Share

Bab 02

"Kenapa nasibku jelek sekali. Aku sudah menunggu lebih dari 1 tahun untuk mendapatkan anak, di saat sudah dapat, anakku cacat dan buta," gumam Evan.

Ceklek.

Pintu ruang persalinan terbuka lagi, Evan menatap ke arah pintu itu dan melihat brankar keluar dari ruangan itu. Pria itu berdiri dan mendekat ke arah brankar yang berisi istrinya yang sedang berbaring dengan kedua mata tertutup.

"Ini anaknya, Tuan," ucap Suster menyodorkan bayi itu kepada Evan.

"Tidak, kamu saja yang menggendongnya," jawab Evan.

"Biarkan saja, Sus. Nanti di letakan di sebelah brankar Nyonya Whindy, di sana sudah ada ranjang khusus bayi," pinta Dokter.

"Baik, Dok," jawab Sister itu.

"Letakan di ruangan biasa saja. Jangan ruangan yang VVIP," pinta Evan.

Entah kenapa sekarang pria itu tidak mencintai dan menyayangi istrinya lagi. Apalagi keperdulian nya kepada sang istri, sudah memudar setelah bayi itu lahir.

"Baiklah," jawab Dokter itu.

Dokter itu sangat paham jika Evan tidak menerima bayi nya yang terlahir dengan cacat.

"Semoga saja Nyonya Whindy sadar menghadapi keluarga Avalon beserta suaminya. Semoga bayi itu selalu di limpahkan rezekinya, aamiin," batin Dokter yang bernama tag Dira.

Brankar di dorong ke arah ruangan yang kelas 3, atau ruangan yang paling murah di rumah sakit ini. Setelah sampai di ruang rawat, Suster itu langsung membaringkan bayi itu di ranjang khusus bayi di sebelah brankar Whindy.

"Apa istri saya masih lama sadar nya?" tanya Evan dengan wajah datar menatap Dokter Dira.

"Mungkin 10 menit lagi. Saya permisi, ayo, Sus," Dokter Dira menatap balik pria itu dengan tatapan datar juga.

Suster itu mengangguk lalu mereka keluar dari ruang rawat Whindy. Pria itu berjalan ke arah ranjang bayi dan menatap anaknya yang mungkin sedang tidur.

"Bagaimana aku bisa mengetahui bayi cacat ini tidur atau tidak. Dia saja tidak memiliki mata, astaga, reputasi ku bisa hancur, jika semua rekan kerja ku mengetahui jika aku memiliki anak yang cacat," Evan merasa sangat frustasi dan merasa takut jika reputasinya akan hancur.

Entah apa salah bayi malang itu. Dia masih sangat suci dan tidak berdosa, tapi keluarga dan Ayahnya tidak menerima kehadiran nya dan memilih reputasi nya dari pada kehadirannya di dunia ini.

"Aku tidak pernah berbuat dosa. Tapi kenapa aku di beri anak seperti itu," Evan merasa sangat marah.

Pria itu berjalan ke arah kursi yang terletak tidak jauh dari brankar istrinya. Dia mendudukkan tubuhnya lalu menunduk sembari memejamkan kedua matanya untuk menenangkan dirinya yang sedang di kuasai oleh amarah.

Whindy membuka matanya perlahan. Wanita itu melihat suaminya yang sedang menunduk sembari kedua tangannya meremas rambut.

"Mas..." panggil Whindy dengan suara pelan. Tapi masih bisa di dengar oleh suaminya.

Pria itu yang mendengar istrinya memanggil dirinya langsung menatap ke arahnya.

"Apa?" tanya Evan dengan wajah datar.

Deg!

Whindy sangat terkejut dengan jawaban suami nya dan raut wajahnya yang sangat berbeda dari biasanya.

"Mungkin Mas Evan kelelahan karena mengurus aku dan si bayi. Maka dari itu Mas Evan berbeda," batin Whindy positif thinking.

"Tidak ada, Mas. Jika Mas merasa lelah, Mas pulang saja lalu istirahat," pinta Whindy dengan suara pelan nya.

"Aku memang rencana ingin pulang. Kamu pinta Mama mu kemari saja, aku sangat lelah mengurus kamu, belum lagi aku ada beberapa meeting dengan rekan kerja ku yang sangat penting, jadi aku harus istirahat yang cukup untuk menunjukan presentasi ku kepada mereka," jelas Evan berdiri dari duduknya lalu mendekat ke arah brankar istrinya.

"Biasanya Mas mengutamakan aku dan anak kita waktu dia belum lahir. Tapi kenapa sekarang Mas mengutamakan pekerjaan?" tanya Whindy yang merasa heran dengan perubahan sifat suaminya kepada dirinya.

"Kamu jangan banyak bicara, Whindy. Jangan membantah suami, aku mengutamakan pekerjaan juga supaya mendapat uang banyak, kamu pikir biaya persalinan mu itu murah? Hah! Biayanya itu 35 juta, walaupun uang segitu kecil bagiku, tapi jika aku tidak bekerja ya lama-lama uang ku akan habis, pikir lah sampai ke situ," jelas Evan menatap tajam ke arah Whindy.

Wanita itu benar-benar sangat terkejut dengan apa yang suaminya jelaskan kepada dirinya. Ini pertama kalinya Evan berbicara dan menatap dirinya tajam seperti itu, nada bicaranya juga sangat ketus, yang membuat tidak enak di dengar oleh telinga wanita yang masih terbaring lemas di atas brankar itu.

"Ah sudahlah, berbicara dengan mu itu tidak ada gunanya. Ini ada uang 1 juta, untuk membeli makanan kamu dan Mama kamu," Evan meletakan uang 1 juta di atas nakas sebelah brankar Whindy.

Pria itu berjalan ke arah pintu lalu membuka pintunya dengan perlahan.

"Mas..." panggil Whindy lagi.

"Astaga. Ada apa? Whindy?" tanya Evan dengan wajah yang memerah karena merasa kesal.

"Mas tidak mencium anak kita terlebih dahulu?" tanya balik Whindy.

"Untuk apa aku mencium anak cacat itu," jawab Evan dengan nada ketus.

"Hah? Apa maksud Mas?" Whindy sangat heran dengan jawaban suaminya.

"Jangan pura-pura tidak mengetahuinya, Whindy. Lihat sendiri anak yang terlahir tidak memiliki dua mata itu, sudah cacat, buta pula," Evan menghina anaknya habis-habisan.

Hati Whindy rasanya di sayat-sayat oleh seribu silet yang sangat tajam. Benar-benar sangat menyakitkan, air mata wanita itu keluar karena merasa hatinya sangat sakit, mendengar suaminya secara terang-terangan menghina buah hati mereka.

Brakk!

Evan menutup pintu ruang rawat Whindy dengan kencang, sehingga membuat bayi itu terkejut lalu menangis.

"Owek... owek," tangis si bayi.

Whindy berusaha bergerak dan mengubah posisinya menjadi terduduk. Tapi sayangnya dia tidak bisa, karena tubuhnya yang masih sangat lemas.

"Ya Allah, aku harus bagaimana, tubuhku sangat lemas, aku tidak memiliki tenaga," ucap Whindy yang sesenggukan, karena sedang menangis akibat perkataan suaminya tadi.

Ceklek.

Pintu terbuka, Whindy menatap ke arah pintu dan melihat Suster datang membawa nampan. Wanita itu merasa lega karena ada orang yang datang ke ruangan nya di saat dia membutuhkan bantuan.

"Nyonya... ini makan siang nya. Harap di habiskan ya, supaya asi anda banyak," jelas Suster sembari meletakan nampan di atas nakas.

"Baik, Sus. Saya boleh minta tolong?" tanya Whindy menatap Suster itu.

"Tentu saja, Nyonya," jawab Suster itu dengan senyum ramahnya.

"Tolong ambilkan bayi saya, dan letakan di pangkuan saya. Satu lagi, ambilkan ponsel saya di sebelah uang itu," jelas Whindy.

"Baik, Nyonya," jawab Suster itu.

"Ah iya, Sus. Bantu saya duduk, atau di naikan sedikit brankar nya supaya saya tiduran sembari terduduk," pinta Whindy lagi.

"Baik," jawab Suster itu tersenyum kepada Whindy.

Suster itu mulai menaikan brankar sesuai kenyamanan Whindy, lalu Suster mengambil ponsel Whindy terlebih dahulu, setelah itu mengambil bayi nya yang masih menangis.

"Langsung di susui saja, Nyonya. Sepertinya dia sangat lapar," pinta Suster yang menatap sendu ke arah bayi itu.

"Iya, Sus," jawab Whindy membuka dua kancing pakaian pasien nya.

Wanita itu mengerti jika anaknya menangis bukan karena lapar saja. Tapi karena terkejut mendengarkan pintu yang di tutup kencang oleh suaminya tadi.

"Kamu sangat tampan. Semoga saja kamu menjadi anak yang sangat sukses suatu saat nanti," batin Suster itu.

Suster itu merasa sangat sedih dengan nasib bayi itu yang di jauhi keluarga dan Evan. Karena Suster itu yang menggendong bayi dan berkata kepada Evan untuk menggendongnya, tapi justru pria itu menolak dengan wajah datar yang mengartikan, jika pria itu tidak menerima bayi ini.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status