Share

Anakku Sangat Istimewa
Anakku Sangat Istimewa
Author: Ranisipenulis

Bab 01

"Owek... owek... owek," tangis bayi dari dalam ruangan bersalin.

Keluarga Avalon sangat bahagia mendengarkan tangisan bayi tersebut. Terutama Evan, dia sangat bahagia karena jagoan nya sudah lahir ke dunia.

"Selamat ya, Sayang. Sekarang kamu sudah menjadi seorang Ayah," ucap wanita tua berusia 52 tahun yang bernama Hilda Avalon.

Hilda adalah Ibu kandungnya Evan Avalon.

"Iya, Mom. Astaga, aku merasa bahagia, akhirnya jagoan ku lahir juga ke dunia ini," jawab Evan yang merasa sangat-sangat bahagia.

"Bukan hanya kamu saja yang merasa sangat bahagia, Evan. Daddy juga merasa sangat bahagia, Daddy akan membuat pesta yang sangat meriah untuk cucu pertama Daddy, dia juga akan mendapatkan warisan dari keluarga Avalon," jelas Darwin.

Pria tua yang bernama Darwin Avalon adalah suaminya Hilda Avalon, dan juga Ayah kandung Evan. Dia sudah berusia 57 tahun.

"Benarkah? Terima kasih, Daddy," Evan mendekat ke arah Daddy nya lalu memeluk nya dengan erat.

"Sama-sama, Sayang," jawab Darwin membalas pelukan anak sulungnya itu.

"Akhirnya aku mempunyai keponakan. Pasti dia sangat tampan dan menggemaskan," ucap gadis yang berusia 20 tahun itu.

"Tentu saja, Bianca. Dia akan menggemaskan," lanjut Hilda tersenyum kepada gadis yang bernama Bianca itu.

Bianca adalah anak bungsu Darwin dan Hilda. Evan dan Bianca adalah saudara kandung, mereka dua bersaudara.

Ceklek.

Pintu ruang bersalin terbuka, mereka semua melihat ke arah pintu tersebut. Dokter wanita keluar sembari menggendong bayi dengan bedong berwarna biru muda, keluarga Avalon langsung berlari mendekat ke arah Dokter tersebut.

"Selamat, Tuan Evan beserta keluarga, bayinya laki-laki. Tapi..." Dokter itu berhenti berbicara.

"Kenapa, Dok? Tapi apa? Jangan setengah-setengah jika berbicara," ucap Hilda dengan rasa penasaran nya.

"Apa keadaaan cucu saya tidak sehat? Atau Ibunya tidak sehat?" tanya Darwin.

"Keadaan Ibu dan bayinya sangat sehat, hanya saja Ibunya belum sadar. Nyonya Whindy pingsan setelah melahirkan bayinya, itu hal wajar karena Nyonya Whindy sangat lelah," jelas Dokter itu.

"Syukurlah jika begitu. Saya ingin menggendong anak saya, Dok," Evan menatap ke arah Dokter itu dengan penuh harapan.

Dokter itu hanya mengangguk lalu memberikan bayi itu secara perlahan kepada Evan. Wajah pria itu sangat berbinar saat Dokter itu memberikan anaknya kepada dirinya

Saat melihat wajah bayi itu. Betapa terkejut nya Evan, sampai akan melepaskan gendongan nya dari si bayi itu.

"Astaga..." Evan sangat-sangat terkejut.

"Ada apa?" tanya Darwin.

Pria itu tidak menjawab pertanyaan Daddy nya. Karena merasa sangat penasaran, Darwin, Hilda, dan Bianca mendekat ke arah Evan, mereka bertiga melihat ke wajah bayi yang sedang di gendong oleh Evan.

"Astaga.. apa ini," ucap Hilda.

Mereka sangat-sangat terkejut dengan wajah bayi tersebut yang tidak memiliki dua mata, Evan menatap ke arah Dokter itu.

"Dok... sepertinya anda salah mengambil bayi. Ini sepertinya bukan anak saya," ucap Evan dengan tubuh gemetar.

"Saya tidak salah mengambil bayi, Tuan Evan. Ini anak anda, pasien yang melahirkan hari ini hanya Nyonya Whindy saja," jawab Dokter itu.

Tubuh pria itu melemas, dia langsung memberikan bayi itu kepada Dokter dengan kasar.

"Owek... owek." tangis bayi itu karena merasa takut akibat pergerakan yang kasar dan mendadak.

"Anda jangan berbohong, Dokter. Saya bisa menuntut anda atas dasar penipuan," Evan merasa sangat marah kepada Dokter itu.

"Untuk apa saya berbohong kepada kalian, terutama anda, Tuan Evan Avalon. Ini memang benar-benar anak anda, yang terlahir dari rahim Nyonya Whindy," Dokter menatap sendu ke arah bayi yang terlahir dengan keadaan cacat itu.

Semua keluarga Avalon terdiam. Evan benar-benar merasa kacau.

"Saya permisi, bayi ini harus di beri perawatan supaya lebih sehat. Permisi," pamit Dokter itu lalu masuk kembali ke dalam ruang bersalin.

Evan berjalan ke arah kursi. Pria itu mendudukkan tubuhnya dengan lemas, Hilda menatap sang suami yang juga terdiam.

"Mas... aku tidak ingin mempunyai cucu cacat," ucap Hilda.

"Apalagi aku, Mom. Aku juga tidak ingin mempunyai keponakan cacat, astaga sudah cacat, buta lagi," cibir Bianca.

"Bukan hanya kalian saja yang tidak ingin, saya juga tidak ingin mempunyai cucu yang cacat. Apa kata orang-orang nanti, keluarga Avalon yang sangat di hormati dan kaya raya memiliki cucu yang cacat dan buta, reputasi keluarga kita yang saya jaga puluhan tahun akan hancur dalam sekejap," jelas Darwin sembari mengepalkan kedua tangan nya karena amarahnya memuncak.

"Terus ini bagaimana dong, Mas." Hilda merasa sangat kesal.

"Coba kita tanya kepada Evan terlebih dahulu. Apa jawaban dia," Darwin menatap anak sulingnya yang sedang duduk melamun.

"Baiklah. Ayo," ajak Hilda.

"Daddy, Mommy. Aku sepertinya harus pergi, teman-temanku sudah menungguku di Mall," ucap Bianca yang matanya fokus ke ponselnya.

"Baiklah, Sayang. Hati-hati di jalan ya," pinta Darwin.

"Siap, Daddy," jawab Bianca lalu pergi.

Kedua orang yang sudah tidak muda lagi itu mendekat ke arah Evan. Hilda duduk di sebelah kiri anak sulungnya, sedangkan Darwin duduk di sebelah kanan anak sulungnya.

"Evan... bagaimana menurutmu. Apa kamu menerima bayi cacat itu?" tanya Hilda.

"Kami semua membutuhkan jawaban yang masuk akal darimu. Ingat ini, reputasi yang kita bangun dari jaman kita belum menjadi orang terpandang sampai sekarang kita sudah menjadi orang terpandang bisa hancur dalam sekejap, apa kamu ingin kita di hina, di rendahkan, dan yang lebih pentingnya lagi, rekan kerja kita membatalkan kerja sama dengan kita dan tidak akan ada yang ingin bekerja sama dengan perusahaan Daddy ataupun kamu," jelas Darwin sembari menepuk pelan bahu Evan.

"Mommy sangat-sangat setuju dengan apa yang Daddy kamu jelaskan, Sayang. Mommy tidak ingin hidup miskin dan di hina oleh banyak orang, terutama teman arisan Mommy," lanjut Hilda.

"Tentu saja aku tidak ingin semua kerja kerasku hancur begitu saja hanya karena anak cacat itu, Dad, Mom. Aku juga tidak ingin menjadi orang miskin," jawab Evan menatap kedua orang tuanya secara bergantian.

"Jika begitu kamu harus mengambil tindakan mulai sekarang. Jangan buang-buang waktu lagi, atau semuanya akan hancur," Darwin menatap Evan dengan tatapan yang serius.

"Untuk saat ini aku tidak bisa berpikir, Dad. Whindy juga belum sadar, kita tunggu keadaan istriku membaik terlebih dahulu, kita bahas di rumah saja," jelas Evan.

"Hah? Di rumah? Berati anak cacat itu bakalan tinggal di rumah mewah kita dong, Van?" tanya Hilda.

"Tentu saja. Tapi kalian tenang saja, aku akan melarang Whindy untuk keluar dari rumah membawa bayi cacat itu," jawab Evan.

"Daddy setuju dengan apa yang kamu katakan, Evan. Itu memang lebih baik," ucap Darwin.

"Namun, Mas. Bagaimana jika semua Pembantu dan Bodyguard di rumah kita menggosip tentang kita yang mempunyai cucu cacat," Hilda merasa tidak ingin hal itu terjadi.

"Kamu tenang saja, Sayang. Mereka tidak akan berani menggosip tentang lita, jika ada yang berani menggosip tentang kita yang mempunyai cucu cacat, mereka tidak akan bisa bernafas lagi," jawab Darwin.

Pria tua itu berusaha menenangkan istrinya. Dan yang Darwin katakan memang benar, apa yang dia katakan pasti akan dia lakukan, walaupun harus membunuh seseorang, akan di lakukan oleh pria tua yang sudah berusia 57 tahun itu.

"Baiklah-baiklah. Sekarang ayo kita pulang, untuk apa kita di sini, tidak ada gunanya," ajak Hilda sembari berdiri dari duduknya.

"Baiklah. Evan... ayo kita pulang" ajak Darwin kepada anaknya.

"Kalian pulang terlebih dahulu saja. Aku akan pulang nanti setelah Whindy di letakan di ruang rawat," jawab Evan.

Darwin mengangguk lalu dia menggandeng tangan istrinya. Mereka berdua pun pergi, sedangkan Evan mengacak rambut nya frustasi.

Bersambung.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Lucy
Wah dapat rekomendasi bacaan bagus lagi. Semangat kak Author. yoss Whindy cepat pulih dari lahirannya ya
goodnovel comment avatar
Bintang
Mulai baca buku ini,,,,,, seru nih kayanya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status