Share

Kata-Kata Penyelamat

Penulis: Widanish
last update Terakhir Diperbarui: 2022-11-19 09:58:08

"Kamu pulang saja dulu, saya lagi repot ngurusin tamu," paksa Nyonya Guntur ketika aku kukuh ingin mendapatkan upah sore itu juga. Akhirnya aku pun pulang, karena Nyonya Guntur sudah mulai terlihat jengkel. 

Sepanjang perjalanan pulang, pikiranku terus berputar-putar mengakali harus masak apa untuk buka hari itu. Di rumah tinggal segenggam beras dan sebuah wortel yang kupunya. 

Terdengar suara azan maghrib, sekaligus pertanda waktu buka puasa. Aku berjalan sangat lambat hingga tidak bisa mengejar waktu untuk sampai di rumah sebelum magrib. Teringat Faihatun yang seharian kutinggalkan bekerja, sedang apakah dia di rumah sendirian? Perasaanku khawatir, takut terjadi apa-apa dengan anak itu. Apalagi di rumah tidak ada makanan, dengan apa dia akan berbuka?

Teganya Juragan dan Nyonya Guntur kepadaku. Sudah dua hari bekerja hingga lelah, namun tak sepeser pun uang yang dibayarkan mereka. Padahal, makanan begitu banyak tergeletak di meja makannya. Tak bisakah mereka memberiku sedikit untuk kubawa ke rumah sebagai bekal buka puasa?

Jarak ke rumah masih cukup jauh, aku pun berhenti di masjid berharap menemukan takjil gratis. Sayang sekali waktu itu aku terlambat, semua takjil sudah ludes disantap para jamaah yang berbuka bersama di masjid itu. Aku menuju tempat wudhu dan memutar keran air, kuminum airnya untuk membatalkan puasa. Rasanya segar sekali mengalir di tenggorokanku. 

Lalu aku teringat Faihatun lagi, membuatku lemas hingga duduk di teras samping masjid. Aku termenung, menyerah pada nasib. Hidup serba kekurangan dengan beban seorang anak kecil yang harus kuhidupi, membuatku berpikiran jahat waktu itu.

"Bagaimana kalau kubuang saja Faihatun ke hutan?" batinku berkata jahat. "Nanti malam akan kuajak dia mencari buah-buahan di hutan, dia pasti akan percaya dan menurut. Kemudian aku akan meninggalkannya di sana. Setelah itu, hilanglah satu beban dalam hidupku," lanjutku berkata dalam hati.

Pikiran itu terus-menerus terlintas di kepalaku. Dan itu adalah satu-satunya cara agar Fai bisa pergi dari hidupku.

Air mata mengalir deras di pipi. Terdengar suara orang ceramah singkat dari dalam masjid, setelah selesai salat berjamaah. Karena terlalu merenungi nasib, aku sampai lupa salat, malah berpikir melakukan hal buruk terhadap Faihatun.

"Alloh tidak akan membebani seseorang di luar batas kemampuan," ucap seorang Ustad dari dalam. "Jangan mengkhawatirkan rezeki, semua sudah diatur oleh Alloh. Semua makhluk sudah dijamin rezekinya. Setiap anak yang terlahir ke dunia, Alloh menyertakan rezeki untuknya."

Kata-kata itu begitu menusuk jantungku. Seolah menjawab pikiran jahat yang terlintas dalam kepalaku, sekaligus menyadarkanku dari bisikan setan.

"Astaghfirulloh," aku mengucap istighfar. "Maafkan hamba, ya Alloh! Telah meragukan kekuasaan-Mu."

Bulan Ramadhan yang suci, membukakan mata hatiku akan nikmat-Nya. Faihatun adalah anak yang baik, hanya ibu yang jahatlah, yang akan tega mencelakainya.

Seakan mendapat kekuatan, petang itu aku pulang ke rumah dengan setengah berlari. Hingga lama-lama, terlihat atap rumahku dari kejauhan. Dan Faihatun melambaikan tangan di depan rumah.

"Ibu!" Fai berseru.

Hatiku bergetar mendengar suaranya. Ia masih terlihat kuat, suaranya sangat lantang. Padahal, mungkin belum ada sesuap nasi pun yang ia makan.

Aku berlari menghambur tubuh Fai, memeluknya seraya mengusap rambutnya yang panjang.

"Fai, Ibu belum dapat uang. Malam ini kita gak makan," kataku sambil menangis.

"Lihat, Bu!" Fai menuntuku masuk ke rumah dan menunjukkan meja makan yang sudah penuh terisi makanan.

Nasi, lauk pauk, buah-buahan, hingga sembako, adalah hal pertama yang kulihat ketika memasuki rumah.

"Masya Alloh, dari mana ini Fai?" tanyaku dengan bibir gemetar, rasanya tak percaya.

"Baru saja Juragan dan Nyonya Guntur mengantarkan ini semua. Pas mereka pulang, Ibu datang," jawab Fai. "Kata mereka, ini buat kita. Tadi mereka sibuk melayani tamu jadi tak sempat menyiapkannya untu Ibu, akhirnya diantar sendiri oleh mereka," lanjutnya.

Aku menangis terharu. 'Astaghfirulloh, maafkan aku yang telah berburuk sangka pada-Mu. Kukira Engkau tak sayang karena memberiku hidup serba kekurangan, ternyata hari ini Kau menunjukkan nikmatmu.'

Dalam hati, aku juga mengucap maaf pada Juragan dan Nyonya Guntur karena telah berprasangka buruk terhadap mereka. Rupanya, mereka memang sibuk sehingga tidak sempat membekaliku makanan.

"Ibu kenapa menangis?" tanya Fai begitu polosnya.

"Tak apa, Fai. Ayo cepat makan, kamu pasti lapar. Ibu mau salat maghrib dulu," jawabku.

Benarlah apa yang dikatakan Ustad tadi, Alloh sudah mengatur rezeki untuk semua makhluk-Nya. 

Hari itu, hari ke dua Ramadhan tahun 1998. Pertama kali dalam hidupnya, Fai bebas menikmati makanan enak yang ia inginkan.

🍂🍂🍂

"Tak perlulah bagus-bagus, yang penting bersih, Fai. Mukena yang lama padahal masih bagus. Kamu ngotot belikan yang baru, itu namanya boros," kataku saat Fai memasangkan mukena yang malam lalu dibelinya.

"Iya, masih bagus. Tapi sudah sempit di wajah Ibu, itu kan mukena lama, Bu. Fai belikan yang muat di wajah Ibu agar Ibu tak kesakitan lagi saat memakainya," balasnya.

Malam ini adalah shalat tarawih ke tiga di Ramadhan tahun 2021. Aku naik kursi roda berangkat ke masjid, Fai yang mendorongnya. Sesampai di masjid, seperti biasa Fai akan memakaikan mukenaku dengan hati-hati.

"Bu Nisa ...," panggil seseorang di sampingku.

Aku menoleh, sepertinya aku kenal dia, tapi ingatanku masih belum cukup kuat untuk mengenal dengan pasti.

Aku pun mengangguk, Fai menyenggol lenganku. 

"Bu Nisa, apa sudah lupa dengan saya?" Ia kembali bertanya, memaksa ingatanku untuk bekerja lebih keras.

"Maaf, sepertinya saya kenal Anda, tapi saya tak bisa mengingat jelas," jawabku.

"Ini saya, Mardiah. Dulu anakmu sering nebeng payung sama anakku," katanya.

Fai menyenggol badanku lagi seraya berbisik di telinga. "Itu Bu Mardiyah, tetangga kita yang suka ngasih makanan basi, Bu." 

Aku pun balas menyenggol Fai agar hati-hati berbicara, takut kedengaran oleh Bu Mardiyah.

"Oh, iya. Sekarang saya ingat!" Aku mengembangkan senyum pada Bu Mardiyah. "Apa kabar, Bu? Sudah lama kita tak jumpa," sapaku.

Setelah anaknya—Dian—lulus SMP, Bu Mardiyah meninggalkan kampung ini dan pindah ke kampung halaman orangtuanya. Waktu itu bisnisnya bangkrut, sehingga terpaksa menjual rumah dan tanahnya.

"Alhamdulillah, kabar saya sekarang membaik. Usaha saya mulai lancar kembali. Seminggu yang lalu kami membeli kembali rumah kami yang dulu dijual, dan baru sore tadi kami mulai menempatinya." Bu Mardiyah menjelaskan. "Kita tetanggan lagi, Bu. Dian sekarang sudah PNS. Alhamdulillah, dia bekerja keras untuk membeli rumah itu agar bisa tetanggaan lagi dengan Fai," lanjutnya seraya melirik Faihatun.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Anak Yang Tidur Dengan Perut Lapar   Kemenangan

    Hubungan antar manusia memang tak selamanya baik, namun juga tak selamanya buruk. Sedekat apapun kita dengan seseorang, pasti akan selalu ada gesekan yang memicu konflik. Entah itu konflik fisik, maupun konflik batin. Meli menyikut pinggangku. “Itu Dian, Fai,” ucapnya seraya menunjuk Dian dengan dagu. “Aku tahu,” jawabku. “Kalau ada yang mau diomongin sama Dian, sana samperin. Jangan dipendam,” lanjut Meli. Rupanya ia menyadari gelagatku yang tengah menghadapi konflik batin tak kunjung usai ini. “Dari mana aku harus mulai bicara?” tanyaku pada Meli. Kali ini aku merasa perlu meminta pendapatnya. “Ayo kutemani,” bisiknya. “Kau pergi saja bersama Dian. Jalan-jalan kemana kek. Biar aku yang menemani Bu Mardiyah.” Meli tampak yakin. Dia meraih tanganku, mengajakku untuk melangkahkan kaki menghampiri Dian. Aku sempat ragu, karena khawatir Meli keberatan dalam hatinya. Mengingat dia pun pernah mengharapkan Dian di sisinya. “Kau yakin, Mel?” tanyaku. “Soal apa?” “Kau sudah mengikhla

  • Anak Yang Tidur Dengan Perut Lapar   Malam Takbir yang Panjang

    “Pelankan suaramu, Fai!” titah Ibu, panik. Ia kemudian melepaskan tangannya dari mulutku saat aku sudah agak tenang. Ibu menahan isak tangis hingga ekspresi wajahnya sulit kugambarkan. Namun yang pasti, adaberjuta kepedihan tergurat di sana. Lantunan takbir masih menggema, begitu pun suara bedug bertalu-talu di malam takbir itu, harusnya kami menangis bahagia menyambut hari kemenangan. Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Ibu langsung memelukku dengan erat. Tangisnya mulai pecah, namun dengan suara yang sengaja ditahan. Aku takut sekaligus merasa aman dalam pelukan Ibu. Namun tanda tanya itu masih ada, tentang noda darah yang bau amisnya sangat menusuk. “Fai, tadi selelpas buka puasa Ibu menemani Nyonya Guntur membagikan THR pada fakir miskin yang hidup di jalanan. Tiba-tiba mobil yang dikendarai kami ditabrak orang tak dikenal. Mobil kami terguling ke hutan. Nyonya Guntur langsung meninggal, Ibu dan supir yang selamat mengeluarkan Nyonya Guntur dari mobil yang hampir meledak. Mak

  • Anak Yang Tidur Dengan Perut Lapar   Malam Takbir

    Mengapa Dian begitu terpaut padaku, apa istimewanya aku di matanya hingga ia tak bisa lepas dariku? Selama puluhan tahun berpisah, tidakkah Dian menemukan wanita lain selain aku? Semua piring selesai dicuci, dapur juga kembali bersih. Ini pertama kalinya aku bebersih rumah dibantu Meli. Rasanya hari ini spesial, karena beberapa hal terjadi untuk pertama kalinya. Tabuhan bedug dan lantunan suara takbir mulai berkumandang. Aku dan Meli pergi ke teras rumah, melihat anak-anak se-usia sekolah dasar bermain petasan dan kembang api. Suasana seperti inilah yang kami rindukan sepanjang tahun. Suka cita menyambut hari kemenangan dirayakan anak-anak itu dengan cara menyenangkan versi mereka. Menyalakan petasan, melemparnya ke halaman terbuka, kemudian berlari menjauhi petasan tersebut sambil menutup telinga. Sebagian yang lain menyalakan kembang api, cahayanya berkilauan saat dilempar ke atas. Anak-anak kecil itu tampak bahagia. Aku membuka pintu pagar dan keluar rumah mendekati anak-anak i

  • Anak Yang Tidur Dengan Perut Lapar   Bercengkrama

    “Siapa yang godain, Yah? Aku serius, kok, “ jawab Haykal. Meli berhenti mengunyah, ia melihat ke arahaku sejenak, lalu pura-pura tak peduli dengan pernyataan Haykal. “Kalau begitu, jangan digoda terus, kasihan. “ Ayah berseloroh. Kami pun tertawa. Ramadhan terakhir di tahun ini aku menemukan kebahagiaan dapat berkumpul kembali bersama Ayah, Meli, dan juga anggota keluarga baru yaitu Haykal. Hubunganku dengan Dian juga mulai mencair, meskipun di antara kami tidak ada ikatan istimewa lagi, namun setidaknya silaturahmi tetap terjaga. Kami menghabiskan semua menu buka puasa, meskipun masak menu beragam, tapi masing-masing menu itu porsinya sedikit, sengaja kami atur agar cukup untuk makan berempat, sehingga tidak mubazir. Hanya sisa sedikit belalang goreng di atas piring. Ayah meminta kami bertiga untuk mencicipinya. “Gak suka, ah. Geli, “ balas Meli. “Ayo, dicoba dulu. Jangan bilang gak suka kalau belum nyoba. Makanan ini kaya protein, gak kalah dengan daging ayam.” Ayah membujuk

  • Anak Yang Tidur Dengan Perut Lapar   Meli dan Tempe Goreng

    “Ya, itu buktinya,” ujar Meli sambil menahan tawa melihat ekspresi geliku. Aku mengambil baskom berisi belalang kecil ini dan mulai mencucinya. Orang kampung sini biasa menyebutnya ‘simeut’. Meski di jaman modern seperti sekarang sudah jarang peminatnya, namun untuk beberapa orang, serangga kecil ini memang biasa dikonsumsi sebagai lauk. Cara memasaknya sangat mudah, tinggal diberi bumbu rempah, lalu goreng hingga kering. Belalang goreng ini bahkan sudah ada yang menjual dalam bentuk kemasan dan siap santap, banyak dijual di marketplace online. “Dari mana Ayah dapat belalang ini, Mel?” tanyaku. “Tadi pas kami lewat pesawahan di pinggir jalan, Ayah mengajak turun dan menangkap belalang-belalang itu. Seru, lho!” jawab Meli dengan raut wajah gembira. “Katanya, dulu Ayah sering melakukannya sama kamu, waktu kamu berusia dua tahun.” Aku membumbui belalang ini dengan kunyit bubuk, bawang putih bubuk, garam, dan penyedap rasa, lalu menggorengnya dalam minyak panas. “Oh ya, aku sama sekal

  • Anak Yang Tidur Dengan Perut Lapar   Tertawa Bersama

    “Sudah, Bu. Tak baik, tak ada sangkut pautnya dengan Fai,” jawab Dian. Aku cukup terkejut dan berkata, “kenapa, Di?” “Benar bahwa kami pindah ke sini karena malu atas utang di desa, namun sebenarnya kepindahan kami ke sini pun adalah keinginan Dian yang ngotot ingin melamarmu, Fai. Dia gadaikan SK-nya untuk pindah ke sini. Kemudian sisa uangnya dipakai untuk biaya lamaran dan persiapan akad nikahmu yang batal itu,” jawab Bu Mardiyah. “Setelah pernikahan kalian batal, rasanya pengorbanan anakku jadi sia-sia.” “Bu—“ Dian menghentikan Bu Mardiyah, terlihat jelas ia merasa tak enak dengan yang diucapkan ibunya barusan. Aku semakin terkejut, namun berusaha sebisa mungkin agar tak terkecoh. Sedikitnya, aku tahu sifat Bu Mardiyah, ia akan membuat seseorang merasa bersalah agar orang itu mau menuruti keinginannya. Dan sepertinya, ia pun sedang melakukan trik itu padaku. “Benarkah itu, Di?” tanyaku pada Dian. Sekedar untuk menghargai cerita Bu Mardiyah, aku pun menanggapinya. “Ah, jangan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status