Share

6. Arnon yang Terus Terluka

Arnon ingin sekali memukul tembok atau melempar apa yang ada di depannya. Ini yang selalu menjadi masalah saat dia bicara dengan mamanya. Tak pernah sejalan. Mamanya memandang kemewahan dan pandangan orang tentang dirinya hal utama di dalam hidup. 

"Mama! Kita punya segala kemewahan, tapi tidak martabat!!" Dengan mata menyala Arnon memandang wanita yang melahirkan dirinya itu. 

"Arnon!" sentak Arnella kesal. 

"Kalau Mama bilang agar aku punya martabat, aku belum lahir saat Mama menikah dengan Tuan Ardiansyah Hendrawan yang kaya raya dan sudah punya dua wanita dalam hidupnya. Aku bahkan belum ada di pikiran Mama." Arnon menatap tajam pada Arnella. 

Arnella kali ini tidak membantah. Arnon benar. 

"Aku ini punya otak dan ingatan. Apa yang di luar sana beredar aku juga dengar. Aku harus menelan sakit jika ada bisikan yang menyebut, Arnon, anak wanita gila harta. Tidak malu jadi istri ketiga demi kemewahan. Mama pikir itu martabat? Martabat dilihat dari mana? Dari kutub utara?" Arnon mencibir. Hatinya sangat panas sekarang. 

"Kenapa kamu pusing yang orang bilang?!" sahut Arnella. 

"Kenapa Mama pusing soal martabat jika itu hanya apa yang orang bilang?!" bantah Arnon. 

"Aku lelah ribut dengan kamu, Arnon!" Arnella menyerah tak bisa dia membuat Arnon menurut apa yang dia mau. 

"Aku juga lelah karena terus saja dikejar soal menikah, menikah, harta, harta. Aku juga lelah, Ma!" Bersih kukuh Arnon menolak permintaan mamanya. 

"Apa karena gadis itu? Fea?" Suara Arnella merendah, tapi nada kesal dan sinis masih tersisa di sana. 

"Fea. Dia sangat penting buat aku, Ma. Jangan katakan apapun yang buruk tentang dia." Arnon bisa mengerti ke mana arah pembicaraan Arnella. 

"Aku tak akan pernah merestui kamu menikah dengan gadis rendahan seperti dia. Ada banyak gadis berkelas, ambil salah satu dari mereka. Yang mana saja, tapi yang pasti bukan pelayan itu," tandas Arnella. Dia bicara dengan tegas agar putranya itu mendengar jelas yang dia katakan. 

"Sudahlah. Aku tidak lapar lagi. Aku berangkat." Arnon meninggalkan meja dan berjalan keluar rumah. Hatinya sangat dongkol harus berselisih lagi dengan mamanya. 

Dengan mobilnya Arnon menuju ke restorannya. Di sana dia bisa lebih tenang. Lebih baik tenggelam dalam pekerjaannya daripada di rumah ribut saja dengan mamanya. 

"Selamat pagi, Pak." Pelayan restoran di depan pintu menyapa Arnon. 

"Pagi, Dani. Kamu segar sekali pagi ini." Inilah Arnon. Sekesal-kesal hatinya, dia tidak mau membawanya ke restoran saat bertemu pegawainya. Dia telan sendiri, dia tetap bersikap manis pada semua orang. 

"Terima kasih, Pak." Dani mengangguk sambil tersenyum lebar. 

"Apa Chef Riko sudah datang?" Arnon menoleh lagi pada Dani. 

"Sudah, Pak. Baru kira-kira sepuluh menit yang lalu." Dengan cepat Dani menjawab. 

"Oke. Thank you, Dani." Arnon meneruskan langkah menuju ke dapur restoran. 

"Bukannya mobil Chef Riko diparkir di depan? Masa Pak Arnon ga lihat?" gumam Dani. Dia merasa aneh saja pada bosnya. 

Arnon masuk dapur. Pandangan Arnon tertuju pada Chef Riko yang sedang memberi arahan pada beberapa pembantunya. Arnon tidak mengganggu. Dia menunggu hingga briefing itu selesai. 

Lalu dia mengajak Riko bicara tentang beberapa hal, baru Arnon beranjak menuju ke ruangannya. Duduk di sana, Arnon memandang pigura di mejanya. Gambar itu Fea yang membuatnya, saat ulang tahun Arnon kedua belas. 

Dalam gambar itu ada anak laki-laki dan perempuan. Mereka bergandeng tangan, sambil tersenyum. Itu Fea dan Arnon. Di bagian bawah gambar itu ada tulisan tangan Fea. Bersama, selamanya.

"Fea." Arnon mengusap gambar itu. "Aku sayang kamu. Tapi tidak semudah itu bersama kamu, Fea. Ada banyak hal yang menghalangi. Aku tak ingin melukai kamu jika melangkah lebih. Tapi aku tidak rela jika kamu pergi dengan orang lain."

Arnon menutup matanya. Wajah cantik Fea terlihat di pikiran Arnon. Senyum gadis itu membuat Arnon tenang. Kesabaran Fea selama ini, membuat Arnon merasa kuat. 

Hal pertama yang membuat Arnon tenang dan suka di dekat Fea, saat sakit Arnon kambuh. Itu hari ketiga Fea berada di rumahnya. Mereka baru saja berteman. Asma yang Arnon derita membuat dia sesak dan sangat kesakitan. Arnon tidak tahu lagi apa yang dia rasa. Obat belum bereaksi dan Arnon seperti mau mati rasanya. 

Fea berdiri di pinggir tempat tidur Arnon. Mata gadis kecil itu berkaca-kaca. Dia tidak tega melihat Arnon kesakitan. 

"Tuan Muda, lihat aku ... Lihat aku ..." Fea memegang tangan Arnon. 

Arnon memaksa tetap sadar dan menatap pada Fea. 

"Jangan takut, Tuan Muda. Aku akan menemani Tuan Muda. Kita nanti main sama-sama lagi. Pegang tanganku, Tuan Muda pasti baik-baik saja." Suaranya tidak keras bicara pada Arnon. Dia sedikit takut terdengar neneknya dan mama Arnon yang sedang bicara dengan dokter di kamar itu. 

Arnon memaksa memandang mata Fea. Matanya sangat bagus. Air mata yang tergenang di pelupuk mata Fea membuat Arnon kuat. Dia tidak mau Fea menangis karena dia. Teman barunya tidak harus bersedih melihatnya seperti itu. 

"Fea ..." lirih Arnon bergumam, masih dengan mata terpejam, kepala di sandaran kursinya yang besar.

Tidak ada wanita yang bisa mengisi hati Arnon seperti Fea. Dia berbeda dengan wanita yang dia pernah kenal. Yang Arnon tahu, itu karena Nenek Ellina. Arnon sangat sayang Nenek Ellina. Wanita itu tulus memperhatikan Arnon, lebih dari orang tua kandung Arnon sendiri. 

Beberapa hal yang Fea lakukan mengingatkan Arnon pada Nenek Ellina. Lembut, tapi tegas. Penyayang dan baik hati. Tidak ada rasa benci di hati mereka untuk orang lain. Bahkan saat disakiti mereka memilih tidak akan membalas marah atau benci. 

"Nenek, terima kasih sudah membawa Fea buat aku. Jika tidak ada Fea, entah hidup seperti apa yang aku jalani di istana nyonya ketiga Tuan Hendrawan." Arnon mencibir. 

Mengingat masa kecilnya hanya luka yang terus Arnon ingat. Papanya, benar, seorang pengusaha sukses. Tapi dia bukan tipe kepala keluarga. Dia tidak tahu bagaimana menjadi seorang ayah. Dia hanya datang dan pergi di rumah besar itu. Kadang tinggal beberapa hari, kadang lebih sebulan tidak tampak. 

Saat dia datang, tidak ada senyum buat Arnon. Dia menatap kaku dan tajam pada anak lelakinya yang masih bocah dan sakit-sakitan itu. Arnon merasa Tuan Hendrawan tidak sayang padanya. Tidak ada kedekatan yang terjalin di antara mereka. 

Sedang Arnella, dia pun bukan Mama seperti yang Arnon harapkan. Saat dia masih kecil, masih cukup sering meluangkan waktu dengan Arnon. Tapi semakin Arnon besar, hanya para pelayan yang menemani. Sesekali saja Arnella duduk dan bicara dengan Arnon. Akhirnya Arnon mengerti bahwa mamanya memilih sibuk ber-sosial di luar rumah, menjaga image sebagai istri pengusaha besar yang berjiwa sosial tinggi. 

Saat semua kenangan itu muncul, Arnon merasa tidak dicintai. Cinta yang dia rasa justru datang dari para pelayan, terutama Nenek Ellina dan Fea. Arnon belajar tentang cinta dan kasih sayang dari kedua perempuan yang orang tuanya katakan orang dari kelas rendahan. 

Tuuuttt!! 

Arnon membuka mata dan menegakkan kepalanya. Ada panggilan dari interkom. Arnon menerima panggilan itu. 

"Ya?!" Satu kata yang Arnon ucapkan. 

"Maaf, Pak. Ada Nona Gladys ingin bertemu." Itu suara dari front office. 

"Oke, suruh saja masuk." Arnon menjawab. 

"Baik, Pak." Dan panggilan itu berakhir. 

"Mau apa lagi dia? Pasti ingin beli tas atau sepatu branded lagi. Dasar." Arnon bisa menebak apa tujuan Gladys salah satu teman kencannya itu datang. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status