MasukDengan wajah tegang dan amarah yang nyaris meledak, Revan menjatuhkan diri ke kursinya. Dasi yang melilit lehernya terasa mencekik, membuatnya segera mengendurkan simpul itu agar bisa bernapas lebih lega. Ia masih mencoba menenangkan diri setelah kejadian tadi. Kejadian yang membuatnya benar-benar kehilangan kendali.
Tanpa pikir panjang, Revan meraih telepon di meja kerjanya. “Kevin! Segera ke ruangan saya,” ucapnya datar, dingin, tanpa nada emosi yang tersisa. Begitu sambungan terputus, Revan menyandarkan tubuhnya di kursi dan memejamkan mata. Ia tidak salah lihat tadi. Foto itu, seorang bocah laki-laki dengan senyum lebar, dan di sampingnya adalah Arra. Pertanyaan demi pertanyaan berputar liar di kepalanya. Apakah Arra sudah menikah dan memiliki anak? Dan tadi, dia menyebut nama bocah itu Rafa? Apakah itu anaknya? Jika benar begitu, berarti ucapan ibunya selama ini, bahwa Arra berselingkuh dan meninggalkannya demi pria lain adalah kenyataan? Tidak. Revan tidak bisa begitu saja menerima semua itu. Ia harus mencari tahu kebenarannya sendiri. Karena jika anak itu benar-benar dari pria lain, mengapa mata dan senyum bocah itu begitu mirip dengan dirinya? Pintu ruangan terbuka. “Apa yang bisa saya bantu, Pak Revan?” tanya Kevin, asistennya, dengan nada hati-hati. “Kamu selidiki tentang Arra. Semua hal yang bisa kamu temukan dalam lima tahun terakhir. Apakah dia sudah menikah, dengan siapa, di mana dia tinggal, semuanya. Secepatnya!” perintah Revan tegas. “Dan satu lagi, ambilkan bingkai foto di meja kerjanya. Saya ingin memastikan sesuatu.” “Baik, Pak. Ada lagi?” tanya Kevin, memastikan. Revan menatap kosong sejenak sebelum pandangannya beralih tajam ke arah Kevin. “Kevin, kamu sudah mengikuti saya berapa lama?” “Lima belas tahun, Pak. Memangnya kenapa?” Kevin mengerutkan dahi, bingung. “Menurutmu .…” Revan mencondongkan tubuh sedikit, suaranya lebih pelan tapi menusuk, “Apakah Arra tipe perempuan yang bisa berselingkuh di belakang saya? Kamu tahu semua perjalanan hubungan kami. Kamu selalu ada di sana.” Wajah Kevin menegang. Ia tertawa kecil, canggung, sambil menggaruk kepala yang tak gatal. Ia tahu pertanyaan itu bukan sekadar basa-basi. “Kalau menurut saya, Bu Arra bukan tipe perempuan seperti itu, Pak,” jawab Kevin hati-hati namun tegas. “Beliau sangat menjunjung kesetiaan. Pernah sekali saya tidak sengaja melihat Bu Arra didekati beberapa laki-laki di kampus, tapi dia tetap menjaga jarak dan berkata kalau dia sudah punya kekasih dan katanya, kekasihnya jauh lebih tampan dari mereka semua.” Revan tersenyum miring, entah karena bangga atau karena perasaan lain yang sulit dijelaskan. Tatapannya kemudian mengeras saat menatap Kevin. “Kapan dia bilang begitu?” tanyanya datar, pura-pura tak tahu. “Itu waktu Bapak menyuruh saya menjemput Bu Arra di kampus,” jawab Kevin cepat. “Saya tidak sengaja mendengar percakapan itu. Bapak lupa? Saya kan pernah cerita ke Bapak.” Revan menggeleng pelan. “Saya tidak lupa. Hanya mengetes kamu saja.” Ia berdiri dari kursinya, berjalan ke arah jendela besar yang menampilkan pemandangan ibu kota di bawah sana. “Jangan lupa, selidiki semuanya,” ujarnya kemudian, suaranya tenang tapi mengandung tekanan. “Termasuk alasan kenapa Arra memilih meninggalkan saya. Padahal dia pernah berjanji tidak akan menyerah pada hubungan kami. Pasti ada seseorang yang membuatnya mengambil keputusan itu.” Kevin ragu sejenak sebelum memberanikan diri angkat bicara. “Saya boleh mengatakan sesuatu, Pak?” “Katakan.” “Menurut saya, mungkin semua ini ada kaitannya dengan Nyonya Besar. Beliau kan—” “Saya memang mencurigainya,” potong Revan pelan namun tajam. “Dari dulu Mommy memang tidak pernah menyukai Arra. Dia selalu berusaha memisahkan kami. Tapi … entah kenapa, saya merasa bukan hanya karena Mommy. Ada alasan lain yang membuat Arra menyerah. Dan tugas kamu, selidiki semuanya sampai tuntas. Paham?” “Paham, Pak.” Kevin menunduk hormat, lalu berpamitan keluar dari ruangan. Begitu pintu tertutup, Revan terdiam lama. Tangannya refleks mengambil sebatang permen dari dalam laci. Permen yang sudah lama tidak disentuhnya. Ia membuka bungkusnya perlahan, lalu meletakkan permen itu di lidah. Seketika rasa manis menyebar, membangkitkan memori lama. “Nih, permen buat kamu.” “Saya nggak suka permen.” “Coba dulu. Manis, bisa ngilangin gelisah. Cocok buat orang yang lagi banyak pikiran kayak kamu. Daripada ngerokok, mending makan permen. Sehat, kan?” “Makasih. Nama kamu siapa?” “Arra Prameswari. Jurusan Akuntansi. Kalau kamu?” “Revan. Manajemen Bisnis.” Revan memejamkan mata. Tanpa sadar, setetes air mata mengalir di pipinya. Dada terasa sesak, seolah kenangan itu baru saja terjadi. Di dalam hati, ia berjanji. Kali ini, ia akan membawa Arra kembali ke sisinya. Apa pun yang harus ia hadapi, bahkan jika seluruh dunia menentangnya. Ia tidak akan kehilangan Arra untuk kedua kalinya.Suasana di dalam sedan hitam milik Niko terasa hening, meski suara mesin yang lembut berusaha menembus kemacetan Jakarta siang itu. Di kursi penumpang depan, Arra duduk dengan gelisah. Jemarinya saling meremas di atas pangkuan, sementara pandangannya beberapa kali terarah ke kaca spion tengah, memastikan putra kecilnya baik-baik saja di kursi belakang.Rafa tampak tenang, meski plester menempel di sudut bibirnya. Ia memeluk tas sekolahnya erat-erat, memandangi jalanan dengan tatapan polos yang justru membuat hati Arra semakin perih.“Kamu tenang saja, Ra. Pak Revan memang tegas, tapi dia pasti mengerti ini keadaan darurat,” ucap Niko akhirnya, memecah keheningan. Nadanya lembut, meski matanya tetap fokus ke jalan.Arra tersenyum tipis—tipis sekali. “Aku harap begitu, Kak. Tadi Dinda bilang Pak Revan marah karena kita pergi begitu saja tanpa izin. Aku cuma takut Kak Niko jadi kena imbasnya cuma gara-gara nganterin aku ke sekolah Rafa.”“Sudahlah, jangan pikirkan aku. Yang penting Rafa
"Maaf, Mami .... Rafa udah bikin Mami sedih." Suara kecil itu terdengar bergetar. Mata Rafa berkaca-kaca, seolah menahan tangis yang siap pecah kapan saja. Ia merasa bersalah karena telah membuat Maminya khawatir, bahkan sampai meninggalkan pekerjaan hanya demi dirinya. Arra menggeleng pelan, berusaha tersenyum di tengah perih yang mengiris dada. Ia membelai rambut putranya yang acak-acakan, menatap wajah kecil yang kini dipenuhi luka. "Nggak apa-apa, sayang. Udah ya, jangan nangis. Nanti luka kamu makin sakit," ucapnya lembut, meski suaranya bergetar. Hatinya seperti diremas saat melihat pipi Rafa yang membiru dan sudut bibirnya berdarah. "Sekarang Rafa udah tenang?" Arra menatap mata putranya penuh kasih. "Bisa cerita sama Mami, sayang?" Rafa mengangguk pelan, tapi suaranya kecil sekali saat ia mulai bicara. "Tadi Jefri ngatain Mami jelek. Terus dia bilang, Rafa anak yang nggak diinginkan, makanya Papi ninggalin Mami. Mereka juga bilang Rafa nggak punya Papi kayak mereka
Dengan wajah tegang dan amarah yang nyaris meledak, Revan menjatuhkan diri ke kursinya. Dasi yang melilit lehernya terasa mencekik, membuatnya segera mengendurkan simpul itu agar bisa bernapas lebih lega. Ia masih mencoba menenangkan diri setelah kejadian tadi. Kejadian yang membuatnya benar-benar kehilangan kendali. Tanpa pikir panjang, Revan meraih telepon di meja kerjanya. “Kevin! Segera ke ruangan saya,” ucapnya datar, dingin, tanpa nada emosi yang tersisa. Begitu sambungan terputus, Revan menyandarkan tubuhnya di kursi dan memejamkan mata. Ia tidak salah lihat tadi. Foto itu, seorang bocah laki-laki dengan senyum lebar, dan di sampingnya adalah Arra. Pertanyaan demi pertanyaan berputar liar di kepalanya. Apakah Arra sudah menikah dan memiliki anak? Dan tadi, dia menyebut nama bocah itu Rafa? Apakah itu anaknya? Jika benar begitu, berarti ucapan ibunya selama ini, bahwa Arra berselingkuh dan meninggalkannya demi pria lain adalah kenyataan? Tidak. Revan tidak bisa begitu
Aroma kopi hitam menguar lembut di ruangan itu, tetapi Revan hanya menatap kosong ke arah layar laptop di depannya. Deretan angka dan grafik laporan keuangan yang baru dikirim Niko terpampang jelas di sana, namun pikirannya melayang entah ke mana, jauh dari tumpukan data dan bisnis. Ia bersandar di kursi, menarik napas panjang, lalu menunduk menatap sesuatu di tangannya, selembar foto lama. Pinggirannya mulai kusam, warnanya memudar. Di foto itu, tampak dirinya lima tahun lalu, tersenyum hangat, merangkul seorang gadis berambut panjang yang tersenyum lembut ke arah kamera. Arra. Nama itu bergema di kepalanya, berulang-ulang seperti gema masa lalu yang enggan padam. Lima tahun. Lima tahun ia mencari wanita itu. Lima tahun menghabiskan waktu, tenaga, bahkan uang, menelusuri jejak yang seolah sengaja dihapus. Dan kini, tanpa isyarat apa pun, wanita yang selama ini menghantui pikirannya berdiri di hadapannya seolah tak pernah terjadi apa pun di antara mereka. Revan mengetukkan
Pagi itu, Arra melangkah tergesa memasuki gedung kantor. Udara dingin dari pendingin ruangan langsung menyambutnya, berpadu dengan suasana tegang yang terasa di setiap sudut. Sejumlah karyawan terlihat sudah berbaris rapi di lobi, seolah tengah bersiap menyambut bos baru mereka. Pemilik perusahaan yang baru saja melakukan akuisisi. Dengan langkah cepat, Arra menuju meja kerjanya yang berada di deretan tengah ruangan. Di sana, Dinda, sahabat sekaligus rekan sekantornya, sedang sibuk merapikan make up tipis di depan cermin kecil. Arra spontan teringat bahwa ia sendiri hanya sempat memoles bedak tipis dan mengikat rambutnya dengan gaya kuncir kuda. Ia pun buru-buru mengurai rambutnya, mengoleskan sedikit pelembap di bibir, lalu merapikan kerah blusnya. “Arra, sumpah ya … aku deg-degan banget! Kira-kira bos barunya galak nggak, sih?” keluh Dinda, menghampiri sambil menatap gugup ke arah pintu utama. “Hsst, kamu jangan ngomong gitu, nanti kedengeran,” bisik Arra sambil menahan seny
Hujan kembali turun malam itu. Rintiknya menari di atas genting, menciptakan irama lembut yang bagi sebagian orang terdengar menenangkan, namun tidak bagi Arra. Bagi wanita itu, hujan selalu menjadi pengingat tentang sesuatu yang ingin ia lupakan dan tentang seseorang yang tak pernah benar-benar bisa ia lepaskan. Dari balik jendela kecil rumah kontrakan sederhananya, Arra memandangi jalanan yang basah. Cahaya lampu jalan berpendar lembut, memantul di permukaan genangan air yang menutup tanah. Aroma tanah basah berpadu dengan wangi kayu lembap, memenuhi ruangan mungil berukuran tiga kali empat meter itu. “Mami, mobil-mobilannya tenggelam!” Suara kecil itu memecah lamunannya. Arra menoleh. Di ruang tengah, seorang bocah laki-laki berusia lima tahun tengah berjongkok, menatap serius ke arah ember berisi beberapa mobil mainan yang terapung di dalamnya. Wajahnya bulat, kulitnya cerah, dan sepasang mata tajam itu begitu mirip dengan milik seseorang yang dulu pernah ia cintai sepenuh ha







