Arnon ingin sekali memukul tembok atau melempar apa yang ada di depannya. Ini yang selalu menjadi masalah saat dia bicara dengan mamanya. Tak pernah sejalan. Mamanya memandang kemewahan dan pandangan orang tentang dirinya hal utama di dalam hidup.
"Mama! Kita punya segala kemewahan, tapi tidak martabat!!" Dengan mata menyala Arnon memandang wanita yang melahirkan dirinya itu.
"Arnon!" sentak Arnella kesal.
"Kalau Mama bilang agar aku punya martabat, aku belum lahir saat Mama menikah dengan Tuan Ardiansyah Hendrawan yang kaya raya dan sudah punya dua wanita dalam hidupnya. Aku bahkan belum ada di pikiran Mama." Arnon menatap tajam pada Arnella.
Arnella kali ini tidak membantah. Arnon benar.
"Aku ini punya otak dan ingatan. Apa yang di luar sana beredar aku juga dengar. Aku harus menelan sakit jika ada bisikan yang menyebut, Arnon, anak wanita gila harta. Tidak malu jadi istri ketiga demi kemewahan. Mama pikir itu martabat? Martabat dilihat dari mana? Dari kutub utara?" Arnon mencibir. Hatinya sangat panas sekarang.
"Kenapa kamu pusing yang orang bilang?!" sahut Arnella.
"Kenapa Mama pusing soal martabat jika itu hanya apa yang orang bilang?!" bantah Arnon.
"Aku lelah ribut dengan kamu, Arnon!" Arnella menyerah tak bisa dia membuat Arnon menurut apa yang dia mau.
"Aku juga lelah karena terus saja dikejar soal menikah, menikah, harta, harta. Aku juga lelah, Ma!" Bersih kukuh Arnon menolak permintaan mamanya.
"Apa karena gadis itu? Fea?" Suara Arnella merendah, tapi nada kesal dan sinis masih tersisa di sana.
"Fea. Dia sangat penting buat aku, Ma. Jangan katakan apapun yang buruk tentang dia." Arnon bisa mengerti ke mana arah pembicaraan Arnella.
"Aku tak akan pernah merestui kamu menikah dengan gadis rendahan seperti dia. Ada banyak gadis berkelas, ambil salah satu dari mereka. Yang mana saja, tapi yang pasti bukan pelayan itu," tandas Arnella. Dia bicara dengan tegas agar putranya itu mendengar jelas yang dia katakan.
"Sudahlah. Aku tidak lapar lagi. Aku berangkat." Arnon meninggalkan meja dan berjalan keluar rumah. Hatinya sangat dongkol harus berselisih lagi dengan mamanya.
Dengan mobilnya Arnon menuju ke restorannya. Di sana dia bisa lebih tenang. Lebih baik tenggelam dalam pekerjaannya daripada di rumah ribut saja dengan mamanya.
"Selamat pagi, Pak." Pelayan restoran di depan pintu menyapa Arnon.
"Pagi, Dani. Kamu segar sekali pagi ini." Inilah Arnon. Sekesal-kesal hatinya, dia tidak mau membawanya ke restoran saat bertemu pegawainya. Dia telan sendiri, dia tetap bersikap manis pada semua orang.
"Terima kasih, Pak." Dani mengangguk sambil tersenyum lebar.
"Apa Chef Riko sudah datang?" Arnon menoleh lagi pada Dani.
"Sudah, Pak. Baru kira-kira sepuluh menit yang lalu." Dengan cepat Dani menjawab.
"Oke. Thank you, Dani." Arnon meneruskan langkah menuju ke dapur restoran.
"Bukannya mobil Chef Riko diparkir di depan? Masa Pak Arnon ga lihat?" gumam Dani. Dia merasa aneh saja pada bosnya.
Arnon masuk dapur. Pandangan Arnon tertuju pada Chef Riko yang sedang memberi arahan pada beberapa pembantunya. Arnon tidak mengganggu. Dia menunggu hingga briefing itu selesai.
Lalu dia mengajak Riko bicara tentang beberapa hal, baru Arnon beranjak menuju ke ruangannya. Duduk di sana, Arnon memandang pigura di mejanya. Gambar itu Fea yang membuatnya, saat ulang tahun Arnon kedua belas.
Dalam gambar itu ada anak laki-laki dan perempuan. Mereka bergandeng tangan, sambil tersenyum. Itu Fea dan Arnon. Di bagian bawah gambar itu ada tulisan tangan Fea. Bersama, selamanya.
"Fea." Arnon mengusap gambar itu. "Aku sayang kamu. Tapi tidak semudah itu bersama kamu, Fea. Ada banyak hal yang menghalangi. Aku tak ingin melukai kamu jika melangkah lebih. Tapi aku tidak rela jika kamu pergi dengan orang lain."
Arnon menutup matanya. Wajah cantik Fea terlihat di pikiran Arnon. Senyum gadis itu membuat Arnon tenang. Kesabaran Fea selama ini, membuat Arnon merasa kuat.
Hal pertama yang membuat Arnon tenang dan suka di dekat Fea, saat sakit Arnon kambuh. Itu hari ketiga Fea berada di rumahnya. Mereka baru saja berteman. Asma yang Arnon derita membuat dia sesak dan sangat kesakitan. Arnon tidak tahu lagi apa yang dia rasa. Obat belum bereaksi dan Arnon seperti mau mati rasanya.
Fea berdiri di pinggir tempat tidur Arnon. Mata gadis kecil itu berkaca-kaca. Dia tidak tega melihat Arnon kesakitan.
"Tuan Muda, lihat aku ... Lihat aku ..." Fea memegang tangan Arnon.
Arnon memaksa tetap sadar dan menatap pada Fea.
"Jangan takut, Tuan Muda. Aku akan menemani Tuan Muda. Kita nanti main sama-sama lagi. Pegang tanganku, Tuan Muda pasti baik-baik saja." Suaranya tidak keras bicara pada Arnon. Dia sedikit takut terdengar neneknya dan mama Arnon yang sedang bicara dengan dokter di kamar itu.
Arnon memaksa memandang mata Fea. Matanya sangat bagus. Air mata yang tergenang di pelupuk mata Fea membuat Arnon kuat. Dia tidak mau Fea menangis karena dia. Teman barunya tidak harus bersedih melihatnya seperti itu.
"Fea ..." lirih Arnon bergumam, masih dengan mata terpejam, kepala di sandaran kursinya yang besar.
Tidak ada wanita yang bisa mengisi hati Arnon seperti Fea. Dia berbeda dengan wanita yang dia pernah kenal. Yang Arnon tahu, itu karena Nenek Ellina. Arnon sangat sayang Nenek Ellina. Wanita itu tulus memperhatikan Arnon, lebih dari orang tua kandung Arnon sendiri.
Beberapa hal yang Fea lakukan mengingatkan Arnon pada Nenek Ellina. Lembut, tapi tegas. Penyayang dan baik hati. Tidak ada rasa benci di hati mereka untuk orang lain. Bahkan saat disakiti mereka memilih tidak akan membalas marah atau benci.
"Nenek, terima kasih sudah membawa Fea buat aku. Jika tidak ada Fea, entah hidup seperti apa yang aku jalani di istana nyonya ketiga Tuan Hendrawan." Arnon mencibir.
Mengingat masa kecilnya hanya luka yang terus Arnon ingat. Papanya, benar, seorang pengusaha sukses. Tapi dia bukan tipe kepala keluarga. Dia tidak tahu bagaimana menjadi seorang ayah. Dia hanya datang dan pergi di rumah besar itu. Kadang tinggal beberapa hari, kadang lebih sebulan tidak tampak.
Saat dia datang, tidak ada senyum buat Arnon. Dia menatap kaku dan tajam pada anak lelakinya yang masih bocah dan sakit-sakitan itu. Arnon merasa Tuan Hendrawan tidak sayang padanya. Tidak ada kedekatan yang terjalin di antara mereka.
Sedang Arnella, dia pun bukan Mama seperti yang Arnon harapkan. Saat dia masih kecil, masih cukup sering meluangkan waktu dengan Arnon. Tapi semakin Arnon besar, hanya para pelayan yang menemani. Sesekali saja Arnella duduk dan bicara dengan Arnon. Akhirnya Arnon mengerti bahwa mamanya memilih sibuk ber-sosial di luar rumah, menjaga image sebagai istri pengusaha besar yang berjiwa sosial tinggi.
Saat semua kenangan itu muncul, Arnon merasa tidak dicintai. Cinta yang dia rasa justru datang dari para pelayan, terutama Nenek Ellina dan Fea. Arnon belajar tentang cinta dan kasih sayang dari kedua perempuan yang orang tuanya katakan orang dari kelas rendahan.
Tuuuttt!!
Arnon membuka mata dan menegakkan kepalanya. Ada panggilan dari interkom. Arnon menerima panggilan itu.
"Ya?!" Satu kata yang Arnon ucapkan.
"Maaf, Pak. Ada Nona Gladys ingin bertemu." Itu suara dari front office.
"Oke, suruh saja masuk." Arnon menjawab.
"Baik, Pak." Dan panggilan itu berakhir.
"Mau apa lagi dia? Pasti ingin beli tas atau sepatu branded lagi. Dasar." Arnon bisa menebak apa tujuan Gladys salah satu teman kencannya itu datang.
Pintu ruangan Arnon terbuka. Wanita tinggi langsing dengan pakaian minim berwarna merah menyala, masuk. Cantik, dengan polesan yang membuat dia terlihat lebih segar dan menawan. Gladys, Arnon mengenalnya saat menghadiri pembukaan sebuah perumahan milik rekan bisnisnya tiga tahun lalu. Gladys adalah sekretaris pengusaha ternama. Dia pecinta pria berduit dan tampan seperti Arnon. Dengan langkah aduhai dia mendekati Arnon, langsung memberi kecupan mesra pada Arnon yang duduk di kursinya. Arnon membalas perlakuan Gladys. Hingga beberapa menit kemudian Arnon melepasnya. "Kamu pasti merindukan aku, Sayang. Hampir sebulan aku sibuk dengan pekerjaan. Hari ini aku minta off dan aku sengaja ingin memakai waktu bersama kamu." Gladys berdiri di belakang kursi Arnon, melingkarkan tangan ke dada Arnon, sambil berbisik mesra di telinga pria itu. "Kamu datang di hari yang kurang bagus. Mood-ku sedang berantakan, Gladys. Aku hanya ingin menenan
Makan malam terus berlanjut. Irvan membicarakan hal-hal sederhana yang membuat suasana malam itu menyenangkan. Irvan memang pintar juga melucu, bolak balik Fea tertawa, sampai menutup mulut takut lepas tak terkontrol lagi."Begitu, deh. Ga nyangka kan, maunya buat seru-seruan, malah bikin aku malu. Beneran kalau ingat itu pingin kabur aja. Hee ... hee ..." Irvan mengisahkan kejadian lucu saat dia masih sekolah.Fea tersenyum lebar sambil geleng-geleng. Dia perhatikan Irvan, lesung pipinya bagus, membuat dia makin menawan. Ya, dia kekasih Fea sekarang, bisa dibanggakan juga soal tampang. Tidak kalah dengan Arnon."Kamu senang malam ini?" Irvan memandang Fea yang masih menghabiskan makanan di piringnya. Tinggal dua suap lagi selesai."Ya, seru juga mendengar cerita kamu, Ir. Malam yang menyenangkan. Thank you." Fea tersenyum manis. Dia akan mencoba melebarkan hatinya, menerima Irvan, menikmati kasih sayangnya, siapa tahu, hati Fea pu
Arnon terdiam dengan apa yang Fea katakan. Kali ini Arnon mendengarkan dengan serius yang diucapkan gadis itu. Harapan dan impian Fea. Bukan kali ini saja Fea mengutarakan apa yang dia inginkan dalam hidupnya. Sebuah keluarga, dengan pria yang mencintainya, yang dia cintai, dan merawat anak-anak mereka. Keluarga sederhana tapi hidup bahagia.Setiap Fea bercerita tentang itu, Arnon ingin tertawa. Kadang dia memang sudah tertawa dan membuat Fea enggan mengatakannya lagi. Kadang Arnon pikir itu hanya khayalan saja, bukan sesuatu yang serius. Tapi kali ini, Arnon merasa Fea benar-benar ingin mewujudkan harapannya itu. Dengan pria yang bersamanya tadi?"Siapa dia?" Arnon menatap lebih tajam pada dua bola mata Fea."Namanya Irvan. Dia wakil direksi di kantor. Orangnya sabar dan ramah. Kamu jangan kuatir, aku akan baik-baik saja sama dia." Fea mencoba setenang mungkin bicara, dia mau melunakkan hati Arnon agar akhirnya Arnon melepaskannya dari janji m
Fea yakin tidak salah dengar. Tuan Muda mengajak dia pergi ke kantor bareng? Mata Fea memandang Arnon, bibirnya membulat, bingung."Kamu mau terlambat sampai kantor? Ayo, jalan sekarang." Arnon meraih tangan Fea dan menggandeng gadis itu hingga sampai di garasi.Arnon membuka pintu mobilnya. Sebelum masuk dia menoleh pada Fea yang masih berdiri mematung. Fea benar-benar tidak mengerti Arnon. Apa yang terjadi dengan cowok itu?"Masuk, Fea!" titah Arnon.Fea sedikit tersentak. Dia nurut. Fea membuka pintu mobil, masuk, dan duduk di sisi Arnon."Kamu bukan sedang mabuk, kan?" Fea melihat Arnon yang mulai melakukan kendaraannya."Ini masih pagi. Belum jam delapan. Kamu pikir aku segila itu, mabuk di pagi hari?" Arnon menarik ujung bibirnya."Aku sudah bertahun-tahun ke mana-mana sendiri. Ke kantor juga punya langganan ojek. Kenapa kamu mau antar aku? Resto kamu dan kantor tempat aku bekerja itu beda arah
Riko tersenyum kepada Arnon. Pertanyaan ini yang Riko tunggu dari Arnon. Pria yang gemar bermain wanita cantik itu mulai ingin tahu kenapa seorang pria hanya bisa bertahan dengan satu wanita dalam ikatan pernikahan. Sebab teman-teman Arnon yang ada di sekelilingnya, banyak juga yang tetap mencari wanita di luar rumah sekalipun sudah menikah. Lalu papanya yang punya tiga istri, membuat Arnon merasa aneh jika pria sanggup hidup hanya dengan satu wanita."Aku mungkin bisa kamu bilang kolot, kuno, jadul, atau terlalu konservatif, terserah. Tapi aku akan mulai dari paling dasar dan paling awal Arnon." Riko memandang Arnon.Arnon menyilangkan kaki, menatap pada Riko dengan serius. Riko masih memandang Arnon, memastikan temannya yang galau itu mau mendengarkan dia."Oke. Lanjut. Aku ga akan komentar apa-apa." Arnon menyahut."Kalau begitu baiklah. Aku akan mulai. Kamu harus tahan dengan temanmu yang satu ini. Siap?" ujar Riko.
Lagi-lagi Fea terpana dengan sikap Arnon. Dia mendatangi Fea dan memohon? Fea tidak mengerti kenapa Arnon begini? Tapi yang Fea lihat Arnon gundah. Wajahnya campur aduk. Antara marah, sedih, dan kesal."Arnon, kita sudah bicara soal itu. Aku tidak bisa mempermainkan Irvan. Apa alasan aku memutuskan dia?" Fea memandang Arnon.Arnon meraup rambutnya kasar. Dia tidak tahu bagaimana mengatakan apa yang berkecamuk di hatinya. Tuntutan orang tuanya, juga kemarahan Arnon karena cemburu."Hei, kamu baik-baik saja?" Fea mencoba melunak.Mungkin saja Arnon ada masalah dengan pekerjaan, atau dia ribut dengan salah satu wanitanya? Fea maju dan menarik tangan Arnon."Tidak. Aku ... Fea, kamu cinta sama Irvan?" Dan pertanyaan ini lagi yang Arnon ucapkan.Fea tersenyum. Jadi Arnon sangat kuatir jika Fea tidak bahagia dengan Irvan? Apa itu yang membuat dia kacau begini?"Hm, kurasa aku ingin menikmati sesuatu
Fea membereskan mejanya. Dia segera beranjak. Arnon menunggu di tempat parkir. Fea tidak tahu apa yang Arnon mau lakukan. Tapi dia benar-benar membuat Fea terkejut kali ini."Fea! Mau jalan? Diajak ke mana?" Rania masih mengira Fea akan pergi dengan Irvan."Arnon." Fea bicara dengan jelas tapi tanpa suara."Hah? Arnon?" ulang Rania.Fea mengangguk dan cepat-cepat keluar. Rania jadi bingung. Arnon yang menelpon? Cowok itu menelpon dan Fea tergesa-gesa pergi. Artinya Arnon meminta Fea melakukan sesuatu. Dan begitu saja Fea manut?Rania tidak habis pikir. Sahabatnya itu sudah punya Irvan sekarang. Lalu kenapa masih segitu pusingnya dengan Arnon. Apa dia tidak mau melepas Arnon? Kalau begini, bisa runyam urusannya nanti dengan Irvan."Aku sama sekali ga bisa paham dengan cara berpikir kamu, Fea." Rania menggumam dan menggeleng kesal. Dia pun membereskan meja, sudah waktunya pulang.Rania baru berdiri, Ir
Fea mengeluarkan ponselnya. Terkejut, sangat terkejut. Irvan menelpon beberapa kali. Cowok itu juga mengirim pesan menanyakan dirinya.Fea merasa bodoh. Dia sama sekali tidak ingat Irvan. Sejak Arnon bilang menjemput, Fea hanya mau cepat menemui Arnon, ingin tahu mau apa cowok itu tiba-tiba nongol ke kantor Fea.Dan kejutan Arnon, benar-benar mengalihkan Fea dari hal yang lain. Fea menikmati waktu berdua Arnon, karena sangatlah menyenangkan. Sekarang, Fea harus menjelaskan apa yang terjadi pada Irvan."Irvan, maaf, aku benar-benar ga ingat kamu pasti akan menemui aku sebelum pulang. Jika mungkin kamu akan mengantarkan aku juga. Astaga, Fea ..."Cepat-cepat Fea memberi balasan pesan pada Irvan.- Ir, maafkan aku pergi tanpa pamit. Arnon tiba-tiba jemput dan ada yang dia mau tunjukkan. Lain kali aku pasti kabari kalau harus mendadak pergi.Fea berharap kekasihnya bisa mengerti. Toh, Fea sudah menjelaskan den