Home / Romansa / Andai Semua Berbeda / 6. Arnon yang Terus Terluka

Share

6. Arnon yang Terus Terluka

last update Last Updated: 2021-04-23 22:44:32

Arnon ingin sekali memukul tembok atau melempar apa yang ada di depannya. Ini yang selalu menjadi masalah saat dia bicara dengan mamanya. Tak pernah sejalan. Mamanya memandang kemewahan dan pandangan orang tentang dirinya hal utama di dalam hidup. 

"Mama! Kita punya segala kemewahan, tapi tidak martabat!!" Dengan mata menyala Arnon memandang wanita yang melahirkan dirinya itu. 

"Arnon!" sentak Arnella kesal. 

"Kalau Mama bilang agar aku punya martabat, aku belum lahir saat Mama menikah dengan Tuan Ardiansyah Hendrawan yang kaya raya dan sudah punya dua wanita dalam hidupnya. Aku bahkan belum ada di pikiran Mama." Arnon menatap tajam pada Arnella. 

Arnella kali ini tidak membantah. Arnon benar. 

"Aku ini punya otak dan ingatan. Apa yang di luar sana beredar aku juga dengar. Aku harus menelan sakit jika ada bisikan yang menyebut, Arnon, anak wanita gila harta. Tidak malu jadi istri ketiga demi kemewahan. Mama pikir itu martabat? Martabat dilihat dari mana? Dari kutub utara?" Arnon mencibir. Hatinya sangat panas sekarang. 

"Kenapa kamu pusing yang orang bilang?!" sahut Arnella. 

"Kenapa Mama pusing soal martabat jika itu hanya apa yang orang bilang?!" bantah Arnon. 

"Aku lelah ribut dengan kamu, Arnon!" Arnella menyerah tak bisa dia membuat Arnon menurut apa yang dia mau. 

"Aku juga lelah karena terus saja dikejar soal menikah, menikah, harta, harta. Aku juga lelah, Ma!" Bersih kukuh Arnon menolak permintaan mamanya. 

"Apa karena gadis itu? Fea?" Suara Arnella merendah, tapi nada kesal dan sinis masih tersisa di sana. 

"Fea. Dia sangat penting buat aku, Ma. Jangan katakan apapun yang buruk tentang dia." Arnon bisa mengerti ke mana arah pembicaraan Arnella. 

"Aku tak akan pernah merestui kamu menikah dengan gadis rendahan seperti dia. Ada banyak gadis berkelas, ambil salah satu dari mereka. Yang mana saja, tapi yang pasti bukan pelayan itu," tandas Arnella. Dia bicara dengan tegas agar putranya itu mendengar jelas yang dia katakan. 

"Sudahlah. Aku tidak lapar lagi. Aku berangkat." Arnon meninggalkan meja dan berjalan keluar rumah. Hatinya sangat dongkol harus berselisih lagi dengan mamanya. 

Dengan mobilnya Arnon menuju ke restorannya. Di sana dia bisa lebih tenang. Lebih baik tenggelam dalam pekerjaannya daripada di rumah ribut saja dengan mamanya. 

"Selamat pagi, Pak." Pelayan restoran di depan pintu menyapa Arnon. 

"Pagi, Dani. Kamu segar sekali pagi ini." Inilah Arnon. Sekesal-kesal hatinya, dia tidak mau membawanya ke restoran saat bertemu pegawainya. Dia telan sendiri, dia tetap bersikap manis pada semua orang. 

"Terima kasih, Pak." Dani mengangguk sambil tersenyum lebar. 

"Apa Chef Riko sudah datang?" Arnon menoleh lagi pada Dani. 

"Sudah, Pak. Baru kira-kira sepuluh menit yang lalu." Dengan cepat Dani menjawab. 

"Oke. Thank you, Dani." Arnon meneruskan langkah menuju ke dapur restoran. 

"Bukannya mobil Chef Riko diparkir di depan? Masa Pak Arnon ga lihat?" gumam Dani. Dia merasa aneh saja pada bosnya. 

Arnon masuk dapur. Pandangan Arnon tertuju pada Chef Riko yang sedang memberi arahan pada beberapa pembantunya. Arnon tidak mengganggu. Dia menunggu hingga briefing itu selesai. 

Lalu dia mengajak Riko bicara tentang beberapa hal, baru Arnon beranjak menuju ke ruangannya. Duduk di sana, Arnon memandang pigura di mejanya. Gambar itu Fea yang membuatnya, saat ulang tahun Arnon kedua belas. 

Dalam gambar itu ada anak laki-laki dan perempuan. Mereka bergandeng tangan, sambil tersenyum. Itu Fea dan Arnon. Di bagian bawah gambar itu ada tulisan tangan Fea. Bersama, selamanya.

"Fea." Arnon mengusap gambar itu. "Aku sayang kamu. Tapi tidak semudah itu bersama kamu, Fea. Ada banyak hal yang menghalangi. Aku tak ingin melukai kamu jika melangkah lebih. Tapi aku tidak rela jika kamu pergi dengan orang lain."

Arnon menutup matanya. Wajah cantik Fea terlihat di pikiran Arnon. Senyum gadis itu membuat Arnon tenang. Kesabaran Fea selama ini, membuat Arnon merasa kuat. 

Hal pertama yang membuat Arnon tenang dan suka di dekat Fea, saat sakit Arnon kambuh. Itu hari ketiga Fea berada di rumahnya. Mereka baru saja berteman. Asma yang Arnon derita membuat dia sesak dan sangat kesakitan. Arnon tidak tahu lagi apa yang dia rasa. Obat belum bereaksi dan Arnon seperti mau mati rasanya. 

Fea berdiri di pinggir tempat tidur Arnon. Mata gadis kecil itu berkaca-kaca. Dia tidak tega melihat Arnon kesakitan. 

"Tuan Muda, lihat aku ... Lihat aku ..." Fea memegang tangan Arnon. 

Arnon memaksa tetap sadar dan menatap pada Fea. 

"Jangan takut, Tuan Muda. Aku akan menemani Tuan Muda. Kita nanti main sama-sama lagi. Pegang tanganku, Tuan Muda pasti baik-baik saja." Suaranya tidak keras bicara pada Arnon. Dia sedikit takut terdengar neneknya dan mama Arnon yang sedang bicara dengan dokter di kamar itu. 

Arnon memaksa memandang mata Fea. Matanya sangat bagus. Air mata yang tergenang di pelupuk mata Fea membuat Arnon kuat. Dia tidak mau Fea menangis karena dia. Teman barunya tidak harus bersedih melihatnya seperti itu. 

"Fea ..." lirih Arnon bergumam, masih dengan mata terpejam, kepala di sandaran kursinya yang besar.

Tidak ada wanita yang bisa mengisi hati Arnon seperti Fea. Dia berbeda dengan wanita yang dia pernah kenal. Yang Arnon tahu, itu karena Nenek Ellina. Arnon sangat sayang Nenek Ellina. Wanita itu tulus memperhatikan Arnon, lebih dari orang tua kandung Arnon sendiri. 

Beberapa hal yang Fea lakukan mengingatkan Arnon pada Nenek Ellina. Lembut, tapi tegas. Penyayang dan baik hati. Tidak ada rasa benci di hati mereka untuk orang lain. Bahkan saat disakiti mereka memilih tidak akan membalas marah atau benci. 

"Nenek, terima kasih sudah membawa Fea buat aku. Jika tidak ada Fea, entah hidup seperti apa yang aku jalani di istana nyonya ketiga Tuan Hendrawan." Arnon mencibir. 

Mengingat masa kecilnya hanya luka yang terus Arnon ingat. Papanya, benar, seorang pengusaha sukses. Tapi dia bukan tipe kepala keluarga. Dia tidak tahu bagaimana menjadi seorang ayah. Dia hanya datang dan pergi di rumah besar itu. Kadang tinggal beberapa hari, kadang lebih sebulan tidak tampak. 

Saat dia datang, tidak ada senyum buat Arnon. Dia menatap kaku dan tajam pada anak lelakinya yang masih bocah dan sakit-sakitan itu. Arnon merasa Tuan Hendrawan tidak sayang padanya. Tidak ada kedekatan yang terjalin di antara mereka. 

Sedang Arnella, dia pun bukan Mama seperti yang Arnon harapkan. Saat dia masih kecil, masih cukup sering meluangkan waktu dengan Arnon. Tapi semakin Arnon besar, hanya para pelayan yang menemani. Sesekali saja Arnella duduk dan bicara dengan Arnon. Akhirnya Arnon mengerti bahwa mamanya memilih sibuk ber-sosial di luar rumah, menjaga image sebagai istri pengusaha besar yang berjiwa sosial tinggi. 

Saat semua kenangan itu muncul, Arnon merasa tidak dicintai. Cinta yang dia rasa justru datang dari para pelayan, terutama Nenek Ellina dan Fea. Arnon belajar tentang cinta dan kasih sayang dari kedua perempuan yang orang tuanya katakan orang dari kelas rendahan. 

Tuuuttt!! 

Arnon membuka mata dan menegakkan kepalanya. Ada panggilan dari interkom. Arnon menerima panggilan itu. 

"Ya?!" Satu kata yang Arnon ucapkan. 

"Maaf, Pak. Ada Nona Gladys ingin bertemu." Itu suara dari front office. 

"Oke, suruh saja masuk." Arnon menjawab. 

"Baik, Pak." Dan panggilan itu berakhir. 

"Mau apa lagi dia? Pasti ingin beli tas atau sepatu branded lagi. Dasar." Arnon bisa menebak apa tujuan Gladys salah satu teman kencannya itu datang. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Andai Semua Berbeda   Extra Part - The Double Twins

    Tawa lepas terdengar di tepi pantai. Dibarengi suara deburan ombak yang tak mau menunda hentakannya menerjang bibir pantai luas dan indah. Angin semakin kencang bertiup, seolah-olah memaksa awan-awan bergerak cepat dan segera berganti bentuk menghias biru langit.Pohon-pohon di tepi pantai berkejaran menggoyangkan dahan dan daun-daun yang memenuhi batangnya. Seakan-akan menari menikmati hari yang cerah. Sesekali terdengar desauan suara gesekan dedaunan itu."Sayang ... lihat apa?" Arnon memencet hidung Fea.Fea gelagapan. Dia pegang tangan Arnon, menoleh padanya."Memperhatikan anak-anak. Rasanya belum lama aku berjuang membawa mereka lahir, ternyata mereka sudah mulai gede." Senyum Fea mengembang manis. Dia lepaskan tangan Arnon dan merapikan helaian rambutnya yang menutupi wajah karena tiupan angin."Kamu benar. Arnon dan Fernan suaranya mulai berubah. Tingginya sudah melampaui kamu. Dan sudah mulai ngerti cewek cantik." Arnon ikut tersenyum leba

  • Andai Semua Berbeda   235. Andai Semua Berbeda

    Arnon memegang lengan Fea, meminta dia menurunkan tangan. Fea menggeleng. Dia kesal karena perjalanan itu terganggu gara-gara dia sakit. "Sayang, kenapa?" ulang Arnon. "Kenapa aku sakit? Harusnya kita happy, menikmati semuanya." Fea sedikit merajuk. Arnon menggeser kursinya, merapat pada Fea dan memeluknya. "Jangan sedih. Sakit itu ga bisa ditolak. Sudah, ga apa-apa." "Hhmm, uuhhkkk ..." Fea kembali merasa mual. Sedang pusing yang mendera kembali datang. "Kita ke dokter saja. Ga bisa kayak gini. Ini sudah campur-campur sakitnya. Ayo!" Arnon tidak bisa menunggu. Lebih baik mencari obat yang benar, agar Fea segera pulih. Sebab masih dua hari lagi perjalanan mereka. Dengan tubuh sedikit oleng, Fea menurut. Arnon menuntunnya masuk ke dalam mobil. Arnon segera browsing mencari klinik terdekat. "Good, hanya sepuluh menit dari sini. Kita pergi." Arnon dengan cepat melaju di jalanan. Pulau itu tidak sepadat kota asa

  • Andai Semua Berbeda   234. Senyum Berubah Menjadi Rasa Cemas

    Arnon memandang Fea. Dia tahu, Fea benar-benar lupa ada apa dengan salah satu kembar mereka."Pulang, bisakah ada adik di perut Mama?" Fea mengulang yang Fernan katakan.Fea memeluk Arnon seketika. Senyumnya melebar. "Iya, ingat. Tapi aku mau jalan-jalan. Rugi kalau jauh-jauh hanya untuk rebahan di kamar.""Hee ... hee ..." Arnon tersenyum lebar. "Oke, kita tidur. Besok kita berpetualang di luar pagi hingga siang. Malam, petualangan di atas kasur. Jangan menolak, Sayang ..."Fea tidak menyahut, tidak juga menolak. Yang terjadi terjadilah. Dia juga berharap jika Tuhan kehendaki, maka dia akan segera mengandung. Namun, jika tidak, dia pasrah. Tuhan yang lebih tahu, apakah baik buta dia dan Arnon, juga anak-anak, jika ada anggota keluarga baru.Malam dengan cepat berlalu, pagi pun menyapa lagi.Arnon dan Fea mulai berkelana di pulau cantik itu. Awal, mereka datang ke resto Hervina. Hervina sendiri yang menjemput dari hotel. Fea dan Arnon dijamu

  • Andai Semua Berbeda   233. Jangan Lepaskan

    Arnon pun tidak kalah terkejut saat mengenali wanita yang memanggilnya. Apa dia harus menemuinya? Tetapi langkah mereka memang terarah ke tempat di mana wanita cantik dengan postur tinggi dan langsing itu berada."Kamu akan menemuinya?" tanya Fea."Kenapa tidak? Aku bersama kamu. Kita temui sama-sama." Arnon memegang erat tangan Fea.Mereka melangkah mendekat pada wanita itu."Selamat datang di pulau cantik ini. Selamat berpetualang." Senyum manisnya, masih sama seperti dulu, itu yang Arnon lihat."Maaf, Kak Hervi ga bisa jemput. Hari ini restonya ada acara wedding, jadi dia pastikan semua berjalan lancar." Suaranya ceria dan terdengar ramah."Kamu dan Hervina?" Arnon menatap wanita itu."Namaku Widya Sukma Adijaya. Kamu teman kuliah Kak Hervi, pasti ingat namanya." Widya berkata sambil tersenyum lebar.Arnon mengerutkan kening. "Aku tidak ingat lengkapnya, tapi ya ... Hervina ... belakangnya Adijaya. Jadi dia kakakmu?"

  • Andai Semua Berbeda   232. Tumpeng Buat Tinah

    Fea menatap Arnon lekat-lekat. Seketika suasana riuh dan meriha itu tidak manis lagi. Kenapa Arnon mengatakan itu? Wajahnya tegas, membalas tatapan Fea. Apakah Arnon sebenarnya terpaksa datang ke panti? "Kamu kenapa?" tanya Fea. "Tidak bisa menikmati acara ini." Arnon mengatakan lebih tegas. "Kamu tidak ingin datang? Aku sudah bertanya lebih dulu, Ar, kamu bisa atau tidak. Kamu iyakan, kamu bilang Sabtu ini kosong, ga ada urusan mendesak. Makanya aku siapkan semua, bukan, kamu bahkan membantu menyiapkan ..." "Bagaimana bisa menikmati acara, kalau di sisiku ada bidadari cantik membuat aku tak bisa berkedip?" Arnon berkata dengan mata menghujam dua bola mata Fea, tanpa berkedip. "Ahh ..." Fea seketika menghela nafas panjang. "Arnon ..." Arnon tersenyum. Dia raih tangan Fea dan menggenggamnya. "Thank you." Fea ikut tersenyum. "Thank you buat apa?" "Aku mungkin akan bilang berulang-ulang, tapi akan tetap mengatakannya lagi.

  • Andai Semua Berbeda   231. Tak Mudah Menyelami Hati

    "Itulah, memang tidak mudah menyelami hati seseorang. Boleh dibilang, aku setuju dengan pepatah yang mengatakan, dalamnya lautan bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tahu," ujar Fea."Jawab saja, pakai melantunkan peribahasa segala. Hee ... hee ..." Sherlita merasa lucu dengan jawaban Fea."Pak Rido, dia terjebak banyak hutang. Karena diam-diam dia suka berjudi. Awalnya dia dapat uang dari pinjaman online. Kamu bisa bayangkan seperti apa jeratan pinjaman online apalagi yang asal begitu." Fea memulai penjelasannya."Waduh, kok ngeri aku," ujar Sherlita. Tak dia bayangkan itu yang terjadi. "Karena judi Rido nekad memperjualbelikan anak-anak?""Awalnya dia ga bermaksud begitu. Hanya dia melihat ada peluang dapat uang gede. Tanpa pikir panjang, dia iya saja. Dan sudah terlanjur ada perjanjian untuk menyerahkan anak itu." Fea menambahkan."Lalu, setelah tahu kenyataannya?" Sherlita makin penasaran."Menurut yang aku dengar, dia menyesal, t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status