Beranda / Romansa / Anak dari Sang CEO / Bab 3. Antara amarah dan rahasia

Share

Bab 3. Antara amarah dan rahasia

Penulis: Lovely Pearly
last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-01 13:29:52

Aroma kopi hitam menguar lembut di ruangan itu, tetapi Revan hanya menatap kosong ke arah layar laptop di depannya. Deretan angka dan grafik laporan keuangan yang baru dikirim Niko terpampang jelas di sana, namun pikirannya melayang entah ke mana, jauh dari tumpukan data dan bisnis.

Ia bersandar di kursi, menarik napas panjang, lalu menunduk menatap sesuatu di tangannya, selembar foto lama. Pinggirannya mulai kusam, warnanya memudar. Di foto itu, tampak dirinya lima tahun lalu, tersenyum hangat, merangkul seorang gadis berambut panjang yang tersenyum lembut ke arah kamera.

Arra.

Nama itu bergema di kepalanya, berulang-ulang seperti gema masa lalu yang enggan padam.

Lima tahun.

Lima tahun ia mencari wanita itu. Lima tahun menghabiskan waktu, tenaga, bahkan uang, menelusuri jejak yang seolah sengaja dihapus. Dan kini, tanpa isyarat apa pun, wanita yang selama ini menghantui pikirannya berdiri di hadapannya seolah tak pernah terjadi apa pun di antara mereka.

Revan mengetukkan jarinya di meja, berusaha menenangkan gejolak yang berputar di dadanya. Namun semakin ia mencoba, semakin sesak rasanya. Marah. Lega. Bingung. Kecewa. Semuanya menumpuk, berbaur menjadi satu rasa yang tak bisa ia uraikan.

“Lima tahun aku mencarimu seperti orang gila dan ternyata kamu ada di kota ini,” gumamnya lirih, hampir tak terdengar.

Suara ketukan pelan di pintu memecah lamunannya.

“Masuk,” ucapnya datar, meski suaranya terdengar tegas.

Niko, manajer keuangan, masuk dengan langkah hati-hati sambil membawa map tebal di tangannya.

“Maaf, Pak Revan. Ini laporan tambahan dari divisi keuangan,” katanya sopan.

Revan menatap sekilas, lalu mengangguk singkat. “Letakkan saja di meja.”

“Baik, Pak.”

Baru saja Niko hendak berbalik, Revan menahan suaranya. “Tunggu.”

Niko menoleh cepat. “Ya, Pak?”

Revan menatapnya lurus, tenang namun dalam. “Arra sudah lama bekerja di sini?”

Niko tampak berpikir sejenak. “Sekitar dua tahun, Pak. Orangnya rajin, teliti juga. Walau agak tertutup, tapi semua orang di kantor suka sama dia.”

Revan mengangguk pelan, ekspresinya nyaris datar. “Baik. Terima kasih.”

Niko pamit keluar, meninggalkan Revan sendirian di ruangannya yang kembali hening.

Revan menatap keluar jendela. Dari ketinggian itu, pemandangan kota tampak hidup, sibuk, penuh cahaya. Tapi baginya, semuanya terasa hampa. Tangannya terkepal di atas meja.

Dua tahun. Berarti hanya tiga tahun setelah kepergiannya, Arra sudah memulai hidup baru. Senyum tipis, nyaris sinis, muncul di sudut bibirnya.

“Cepat sekali kau melupakanku, ya…”

Namun suara kecil di dalam dirinya berbisik pelan, mungkin tidak semudah itu. Mungkin ada alasan yang belum ia tahu.

***

Sementara itu, di lantai bawah, Arra duduk di meja kerjanya. Pandangannya kosong menatap layar komputer, jari-jarinya menari di atas keyboard tanpa benar-benar tahu apa yang sedang ia ketik.

Fokusnya buyar. Setiap kali ia memejamkan mata, bayangan itu datang lagi, wajah Revan, dengan tatapan tajam dan dingin yang menusuk. Tatapan yang sama sekali tidak ia kenal. Revan yang dulu lembut dan penuh tawa kini berubah menjadi sosok asing yang membuat dadanya sesak.

Arra menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Ia harus profesional.

Ini hanya pekerjaan, tidak lebih. Revan mungkin marah, mungkin kecewa, tapi semua itu bagian dari masa lalu yang seharusnya sudah ia kubur.

Sekarang, yang terpenting hanyalah Rafa. Pikiran itu membuatnya menoleh ke sisi monitor, tempat sebuah foto kecil terselip rapi di sana. Foto dirinya bersama anak laki-lakinya yang berusia lima tahun. Rafa tersenyum lebar, lesung pipinya tampak jelas. Lesung pipi yang sama persis seperti milik Revan.

Setiap kali Arra melihat senyum itu, hatinya terasa hangat sekaligus perih. Anak itu adalah cerminan dari pria yang dulu pernah membuatnya merasa dicintai dan sekaligus menjadi alasan mengapa ia harus kuat sekarang.

“Aku nggak boleh lengah,” bisiknya pelan, hampir tak terdengar. “Rafa nggak boleh tahu siapa ayahnya. Setidaknya untuk sekarang.”

***

Siang itu

Jam istirahat kerja baru saja dimulai. Namun, Arra masih duduk tegak di meja kerjanya, menatap layar komputer dengan penuh konsentrasi. Ia tengah memeriksa ulang daftar keuangan perusahaan, setelah manajer keuangan memberi tahu bahwa ada angka yang tidak seimbang. Dengan teliti, jari-jarinya menari di atas keyboard, memastikan tak ada satu pun kesalahan terlewat.

Tiba-tiba—

“Boo!”

Suara dari belakang membuat Arra tersentak kecil. Ia menoleh tajam.

“Dinda …,” ucapnya dengan nada setengah kesal. Ia sudah tidak terlalu terkejut lagi dengan kebiasaan temannya itu yang gemar mengagetkan orang.

Dinda hanya menyengir tanpa dosa, lalu menarik kursi dan duduk di sebelah Arra. “Serius amat, Bu Arra. Nanti kesurupan loh,” godanya sambil meneguk es kopi Caffino yang baru dibelinya dari kantin.

Arra menghela napas. “Pak Revan bilang ada selisih di laporan keuangan bulan lalu. Aku lagi cari tahu di mana letak minusnya.”

“Lho, kok bisa? Bukannya kemarin kata Pak Niko semuanya udah cocok?” tanya Dinda dengan kening berkerut.

“Mungkin karena Pak Revan minta data lama juga dicek. Soalnya kan, bos sebelum ini sempat main kotor,” bisik Arra pelan.

Dinda mengangguk pelan. “Iya juga. Mungkin Pak Revan mau beresin semua datanya.”

“Untung aja perusahaan ini nggak jadi bangkrut,” kata Arra sambil bersandar lelah. “Kalau itu sampai terjadi, aku nggak tahu harus cari kerja di mana lagi.”

Dinda menepuk bahunya pelan. “Kita masih bisa bernapas karena Pak Revan. Bayangin aja, dia rela ambil alih perusahaan yang hampir kolaps ini. Tapi yang aku heran, kenapa dia mau sih? Dia kan pewaris Alendra Corp, perusahaan raksasa. Harusnya dia fokus di sana, bukan di sini.”

Arra terdiam. Ia pun menyimpan pertanyaan yang sama. Seharusnya Revan sudah menjadi CEO di perusahaan besar miliknya sendiri. Tapi entah mengapa, ia justru memilih memimpin perusahaan kecil ini. Ada apa sebenarnya dengan Revan lima tahun lalu?

Sebelum pikirannya sempat berkelana lebih jauh, suara langkah berat terdengar dari arah pintu. Semua kepala serentak menoleh. Niko, sang manajer, langsung berdiri tegak begitu melihat siapa yang datang, Revan.

“Pak Revan!” serunya cepat, lalu bergegas menyambut. Beberapa karyawan ikut berdiri. Arra ikut menunduk sopan, berusaha tetap profesional meski dadanya mendadak sesak.

Langkah Revan terhenti di depan meja Arra. Tatapannya tajam, dingin, menusuk. Arra menegakkan punggungnya, tapi jantungnya berdegup tak karuan.

“Maaf, Pak,” sapa Niko hati-hati. “Ada yang bisa kami bantu?”

Revan menoleh padanya singkat. “Apa saya perlu izin darimu untuk memeriksa karyawan saya sendiri?” Nada suaranya tajam, membuat suasana ruangan mendadak kaku.

“Tidak, Pak,” jawab Niko cepat.

Tatapan Revan kembali pada Arra. “Seorang karyawan seharusnya tidak menundukkan kepala saat berhadapan dengan atasannya,” ucapnya sinis.

Menyadari sindiran itu ditujukan padanya, Arra mengangkat wajah perlahan. Ia menatap Revan dengan sorot tegas, berusaha menyembunyikan kegugupan yang mulai merayapi dadanya.

“Bisa kita bicara sebentar?” tanya Revan datar.

“Kalau boleh tahu, mengenai apa, Pak?” Arra berusaha menjaga nada suaranya tetap profesional.

“Tidak di sini.”

Saat hendak melangkah, pandangan Revan tanpa sengaja tertumbuk pada bingkai kecil di sisi monitor Arra. Di dalamnya, ada foto Arra bersama seorang anak laki-laki. Senyum bocah itu dan matanya. Begitu mirip dirinya.

Arra cepat menyadari arah pandang itu. Dengan gerakan cepat ia menurunkan bingkai foto, meletakkannya di bawah meja. Tatapannya kini beradu dengan Revan, dingin tapi tegas.

“Silakan, Pak. Kita bisa bicara di luar,” ucapnya mantap.

Sebelum beranjak, Arra sempat membisikkan sesuatu pada Dinda. Dinda mengangguk dan memberi isyarat jempol, memberi semangat diam-diam.

Revan menatap pemandangan itu dengan kecurigaan. Ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan Arra. Sesuatu yang harus ia cari tahu nanti.

Namun sebelum keduanya sempat keluar, suara dering ponsel memecah keheningan. Arra menatap layar lalu mengangkat panggilannya dan wajahnya seketika pucat.

“Maaf, Pak Revan,” ucapnya cepat, suaranya bergetar. “Kita lanjutkan pembicaraan lain kali.”

Ia menoleh pada Niko. “Pak Niko, saya izin keluar. Rafa baru saja dapat masalah di sekolah.” Matanya berkaca-kaca. Ia ingin sekali segera berlari keluar dari ruangan itu.

Niko, yang tampak panik, mendekat dan menepuk bahunya lembut. “Ya Tuhan, gimana, Ra?”

Revan memperhatikan interaksi itu. Rahangnya menegang, matanya menatap tajam, cemburu dan marah bercampur jadi satu.

Dinda ikut berdiri. “Keponakan aku kenapa, Ra?” tanyanya cepat.

“Rafa dipukuli sama temannya. Tadi guru TK-nya nelpon aku,” jawab Arra, suaranya bergetar.

“Aku antar, ayo!” ujar Niko spontan, lalu menggandeng tangan Arra keluar tanpa menoleh lagi.

Revan hanya diam, tubuhnya kaku. Tangannya mengepal kuat di sisi tubuh.

“Berani sekali mereka meninggalkan ruangan tanpa izin saya,” desisnya pelan tapi tajam.

Ia menatap Dinda yang langsung menunduk ketakutan.

“Sampaikan pada mereka berdua,” katanya dingin, “setelah kembali, suruh mereka menghadap saya.”

Revan berbalik dan melangkah keluar, meninggalkan ruangan yang mendadak senyap. Aura dingin dan amarahnya masih tertinggal di udara.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Anak dari Sang CEO   Bab 6. Di Ambang Amarah Revan

    Suasana di dalam sedan hitam milik Niko terasa hening, meski suara mesin yang lembut berusaha menembus kemacetan Jakarta siang itu. Di kursi penumpang depan, Arra duduk dengan gelisah. Jemarinya saling meremas di atas pangkuan, sementara pandangannya beberapa kali terarah ke kaca spion tengah, memastikan putra kecilnya baik-baik saja di kursi belakang.Rafa tampak tenang, meski plester menempel di sudut bibirnya. Ia memeluk tas sekolahnya erat-erat, memandangi jalanan dengan tatapan polos yang justru membuat hati Arra semakin perih.“Kamu tenang saja, Ra. Pak Revan memang tegas, tapi dia pasti mengerti ini keadaan darurat,” ucap Niko akhirnya, memecah keheningan. Nadanya lembut, meski matanya tetap fokus ke jalan.Arra tersenyum tipis—tipis sekali. “Aku harap begitu, Kak. Tadi Dinda bilang Pak Revan marah karena kita pergi begitu saja tanpa izin. Aku cuma takut Kak Niko jadi kena imbasnya cuma gara-gara nganterin aku ke sekolah Rafa.”“Sudahlah, jangan pikirkan aku. Yang penting Rafa

  • Anak dari Sang CEO   Bab 5. Luka

    "Maaf, Mami .... Rafa udah bikin Mami sedih." Suara kecil itu terdengar bergetar. Mata Rafa berkaca-kaca, seolah menahan tangis yang siap pecah kapan saja. Ia merasa bersalah karena telah membuat Maminya khawatir, bahkan sampai meninggalkan pekerjaan hanya demi dirinya. Arra menggeleng pelan, berusaha tersenyum di tengah perih yang mengiris dada. Ia membelai rambut putranya yang acak-acakan, menatap wajah kecil yang kini dipenuhi luka. "Nggak apa-apa, sayang. Udah ya, jangan nangis. Nanti luka kamu makin sakit," ucapnya lembut, meski suaranya bergetar. Hatinya seperti diremas saat melihat pipi Rafa yang membiru dan sudut bibirnya berdarah. "Sekarang Rafa udah tenang?" Arra menatap mata putranya penuh kasih. "Bisa cerita sama Mami, sayang?" Rafa mengangguk pelan, tapi suaranya kecil sekali saat ia mulai bicara. "Tadi Jefri ngatain Mami jelek. Terus dia bilang, Rafa anak yang nggak diinginkan, makanya Papi ninggalin Mami. Mereka juga bilang Rafa nggak punya Papi kayak mereka

  • Anak dari Sang CEO   Bab 4. Mencari tau kebenaran

    Dengan wajah tegang dan amarah yang nyaris meledak, Revan menjatuhkan diri ke kursinya. Dasi yang melilit lehernya terasa mencekik, membuatnya segera mengendurkan simpul itu agar bisa bernapas lebih lega. Ia masih mencoba menenangkan diri setelah kejadian tadi. Kejadian yang membuatnya benar-benar kehilangan kendali. Tanpa pikir panjang, Revan meraih telepon di meja kerjanya. “Kevin! Segera ke ruangan saya,” ucapnya datar, dingin, tanpa nada emosi yang tersisa. Begitu sambungan terputus, Revan menyandarkan tubuhnya di kursi dan memejamkan mata. Ia tidak salah lihat tadi. Foto itu, seorang bocah laki-laki dengan senyum lebar, dan di sampingnya adalah Arra. Pertanyaan demi pertanyaan berputar liar di kepalanya. Apakah Arra sudah menikah dan memiliki anak? Dan tadi, dia menyebut nama bocah itu Rafa? Apakah itu anaknya? Jika benar begitu, berarti ucapan ibunya selama ini, bahwa Arra berselingkuh dan meninggalkannya demi pria lain adalah kenyataan? Tidak. Revan tidak bisa begitu

  • Anak dari Sang CEO   Bab 3. Antara amarah dan rahasia

    Aroma kopi hitam menguar lembut di ruangan itu, tetapi Revan hanya menatap kosong ke arah layar laptop di depannya. Deretan angka dan grafik laporan keuangan yang baru dikirim Niko terpampang jelas di sana, namun pikirannya melayang entah ke mana, jauh dari tumpukan data dan bisnis. Ia bersandar di kursi, menarik napas panjang, lalu menunduk menatap sesuatu di tangannya, selembar foto lama. Pinggirannya mulai kusam, warnanya memudar. Di foto itu, tampak dirinya lima tahun lalu, tersenyum hangat, merangkul seorang gadis berambut panjang yang tersenyum lembut ke arah kamera. Arra. Nama itu bergema di kepalanya, berulang-ulang seperti gema masa lalu yang enggan padam. Lima tahun. Lima tahun ia mencari wanita itu. Lima tahun menghabiskan waktu, tenaga, bahkan uang, menelusuri jejak yang seolah sengaja dihapus. Dan kini, tanpa isyarat apa pun, wanita yang selama ini menghantui pikirannya berdiri di hadapannya seolah tak pernah terjadi apa pun di antara mereka. Revan mengetukkan

  • Anak dari Sang CEO   Bab 2. Pertemuan yang tak terduga

    Pagi itu, Arra melangkah tergesa memasuki gedung kantor. Udara dingin dari pendingin ruangan langsung menyambutnya, berpadu dengan suasana tegang yang terasa di setiap sudut. Sejumlah karyawan terlihat sudah berbaris rapi di lobi, seolah tengah bersiap menyambut bos baru mereka. Pemilik perusahaan yang baru saja melakukan akuisisi. Dengan langkah cepat, Arra menuju meja kerjanya yang berada di deretan tengah ruangan. Di sana, Dinda, sahabat sekaligus rekan sekantornya, sedang sibuk merapikan make up tipis di depan cermin kecil. Arra spontan teringat bahwa ia sendiri hanya sempat memoles bedak tipis dan mengikat rambutnya dengan gaya kuncir kuda. Ia pun buru-buru mengurai rambutnya, mengoleskan sedikit pelembap di bibir, lalu merapikan kerah blusnya. “Arra, sumpah ya … aku deg-degan banget! Kira-kira bos barunya galak nggak, sih?” keluh Dinda, menghampiri sambil menatap gugup ke arah pintu utama. “Hsst, kamu jangan ngomong gitu, nanti kedengeran,” bisik Arra sambil menahan seny

  • Anak dari Sang CEO   Bab 1. Rindu yang tak pernah padam

    Hujan kembali turun malam itu. Rintiknya menari di atas genting, menciptakan irama lembut yang bagi sebagian orang terdengar menenangkan, namun tidak bagi Arra. Bagi wanita itu, hujan selalu menjadi pengingat tentang sesuatu yang ingin ia lupakan dan tentang seseorang yang tak pernah benar-benar bisa ia lepaskan. Dari balik jendela kecil rumah kontrakan sederhananya, Arra memandangi jalanan yang basah. Cahaya lampu jalan berpendar lembut, memantul di permukaan genangan air yang menutup tanah. Aroma tanah basah berpadu dengan wangi kayu lembap, memenuhi ruangan mungil berukuran tiga kali empat meter itu. “Mami, mobil-mobilannya tenggelam!” Suara kecil itu memecah lamunannya. Arra menoleh. Di ruang tengah, seorang bocah laki-laki berusia lima tahun tengah berjongkok, menatap serius ke arah ember berisi beberapa mobil mainan yang terapung di dalamnya. Wajahnya bulat, kulitnya cerah, dan sepasang mata tajam itu begitu mirip dengan milik seseorang yang dulu pernah ia cintai sepenuh ha

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status