Langit mulai merah. Terang perlahan menyeruak menyisihkan gelap. Alam siap kembali memulai hari. Arnon menarik tangan Fea dan mengajaknya mendekat ke arah pantai. Berdua mereka menunggu mentari mulai menyembul di balik air di kejauhan. Fea senang kalau dia punya kesempatan ini, menyaksikan sang surya menunjukkan keindahannya. Buat Fea ini salah satu momen paling manis di tengah alam luas. Arnon memandang Fea yang melihat ke arah sunrise tanpa berkedip. Buat Arnon kali ini, senyum dan tatapan gembira Fea lebih indah dari sunrise. Saat matahari sudah penuh di atas air, Fea tersenyum lega. Dia menoleh pada Arnon. "Makasih. Aku senang sekali. Ini cantik. Banget. Makasih, Ar." Fea masih tersenyum. Meski lelah, sedikit mengantuk karena tidak tidur sepanjang malam, semua terbayar rasanya. Arnon juga tersenyum. "Kamu happy?" "Iya. Happy." Mata Fea sayu, tapi dia terlihat senang. "Dan aku akan buat kamu happy terus setelah ini." Arnon menatap Fea lebih dalam. Dia rasa ini saat yang tepat
Mobil hitam itu masuk ke halaman rumah besar keluarga Hendrawan. Irvan memarkir mobilnya, lalu menemui salah satu pelayan yang sedang membersihkan taman. Dia meminta tolong agar pelayan itu memberitahu Fea kalau dia datang. Sejak tadi pagi dia tidak bisa menghubungi Fea. Chat atau telpon tidak ada yang berhasil. Sangat aneh. Karena itu Irvan memutuskan langsung menemui Fea di rumah besar ini. Pelayan itu meninggalkan pekerjaannya dan mencari Fea di kamarnya. Karena sejak pagi, gadis itu tidak terlihat. Biasanya dia akan beredar di sekitar ruang besar kalau sedang membereskan rumah. Pelayan itu bertanya ke beberapa pelayan lain, tidak ada yang tahu Fea di mana. Pelayan itu kembali dengan tangan hampa. Fea tidak ada. "Aneh sekali. Bagaimana bisa tidak ada yang tahu dia di mana?" batin Irvan. "Kalau Tuan Muda Arnon?" Akhirnya Irvan menanyakan Arnon. Bisa jadi cowok itu justru tahu Fea di mana. "Ah ..." Pelayan itu melihat ke parkiran. Mobil Arnon tidak ada di sana. "Kurasa dia pergi.
Malam kembali datang, Arnon dan Fea masih menikmati waktu di pinggir pantai bersama. Malam ini bulan lebih terang, hampir penuh, dengan bintang banyak bertebaran di langit. Fea masih merasa semua seperti mimpi. Bersama Arnon, bukan sebagai sahabat, tetapi sebagai kekasihnya. Satu sisi hatinya merasa bersalah, dia telah menyakiti Irvan. Dari awal dia berusaha menahan diri, tak mau mendekat pada pria itu. Tetapi akhirnya Fea mencoba membuka hati. Memang dia tidak berhasil. Hatinya tetap utuh terisi Arnon. Meski begitu, tetap saja sebenarnya secara status dia kekasih Irvan. Yang terjadi, Fea menerima Arnon yang melamarnya. "Maafkan aku, Irvan. Aku jahat sama kamu. Aku akan segera selesaikan urusan kita begitu aku pulang." Mata Fea menatap ke angkasa, seolah Irvan di sana dan sedang melihat padanya. Untung sekali dia belum sampai benar-benar bertemu ibu Irvan. Paling tidak, dia tidak mengecewakan orang tua Irvan. Hanya, Fea harus bisa bicara begitu rupa meyakinkan Irvan, hubungan mereka
Fea berjalan ke arah Irvan yang menunggu dia di taman kota. Suasana cukup lengang, hanya ada beberapa orang yang mengunjungi taman ini. Tempat yang nyaman untuk bicara. Irvan memandang Fea dengan rasa rindu yang besar. Beberapa bulan terakhir adalah hari-hari penuh kegembiraan karena dia bisa bersama wanita yang dia idamkan. Hari ini Irvan tidak tahu apa yang akan terjadi antara dia dan Fea. Dia sedikit banyak ada bayangan kira-kira yang Fea akan utarakan. Namun, lebih baik Irvan menunggu hingga Fea menjelaskan semuanya. "Hai, Ir." Fea cantik sekali dengan kaos putih dan jeans biru gelap. Ingin sekali Irvan memeluk kekasihnya itu. "Fea ..." Irvan melangkah mendekat. Fea memeluk tas yang dia pegang. Dengan itu Fea memberi kode dia tidak mau dipeluk. Irvan mundur, dia duduk di kursi taman, menghadap ke kolam di depannya. Fea ikut duduk, tepat di sebelah Irvan. "Aku, aku benar-benar minta maaf, Ir." Fea memulai pembicaraan mereka. Hati Fea tidak tenang. Tapi tetap lebih cepat dia bic
"Tuan dan Nyonya?" Fea melihat Arnon. Tiba-tiba saja tangannya terasa dingin. "Iya, Fea. Aku sudah janji akan segera mengenalkan calon istriku pada mereka." Arnon tersenyum lebar. Mereka hampir tiba di rumah besar. Debaran di dada Fea makin tak menentu. Tapi dia tak bisa mundur. Arnon adalah cintanya. Selama ini dia berdoa agar Tuhan nyatakan kebenaran. Ini yang dia terima. Cintanya buat Arnon tak pernah mati, itu berarti Tuhan mau dia dan Arnon bersama. Ya, Fea harus siap berhadapan dengan orang tua Arnon. "Secepat itu?" Fea hanya memastikan bahwa tidak sesegera itu dia harus bertemu Nyonya Arnella. Apalagi terakhir dia bersama nyonya ketiga, Fea mendapat dua gaun cantik untuk dia kenakan saat pergi bersama Irvan. Apa yang Nyonya Arnella akan katakan kemudian jika ternyata Fea muncul di hadapannya dengan status sebagai calon istri putra semata wayangnya? "Kenapa? Cepat atau lambat apa bedanya? Kita sudah bersama sejak kecil. Tinggal dan besar di rumah yang sama. Hanya aku tidak p
Mata Fea melirik ke jam dinding di ruangannya. Baru sejam kerja sejak selesai makan siang. Dan Arnon menghubungi dia, membuat gadis cantik itu terkejut lagi. "Kamu mau aku ikut kamu?" Fea bertanya memastikan apa yang Arnon maksud. Rania yang mendengar kata-kata Fea menoleh, penasaran mau apa lagi Arnon kali ini. "Iya, Fea. Jam empat opening. Kamu temani aku." Armon meminta Fea mendampingi dia di acara opening resto. "Aku harus kerja, Arnon." Fea menolak. Bukan tidak suka tapi waktunya tidak tepat. Mendadak dan di hari kerja. "Tenang saja. Aku urus izin kamu. Aku sudah di depan kantor kamu, Sayang." Arnon menutup telpon. "Arnon," panggil Fea, tapi telpon tidak nyambung lagi. "Mau apa dia?" tanya Rania. "Dia ajak aku ikut opening resto. Sekarang." Fea menjawab Rania dengan tatapan tidak lega. "Ahhh ..." Rania mengangkat kedua alisnya. Mulai lagi Arnon mau seenaknya. "Fea?!" Ada yang memanggil Fea dari depan ruangannya. Fea dan Rania menoleh. Isti ada di sana. "Dipanggil Pak I
Tangan Fea terasa dingin dan berkeringat. Berada di sisi Arnon adalah hal yang dia sukai. Tetapi jika di dekat Arnon juga ada para wanita yang biasa bersama pria itu, membuat Fea tidak senang. Namun begitu, Fea berusaha tetap tenang. Dia harus bersikap dengan benar. "Kapan kamu akan membawaku jalan lagi, Sayang? Kamu terlalu sibuk dengan resto kamu atau dengan yang lain?" Gladys menyentuh pundak Arnon dengan jari-jari digerakkan di sana, mulai merayu. Widya pun tak kalah ingin mengambil hati Arnon. "Terakhir bersama, kamu sedang galau. Apa kamu tidak ingin mengulang malam menyenangkan, Arnon?" Arnon tersenyum, tipis. Dia melepas tangan wanita-wanita yang biasanya memuaskan dirinya itu. "Bisa kalian kembali duduk? Acara belum selesai." Arnon melihat ke kiri kanannya, pada Gladys dan Widya bergantian. Fea melirik ke arah Arnon, lalu mengalihkan pandangan melihat biduan yang sedang menyanyi sepenuh jiwa di depan seluruh tamu. Widya menoleh pada Fea. Dia bisa melihat Fea sedikit gugu
Terus terang saja, Fea tersinggung dengan kata-kata Arnon. Apa Arnon tidak kenal Fea, sehingga berpikiran seburuk itu tentang Fea? "Hei, Honey, Sayang, bukan ... bukan itu maksudku." Arnon dengan cepat menangkap kedua tangan Fea. "Aku tahu kamu ga mungkin akan mengkhianati apa yang kamu yakini, kalau kamu menjaga dirimu utuh untuk pria yang akan menjadi pendamping kamu. Aku ga akan lupa." Cepat Arnon meralat perkataannya. Fea tidak bergeming, masih menatap Arnon lurus dengan pandangan tajam. "Maksudku, bahkan jika dia memberikan kecupan di pipi kamu, aku merasa marah." Arnon mengatakan apa yang dia pikirkan. Fea sedikit lega. Dan juga senang. Jika Arnon cemburu, berarti dia sungguh cinta pada Fea. "Jangan marah lagi. Aku yang harus berjuang sekarang, membuktikan aku bisa menjaga diriku. Aku menyiapkan diri untuk menjadi pria yang hanya akan di sisi kamu, ga lagi bersama siapapun. Maaf." Arnon mengusap lembut pipi Fea. "Oke." Fea menyunggingkan senyum tipis di bibirnya. Arnon kem