Share

3.

            Ana tengah menyeret kopernya turun, setelah selesai dibereskan oleh bibi. Dia memandang kakaknya, memohon pertolongan yang dibalas pelukan hangat.

            “Lo masih punya gue. Kalau dia buat lo nggak nyaman princes,” lirih Anjar, sang kakak. Disisi telinga adiknya, Ana. Semakin mengeratkan pelukan antara keduanya.

            Setelah upacara pernikahan sederhana pagi tadi. Kini Ana sudah harus ikut Angga pulang ke apartemennya. Doni dan Fiona memeluk putrinya bergantian. Ana sudah menjadi istri Angga, sudah tentu dia harus mengikuti Angga. Setelah pamitan, Angga lalu membawa koper Ana ke mobilnya.

            “Kapan lo lulus,” tanya Angga. Setelah cukup lama suasana hening diantara mereka.

            “Mungkin 3 bulan lagi Om,” jawab Ana, masih melihat keluar jendela.

            Kemudian hening sampai mereka sampai di apartemen. Angga menurunkan koper, lalu berjalan masuk diikuti oleh Ana. Mereka hanya saling diam, selama perjalanan menuju unit apatemen.

            Ana mengamati sekeliling ruangan tersebut. Ruang tamu yang merangkap ruang TV. Sedikit jauh disebelah kiri ada dapur minimalis. Masih sambil mengikuti Angga. Kemudian berhenti didepan kamar yang tampak lebih kecil, daripada kamar di sudut kanan. Dia kembali mengamati ruang santai yang terlihat hangat disebelah kamar.

            “Ini kamar lo,” katanya setelah memasukkan koper Ana. “Dan itu kamar gue,” sambil menunjuk. Ana mengangguk, lalu ditarik Angga hingga mereka terduduk di sofa.

            “Duh, Om jangan tarik-tarik dong,” omelnya dengan wajah cemberut. Dibalas decakan dari Angga, semakin membuat Ana kesal.

            “Aturan antara gue sama lo selama pernikahan ini,” kata Angga. Ana memicing waspada melihat Angga. “Lo boleh nambah atau nolak aturan yang gue ajuin,”

            “Oke,”

            “Nggak boleh ikut campur urusan masing-masing,” Ana mengangguk. “Lo tetep harus menuhin tugas lo sebagai istri,” kata Angga. Mata Ana menicing melihat Angga.

            “Apa dulu nih Om?” tanya Ana. “Nggak mau ya gue, kalau aneh-aneh,” tolaknya tegas.

            “Paling nggak kebutuhan lahir batin gue, lo penuhin,”

            “Maksud lo, termasuk yang itu,” tanya lirih sambil memandang Angga ngeri. Angga malah menyeringai nakal kemudian tertawa. “Ih enak aja, nggak ya soal itu dihapus pokoknya,” tandas Ana.

            Angga menyurut tawanya, “Oke, sebelum gue pulang kantor lo udah harus lebih dulu sampai apartemen,”

            “Kalau gue ada acara gimana, ya nggak adil dong Om,” sanggah Ana. Membuat Angga menatap Ana penuh kesabaran.

            “Kabarin gue kalau lo pulang telat atau ada acara diluar. Nanti gue jemput,” kata Angga.

            Ana menggeleng, “Gue bawa mobil sendiri Om,”

            “Oke, tapi nggak boleh lebih dari jam 12 malam,”

            “Oke,”

            Ana beranjak masuk kekamarnya. Mata Angga mengikuti pergerakan lincah gadis tersebut. Apartemen ini akan lebih hidup dengan kehadiran Ana. Angga menyandarkan punggungnya, mencoba menerima semua perubahan mendadak ini.

            Tidak buruk sejauh ini. Seringai Angga muncul, menerima fakta bahwa akan ada obyek untuk dia jahili setiap hari. Itu bagian baiknya, Angga kemudian beranjak ke kamar, mengganti baju sebelum memeriksa beberapa berkas.

            Diruangan lain Ana tengah melihat-lihat kamar, yang akan ia tinggali entah sampai kapan. Lumayan, batinnya kemudian mulai mengemasi barang-barangnya. Besok tinggal ambil mobil aja ke rumah, kata hatinya. Dia keluar, setelah mengganti bajunya menjadi lebih santai namun sopan. Beranjak ke dapur melihat persediaan bahan makanan dikulkas yang penuh. Lalu melirik kearah perabot yang lain.

            “Baiklah Ana, ini tugas pertama lo sebagai seorang istri,” gumamnya menyemangati diri sendiri.

            Mengambil beberapa bahan dikulkas. Dia ingin membuat menu sederhana, untuk makan siang. Mungkin kulkas Angga akan diisi beberapa hari sekali oleh house keeper atau dia belanja sendiri batinnya. Dia mengendik tak peduli, kemudian mulai mengolah bahan-bahan tersebut. Tidak lama baginya untuk menyelesaikan masakannya.

            “Masak apa?” Tanya Angga.

            “Lo ngagetin aja Om,” ucap Ana sedikit berjengit mengetahui Angga sudah berada disebelahnya. “Tunggu aja dimeja makan Om!” Perintah Ana.

            Satu persatu makanan disajikan, tak lupa tambahan secangkir kopi hangat untuk Angga. Melihat hal tersebut Angga menerbitkan seringai puasnya.

            “Kecil, cil,” panggil Angga yang tak digubris oleh Ana. Angga bercedak, “Ana.”

            “Apaan sih Om,” katanya, sembari mendekat kearah meja makan.

            “Kalau gue akhirnya cinta sama lo gimana?” Tanya Angga.

            “Lo ngaco ya Om,” jawab Ana. Masih sibuk mengambil makanan untuk Angga.

            Seringai nakal Angga terbit melihat sepiring makanan sudah tersaji dihadapannya. “Serius kecil, gimana?” melihat Ana masih menuangkan segelas air untuknya.

            Sedikit menghentakkan gelas dihadapannya, “Jadi yang lo panggil kecil itu gue Om?” Tanya Ana cepat. Tak fokus pada topik pembicaraan Angga, namun tak urung dibalas oleh Angga.

            “Kan lo emang kecil,” katanya memasukkan sesuap nasi. “Lo aja masih belum lulus.”

            “Badan segede gini, lo nggak liat,” balas Ana sengit.

            “Badan aja kan, lo tuh masih bocah,” kata Angga. Menatap Ana yang sudah cemberut.

POV Angga

            Duh anjir mukanya bisa gemesin gini sih. Makanya Mama langsung setuju, mana diliat-liat badannya berisi juga. Jadi tambah bening mata gue, tiap hari bisa ngeliat dia.

            “Dari pada Om, udah tua bangkotan lagi,”

            “Hk, huk,” aku tersedak. Kemudian segera menerima segelas air darinya.

            “Makanya ngaca dong Om,” jawabnya terkekeh.

            Sialan nih bocah berani ngehina gue. Lihat aja nanti, gue bikin nggak betah lo diapartemen. Batinku sambil kembali memasukkan makanan kedalam mulut.

            Masakan dia lumayan juga si. Apalagi tanpa diminta dia udah nyediain kopi dihadapan gue. Makin betah deh diapartemen kalau gini, kata hatiku. Dalam hening aku mengulum senyum melirik makanan dimeja makan.

POV end.

            Membereskan meja makan, lalu mencuci piring. Dilakukan Ana dalam diam. Tanpa mempedulikan Angga, yang sedari tadi masih memperhatikannya. Menyimpan sisa lauk lalu mencuci tangan. Dan semua kegiatan itu, masih diperhatikan oleh Angga. Bukannya Ana tidak tahu, tapi dia masa bodoh dengan tingkah Om-om mesum itu.

            “Ana,” panggil Angga sebelum Ana mencapai kamar.

            Dia berbalik, “Apa Om?”

            “Sini dong,” perintahnya melambaikan tangan. Dengan sedikit enggan Ana mendekat, lalu duduk dihadapan Angga. “Jangan lagi panggil Om ya,” katanya sambil memasang senyum nakal.

            “Kan emang udah om-om,” jawab Ana jujur.

            Angga berdecak, “Gue tuh suami lo,”

            “Ya terus,” balas Ana ringan.

            “Pokoknya ganti, gue nggak mau tahu,” kata Angga tak mau dibantah.

            “Suka-suka gue dong Om,” kata Ana sedikit menaikkan suaranya.Terlihat Angga sudah menajamkan mata dingin, membuat nyali Ana menciut, “Ck ya udah, sekarang Om maunya gimana?”

            “Panggil kakak aja,” pinta Angga.

            “Oke,” jawab Ana malas, lalu beranjak menuju kamarnya.

            “Dasar bocah,” ucap Angga menggeleng dengan senyum dibibirnya. “Tapi lucu sih, pengen gue kurung buat gue sendiri,” gumamnya ngelantur. “Ck ngelamun apa sih Ga,” katanya menepuk kepala pelan. Lalu beranjak kembali menuju kamarnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status