Share

Kenapa Mereka Kaya, Kita Miskin?

Fai menganggukkan kepala pada Bu Mardiyah sebagai salam hormat. 

"Itu Fai, ya? Wah ... Fai tumbuh jadi gadis yang cantik," ujar Bu Mardiyah.

"Iya, Bu." Faihatun tersipu mendapat pujian dari Bu Mardiyah.

Aku mendengarkan percakapan mereka berdua yang terlihat sangat asyik. Bu Mardiyah berpindah tempat duduk mendekati Fai.

"Fai masih ingat sama Dian?" tanya Bu Mardiyah.

"Iya, Bu. Dian teman Fai waktu masih kecil," jawab Fai.

"Sekarang Dian sudah jadi PNS. Berkat kamu, Fai ...."

"Lho? Kok berkat saya, Bu?" Fai terlihat heran. Aku menepuk pundaknya.

"Di desa, kami hidup sulit. Selepas diwisuda, Dian selalu termenung di teras rumah. Kupikir karena ia frustasi belum mendapatkan pekerjaan. Setelah kutanya ... rupanya ia sedang mengingatmu. Sebagai seorang ibu, tentu saya tahu apa yang sedang dialaminya. Akhirnya saya jadikan kerinduannya padamu sebagai motivasi untuk membuatnya bangkit," jelas Bu Mardiyah.

Fai masih tampak kebingungan, atau pura-pura bingung? Entahlah, yang pasti ia sangat tersanjung mendengar cerita itu. "Saya tidak mengerti maksud Ibu," kata Fai sambil tersipu.

"Dian menyukaimu, dia kangen sama kamu!" Aku membantu menjelaskan. Fai dan Bu Mardiyah tertawa kecil. "Bu Mardiyah memanfaatkan kesempatan itu agar anaknya mau mencari pekerjaan yang layak, sehingga bisa menabung untuk biaya pindah ke desa ini lagi. Dian ingin tetanggaan sama kamu, Fai. Biar bisa dekat-dekat terus," lanjutku.

Bu Mardiyah mengusap-usap pundak Fai. Anakku itu tersenyum kemudian menunduk, menyembunyikan wajahnya yang memerah karena malu.

"Kenapa, kok malu-malu begitu?" Bu Mardiyah menggoda Fai. 

"Jelas, saya malu," ucapnya.

"Lha, kan kamu dan Dian sudah dewasa. Sudah saatnya untuk mengakui perasaan. Perasaan suka itu wajar," kataku.

Pertemuan dengan tetangga lamaku malam ini membawa kabar bahagia untuk Fai. Sudah lama anakku menahan kerinduan pada lelaki yang dicintainya itu. Walaupun Fai tak pernah menceritakannya, tetapi aku tahu banyak hal tentang kecintaannya pada Dian—teman semasa kecilnya—karena setiap menjelang tidur, Fai selalu menuliskan perasaannya di buku diary, lalu menggeletakkannya begitu saja, sehingga aku bisa membacanya.

Waktu salat tarawih pun tiba. Kami mengatur shaf serapi mungkin.

🍂🍂🍂

"Bilang apa ketika mendapat nikmat yang banyak, Fai?" tanyaku mengetes.

"Alhamdulillahirobbil'alamiin," jawab Fai seraya mengangkat kedua telapak tangannya, sejajar dengan wajah polosnya.

"Bagus. Anak pintar!" Aku memang selalu memberinya pujian setiap kali dia melakukan hal yang benar.

Malam itu, makanan yang diberikan Juragan dan Nyonya guntur sudah habis kami makan. Rasa lapar setelah seharian berpuasa dan bekerja keras, membuat perutku minta nambah lagi dan lagi. Terlebih Fai, dia sangat lahap karena baru pertama kali mendapat makanan lezat.

"Bu, Nyonya Guntur orang kaya, ya?" Fai bertanya.

"Iya, Fai," jawabku.

"Kalau kita? Orang miskin, ya?" Fai bertanya lagi, membuatku kesulitan menjawab.

"Fai kenapa bertanya seperti itu?" 

Anak itu hanya bisa menunduk, dengan ekspresi yang takut dimarahi. Mungkin ia berpikir aku akan memarahinya. "Fai, Ibu tidak marah padamu. Ibu hanya ingin tahu, kenapa Fai bertanya seperti itu?"

"Bu, kenapa orang lain kaya sementara kita miskin?" Bukannya menjawab pertanyaanku, dia malah memberiku pertanyaan yang lebih sulit lagi.

Aku berpikir sejenak untuk menemukan jawabannya. Akhirnya aku teringat ceramah sewaktu menepi di teras masjid.

"Fai, di mata Alloh tidak ada yang namanya kaya atau miskin ... yang ada hanyalah beriman atau tidak. Alloh telah menjamin rezeki semua makhluknya, mau yang kaya atau yang miskin ... pasti diberi rezeki oleh-Nya. Tugas kita hanya berusaha dan bersyukur. Lagipula, tidak ada bedanya yang kaya dan yang miskin," jawabku menirukan perkataan ustad di masjid sore itu.

Entahlah, anak sekecil itu apakah akan mengerti atau tidak dengan maksud perkataanku barusan. 

"Jelas beda, Bu. Orang kaya bisa makan enak sementara orang miskin sering kelaparan. Kita sering kelaparan, berarti kita orang miskin kan, Bu?" 

Astaghfirulloh, aku hanya bisa membatin kala itu. Bagaimana anak sekecil Fai bisa berpikiran begitu? Walaupun apa yang dikatakannya benar, tapi dari mana Fai mendapatkan kata-kata itu?

"Fai ... dari mana kamu mendapat kata-kata itu?" tanyaku.

"Tadi sewaktu pulang sekolah, Fai mengantar Dian ke rumahnya. Terus main sebentar di sana. Bu Mardiyah mengajak Fai ngobrol dan dia bilang seperti itu. Dia menyuruh Fai untuk menanyakannya kepada ibu, karena Fai tak percaya apa yang dikatakannya," jawabnya.

Subhanalloh, ternyata Bu Mardiyah dalangnya! Dia meracuni pikiran Fai dengan perbedaan kaya dan miskin. Aku tak berkenan dengan hal itu, karena takut anak sekecil Fai akan salah mengartikannya kemudian menjadi minder dengan kemiskinannya. 

Waktu itu, ketika masih berjaya dengan usaha kainnya ... Bu Mardiyah memang orang yang cenderung sombong.

"Fai lebih percaya ibu atau Bu Mardiyah?" tanyaku lagi. "Dengar, tak ada yang namanya kaya atu miskin di mata Alloh. Yang ada hanya orang yang beriman dan tidak beriman. Itulah yang harus kau ingat. Kaya atau miskin tak penting! Yang penting kita beriman!" tegasku.

Fai menunduk patuh. Ia berhenti menjawab dan tak membantah lagi. 

"Mengerti, Fai?" 

"Iya, Bu ...," jawabnya.

Perdebatan dengan Fai kecil, berhenti saat itu juga. Kemudian kami membereskan bekas makan yang berserakan di meja. Semua makanan yang dikirim masak sudah habis. Tinggal sisa beras, minyak, telur dan bumbu-bumbu. Beberapa potong buah masih tersisa, kusimpan di tempat yang baik agar tak cepat busuk. Akan kujadikan menu sahur.

"Fai, nanti sahur dengan ceplok telur saja, ya," kataku pada Fai..

"Baik, Bu. Alhamdulillah," jawabnya.

Aku tersenyum penuh syukur. Anak itu tak lagi mengeluhkan perihal kaya atau miskin, dan bersyukur ketika mendengar menu sahur hanya dengan telur ceplok.

Dengan perut terisi penuh, malam itu kami mencuci piring bersama. Fai memaksa untuk membantuku walau sudah kucegah. Katanya, "kasihan Ibu, sudah lelah seharian bekerja."

Hingga adzan Isya berkumandang, terdengar suara anak kecil memanggil Fai.

"Faihatun ... ayo berangkat tarawih!" sahutnya.

"Bu, itu suara Dian!" ujar Fai dengan tangan masih penuh sabun cuci piring.

"Ya sudah, kamu berangkat tarawih duluan, nanti ibu menyusul. Bersihkan dulu tanganmu!" titahku.

Fai berlari kecil mengambil mukena ke kamar, kemudian berangkat tarawih bersama Dian. Setiap langkah kaki mungil itu masih kuingat hingga sekarang.

🍂🍂🍂

Hari keempat di bulan Ramadhan tahun 2021, kami baru saja tiba di rumah setelah selesai shalat tarawih berjamaah di masjid.

Fai membantuku duduk di sofa untuk menonton TV ketika suara pintu rumah diketuk.

"Assalamualaikum," ucap seseorang dari luar.

Fai mendekati pintu, dan mengintip dari jendela. Kemudian ia kembali lagi kepadaku dan berbisik, "Bu ... itu Dian! Suruh masuk atau jangan?" katanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status