Usai mengakhiri panggilan video itu, Anggraini pun segera menerima panggilan suara yang belum berhenti berdering sedari tadi.
"Ya, Pak? Selamat Siang!" sapa Anggraini pada si penelepon yang berada beda kota dengannya itu."Ini dengan Mbak Lestari Anggraini ya?" tanya si penelepon itu."Ya, Pak. Saya sendiri, Pak," sahut Anggraini dengan antusias.Bagaimana bisa Anggraini tidak antusias mendapat telepon dari Handoko? Memang telepon dari HRD D'Goal Gym dan Fitness Center itulah yang telah dia tunggu selama beberapa hari ini. Meski Anggraini merasa sedikit harap-harap cemas akan maksud Handoko meneleponnya, namun Anggraini optimis hingga 100% kalau pria itu menghubunginya pastilah karena ingin memberitahukan kabar baik padanya. Anggraini tahu, kebanyakan HRD tidak akan mau berepot-repot menelepon calon pekerja yang mengajukan lamaran kerja di perusahaan mereka jika mereka tidak berniat untuk menerimanya."Mbak Tari? Ini saya Handoko dari D'goal Gym and Fitness Center," kata pria di ujung telepon membuka percakapan."Oh iya, Pak.""Saya menelepon ingin memberitahukan sesuatu pada Mbak Tari terkait lamaran kerja Mbak Tari beberapa hari yang lalu. Ngomong-ngomong apa saya mengganggu?" tanya Handoko di telepon.Anggraini tahu pertanyaan Handoko itu pastilah hanya sekedar basa-basi. Atau bisa juga karena tadi ketika Handoko pertama kali menelepon ia sedang berada di panggilan lain saat saat menelepon dengan Teguh."Tidak, Pak! Tentu saja Bapak tidak menggangu. Emm ada kabar apa ya, Pak?" Anggraini bertanya balik."Begini, Mbak Tari. Saya ingin memberitahukan kabar baik. setelah sebelumnya bos saya mempertimbangkan resume dan CV mbak, kami memutuskan untuk menerima mbak bergabung sebagai instruktur senam di DGFC," jawab Handoko.Dalam hati Anggraini pun langsung bersorak. Seperti pelamar kerja pada umumnya yang akan sangat bersyukur saat lamaran kerja mereka diterima, Anggraini pun sama. Dia merasa sangat-sangat bersyukur dan bahagia mendengar kabar itu. Bedanya pelamar kerja lain mungkin senang karena mereka akhirnya akan bekerja dan akan menerima upah dari hasil jerih payah mereka. Anggraini tidak sama, dia senang diterima bekerja karena akhirnya dia punya satu lagi batu loncatan untuk memuluskan rencananya."Beneran ini, Pak? Benar saya diterima kerja sebagai instruktur senam di D'Gol?" Anggraini bertanya untuk memastikan sekali lagi apa yang dia dengar."Ya, benar. Eheem, tapi saya harap Mbak Tari tidak lupa dengan apa yang telah Mbak Tari janjikan tempo hari," dehem Handoko mengingatkan.Anggraini paham apa maksud pria itu."Tentu, Pak. Tentu saya tidak akan lupa dengan apa yang saya janjikan tempo hari. Saya pasti akan menepati janji saya memberikan tiga bulan …""Ehemm, sebaiknya jangan bahas itu sekarang," cegah Handoko mengantisipasi hal-hal yang tidak dia inginkan. Misalnya, ada orang lain yang menguping."Ba-baik, Pak. Kita akan membicarakan itu nanti saja saat saya ke sana," ucap Anggraini lagi-lagi sangat paham."Jadi jika Mbak Tari berkenan, mulai besok mbak bisa datang untuk langsung bekerja. Untuk hal-hal lain yang perlu diperhatikan seperti jadwal dan lain-lainnya, besok bisa langsung datang dan menanyakan langsung pada saudari Alissa. Jadi gitu ya, Mbak Tari? Besok bisa langsung datang kan?" tanya Handoko di seberang telepon sana.Anggraini menyunggingkan senyumnya. Tinggal selangkah lagi akhirnya dia akan bisa melakukan rencananya."Ya, Pak. Saya bisa. Pagi kan, Pak?"***"Shakila dengar ya, nanti pas Bunda tinggal senam sebentar, Shakila harus anteng di TPA ya. Bunda nggak lama kok, sebentaaaar aja," kata seorang perempuan pada putri kecilnya.Mereka saat ini masih berada di area parkir dengan posisi anak itu berada di atas sepeda motor ibunya.Shakila cemberut."Kenapa Qila nda itut Bunda cenam aja cih? Shakila bica kok," jawab bocah imut itu."Anak-anak nggak boleh ikut, soalnya di dalam cuma ada ibu-ibu yang perutnya gede-gede kayak bunda. Nanti bisa-bisa Qila kedorong-dorong sama perut ibu-ibunya, gimana?" bujuk wanita itu."Yaaah, tapi iya deh. Tapi nanti pulangnya Bunda beliin Qila es kyim. Oke?" tuntutnya dengan bahasa yang cadel."Oke, Bunda janji! Tapi Qila main yang anteng dulu sama teman-teman di TPA, oke? Bunda masuk ke dalam buat senam dulu," bujuk sang mama lagi.Shakila mengacungkan jari kelingkingnya yang disambut ibunya dengan mengaitkan jari kelingkingnya pula."Oke! Janji!" Dari lantai dua gymnasium itu seseorang tampak melihat dengan tatap tajam ke arah keduanya yang sedang berada di parkiran."Wah, kamu terlihat sangat bahagia dengan anak itu dan anak yang masih dalam kandunganmu itu. Ck! Aku jadi iri. Tunggu sebentar lagi, aku mau lihat apa kau masih bisa tersenyum selebar itu jika aku mulai masuk dalam kehidupanmu," kekeh orang itu.***Dinda menangis keras saat Puspa meraihnya. Entah karena anak berusia satu tahun itu baru bangun atau memang karena dia takut pada sosok Puspa yang tidak familiar, Dinda terkejut saat dirinya langsung ditangkap oleh seorang nenek-nenek yang tidak dia kenal sebelumnya.“Cup! Cup! Jangan menangis, nenek akan membawamu dari sini, Ok? Tenang, tenang jangan menangis!” Puspa berusaha membujuk Dinda yang kini telah berada dalam gendongannya.Melihat putrinya sangat ketakutan, Anggraini merebut paksa Dinda dari Puspa. “Tolong pergi dari sini. Kau membuatnya takut,” desis Anggraini mencoba menahan sabar.“Kau jangan keterlaluan dan bersikap seolah-olah kau adalah ibu kandungnya. Kau tidak punya hak! Aku adalah nenek kandungnya. Dan aku ingin membawanya, aku ingin menjemput cucuku sekarang!”“Anda yang jangan keterlaluan! Ngomong-ngomong soal hak, anda yang tidak punya hak apa-apa terhadap mereka. Aku mengantongi ijin dari pemerintah untuk merawat mereka,” kata Anggraini.“Hah! Izin dari pemeri
Perempuan tua itu menerobos masuk tanpa menghiraukan Anggraini yang berdiri di pagar.“Mama! Tunggu dulu!”Anggraini berusaha mencegah mantan mertuanya itu untuk masuk ke rumahnya. Sebenarnya dia sendiripun sudah enggan menyebut perempuan itu dengan panggilan Mama, namun untuk saat ini ia tidak punya waktu untuk memanggilnya dengan sebutan lain“Jangan halangi aku! Aku akan membawa dia dari sini!”Rupanya keributan di luar membuat Shakila yang sudah masuk ke dalam rumah kembali keluar untuk melihat apa yang terjadi. Demikian pula baby sitternya Dinda menyusul Shakila untuk melihat apa yang terjadi.“Di mana dia? Di mana cucuku!” teriaknya.Anggraini berjalan cepat dan menghalangi Puspa untuk masuk ke dalam rumahnya. Ia membentangkan tangannya lebar-lebar.“Stop! Cukup sampai di situ ya. Tolong bersopan santunlah saat hendak masuk ke rumah orang lain. Aku sangat menghormati tamu, tapi kalau sikap Mama seperti ini aku tidak akan segan-segan mengusir Mama dari rumah ini!” ancam Anggrain
“Kita sudah sampai!!!” seru Asyif yang baru saja mematikan mesin mobil.Shakila segera membukakan pintu mobil dengan lihai, pertanda dia telah biasa melakukannya. Terlihat gadis kecil itu begitu senang telah dibawa jalan-jalan oleh ayah bundanya.“Dih, main tinggal aja. Memang ayah nggak disayang dulu apa?” cibir Asyif pura-pura kecewa saat Shakila hendak langsung keluar.“Oh iya, lupa!” Shakila menepuk jidatnya dan langsung berbalik badan.Cup!! Ia segera mencium pipi Asyif.“Terima kasih jalan-jalannya, Ayah!” ucapnya.“Dan mainannya juga!” celutuk Anggraini mengingatkan Shakila agar tidak lupa mengucapkan terimakasih juga atas belanjaan mainan Anggraini yang seabrek.“Oh, iya! Lupa lagi. Terimakasih mainannya juga, Ayah!” ucapnya.Asyif mengangguk-anggukkan kepalanya sambil mengelus kepala anak itu.“Ya, nanti ajak adek main juga ya!” kata Asyif.“Hu’ uh!” jawab Shakila mengiyakan.Anak perempuan itu segera turun dari mobil setelah membawa beberapa mainan yang bisa dia bawa terlebi
“Kila, pulang yuk!” ajak Anggraini dengan nada sebal.Bagaimana dia tidak sebal, sedari tadi dia hanya mengikuti kedua orang itu keliling-keliling di Mall sekaligus menjadi tukang angkut barang-barang belanjaan Shakila yang sengaja dibelikan Asyif untuknya. Sementara kedua orang, bapak dan anak itu berjalan di depannya sambil tertawa cekikikan. Bukankah itu harusnya terbalik? Harusnya dia yang menuntun Shakila dan Asyif yang membawakan barang-barang belanjaan mereka. Dasar, sungguh tidak gentleman! gerutu Anggraini“Pulang? Yang benar aje, rugi dong!” sahut Asyif membuat Anggraini semakin lebih sebal lagi.“Nanti, Bun. Kita kan belum makan. Belum makan ice cream juga. Benar kan, Yah?” kata Shakila pada Asyif meminta dukungan dari Asyif.“Benar tuh. Bundamu tuh nggak tau. Lagian buat apa sih cepat-cepat pulang? Sudahlah, nikmati aja dulu. Lagian nggak tiap hari kan kita jalan-jalan begini?”Anggraini mendengus.“Bukannya apa-apa, ih. Dinda di rumah takutnya rewel gimana?” “Ada si Mba
“Kila, ada Bunda yang jemput tuh!”Shakila yang tengah bermain perosotan di halaman sekolah langsung menoleh ke arah gurunya, lalu melihat lagi ke arah yang ditunjuk ibu guru tersebut.Tak jauh dari sana ada Anggraini yang melambaikan tangan sambil berjalan ke arah mereka.“Bundaaaaa!!!” panggil bocah itu sambil buru-buru berlari ke arah Anggraini.Begitu sampai di dekat Anggraini, Shakila pun lantas menghambur ke pelukan Anggraini dan yang segera dibalas peluk pula oleh Anggraini.“Lama nunggu Bunda nggak?” tanya Anggraini.“Nggak kok. Kila baru aja pulang, kata Bu Guru, Kila main aja dulu sambil tungguin Bunda,” jawab gadis kecil itu.Anggraini tersenyum. Satu tahun lebih dia telah mengasuh anak itu beserta adiknya. Sudah banyak perubahan yang terjadi termasuk pada tumbuh kembang mereka. Shakila sudah tidak lagi bicara cadel seperti dulu. Gadis kecil itu juga sudah tumbuh menjadi anak yang lebih ceria meninggalkan tampilan imutnya di tahun-tahun sebelumnya.Anggraini membungkukkan s
Anggraini bengong sesaat dengan secarik kertas berwarna putih di tangannya. “Kamu nggak apa-apa?” tanya Asyif.Pria ini entah bagaimana menyediakan diri untuk membantu Anggraini dan menemaninya dalam kepengurusan masalah Dinda yang sudah berlangsung selama beberapa hari itu. Kebetulan juga Sophia tidak bisa menemaninya hari ini.Anggraini menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya dia mengangguk. Hari ini dia pergi ke kantor catatan sipil untuk mencetak ulang kartu keluarganya sebagai syarat agar dia bisa membawa pulang kembali Dinda. Sebelum staf itu memberikan padanya Kartu Keluarga itu, setitik keinginan di hati Anggraini berharap bahwa Kartu Keluarga yang dia inginkan itu tidak mencetak nama Merry di sana. Walaupun sebelumnya dia sendiri sudah pernah ke sini untuk menanyakannya langsung. Dan ternyata benar, bahwa di Kartu Keluarga itu terpampang dengan nyata nama Merry dan putrinya. Dan sekarang Anggraini benar-benar memegang Kartu Keluarga itu dalam bentuk fisik.“Kartu keluarg
Sophia yang baru saja memesan makanan siap saji, saat membalikkan badannya heran karena tidak melihat Anggraini di meja yang tadi mereka telah pilih. Namun kemudian kebingungannya berubah menjadi keterkejutan saat melihat Anggraini ada di depan outlet sedang bertengkar dengan seseorang yang dia tidak kenal.“Itu anak saya, berikan dia pada saya!!” teriak perempuan itu dengan kencang sehingga pertengkaran mereka menarik perhatian banyak mata.Anggraini mengelak saat perempuan itu ingin mengambil kembali bayi yang berada dalam gendongannya.“Ini Dinda. Katakan, sebenarnya kamu ini siapa? Kamu siapanya dia? Mana Ibu Septi?” tanya Anggraini menyebutkan nama ibunya Merry.“Ape hal kau kata ni? Aku tak paham apa cakap kau tu. Kalau tak bagi anak aku sekarang juga, aku akan report kau ke polis!” ancamnya.Anggraini geleng-geleng kepala.“Sana laporkan saja! Aku juga akan melakukan hal yang sama. Aku sudah mendengar apa yang kamu katakan di telepon. Kamu mau bawa dia ke negaramu, tapi kamu ti
“Jadi kamu yakin nggak mau balik lagi ke Jakarta?” tanya Sophia saat mereka sedang makan siang di kediaman orang tua Sophia di Jakarta.Anggraini mengangguk.“Ya, aku mau menetap di Bandung aja deh kayaknya. Soalnya kerjaanku juga di sana kan? Di sini juga aku kayak yang bingung mau ngapain,” kata Anggraini.Anggraini mengangguk.“Iya sih. Kalau di Jakarta membuat kamu nggak nyaman, sebaiknya ditinggalin aja. Tapi kalau aku boleh kasih saran meski kamu tinggal di Bandung, kamu nggak usah tinggal di rumah itu lagi. Jual aja tuh rumah. Pasti kamu juga nggak pengen teringat terus tentang mereka kan? Sudahlah, buka lembaran baru saja. Kalau kamu setuju, entar aku bantu jualkan rumah itu,” kata Sophia menjelaskan.Anggraini mengangguk.“Iya makanya itu aku lebih pilih ngontrak dulu sebelum aku dapat rumah baru. Entar kalau rumahnya laku dijual aku cari rumah lain aja,” jawab Anggraini terhadap saran sahabatnya itu.“Nah gitu donk! Jadi habis makan kita jadi ke pengadilan agama nih?” “Beso
Kedatangan mereka disambut dengan baik oleh keluarga Merry. Bahkan begitu mereka keluar dari dalam mobil, nenek Shakila yang juga merupakan ibu dari Merry itu langsung menyambut cucu-cucunya. “Kila, kamu sudah besar, Nak? Peluk nenek!” pinta wanita itu. Shakila mundur beberapa langkah dan kini bersembunyi di belakang tubuh Anggraini. Wanita itu menatap Anggraini. Tersungging seulas senyum di bibirnya. Entahlah, sekilas Anggraini merasa kalau senyum itu berbeda, menimbulkan kesan sinis. “Maaf, kamu istri pertamanya Teguh?” tanya wanita itu. Anggraini membenarkan meski dalam hati ia cukup terkejut mengetahui bahwa perempuan itu mengetahui bahwa dia adalah istri tua dari Teguh. “Iya, benar. Kenapa ibu tahu?” tanya Anggraini dengan nada sedikit tidak suka. Bagaimana tidak? Anggraini heran dengan kenyataan bahwa ibu ini seperti perempuan tidak tahu malu yang telah menikahkan putrinya pada suami orang lain. Bahkan Anggraini bisa melihat foto figura besar di ruang tamu rumah it