*Pernah ada yang bertanya padaku, kenapa bisa mencintai anak tiri seperti anak sendiri. Jawabanku, mungkin karena aku tak memiliki anak kandung, sehingga tak tahu bedanya menyayangi keduanya.Yang kutahu, manusia dibekali kasih sayang oleh Yang Maha Kuasa. Dan itu tidak dibatasi untuk diberikan kepada orang-orang tertentu saja. Kasih sayang, harus kita berikan pada siapa pun yang membutuhkan.Fai dan Meli sangat butuh kasih sayangku. Maka aku pun harus memberikannya pada mereka. Jika boleh berkata bijak, itulah alasanku yang sesungguhnya.Pagi ini aku duduk di teras rumah, di atas sebuah kursi rotan yang masih kokoh walau sudah berpuluh tahun kududuki. Kursi peninggalan orangtuaku, yang tak pernah bergeser posisinya sejak rumah ini masih berupa gubuk, hingga kini telah direnovasi menjadi rumah kekinian yang sangat layak huni. Di atas kursi inilah aku melihat Meli tengah menyiram bunga di halaman. Sesekali matanya melirik ke rumah Bu Mardiyah, berharap bisa menangkap sosok Dian pujaa
Kedatangan Meli membekukan suasana. Ia bak tamu tak diundang, yang tak diharapkan kehadirannya oleh Fai. Sementara, Meli masih berdiri di sana. Ia menatap lekat pada Dian, tak percaya dengan apa yang tengah dilihatnya. Cincin emas putih melingkar di jari manis Fai, Meli mengalihkan pandangannya pada itu. Ia pasti sudah mengerti apa yang telah terjadi antara Fai dan Dian.Dari sini aku menyaksikan sendiri perubahan raut wajah Meli. Ia kecewa, marah, dan ingin berontak. Genangan di sudut matanya mulai menetes. Namun, itu bukanlah tangisan kesedihan. Sesuatu pasti pernah terjadi antara Meli dengan Dian. "Inikah jawabanmu?" Meli bersuara, seperti meminta kepastian kepada lelaki yang kini telah resmi menjadi calon suami Fai.Dian tampak menahan kaget melihat kedatangan Meli, apalagi ketika mendapatkan pertanyaan itu, ia sama sekali tak berani mengangkat kepalanya dan terus menunduk. Dan Fai ... tak perlu kuceritakan sehancur apa perasaannya saat Meli merusak momen bahagia yang sudah lama
"Cukup!" Aku menghentikan pertengkaran mereka. "Tidakkah kalian merasa kasihan pada mata tua renta ini, setiap hari harus melihat pertengkaran kalian berdua?"Dua pasang mata yang selalu kutatap penuh kasih itu seketika tertuju ke arahku. Mereka baru menyadari keberadaanku. Seketika keduanya diam membisu. "Apa yang kalian ributkan tengah malam begini? Soal Dian? Dia bahkan mungkin sedang tidur saat ini, dan tak memikirkan satu pun dari kalian." "Maaf, Bu," ucap Fai. Suaranya lemah, ia menunduk dengan perasaan bersalah. Kemudian menghambur kepadaku, memelukku yang mulai merasa tak sanggup mengatur kedua anakku ini. "Padahal Fai sudah berjanji tidak akan ribut lagi dengan Meli, tapi malam ini Fai ingkar. Maafkan Fai yang tak bisa hanya diam saja saat Meli ingin merenggut kebahagiaan Fai," lanjutnya dengan isak tangis."Aku hanya ingin memberitahu Fai satu hal, Bu," kata Meli sambil memandang Fai ragu-ragu. "Tapi ...." Meli tak jadi bicara, ia malah berlari ke kamarnya dengan isak tangi
Kata-kata itulah yang ingin kuucapkan pada Fai. Namun, bibir ini kelu untuk mengungkapkan kebenaran tentang calon suaminya. Air mata masih berjatuhan di pipi Fai, atas kepergian Ibu. Rasanya, aku tak tega memberinya kesedihan yang baru. Jadi, kuurungkan niat ini dan menunggu waktu yang tepat di lain hari."Kenapa kau diam saja, Mel? tanya Fai seraya mengibaskan tangan di depan wajahku. Aku tersadar dari kegalauan."Kau pulanglah lebih dulu. Aku sedang tak ingin bicara denganmu!" titahku dengan nada ketus. Sengaja kupasang muka jutek, agar dia merasa tak nyaman di dekatku dan cepat-cepat pergi. Aku tak ingin melihat kesedihannya, meski aku pun tengah merasakan kesedihan yang sama."Tapi kenapa? Apa kau merasa tersinggung karena tadi aku bicara tentang membeli rumah baru untukmu?" Fai bertanya sambil menyeka air mata dengan ujung jilbabnya, membuatku ingin memeluk dan menenangkannya. Tapi, ah ... aku terlalu gengsi, karena di matanya aku hanyalah 'orang jahat' yang tak punya perasaan. "
🌸🌸🌸Halaman rumah penuh dengan karangan bunga belasungkawa dari rekan kerja Fai dan Dian. Terlihat jelas nama instansi tempat mereka berdua bekerja tertulis di sana. Fai pasti sibuk menerima tamu yang melayat seharian tadi, sebelum berangkat ke acara amal anak yatim piatu.Aku baru pulang sore ini, ketika jam tanganku menunjuk angka lima. Dan sekarang aku duduk di kursi rotan yang biasa dipakai Ibu. Seseorang tengah melihat-lihat karangan bunga itu, punggungnya membungkuk saat membaca tulisan yang ada di sana. Tak lama kemudian, ia menoleh dan tersenyum kepadaku, kemudian membuka pagar rumah dan menghampiriku ke teras."Kamu Meli, ya? Tadi Fai nitip kunci rumah," katanya seraya menyerahkan benda yang sedari tadi kucari-cari. Rupanya Fai menitipkannya pada Bu Mardiyah."Ah, ya. Makasih, Bu," balasku."Fai dan Dian sudah berangkat dari tadi sore. Kalau kamu mau, buka puasa di rumah saya aja yuk," ajaknya. "Terimakasih. Saya buka di sini saja."Wanita yang kuharapkan jadi ibu mertuak
"Keburukanku di masa lalu, tak kubawa ke masa sekarang. Aku sudah meninggalkannya jauh di sana, dan sejak saat itu aku terus memantaskan diri untuk Fai. Karena, sejak awal, dia lah satu-satunya tujuanku." Dian membalas sambil menatapku dengan tenang. "Bukankah, dulu kau yang pergi meninggalkanku? Karena lebih memilih karirmu ketimbang berusaha tetap di sisiku?"Aku menjauhkan tubuhku darinya. Kalimatnya yang terakhir itu sungguh menyesakkan dada, mengorek luka lama yang selama ini ingin kulupakan."Karena, kau selalu menyuruhku memakai jilbab dan berbaju panjang. Sementara, kau tahu aku seorang model yang dituntut untuk menunjukkan keindahan tubuhku di depan kamera. Kau hanya ingin mengubahku menjadi seperti Faihatun, bukan menerimaku apa adanya!" balasku.Dian membuang napas dan memejamkan mata. "Setidaknya, aku sudah memberimu kesempatan," ucapnya pelan. Kemudian pandangannya tertuju ke belakangku, ia sedikit terkejut namun segera ditahannya."Apa yang sedang kalian bicarakan?" Suar
“Kau masih menggeluti dunia modelling? Mel, sekarang kau kan sudah Sarjana Ekonomi. Gunakan ilmumu untuk mendapat pekerjaan yang sesuai. Dunia model itu riskan, berhentilah dari sana.”Fai memasukkan es bon-bon yang sudah jadi ke freezer kecil khusus membuat es. Dari dulu, dia memang tak setuju aku berkecimpung di dunia model. Katanya, auratku diumbar dengan imbalan uang dan dinikmati mata para lelaki, itu dosa.“Entahlah Fai, imanku belum bisa menjangkau sampai ke sana. Soal dosa atau pahala, aku serahkan sama Yang Di Atas,” kataku.“Lalu, koleksi jilbabmu itu untuk apa? Bukankah kau berniat untuk memakainya?” tanya Fai. Kali ini dia serius menatapku.“Eum … itu bekas pemotretan fashion muslimah!” jawabku cepat.“Tapi, aku belum pernah melihat satu pun fotomu yang mengenakan busana muslim? Malah, baru saja tadi aku melihatmu memakai jilbab.” Fai terlihat heran.Tentu saja kau tidak pernah melihatnya, Fai! Karena sebenarnya jilbab itu kubeli atas permintaan Dian yang ingin aku berpena
“Hatimu, apakah merasa cinta terhadap calon suamiku?” tanya Fai begitu datarnya, seolah sedang mempersiapkan diri untuk kecewa.“Sudah jelas, kan? Dari awal aku mengatakan bahwa dia lebih pantas bersanding denganku.”Aku memilih untuk tak menatap Fai, demi terhindar dari rasa sakit yang tersirat di wajahnya.“Kupikir kita berbeda,” gumam Fai seraya mengarahkan pandangan ke arah jendela kamar.“Kita memang berbeda, Fai. Karena kita tak sedarah. Selama hidup ini, hanya ada dua kesamaan yang kita miliki. Pertama, memiliki seorang Ibu yang luar biasa. Kedua, hati yang mencintai Dian,” ujarku.Kini, pandangannya beralih padaku. Ada kasih sayang berlimpah dalam sorot matanya itu. “Dan kau selalu ingin menguasai cinta keduanya. Baik cinta Ibu maupun Dian, kau selalu ingin dapat porsi yang lebih besar dariku,” balasnya.“Benar, Fai! Karena aku ingin lebih bahagia darimu. Aku selalu iri padamu. Kau berasal dari keluarga miskin, tapi banyak orang yang menyayangimu. Sementara aku … walaupun kelu