Share

Kata-Kata Penyelamat

"Kamu pulang saja dulu, saya lagi repot ngurusin tamu," paksa Nyonya Guntur ketika aku kukuh ingin mendapatkan upah sore itu juga. Akhirnya aku pun pulang, karena Nyonya Guntur sudah mulai terlihat jengkel. 

Sepanjang perjalanan pulang, pikiranku terus berputar-putar mengakali harus masak apa untuk buka hari itu. Di rumah tinggal segenggam beras dan sebuah wortel yang kupunya. 

Terdengar suara azan maghrib, sekaligus pertanda waktu buka puasa. Aku berjalan sangat lambat hingga tidak bisa mengejar waktu untuk sampai di rumah sebelum magrib. Teringat Faihatun yang seharian kutinggalkan bekerja, sedang apakah dia di rumah sendirian? Perasaanku khawatir, takut terjadi apa-apa dengan anak itu. Apalagi di rumah tidak ada makanan, dengan apa dia akan berbuka?

Teganya Juragan dan Nyonya Guntur kepadaku. Sudah dua hari bekerja hingga lelah, namun tak sepeser pun uang yang dibayarkan mereka. Padahal, makanan begitu banyak tergeletak di meja makannya. Tak bisakah mereka memberiku sedikit untuk kubawa ke rumah sebagai bekal buka puasa?

Jarak ke rumah masih cukup jauh, aku pun berhenti di masjid berharap menemukan takjil gratis. Sayang sekali waktu itu aku terlambat, semua takjil sudah ludes disantap para jamaah yang berbuka bersama di masjid itu. Aku menuju tempat wudhu dan memutar keran air, kuminum airnya untuk membatalkan puasa. Rasanya segar sekali mengalir di tenggorokanku. 

Lalu aku teringat Faihatun lagi, membuatku lemas hingga duduk di teras samping masjid. Aku termenung, menyerah pada nasib. Hidup serba kekurangan dengan beban seorang anak kecil yang harus kuhidupi, membuatku berpikiran jahat waktu itu.

"Bagaimana kalau kubuang saja Faihatun ke hutan?" batinku berkata jahat. "Nanti malam akan kuajak dia mencari buah-buahan di hutan, dia pasti akan percaya dan menurut. Kemudian aku akan meninggalkannya di sana. Setelah itu, hilanglah satu beban dalam hidupku," lanjutku berkata dalam hati.

Pikiran itu terus-menerus terlintas di kepalaku. Dan itu adalah satu-satunya cara agar Fai bisa pergi dari hidupku.

Air mata mengalir deras di pipi. Terdengar suara orang ceramah singkat dari dalam masjid, setelah selesai salat berjamaah. Karena terlalu merenungi nasib, aku sampai lupa salat, malah berpikir melakukan hal buruk terhadap Faihatun.

"Alloh tidak akan membebani seseorang di luar batas kemampuan," ucap seorang Ustad dari dalam. "Jangan mengkhawatirkan rezeki, semua sudah diatur oleh Alloh. Semua makhluk sudah dijamin rezekinya. Setiap anak yang terlahir ke dunia, Alloh menyertakan rezeki untuknya."

Kata-kata itu begitu menusuk jantungku. Seolah menjawab pikiran jahat yang terlintas dalam kepalaku, sekaligus menyadarkanku dari bisikan setan.

"Astaghfirulloh," aku mengucap istighfar. "Maafkan hamba, ya Alloh! Telah meragukan kekuasaan-Mu."

Bulan Ramadhan yang suci, membukakan mata hatiku akan nikmat-Nya. Faihatun adalah anak yang baik, hanya ibu yang jahatlah, yang akan tega mencelakainya.

Seakan mendapat kekuatan, petang itu aku pulang ke rumah dengan setengah berlari. Hingga lama-lama, terlihat atap rumahku dari kejauhan. Dan Faihatun melambaikan tangan di depan rumah.

"Ibu!" Fai berseru.

Hatiku bergetar mendengar suaranya. Ia masih terlihat kuat, suaranya sangat lantang. Padahal, mungkin belum ada sesuap nasi pun yang ia makan.

Aku berlari menghambur tubuh Fai, memeluknya seraya mengusap rambutnya yang panjang.

"Fai, Ibu belum dapat uang. Malam ini kita gak makan," kataku sambil menangis.

"Lihat, Bu!" Fai menuntuku masuk ke rumah dan menunjukkan meja makan yang sudah penuh terisi makanan.

Nasi, lauk pauk, buah-buahan, hingga sembako, adalah hal pertama yang kulihat ketika memasuki rumah.

"Masya Alloh, dari mana ini Fai?" tanyaku dengan bibir gemetar, rasanya tak percaya.

"Baru saja Juragan dan Nyonya Guntur mengantarkan ini semua. Pas mereka pulang, Ibu datang," jawab Fai. "Kata mereka, ini buat kita. Tadi mereka sibuk melayani tamu jadi tak sempat menyiapkannya untu Ibu, akhirnya diantar sendiri oleh mereka," lanjutnya.

Aku menangis terharu. 'Astaghfirulloh, maafkan aku yang telah berburuk sangka pada-Mu. Kukira Engkau tak sayang karena memberiku hidup serba kekurangan, ternyata hari ini Kau menunjukkan nikmatmu.'

Dalam hati, aku juga mengucap maaf pada Juragan dan Nyonya Guntur karena telah berprasangka buruk terhadap mereka. Rupanya, mereka memang sibuk sehingga tidak sempat membekaliku makanan.

"Ibu kenapa menangis?" tanya Fai begitu polosnya.

"Tak apa, Fai. Ayo cepat makan, kamu pasti lapar. Ibu mau salat maghrib dulu," jawabku.

Benarlah apa yang dikatakan Ustad tadi, Alloh sudah mengatur rezeki untuk semua makhluk-Nya. 

Hari itu, hari ke dua Ramadhan tahun 1998. Pertama kali dalam hidupnya, Fai bebas menikmati makanan enak yang ia inginkan.

🍂🍂🍂

"Tak perlulah bagus-bagus, yang penting bersih, Fai. Mukena yang lama padahal masih bagus. Kamu ngotot belikan yang baru, itu namanya boros," kataku saat Fai memasangkan mukena yang malam lalu dibelinya.

"Iya, masih bagus. Tapi sudah sempit di wajah Ibu, itu kan mukena lama, Bu. Fai belikan yang muat di wajah Ibu agar Ibu tak kesakitan lagi saat memakainya," balasnya.

Malam ini adalah shalat tarawih ke tiga di Ramadhan tahun 2021. Aku naik kursi roda berangkat ke masjid, Fai yang mendorongnya. Sesampai di masjid, seperti biasa Fai akan memakaikan mukenaku dengan hati-hati.

"Bu Nisa ...," panggil seseorang di sampingku.

Aku menoleh, sepertinya aku kenal dia, tapi ingatanku masih belum cukup kuat untuk mengenal dengan pasti.

Aku pun mengangguk, Fai menyenggol lenganku. 

"Bu Nisa, apa sudah lupa dengan saya?" Ia kembali bertanya, memaksa ingatanku untuk bekerja lebih keras.

"Maaf, sepertinya saya kenal Anda, tapi saya tak bisa mengingat jelas," jawabku.

"Ini saya, Mardiah. Dulu anakmu sering nebeng payung sama anakku," katanya.

Fai menyenggol badanku lagi seraya berbisik di telinga. "Itu Bu Mardiyah, tetangga kita yang suka ngasih makanan basi, Bu." 

Aku pun balas menyenggol Fai agar hati-hati berbicara, takut kedengaran oleh Bu Mardiyah.

"Oh, iya. Sekarang saya ingat!" Aku mengembangkan senyum pada Bu Mardiyah. "Apa kabar, Bu? Sudah lama kita tak jumpa," sapaku.

Setelah anaknya—Dian—lulus SMP, Bu Mardiyah meninggalkan kampung ini dan pindah ke kampung halaman orangtuanya. Waktu itu bisnisnya bangkrut, sehingga terpaksa menjual rumah dan tanahnya.

"Alhamdulillah, kabar saya sekarang membaik. Usaha saya mulai lancar kembali. Seminggu yang lalu kami membeli kembali rumah kami yang dulu dijual, dan baru sore tadi kami mulai menempatinya." Bu Mardiyah menjelaskan. "Kita tetanggan lagi, Bu. Dian sekarang sudah PNS. Alhamdulillah, dia bekerja keras untuk membeli rumah itu agar bisa tetanggaan lagi dengan Fai," lanjutnya seraya melirik Faihatun.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status