Share

5. Bingkisan Cinta Buat Fea

Fea melirik Rania yang asyik menggoda Fea karena dapat kiriman kotak cantik itu. 

"Bingkisan cinta? Ngomong ngasal, kan?" tukas Fea. Tangan gadis itu membuka pita yang melilit manis di kotak merah marun. Lalu Fea membuka penutup kotak itu. 

Di dalamnya, jam tangan manis. Kecil, berwarna silver. Ada permata di beberapa titik, bagus sekali. Dan pasti sangat mahal. 

"Astaga! Fea, ini berapa duit? Itu pasti dari Irvan. Beneran dia cinta kamu, Fe." Rania langsung yakin kalau kotak itu kiriman Irvan. 

Fea juga hampir yakin. Karena beberapa kali Irvan melakukan ini. Dia pernah mengirim bunga dan coklat. Lalu juga dia mengirim tas cantik dan elegan. Lain waktu datang kiriman bros dan jepitan rambut indah. Tapi kali ini, jam tangan itu, pasti sangat mahal. 

Fea melihat ada kertas putih terlipat di dalam kotak. Saat Fea mengangkatnya, harum terasa menyeruak ke hidung Fea dari kertas imut itu. Fea membuka kertas itu dan membacanya. 

"Waktu terus melaju, tapi aku tak akan melangkah ke manapun. Aku masih di sini, menunggu kamu. Love fully, Irvan." Dalam hati Fea membaca. 

"Benar, kan?" Rania mencondongkan wajahnya ke dekat Fea, lalu dia memainkan kedua alisnya sambil bibirnya tersenyum simpul. 

"Ya. Aku ga bisa terima ini, Ran. Irvan pantas bahagia dengan wanita yang cinta padanya." Fea memasukkan lagi jam tangan ke dalam kotak kecil itu. 

"Hei, jangan bodoh, Fea. Irvan siap membahagiakan kamu. Dan aku yakin kamu bisa cinta pada Irvan. Dia sangat baik, Fe. Mau tunggu apa lagi?" Geram Rania pada sahabatnya itu. 

"Ran, aku hanya akan membohongi diriku dan Irvan kalau aku iyakan sementara hatiku untuk orang lain." Fea menatap Rania. 

"Orang lain yang ga mungkin melihat kamu? Fea, kalau dia memang sahabat kamu, dia akan mendukung apa yang membuat kamu bahagia. Bukan mengikat dan menjebak kamu kayak gini." Rania memegang lengan Fea. 

Fea diam. Tapi kali ini dia merasa Rania benar. 

"Setidaknya, cobalah. Jalani dulu. Jika memang bukan jodoh, kamu dan Irvan akan tahu kalian ga mungkin  sama-sama. Dan Irvan, akan dengan rela melepas perasaannya darimu, kemudian mencari hati yang tepat buat dirinya." Rania mencoba membujuk Fea. Rania sangat yakin kalau Irvan adalah pria yang tepat buat Fea. 

Irvan adalah salah satu wakil direksi di kantor tempat mereka bekerja. Dia sudah mapan, meski tidak se-Sultan keluarga Arnon. Dengan semua yang dia miliki, Fea akan bisa hidup sangat baik nanti, jika dia menerima Irvan. 

Fea tidak menjawab, tapi dia bisa memahami pikiran Rania. Ya, kenapa tidak dia coba? Dua tahun bukan waktu pendek untuk Irvan berjuang meluluhkan hati Fea. 

"Tapi, Arnon ... Dia akan marah ..."

"Kalau dia marah itu karena dia egois. Tunjukkan padanya kamu sedang mengejar kebahagiaan kamu. Dia harus menghargainya." Rania menyela tidak menunggu Fea selesai bicara. 

"Ya, aku tahu ... aku paham, Ran." Fea mengangguk. 

"Jadi?" Rania kembali mendekatkan mukanya pada Fea. 

"Hmm ..." Fea menarik nafas dalam. "Aku akan beri Irvan kesempatan."

"Yes!! Finally ..." Rania memegang kedua lengan Fea, lega, senang. 

Fea tersenyum, tapi hatinya tidak lega. 

"Coba chat. Ayo, ajak dia ketemu untuk bicara." Rania bersemangat sekali. 

"Ya, Ran. Kok kamu yang heboh." Fea merengut. Tapi dia nurut juga. Fea mencari kontak Irvan di ponsel, lalu dia chat pria itu. 

- Thanks for your gift

Itu yang Fea kirim pada Irvan. 

"Bilang apa?" tanya Rania. 

"Terima kasih buat hadiahnya." Fea meletakkan ponsel di meja. 

"Hah? Gitu doang?" Rania mengangkat kedua alisnya, menatap fea. 

"Lha, bener kan, aku bilang terima kasih." Fea balas menatap Rania. 

"Fea!" Gemes benar Rania dengan Fea. "Bilang mau ketemu, gitu."

"Biar dia yang minta ketemu." Fea tidak mau nurut kali ini. 

"Hei, cewek satu ini memang!" Rania menggeleng keras kesal. 

Ting! Notif di ponsel Fea. Fea melihat ke layar ponselnya. Mata Rania juga tertuju pada benda pipih itu. 

"Lihat dia jawab apa?" Rania tidak sabar mengetahui chat dari Irvan, jawaban untuk Fea. 

Fea membuka chat balasan Irvan. Dia dekatkan ponsel ke arah Rania, biar sobat rempong yang satu ini ikut membaca pesan Irvan. 

- Bisakah kita makan malam hari ini? 

"Ahhh ..." Rania tersenyum lebar. Dia yang deg deg plas membaca pesan itu. "Iya mau, mau!"

Fea menarik ujung bibirnya melihat Rania heboh. 

"Ayo, cepat jawab," desak Rania. 

- Ya, di mana? 

Tidak lama balasan Irvan masuk lagi. 

- Tunggu saja di ruangan kamu. Aku jemput. 

"Ihh, tuh, kan. Dia ga minta kamu ke ruangan dia. Dia mau jemput kamu. Sweet banget, Fea." Rania berekspresi seolah dia yang diajak pergi makan malam. 

"Hmm, iya," Fea tersenyum merasa lucu dengan tingkah Rania. 

"Udah, kerja. Kelamaan nimbrung doang." Fea memutar badannya. Dia simpan kotak dari Irvan dalam tasnya, lalu mulai menatap layar monitor dari komputer di mejanya. 

Rania pun balik ke tempatnya sendiri dan kembali sibuk. Sesekali dia menengok Fea, tidak sabar melihat temannya itu akan bertemu Irvan dan jadian sama cowok ganteng dan keren, salah satu idola di kantor ini. 

*****

Di rumah besar keluarga Hendrawan. 

Arnon duduk di ruang makan, dia sedang sarapan ditemani mamanya. Arnella Dewinta. Mama Arnon berusia empat puluh tujuh tahun, masih terlihat segar, cantik, modis. Simple tapi tetap menampakkan penampilan mama sosialita. 

"Arnon, kapan kamu akan menikah? Kamu sudah cukup umur untuk pegang perusahaan papa yang akan diserahkan sama kamu." Arnella melihat pada Arnon. Lalu dia mengaduk teh hangat di cangkirnya. 

"Aku ga pingin nikah, Ma." Arnon menjawab santai. Ini sudah yang kesekian kali mamanya bertanya. Dan jawaban Arnon akan sama. 

"Arnon, mana bisa begitu? Kamu tahu syarat kamu bisa pegang perusahaan papa kamu, kamu harus punya pendamping. Dan batas waktunya sampai tahun depan kamu usia dua puluh enam tahun." Arnella mengerutkan keningnya. Setiap dia bicara soal ini, selalu saja mentok di titik yang sama. 

"Aku sudah punya usaha sendiri, Ma. Restoranku berjalan bagus. Tiga bulan ke depan aku buka tiga cabang sekaligus. Aku ga butuh perusahaan papa untuk makan dan beli pulsa." Arnon melirik mamanya lalu mengigit roti yang dia pegang. 

"Arnon! Kamu punya hak atas apa yang papa siapkan buat kamu!" Kali ini Arnella mulai tak sabar. 

"Mama, aku bukan anak yang dibanggakan papa. Aku hanya anak dari istri ketiga. Masih bagus dia beri semua kemewahan ini. Aku bahkan ingin keluar dan tinggal di tempat yang aku siapkan buat diriku sendiri." Arnon tidak kalah kesal. 

Ardiansyah Hendrawan, milyader yang dikenal dermawan dan suka menolong. Termasuk menolong wanita dan menikahinya. Ardiansyah punya tiga istri. Setiap istrinya mendapat istana dengan segala fasilitasnya. Tapi mereka tidak begitu saling kenal dan tidak akur. 

Istri pertama dengan tiga anak, dua perempuan dan satu laki-laki. Istri kedua punya dua anak perempuan, dan istri ketiga mama Arnon dengan anak satu-satunya, Arnon. Dari tiga istri, hanya dua anak laki-laki yang paling mungkin memegang perusahaan yang dimiliki Ardiansyah. Tapi Arnon, dia tak tertarik. 

Arnon tidak mau ribut dengan saudara-saudara tirinya. Tidak saling kenal, tapi saling membenci. Buat Arnon itu aneh. Ardiansyah sendiri pernah membujuk Arnon agar cepat menikah dan memegang perusahaan yang akan diteruskan padanya. 

"Aku lebih suka bermain banyak wanita tanpa beresiko menghidupi mereka. Aku lebih bebas, tidak pusing, seperti dirimu." Itu yang Arnon katakan pada papanya. 

Ardiansyah sampai sekarang tidak berhasil mendekati Arnon. 

"Arnon, aku hidup dengan Ardiansyah meski bukan istri satu-satunya, karena ingin kamu menjadi pantas di mata kolega dan orang luar, punya martabat dan dipandang." Arnella kembali menatap putranya dengan rasa geram. 

"Martabat?! Mama bilang martabat?!" Arnon meletakkan rotinya dan berdiri. Dia pandang tajam Arnella dengan tangan terkepal. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status