LOGIN"Maaf, Mami .... Rafa udah bikin Mami sedih."
Suara kecil itu terdengar bergetar. Mata Rafa berkaca-kaca, seolah menahan tangis yang siap pecah kapan saja. Ia merasa bersalah karena telah membuat Maminya khawatir, bahkan sampai meninggalkan pekerjaan hanya demi dirinya. Arra menggeleng pelan, berusaha tersenyum di tengah perih yang mengiris dada. Ia membelai rambut putranya yang acak-acakan, menatap wajah kecil yang kini dipenuhi luka. "Nggak apa-apa, sayang. Udah ya, jangan nangis. Nanti luka kamu makin sakit," ucapnya lembut, meski suaranya bergetar. Hatinya seperti diremas saat melihat pipi Rafa yang membiru dan sudut bibirnya berdarah. "Sekarang Rafa udah tenang?" Arra menatap mata putranya penuh kasih. "Bisa cerita sama Mami, sayang?" Rafa mengangguk pelan, tapi suaranya kecil sekali saat ia mulai bicara. "Tadi Jefri ngatain Mami jelek. Terus dia bilang, Rafa anak yang nggak diinginkan, makanya Papi ninggalin Mami. Mereka juga bilang Rafa nggak punya Papi kayak mereka. Rafa marah, terus mukul Jefri sekali. Tapi dia balasnya berkali-kali ... bahkan manggil temennya buat mukulin Rafa." Setiap kata yang keluar dari bibir kecil itu menusuk hati Arra. "Maafin Mami ya, sayang ... gara-gara Mami, kamu jadi-" "Mami jangan minta maaf!" potong Rafa cepat-cepat sambil menggeleng kuat. "Mami nggak salah kok. Yang salah itu mereka. Lagipula, punya Mami aja udah cukup buat Rafa. Mami tuh udah kayak Papi buat Rafa." Arra tertegun. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya menetes juga. Ia tahu Rafa terlalu kecil untuk memahami segalanya, tapi kata-kata polos itu menghantam hatinya dalam-dalam. Ia menunduk, menyembunyikan tangis yang nyaris pecah. Betapa bersalahnya ia telah memisahkan Rafa dari Revan-ayah kandungnya. Namun semua itu ia lakukan demi kebaikan mereka. Demi melindungi Rafa. Demi tidak lagi menyeret Revan ke dalam luka yang dulu mereka bagi bersama. "Dengerin Mami ya, sayang," bisik Arra pelan, menatap mata anaknya yang jernih. "Kalau mereka bilang kamu anak yang nggak diinginkan, mereka salah besar. Karena Mami sangat menanti kehadiran kamu ... mungkin Papi kamu juga." Kalimat terakhir itu ia ucapkan hampir tanpa suara, seolah takut kenyataan ikut terungkap di udara. "Beneran, Mi?" tanya Rafa dengan sedikit cahaya harapan di matanya. "Iya, sayang," jawab Arra tersenyum lembut. "Mami sayang banget sama Rafa. Jadi Mami mohon, jangan pernah mikir hal buruk lagi, ya? Apa pun yang Rafa mau, Mami bakal berusaha wujudin." Rafa langsung memeluk Arra erat, menyembunyikan wajahnya di lekuk leher wanita itu. Arra membalas pelukan itu dengan penuh kasih. Untuk sesaat, dunia seolah berhenti di antara mereka, hanya ada kehangatan, cinta, dan rasa saling membutuhkan. "Rafa cuma pengen Mami bahagia," ucapnya lirih. "Walaupun Rafa sedih nggak punya Papi kayak teman-teman, tapi Rafa udah cukup punya Mami di sini, nemenin Rafa." Arra tak sanggup lagi menahan air matanya. Ia menangis dalam pelukan putranya, tangis haru, campur sesal, tapi juga bahagia. Ia sadar, sekecil apa pun hidupnya kini, memiliki Rafa di sisinya adalah anugerah terbesar yang Tuhan berikan. "Om nggak diajak pelukan, nih?" suara berat tapi hangat memecah suasana. Niko, yang baru keluar dari ruang kepala sekolah, berdiri di ambang pintu sambil tersenyum kecil. Ia tampak sedikit terharu melihat kedekatan ibu dan anak itu. Arra buru-buru menyeka air matanya dan tersenyum. "Makasih ya, Kak Niko, udah bantu urus masalah Rafa. Maaf, jadi ngerepotin." Niko mengangkat tangannya santai. "Ah, nggak apa-apa. Masalah kecil kok. Lagi pula, aku udah anggap Rafa kayak keponakan sendiri. Gimana, boy, masih sakit?" Rafa menatap Niko, lalu berkata polos, "Sesuai saran Om Niko, kalau ada yang ngatain Mami, Rafa pukul aja!" Niko tertawa kecil. "Good boy! Ini baru laki-laki." Ia lalu menatap Arra, "Ayo, sini. Kasihan Mami kamu, keberatan tuh. Oiya, teman kamu yang tadi mukul dia di keluarin dari pihak sekolah. Jadi kamu gak perlu khawatir lagi." Rafa berpindah ke gendongan Niko tanpa ragu. Arra menganggukkan kepalanya mengerti dan sedikit lega karena anak yang sudah memukuli putranya terkena hukuman. "Kak Niko, jangan ajarin anakku kekerasan, ya. Masih kecil," tegur Arra lembut tapi tegas. Niko tersenyum geli. "Ayolah, Arra. Rafa itu laki-laki, harus bisa jaga diri. Tapi yang penting, ingat satu hal, Rafa." Ia menatap bocah itu serius. "Laki-laki sejati nggak boleh mukul perempuan. Karena perempuan harus dihormati. Kalau kamu pukul perempuan, itu sama aja kayak mukul Mami kamu sendiri. Paham?" Rafa mengernyit polos. "Tapi kalau perempuannya jahat gimana, Om?" Niko tersenyum, mengusap rambutnya. "Kalau gitu, cukup bikin dia sadar sama kesalahannya. Tapi jangan pernah main fisik. Itu baru namanya gentleman." Arra tersenyum melihat interaksi mereka. Dalam dua tahun bekerja bersama, ia baru benar-benar menyadari kalau Niko yang dulu ia kira kaku dan dingin, ternyata punya hati yang begitu hangat. "O iya," ujar Arra, tiba-tiba teringat, "tadi Dinda nelepon. Katanya kita dipanggil Pak Revan." Wajahnya langsung berubah cemas. Ia sadar tindakannya meninggalkan kantor begitu saja tadi bisa dianggap tidak profesional dan ia tak ingin Niko kena imbasnya. "Kalau begitu, ayo kita balik," jawab Niko tenang. "Tapi Rafa-" "Tenang aja," potong Niko. "Gurunya udah bilang Rafa boleh istirahat di rumah dulu. Kalau kamu khawatir, Rafa ikut aja ke kantor. Nanti kita titip di pos satpam, aman kok." Arra menatap putranya lembut. "Rafa, janji ya. Jangan nakal, jangan keluyuran. Duduk manis sama Pak Satpam sampai Mami selesai kerja. Bisa, kan sayang?" Ia berusaha tersenyum, meski di dalam hatinya ada kecemasan lain, takut Rafa bertemu dengan Revan, ayah kandungnya. Rafa mengangguk mantap. "Tenang aja, Mami. Rafa janji jadi anak penurut." Arra tersenyum lega dan mengecup kening putranya. "Baiklah. Ayo, kita pergi sekarang."Suasana di dalam sedan hitam milik Niko terasa hening, meski suara mesin yang lembut berusaha menembus kemacetan Jakarta siang itu. Di kursi penumpang depan, Arra duduk dengan gelisah. Jemarinya saling meremas di atas pangkuan, sementara pandangannya beberapa kali terarah ke kaca spion tengah, memastikan putra kecilnya baik-baik saja di kursi belakang.Rafa tampak tenang, meski plester menempel di sudut bibirnya. Ia memeluk tas sekolahnya erat-erat, memandangi jalanan dengan tatapan polos yang justru membuat hati Arra semakin perih.“Kamu tenang saja, Ra. Pak Revan memang tegas, tapi dia pasti mengerti ini keadaan darurat,” ucap Niko akhirnya, memecah keheningan. Nadanya lembut, meski matanya tetap fokus ke jalan.Arra tersenyum tipis—tipis sekali. “Aku harap begitu, Kak. Tadi Dinda bilang Pak Revan marah karena kita pergi begitu saja tanpa izin. Aku cuma takut Kak Niko jadi kena imbasnya cuma gara-gara nganterin aku ke sekolah Rafa.”“Sudahlah, jangan pikirkan aku. Yang penting Rafa
"Maaf, Mami .... Rafa udah bikin Mami sedih." Suara kecil itu terdengar bergetar. Mata Rafa berkaca-kaca, seolah menahan tangis yang siap pecah kapan saja. Ia merasa bersalah karena telah membuat Maminya khawatir, bahkan sampai meninggalkan pekerjaan hanya demi dirinya. Arra menggeleng pelan, berusaha tersenyum di tengah perih yang mengiris dada. Ia membelai rambut putranya yang acak-acakan, menatap wajah kecil yang kini dipenuhi luka. "Nggak apa-apa, sayang. Udah ya, jangan nangis. Nanti luka kamu makin sakit," ucapnya lembut, meski suaranya bergetar. Hatinya seperti diremas saat melihat pipi Rafa yang membiru dan sudut bibirnya berdarah. "Sekarang Rafa udah tenang?" Arra menatap mata putranya penuh kasih. "Bisa cerita sama Mami, sayang?" Rafa mengangguk pelan, tapi suaranya kecil sekali saat ia mulai bicara. "Tadi Jefri ngatain Mami jelek. Terus dia bilang, Rafa anak yang nggak diinginkan, makanya Papi ninggalin Mami. Mereka juga bilang Rafa nggak punya Papi kayak mereka
Dengan wajah tegang dan amarah yang nyaris meledak, Revan menjatuhkan diri ke kursinya. Dasi yang melilit lehernya terasa mencekik, membuatnya segera mengendurkan simpul itu agar bisa bernapas lebih lega. Ia masih mencoba menenangkan diri setelah kejadian tadi. Kejadian yang membuatnya benar-benar kehilangan kendali. Tanpa pikir panjang, Revan meraih telepon di meja kerjanya. “Kevin! Segera ke ruangan saya,” ucapnya datar, dingin, tanpa nada emosi yang tersisa. Begitu sambungan terputus, Revan menyandarkan tubuhnya di kursi dan memejamkan mata. Ia tidak salah lihat tadi. Foto itu, seorang bocah laki-laki dengan senyum lebar, dan di sampingnya adalah Arra. Pertanyaan demi pertanyaan berputar liar di kepalanya. Apakah Arra sudah menikah dan memiliki anak? Dan tadi, dia menyebut nama bocah itu Rafa? Apakah itu anaknya? Jika benar begitu, berarti ucapan ibunya selama ini, bahwa Arra berselingkuh dan meninggalkannya demi pria lain adalah kenyataan? Tidak. Revan tidak bisa begitu
Aroma kopi hitam menguar lembut di ruangan itu, tetapi Revan hanya menatap kosong ke arah layar laptop di depannya. Deretan angka dan grafik laporan keuangan yang baru dikirim Niko terpampang jelas di sana, namun pikirannya melayang entah ke mana, jauh dari tumpukan data dan bisnis. Ia bersandar di kursi, menarik napas panjang, lalu menunduk menatap sesuatu di tangannya, selembar foto lama. Pinggirannya mulai kusam, warnanya memudar. Di foto itu, tampak dirinya lima tahun lalu, tersenyum hangat, merangkul seorang gadis berambut panjang yang tersenyum lembut ke arah kamera. Arra. Nama itu bergema di kepalanya, berulang-ulang seperti gema masa lalu yang enggan padam. Lima tahun. Lima tahun ia mencari wanita itu. Lima tahun menghabiskan waktu, tenaga, bahkan uang, menelusuri jejak yang seolah sengaja dihapus. Dan kini, tanpa isyarat apa pun, wanita yang selama ini menghantui pikirannya berdiri di hadapannya seolah tak pernah terjadi apa pun di antara mereka. Revan mengetukkan
Pagi itu, Arra melangkah tergesa memasuki gedung kantor. Udara dingin dari pendingin ruangan langsung menyambutnya, berpadu dengan suasana tegang yang terasa di setiap sudut. Sejumlah karyawan terlihat sudah berbaris rapi di lobi, seolah tengah bersiap menyambut bos baru mereka. Pemilik perusahaan yang baru saja melakukan akuisisi. Dengan langkah cepat, Arra menuju meja kerjanya yang berada di deretan tengah ruangan. Di sana, Dinda, sahabat sekaligus rekan sekantornya, sedang sibuk merapikan make up tipis di depan cermin kecil. Arra spontan teringat bahwa ia sendiri hanya sempat memoles bedak tipis dan mengikat rambutnya dengan gaya kuncir kuda. Ia pun buru-buru mengurai rambutnya, mengoleskan sedikit pelembap di bibir, lalu merapikan kerah blusnya. “Arra, sumpah ya … aku deg-degan banget! Kira-kira bos barunya galak nggak, sih?” keluh Dinda, menghampiri sambil menatap gugup ke arah pintu utama. “Hsst, kamu jangan ngomong gitu, nanti kedengeran,” bisik Arra sambil menahan seny
Hujan kembali turun malam itu. Rintiknya menari di atas genting, menciptakan irama lembut yang bagi sebagian orang terdengar menenangkan, namun tidak bagi Arra. Bagi wanita itu, hujan selalu menjadi pengingat tentang sesuatu yang ingin ia lupakan dan tentang seseorang yang tak pernah benar-benar bisa ia lepaskan. Dari balik jendela kecil rumah kontrakan sederhananya, Arra memandangi jalanan yang basah. Cahaya lampu jalan berpendar lembut, memantul di permukaan genangan air yang menutup tanah. Aroma tanah basah berpadu dengan wangi kayu lembap, memenuhi ruangan mungil berukuran tiga kali empat meter itu. “Mami, mobil-mobilannya tenggelam!” Suara kecil itu memecah lamunannya. Arra menoleh. Di ruang tengah, seorang bocah laki-laki berusia lima tahun tengah berjongkok, menatap serius ke arah ember berisi beberapa mobil mainan yang terapung di dalamnya. Wajahnya bulat, kulitnya cerah, dan sepasang mata tajam itu begitu mirip dengan milik seseorang yang dulu pernah ia cintai sepenuh ha







