Share

Bab 5

"Lima tahun lamanya, Mas. Aku dengan bodohku mengikuti prinsip childfree-mu itu. Menutup telinga atas cemoohan orang lain atas keputusan itu. Aku memang childphobia, tetapi bukan berarti tidak bisa hidup dengan anak."

_________________________________

"Loh, Mama dan Riani mau kemana?" tanya Anggraini dengan wajah bingung.

Saat ia kembali, mertua dan iparnya itu telah ada di depan pintu rumah mereka siap untuk pulang.

"Kamu tuh yang kemana aja. Beli kopi aja hampir setengah jam. Beli dimana sih? Beli di Vietnam?" balas Puspa.

"Oh, tadi Anggre ke warung sebelah warungnya belum buka, Ma. Terus lanjut ke warung yang ada di blok sebelah juga eh ternyata tutup juga. Padahal biasa dari habis subuh sudah buka tuh warung. Heran juga kenapa pada tutup semua warungnya. Jadi terpaksa deh Anggre ke luar komplek perumahan dibuat beli kopi dan ini …"

Anggraini menunjukkan bungkusan kresek putih di tangannya berisi beberapa bungkus nasi.

"Katanya kan Mas Teguh pengen sarapan yang tradisional-tradisional saja. Nih Anggre belikan nasi kuning buat sekalian kita makan bareng-bareng," kata Anggraini.

Puspa melirik ke arah bungkusan itu. Dalam hatinya ia sedikit kasihan pada menantunya itu. Anggraini tidak begitu buruk sebagai menantu, meskipun juga tidak terlalu memiliki segala sesuatu yang diharapkan oleh mertua pada umumnya.

"Teguh lagi mandi. Katanya habis mandi dia mau langsung berangkat ke Singapura ikut penerbangan kedua," kata Puspa.

"Oh ya?" Anggraini mengernyitkan kening. "Ck, ya sudah sih. Nanti nasi kuningnya Anggre bikin di kotak bekal saja. Nanti biar Mas Teguh makan di bandara saja. Yang ini buat kita."

"Nggak dulu kayaknya, Mbak. Aku ada kuliah pagi ini. Harus buru-buru pulang ke rumah. Soalnya aku belum ngapa-ngapain udah diajak Mama ke sini tadi. Kami langsung pulang saja," tolak Riani.

"Nggak ada yang makan di sini nanti. Ck, ya sudah kalau kamu sama Mama nggak bisa ikut sarapan bareng. Bawa pulang saja ini naskunnya. Di sini nggak ada yang makan juga," ujar Anggraini sembari menyodorkan bungkusan itu.

Tak ingin berlama-lama di sana, Puspa memberi kode pada Riani untuk mengambil saja nasi bungkus yang dibelikan oleh menantunya itu. Riani menurutinya.

"Ya sudah, nanti kita makan di rumah saja. Mbak Anggre memang nggak mau makan yang satunya?" terima Riani sembari melongok ke dalam bungkusan plastik itu.

Ada tiga bungkusan nasi. Jika diberikan pada mereka ketiganya terus Anggraini makan apa? Itulah yang sedang dipikirkan Riani.

"Mbak sarapan roti entar. Ambil saja semuanya. Nanti kalau memang nggak mau dimakan kasih ke bibik atau Mang Dar saja," jelas Anggraini seolah tahu apa yang dipikirkan oleh adik iparnya itu.

Riani mengangguk.

"Baiklah, kami pulang dulu Mbak. Ayo, Mah!" ajak Riani pada ibunya.

"Yuk!" Puspa menyambut ajakan Riani.

Anggraini mengantar mereka hingga ke mobil yang diparkir di luar pagar. Karena tadi Puspa dan Riani niatnya hanya berkunjung sebentar maka mobil itu sengaja tidak dimasukkan ke pekarangan dalam.

Sebelum mobil yang mereka tumpangi berjalan, Puspa sempat melihat Anggraini dengan ekspesi iba. Lagi-lagi sebenarnya ia kasihan pada menantunya itu, tapi mau bagaimana lagi?

Riani sudah memutar kunci kontak dan siap menjalankan mobil ketika Puspa memintanya untuk menundanya sebentar.

"Riani tunggu! Mama ada yang mau ditanyakan dulu sama Anggre," cegahnya.

"Hah? Ah, ya …"

Anggraini mengernyitkan kening melihat mertuanya itu menyembulkan kepalanya ke luar jendela mobil.

"Ya, Ma?"

Puspa memandangnya prihatin.

"Anggre, kamu benaran nggak pernah terpikir untuk punya anak saja?" tanya Puspa.

Anggraini menelan salivanya mendengar pertanyaan sang ibu mertua. Saat ini, ia ingin menjawab pertanyaan wanita itu dan mengeluarkan semua uneg-uneg dalam hati serta memaki mertua yang mendukung pengkhianatan suaminya itu.

Namun, Anggraini tidak akan berbuat segegabah itu. Tak akan ada untungnya jika ia melampiaskan amarahnya saat ini. Kemarahannya mungkin akan membuatnya lega sementara, tetapi tidak akan membawa kemenangan untuknya. Dalam segala hal Anggrainilah yang pada akhirnya kalah.

Mungkin dia akan diberi pilihan akan melanjutkan pernikahan ini dengan poligami, atau almerelakan pernikahannya berakhir dan mempersembahkan pernikahan itu sendiri pada Mas Teguh dan istri simpanannya.

Sial! Hidupnya tidak mungkin seapes itu kan? Walaupun pada akhirnya pernikahan ini akan berakhir, Anggraini tidak mau menjadi orang yang paling menyedihkan dan harus dikasihani. Harus dia yang mencampakkan Teguh dan menghukum lelaki itu dengan hukuman paling menyakitkan.

Ya, hukuman paling sakit di dunia ini hanya satu. Penyesalan. Sesal yang tidak dapat mengubah sesuatu yang rusak kembali seperti semula.

"Anggre …" panggil Puspa lagi melihat menantunya mengabaikan pertanyaannya. "Apa kamu nggak pengen punya keluarga normal dan bahagia seperti orang lain?"

Anggraini tersenyum kalem.

"Tidak, Ma. Aku tidak ingin punya anak. Lagi pula aku dan Mas Teguh sudah cukup bahagia hanya dengan kami saja. Tolong jangan menanyakan hal ini berulang kali. Jika Mama ingin cucu nanti Mama bisa mendapatkannya dari Riani jika sudah menikah. Ya kan, Ria?" goda Anggraini pada Riani.

Puspa geleng-geleng kepala. Dia sudah berusaha membujuk menantunya ini agar mengubah pikirannya, tetapi jika Anggraini yang tidak mau, dia bisa apa? Jika kelak Anggraini tahu kalau Teguh telah menikah lagi dan memiliki anak dari wanita lain, Anggraini tidak boleh menyalahkannya, karena dari awal ialah yang terlalu kukuh pada prinsip tak masuk akalnya itu.

"Ya sudah. Kalau kamu sudah ngomong begitu, Mama bisa apa? Yang punya rahim kamu, yang punya kehidupan juga kamu. Mama nggak bisa maksa kamu. Ayo, Ria! Kita pulang!

Tak menoleh lagi, Puspa dan Riani meninggalkan Anggraini yang masih berdiri di depan pagar rumah dua lantai itu.

Sepeninggalan mertua dan iparnya, Anggraini pun kembali ke dalam rumah. Ia menuju dapur dan memindahkan nasi kuning yang dibelinya ke dalam kotak bekal. Saat itulah, Teguh keluar dari kamar dan menuruni tangga. Ia sudah berpakaian rapi seperti halnya orang yang ingin berangkat ke kantor.

"Mas sudah selesai? Aku belikan nasi kuning tadi makanya lama. Karena Mas sepertinya buru-buru, aku taruh di kotak bekal saja ya Mas. Nanti Mas bisa makan di pesawat atau di bandara," kata Anggraini.

"Iya, nih. Thankyou, My wife! Ini Mas sampai Singapore langsung ke kantor nih. Mudah-mudahan sih jangan ada delay atau apa. Soalnya siang nanti ada meeting penting. Entar si bos marah lagi kalau Mas telat," ujar Teguh sambil memakai kaos kakinya.

"Ini kopinya minum dulu!" Anggraini menyodorkan secangkir kopi hitam pada Teguh.

Teguh menerima kopi itu dan menyeruputnya.

"Huff … masih panas."

Anggraini hanya diam saja melihat gerak-gerik suaminya itu. Teguh memang berubah.

Yang dilihat Anggraini saat ini Teguh seperti halnya bapak-bapak Indonesia pada umumnya. Lebih doyan kopi di pagi hari. Padahal hampir sepuluh tahun mengenal Teguh, pria itu selama ini hampir tak pernah ia lihat sesuka itu pada kopi hitam. Biasa pria itu lebih suka makanan dan minuman sehat. Seperti susu kalsium, roti atau pun berbagai jenis salad.

"Kok melamun sih? Masih pagi loh!" tegur Teguh. Ia kemudia mengambil lagi cangkir kopi itu dan menyeruputnya seolah itu sangat nikmat sekali.

"Mas, kalau semisal aku kerja boleh?" tanya Anggraini.

Teguh mengernyitkan kening.

"Kerja? Mau kerja apa emang? Kamu jadi content creator selama ini memang masih kurang sibuk? Bukannya kamu bilangnya sangat menikmati jadi content creator? Dapat uang lumayan lagi. Belum dari mas. Jangan serakah-serakah amatlah. Memang masih kurang uang bulanan kamu? Entar Mas tambahin deh," kekeh Teguh.

Anggraini tertawa cengengesan.

"Dikasih uang tambahan ya maulah. Tapi aku tuh maksudnya pengen berkarir gitu Mas. Kalau jadi content creator kan bisa sesempatnya saja sih Mas," jelas Anggraini.

"Terus memang mau kerja apa?"

"Ada teman yang ngajak join jadi instruktur senam dan yoga di gymnasiumnya dia. Dan aku tertarik gitu. Mas kan tahu sedari dulu aku punya minat dan ketertarikan di bidang olahraga. Hitung-hitung biar aku nggak mager juga. Bahagia, dapat duit dan yang pasti body tetap …" siul Anggre sembari mengedipkan matanya.

Teguh terkekeh sembari mengusap rambut Anggraini.

"Oke, deh. Boleh aja. Lakukan saja apa yang kamu suka, Darling," katanya.

Teguh lantas berdiri dari duduknya. Ia telah selesai dengan sepatunya. Setelah menyeruput lagi kopi terakhirnya, pria itu menarik Anggraini ke pelukannya dan mengecup kening istrinya itu.

"Mas berangkat dulu ya. See you next week, Honey!"

Anggraini mengantar Teguh hingga ke depan di mana sebuah taxi berwarna biru telah menunggu di sana.

See you, Mas. Jangan kaget jika mulai minggu depan hidupmu akan lebih berwarna dari sebelumnya, batin Anggraini sembari melambaikan tangannya pada taxi yang semakin lama semakin menjauh itu.

***

Bersambung…

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status