Ana tengah menyeret kopernya turun, setelah selesai dibereskan oleh bibi. Dia memandang kakaknya, memohon pertolongan yang dibalas pelukan hangat.
“Lo masih punya gue. Kalau dia buat lo nggak nyaman princes,” lirih Anjar, sang kakak. Disisi telinga adiknya, Ana. Semakin mengeratkan pelukan antara keduanya.
Setelah upacara pernikahan sederhana pagi tadi. Kini Ana sudah harus ikut Angga pulang ke apartemennya. Doni dan Fiona memeluk putrinya bergantian. Ana sudah menjadi istri Angga, sudah tentu dia harus mengikuti Angga. Setelah pamitan, Angga lalu membawa koper Ana ke mobilnya.
“Kapan lo lulus,” tanya Angga. Setelah cukup lama suasana hening diantara mereka.
“Mungkin 3 bulan lagi Om,” jawab Ana, masih melihat keluar jendela.
Kemudian hening sampai mereka sampai di apartemen. Angga menurunkan koper, lalu berjalan masuk diikuti oleh Ana. Mereka hanya saling diam, selama perjalanan menuju unit apatemen.
Ana mengamati sekeliling ruangan tersebut. Ruang tamu yang merangkap ruang TV. Sedikit jauh disebelah kiri ada dapur minimalis. Masih sambil mengikuti Angga. Kemudian berhenti didepan kamar yang tampak lebih kecil, daripada kamar di sudut kanan. Dia kembali mengamati ruang santai yang terlihat hangat disebelah kamar.
“Ini kamar lo,” katanya setelah memasukkan koper Ana. “Dan itu kamar gue,” sambil menunjuk. Ana mengangguk, lalu ditarik Angga hingga mereka terduduk di sofa.
“Duh, Om jangan tarik-tarik dong,” omelnya dengan wajah cemberut. Dibalas decakan dari Angga, semakin membuat Ana kesal.
“Aturan antara gue sama lo selama pernikahan ini,” kata Angga. Ana memicing waspada melihat Angga. “Lo boleh nambah atau nolak aturan yang gue ajuin,”
“Oke,”
“Nggak boleh ikut campur urusan masing-masing,” Ana mengangguk. “Lo tetep harus menuhin tugas lo sebagai istri,” kata Angga. Mata Ana menicing melihat Angga.
“Apa dulu nih Om?” tanya Ana. “Nggak mau ya gue, kalau aneh-aneh,” tolaknya tegas.
“Paling nggak kebutuhan lahir batin gue, lo penuhin,”
“Maksud lo, termasuk yang itu,” tanya lirih sambil memandang Angga ngeri. Angga malah menyeringai nakal kemudian tertawa. “Ih enak aja, nggak ya soal itu dihapus pokoknya,” tandas Ana.
Angga menyurut tawanya, “Oke, sebelum gue pulang kantor lo udah harus lebih dulu sampai apartemen,”
“Kalau gue ada acara gimana, ya nggak adil dong Om,” sanggah Ana. Membuat Angga menatap Ana penuh kesabaran.
“Kabarin gue kalau lo pulang telat atau ada acara diluar. Nanti gue jemput,” kata Angga.
Ana menggeleng, “Gue bawa mobil sendiri Om,”
“Oke, tapi nggak boleh lebih dari jam 12 malam,”
“Oke,”
Ana beranjak masuk kekamarnya. Mata Angga mengikuti pergerakan lincah gadis tersebut. Apartemen ini akan lebih hidup dengan kehadiran Ana. Angga menyandarkan punggungnya, mencoba menerima semua perubahan mendadak ini.
Tidak buruk sejauh ini. Seringai Angga muncul, menerima fakta bahwa akan ada obyek untuk dia jahili setiap hari. Itu bagian baiknya, Angga kemudian beranjak ke kamar, mengganti baju sebelum memeriksa beberapa berkas.
Diruangan lain Ana tengah melihat-lihat kamar, yang akan ia tinggali entah sampai kapan. Lumayan, batinnya kemudian mulai mengemasi barang-barangnya. Besok tinggal ambil mobil aja ke rumah, kata hatinya. Dia keluar, setelah mengganti bajunya menjadi lebih santai namun sopan. Beranjak ke dapur melihat persediaan bahan makanan dikulkas yang penuh. Lalu melirik kearah perabot yang lain.
“Baiklah Ana, ini tugas pertama lo sebagai seorang istri,” gumamnya menyemangati diri sendiri.
Mengambil beberapa bahan dikulkas. Dia ingin membuat menu sederhana, untuk makan siang. Mungkin kulkas Angga akan diisi beberapa hari sekali oleh house keeper atau dia belanja sendiri batinnya. Dia mengendik tak peduli, kemudian mulai mengolah bahan-bahan tersebut. Tidak lama baginya untuk menyelesaikan masakannya.
“Masak apa?” Tanya Angga.
“Lo ngagetin aja Om,” ucap Ana sedikit berjengit mengetahui Angga sudah berada disebelahnya. “Tunggu aja dimeja makan Om!” Perintah Ana.
Satu persatu makanan disajikan, tak lupa tambahan secangkir kopi hangat untuk Angga. Melihat hal tersebut Angga menerbitkan seringai puasnya.
“Kecil, cil,” panggil Angga yang tak digubris oleh Ana. Angga bercedak, “Ana.”
“Apaan sih Om,” katanya, sembari mendekat kearah meja makan.
“Kalau gue akhirnya cinta sama lo gimana?” Tanya Angga.
“Lo ngaco ya Om,” jawab Ana. Masih sibuk mengambil makanan untuk Angga.
Seringai nakal Angga terbit melihat sepiring makanan sudah tersaji dihadapannya. “Serius kecil, gimana?” melihat Ana masih menuangkan segelas air untuknya.
Sedikit menghentakkan gelas dihadapannya, “Jadi yang lo panggil kecil itu gue Om?” Tanya Ana cepat. Tak fokus pada topik pembicaraan Angga, namun tak urung dibalas oleh Angga.
“Kan lo emang kecil,” katanya memasukkan sesuap nasi. “Lo aja masih belum lulus.”
“Badan segede gini, lo nggak liat,” balas Ana sengit.
“Badan aja kan, lo tuh masih bocah,” kata Angga. Menatap Ana yang sudah cemberut.
POV Angga
Duh anjir mukanya bisa gemesin gini sih. Makanya Mama langsung setuju, mana diliat-liat badannya berisi juga. Jadi tambah bening mata gue, tiap hari bisa ngeliat dia.
“Dari pada Om, udah tua bangkotan lagi,”
“Hk, huk,” aku tersedak. Kemudian segera menerima segelas air darinya.
“Makanya ngaca dong Om,” jawabnya terkekeh.
Sialan nih bocah berani ngehina gue. Lihat aja nanti, gue bikin nggak betah lo diapartemen. Batinku sambil kembali memasukkan makanan kedalam mulut.
Masakan dia lumayan juga si. Apalagi tanpa diminta dia udah nyediain kopi dihadapan gue. Makin betah deh diapartemen kalau gini, kata hatiku. Dalam hening aku mengulum senyum melirik makanan dimeja makan.
POV end.
Membereskan meja makan, lalu mencuci piring. Dilakukan Ana dalam diam. Tanpa mempedulikan Angga, yang sedari tadi masih memperhatikannya. Menyimpan sisa lauk lalu mencuci tangan. Dan semua kegiatan itu, masih diperhatikan oleh Angga. Bukannya Ana tidak tahu, tapi dia masa bodoh dengan tingkah Om-om mesum itu.
“Ana,” panggil Angga sebelum Ana mencapai kamar.
Dia berbalik, “Apa Om?”
“Sini dong,” perintahnya melambaikan tangan. Dengan sedikit enggan Ana mendekat, lalu duduk dihadapan Angga. “Jangan lagi panggil Om ya,” katanya sambil memasang senyum nakal.
“Kan emang udah om-om,” jawab Ana jujur.
Angga berdecak, “Gue tuh suami lo,”
“Ya terus,” balas Ana ringan.
“Pokoknya ganti, gue nggak mau tahu,” kata Angga tak mau dibantah.
“Suka-suka gue dong Om,” kata Ana sedikit menaikkan suaranya.Terlihat Angga sudah menajamkan mata dingin, membuat nyali Ana menciut, “Ck ya udah, sekarang Om maunya gimana?”
“Panggil kakak aja,” pinta Angga.
“Oke,” jawab Ana malas, lalu beranjak menuju kamarnya.
“Dasar bocah,” ucap Angga menggeleng dengan senyum dibibirnya. “Tapi lucu sih, pengen gue kurung buat gue sendiri,” gumamnya ngelantur. “Ck ngelamun apa sih Ga,” katanya menepuk kepala pelan. Lalu beranjak kembali menuju kamarnya.
Esok hari Ana sudah bangun lebih pagi dari biasanya. Berbeda dengan kebiasaannya ketika masih dirumah lama. Dia melakukan kegiatan sebagai seorang istri yang baik, walau belum sertaus persen ikhlas. Ana memasak untuk sarapan, sedikit membersihkan apertemen. Selesai dengan semua itu dia beranjak mandi. Menyiapkan keperluan kuliahnya. Dia masih ada beberapa mata kuliah yang belum selesai. Sedangkan Ana juga sedang dalam proses pengerjaan skripsi. Keluar kamar setelah siap, dilihat meja makan masih sepi. Dia mendekat kearah kamar Angga. Mendekatkan telinganya, terdengar alarm berbunyi. Mengetuk pintu berulang kali, namun tak ada sahutan. Dia perlahan membuka pintu dan tampak tempat tidur berantakan. &l
17.30 sore Ana masuk apartemen, menemukan suasana sunyi. Yah dia sekarang harus terbiasa dengan keadaan ini. Meletakkan sepatu dirak, melangkah masuk. Membasuh tangan diwastafel, lalu beranjak ke meja makan. Menuang air putih untuk dirinya sendiri. Segar batinnya lega, kemudian berlalu ke kamar. Dia sudah tidak sabar, untuk membasuh tubuhnya dengan sedikit berendam air hangat. Hah menyenangkan pikirnya. Meletakkan tas punggungnya, lalu masuk kekamar mandi. 30 menit dia habiskan untuk membersihkan dirinya. Memakai pakaian santai sedikit terbuka. Lalu dia keluar beranjak menyiapkan makan malam. Terdengar suara dari arah depan. Namun dia tanpa rasa ingin tahu, tetap melanjutkan aktivitasnya memotong sayur. “Lo udah pul
Menutup pintu agak keras. Ana kemudian melangkah menuju meja belajarnya. Meredakan rasa kesalnya didadanya. Mengabaikan notifikasi di ponselnya. Ana mulai melihat pekerjaan rumahnya. Huufff, banyak batinnya. Mencari laporan sementara praktikum minggu kemarin. Lalu menyiapkan lembar laporannya. Ana menulis cepat dan teliti mendeskripsikan semua yang harus dia paparkan dalam lporannya. Karena harus menulis secara manual, membuat waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikannya lebih lama. Walau terkesan rumit dan kompleks, tapi Ana suka dengan jurusan biogi. Makanya dia memutuskan masuk jurusan tersebut. Bersama dengan para sahabat yang sudah Ana kenal sejak SMA. Mencari bab yang membahas soal pratikum tumbuhan, lalu kembali menulis. Ketika dia mencari buku taksonomi t
Mobil Alpart tersebut menepi, tepat didepan gerbang kampus. Ana masih tetap menekuk wajahnya, membuat Angga terkekeh pelan. Tangan Ana sudah akan membuka pintu, namun ditahan oleh Angga. “Pamit dulu dong sama suaminya,” kata Angga. Yang membuat Ana semakin bad mood. Menghela napas, Ana kemudian meraih tangan kanan Angga ogah-ogahan. Mencium cepat punggung tangan Angga, lalu melepasnya. Namun tangan lembut tersebut tetap digenggam oleh Angga. “Jangan pulang malam-malam. Jangan pecicilan saat nggak ada gue,” mata Ana memicing tak suka. “Suka-suka mata gue, mau pecicilan atau nggak. Itu bukan urusan lo Om. Da
”Na lo dijemput,” tanya Vita ketika mereka berjalan bersama keluar. “Nggak Vit, naik taksi aja mungkin,” jawabnya. Dari arah lain Rama mendekati mereka. Menepuk pundak Ana, ketika mereka sudah bersisian. “Eh Ram,” ucap Ana pulih dari rasa kejutnya. “Pulang sama Rama aja Na, daripada naik taksi,” kata Tasya mengusulkan. “Kamu nggak bawa mobil sayang?” Tanya Rama. “Eh udah ya gaess, Ram jaga sahabat kita ya,” ucap Lira. Berpamitan sebelum masuk kedalam mobil. “Dah An,” ucap Han
Ana beranjak keluar kamar. Untuk mengambilkan baju ganti Angga. Beruntung kamar Anjar tidak dikunci, jadi bisa dengan mudah masuk. Segera keluar, setelah mengambil apa yang Ana butuhkan. Kembali ke kamar, meletakkan baju tersebut diatas ranjang. “Pas nggak ya, di pakek Kak Angga,” gumam Ana. Menatap baju tersebut sambil bersedekap. Mengendikan bahu, lalu kembali membereskan bukunya. Menata buku-bukunya kedalam kardus dan kotak. Angga keluar kamar mandi, dengan handuk melilit sebatas pinggangnya. Memperlihatkan abs, yang tampak menggiurkan untuk disentuh. Jangan lupa tato di atas dada kanan. Menggosok rambutnya yang basah. Ana tampak masih sibuk dengan bukunya.&
Keesokan paginya, Ana bangun lebih pagi seperti biasa. Mengacuhkan Angga yang masih tertidur pulas. Setelah mandi, dia memeriksa tugasnya yang tampak sudah rapi. Dan selesai tanpa terkecuali. Ana melirik Angga sekilas, menghela napas. Ana memasukan tugasnya ke tas ransel. Memastikan semua tugasnya sudah dia bawa. Duduk di tepi ranjang, melihat wajah damai Angga. Menepuk pipi Angga pelan. Berusaha membangunkan suaminya yang jago molor. “Bangun kak,” ujar Ana masih menepuk pelan pipi Angga. Mengerjabkan mata. Melihat wajah manis Ana, “An,” lirih Angga serak. “Udah siang kak. Aku tunggu dibawah ya,&r
Ana masuk apartemen lebih dulu, setelah di bukakan pintu oleh Angga. beranjak masuk ke kamarnya. Ana segera membersihkan diri, dengan sedikit cepat. Karena waktu sudah semakin malam. Angga bisa terlambat makan malam. Kalau Ana beraktivitas semakin lama. Selesai dengan membersihkan diri. Memakai piama panjang, menutupi setiap jengkal tubuhnya. Menggulung rambut panjangnya, lalu beranjak keluar menuju dapur. Memasak pasta carbonara untuk mereka berdua. Dengan cekatan Ana dapat menuntaskannya dengan cepat. Angga melangkah mendekati Ana. Ketika melihat sepiring besar pasta sudah tersaji di meja. Berdiri disebelah Ana, melihatnya masih meracik kopi. Angga tersenyum, mengusap lembut tengkuk Ana. Membuat y