semua pemikirannya. Sudut bibir Kevin perlahan melengkung. Bahkan telapak tangannya juga merespon cepat dengan mengelus pelan perut Hillary. Suasana saat ini belum pernah dirasakan sebelumnya. Terasa berbeda dengan tawaran kebahagiaan yang telah lama dinantikan. “Kev, maaf sudah merusak hubunganmu dengan Bu Selin. Aku juga sebenarnya tidak bermaksud melakukannya, tapi karena kau kehilangan kontak dan tidak meladeniku jadi....” Hillary menghentikan perkataannya dengan memasang wajah bersalah lalu menundukkan kepala. Kevin masih terdiam, mengingat bagaimana dia berusaha menghindari Hillary bebe
Biip ... bip ... bip.... Bunyi alat elektrokardiograf mengisi keheningan ruangan kamar. Jeceline terbaring tak sadarkan diri dengan perban putih yang melingkar di dahinya. Beberapa jam lalu seorang lelaki datang membawa dia ke rumah sakit dengan kondisi kecelakaan ringan yang melukai dahi, lalu pergi setelah Jeceline mendapatkan perawatan. Di luar gedung rumah sakit Kevin berlari cepat ke tempat informasi untuk menanyakan dimana Jeceline dirawat. Pagi ini saat dia bangun, sepuluh panggilan tak terjawab terpampang di layar ponsel. Di waktu yang sama, Julius menghubunginya dan memberitahukan tentang kecelakaan Jeceline tadi malam. Tanpa menunggu lama, Kevin segera pergi dan meninggalkan Hillary yang masih tertidur. Setelah berhasil mengetahui ruang kamar rawat Jeceline dari petugas rumah sakit, Kevin segera pergi ke tempat tujuannya. Begitu membuka pintu, sorot matanya memaku pada Jeceline yang saat itu terbaring tak sadarkan diri. Langkah kaki Kevin menjadi kaku.
Sudut bibir Kevin melengkung cepat begitu melihat anggukkan kepala dari dokter di hadapannya. Kebahagiaan besar ini membuat manik Kevin sampai berkaca-kaca karena mengetahui sebentar lagi dia akan mendapatkan anak dari istri yang sangat dia cintai. Penantian mereka tidak sia-sia, dan tentu saja kabar baik ini pasti akan menghilangkan kemarahan Jeceline terhadapnya serta membuat perasaan masing-masing bahagia. “Pak Kevin, aku ingin meminta maaf. Kami para dokter spesialis sudah berusaha sebaik mungkin, bahkan melakukan segala upaya untuk menyelamatkan bayi dalam kandungan Bu Selin, tapi semuanya sia-sia. Janin di dalam kandungannya tidak bisa diselamatkan.” Mata Kevin terpaku memelototi sang dokter. Lengkungan di sudut bibirnya perlahan mendatar. Kebahagiaan yang baru saja didengarkan hilang dalam beberapa menit. “Dok, a-aku akan membayar berapa pun biaya yang harus dikeluarkan untuk keselamatan janin dalam kandungan istriku,” ucap Kevin dengan wajah serius dan tatapan teg