Home / Romansa / Angin di Antara Kita / Bab 1 Pertemuan Tak Terduga

Share

Bab 1 Pertemuan Tak Terduga

Author: Elis Z. Faida
last update Last Updated: 2025-09-16 16:43:07

Langkah kaki Nayla bergema di lorong kampus yang dingin pagi itu. Gerimis baru saja reda, meninggalkan aroma tanah basah yang menenangkan sekaligus membuat hatinya sedikit melankolis. Hujan tipis-tipis masih menetes dari atap, menimbulkan suara ritmis yang menenangkan di telinganya.

Hari itu seharusnya biasa saja—kelas kuliah teori komunikasi yang cenderung membosankan. Tapi entah kenapa, Nayla merasakan ada sesuatu yang berbeda di udara. Seperti ada bisikan samar yang tidak bisa dijelaskan, sebuah pertanda bahwa hari ini akan mengubah hidupnya.

Ia masuk ke ruang kelas, menempati bangku dekat jendela. Dari sana, ia bisa melihat pepohonan di halaman kampus bergoyang tertiup angin lembut. Tangannya sibuk membuka buku catatan, tapi pikirannya entah melayang ke mana.

Suara pintu kelas terbuka pelan membuatnya menoleh. Di ambang pintu berdiri seorang pemuda dengan jaket hitam yang masih basah oleh sisa gerimis. Rambutnya sedikit berantakan, basah menempel di dahi. Tapi justru di situlah letak karismanya—kesan dingin namun misterius terpancar begitu kuat.

Elhan.

Nama itu belum diketahui Nayla saat itu, tapi entah kenapa, hanya dengan melihat sosoknya, hatinya bergetar. Ia tidak tahu siapa dia, tapi pandangan mata pemuda itu seakan langsung menembus ke dalam dirinya.

Pemuda itu melangkah masuk, menyapukan pandangan ke seluruh kelas yang seketika menjadi hening. Seolah semua orang ikut memperhatikannya, tapi bagi Nayla, hanya ada dia seorang.

"Maaf, saya telat," ucapnya pelan pada dosen di depan. Suaranya dalam, tenang, tapi membawa getaran aneh di dada Nayla.

Dosen hanya mengangguk, dan pemuda itu berjalan ke bangku kosong di samping Nayla. Detik itu, waktu seakan melambat. Nayla menelan ludah, jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Kenapa harus duduk di sampingku?

Ia menunduk, pura-pura sibuk dengan bukunya. Namun, dari ujung matanya, ia bisa melihat pemuda itu duduk santai, menaruh tas, lalu menoleh sebentar ke arahnya.

Senyum tipis.

Itu saja sudah cukup membuat wajah Nayla panas.

"Hai," sapanya singkat.

Nayla hampir saja tersedak napas sendiri. Ia memaksa bibirnya bergerak. "H-hai…" jawabnya lirih, hampir tak terdengar.

Mereka tidak melanjutkan percakapan. Hanya diam, tapi diam yang penuh arti. Di luar, hujan kembali turun, menambah suasana hening yang anehnya terasa intim.

Suara hujan di luar semakin deras. Butiran air mengetuk kaca jendela dengan ritme tak beraturan, membuat suasana kelas semakin terasa dingin. Dosen mulai menjelaskan materi, tapi bagi Nayla, setiap kata hanya lewat tanpa sempat masuk ke kepala. Pikirannya teralihkan sepenuhnya pada sosok di sampingnya.

Elhan—pemuda yang baru saja memperkenalkan diri singkat dengan senyum tipis—duduk santai, pena di tangannya bergerak luwes menyalin catatan. Nayla menatap ujung jarinya sendiri, berusaha mengabaikan degup jantung yang terus menghantam tulang rusuk.

Kenapa aku seperti anak kecil yang baru pertama kali bertemu orang asing? gumamnya dalam hati. Bodoh sekali, Nayla.

Dari sudut matanya, ia melihat Elhan sesekali menoleh, mungkin untuk melirik papan tulis. Tapi setiap tatapan singkat itu terasa seperti sorotan cahaya yang membuat pipinya semakin panas.

Tak tahan dengan keheningan yang mencekik, Nayla memberanikan diri berbisik pelan.
“Kamu… kelas ini juga baru ya?”

Elhan menghentikan gerakan penanya, lalu menoleh. Senyumnya muncul lagi, samar tapi menenangkan.
“Iya. Aku pindahan dari kelas lain. Baru minggu ini masuk di sini.”

“Oh.” Nayla mengangguk kikuk, lalu cepat-cepat menunduk lagi. Ia merutuki dirinya karena tidak tahu harus menanggapi apa.

Tiba-tiba, Elhan mencondongkan tubuh sedikit, suaranya nyaris tertelan suara hujan.
“Kamu biasanya duduk di sini sendirian?”

Pertanyaan sederhana, tapi Nayla merasakan jantungnya melompat.
“Ee… iya. Aku lebih suka dekat jendela,” jawabnya pelan.

Elhan mengangguk, seolah memahami sesuatu yang lebih dalam dari sekadar pilihan tempat duduk.
“Aku juga. Dari jendela, dunia terlihat lebih jujur.”

Nayla menoleh sekilas, terperangah dengan kalimat itu. Dunia terlihat lebih jujur? Baginya, itu terdengar puitis sekaligus aneh.

“Kamu suka hujan?” Elhan bertanya lagi, suaranya rendah.

Nayla terdiam sesaat sebelum menjawab, matanya menatap butir air yang menuruni kaca.
“Kadang iya. Hujan bisa menenangkan. Tapi kadang juga bikin… sedih.”

Elhan tersenyum samar. “Hujan memang selalu punya dua sisi. Sama seperti manusia.”

Kalimat itu membuat Nayla terdiam cukup lama. Ada sesuatu yang misterius dalam cara Elhan berbicara—seolah dia menyembunyikan lapisan makna di balik kata-katanya.

Dosen tiba-tiba memanggil nama Nayla untuk menjawab pertanyaan. Ia tersentak, buru-buru membuka catatan, sementara wajahnya memerah karena merasa seluruh kelas memperhatikannya. Elhan hanya mengangkat alis, tersenyum tipis, lalu kembali menulis.

Waktu berjalan lambat, tapi akhirnya bel tanda akhir kelas berbunyi. Mahasiswa lain segera berkemas dan berhamburan keluar. Nayla menghela napas lega, meraih buku-bukunya dengan tangan sedikit gemetar.

Saat ia hendak berdiri, suara itu kembali terdengar.
“Nayla.”

Ia berhenti, menoleh. Elhan memanggil namanya dengan tenang, seakan-akan mereka sudah lama saling mengenal.

“Senang bisa duduk di sebelahmu hari ini.”

Nayla terpaku. Kata-kata sederhana, tapi cukup untuk membuat dadanya terasa sesak oleh sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Sebelum ia sempat membalas, Elhan sudah berdiri, memasukkan buku ke dalam tas, lalu berjalan keluar kelas.

Nayla hanya bisa memandang punggungnya yang perlahan menghilang di balik pintu.

Di luar, hujan mulai mereda. Cahaya matahari samar menembus awan, memantulkan kilau di genangan air. Nayla masih berdiri di tempat, menatap jendela.

Kenapa aku merasa ini bukan sekadar pertemuan biasa? pikirnya.

Ia menggenggam erat buku catatan di dadanya, mencoba menenangkan diri. Tapi hatinya berbisik sesuatu yang tak bisa ia abaikan 
Pertemuan ini… baru awal dari sesuatu.

Langkah-langkah mahasiswa yang bergegas keluar masih bergema di koridor ketika Nayla akhirnya memberanikan diri melangkah. Hatinya belum juga tenang setelah pertemuan singkat dengan Elhan. Suasana kelas yang dingin kini berganti dengan udara lembap bercampur aroma tanah basah saat ia menuruni tangga menuju halaman kampus.

Di luar, hujan memang sudah reda, tapi langit masih kelabu, menyisakan tirai kabut tipis yang menggantung rendah. Genangan air berkilau memantulkan wajah-wajah yang terburu-buru pulang, payung-payung berwarna-warni berderet seperti bunga musim hujan.

Nayla membuka payung hitam polosnya. Ia melangkah perlahan melewati jalan setapak, menghindari cipratan air dari sepatu mahasiswa lain yang berlari. Di setiap langkah, pikirannya tak bisa lepas dari tatapan mata Elhan. Ada sesuatu di balik sorot itu—dalam, tenang, tapi entah kenapa membuatnya merinding.

Kenapa dia bisa membuatku merasa seperti ini hanya dengan beberapa kata? pikir Nayla, menggenggam erat gagang payung.

Angin bertiup, meniup rambutnya yang terlepas dari jilbab bagian depan. Ia mendongak, melihat langit yang masih berat dengan awan. Angin itu dingin, tapi di dalam dadanya ada sesuatu yang lebih hangat, lebih bergolak.

Sampai di gerbang kampus, ia melihat kerumunan kecil mahasiswa berteduh di warung kopi pinggir jalan. Tawa dan suara obrolan mereka membaur dengan aroma kopi hitam yang pekat. Biasanya, Nayla mungkin akan mampir sekadar untuk menghangatkan diri. Tapi entah kenapa kali ini langkahnya berat, seolah ada sesuatu yang menahannya.

Hatinya masih penuh pertanyaan.

Tentang Elhan.
Tentang tatapan itu.
Tentang kalimatnya yang aneh: “Dari jendela, dunia terlihat lebih jujur.”

Apa maksudnya?

Nayla menarik napas panjang, lalu melanjutkan perjalanan pulang. Jalanan licin, aspal basah memantulkan cahaya lampu kendaraan yang melintas. Sesekali motor melewati cepat, meninggalkan percikan yang hampir mengenai ujung bajunya.

Di tengah jalan itu, tanpa ia sadari, sebuah mobil hitam berhenti beberapa meter di belakangnya. Jendelanya sedikit terbuka, dan dari balik kaca gelap, sepasang mata memperhatikan setiap langkahnya.

Nayla tidak menyadari apa pun. Ia hanya menunduk, sibuk dengan pikirannya sendiri.

Sesampainya di rumah kontrakan sederhana yang ia tinggali bersama dua temannya, Nayla langsung masuk ke kamarnya. Hujan kembali turun pelan, mengetuk genting dengan suara menenangkan. Ia meletakkan tas, membuka jilbab, lalu menatap wajahnya sendiri di cermin.

Matanya tampak berbeda malam itu. Ada bayangan kegelisahan sekaligus cahaya baru yang sulit dijelaskan.

“Kenapa aku merasa… hari ini akan mengubah segalanya?” gumamnya lirih.

Ia tersenyum miris pada bayangannya sendiri, lalu menggeleng. “Ah, Nayla, kamu terlalu berlebihan. Baru juga ketemu orang.”

Namun ketika ia berbaring, menatap langit-langit yang temaram, kalimat Elhan kembali terngiang.
“Hujan memang selalu punya dua sisi. Sama seperti manusia.”

Nayla memejamkan mata, tapi kata-kata itu menempel seperti bisikan. Membuat tidurnya malam itu tidak benar-benar tenang.

Di luar, hujan turun lebih deras. Dan di kejauhan, mobil hitam tadi melaju perlahan, meninggalkan jejak air di jalan. Sosok di dalamnya tersenyum samar, seolah menyimpan rahasia yang tak akan mudah ditebak.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Angin di Antara Kita    Bab 57 Tangisan Dalam Sunyi

    Sudah berbulan-bulan berlalu sejak terakhir kali Nayla dan Elhan saling bicara. Waktu terus berjalan, tapi rasanya dunia mereka berhenti di titik yang sama — di antara yang masih ingin bertahan dan yang pura-pura kuat untuk melepaskan. Hari-hari Nayla kini terasa sunyi, bukan karena tak ada suara, tapi karena tak ada yang benar-benar didengarnya. Semua berjalan otomatis: bangun, kuliah, pulang, membaca, menatap langit, lalu menangis tanpa suara di dalam kamar. Tangis yang tidak lagi berisik, tapi semakin dalam. Tangis yang tak butuh alasan karena hatinya sendiri sudah cukup jadi luka. “Ra, kamu pernah ngerasa kehilangan sesuatu yang masih ada?” Suatu sore Nayla bertanya begitu pada Rara, tanpa menatapnya. Rara menoleh, terdiam sesaat sebelum menjawab. “Maksud kamu?” “Kayak… seseorang itu masih hidup, masih bisa aku lihat, tapi rasanya udah nggak bisa kugapai lagi. Padahal dia ngg

  • Angin di Antara Kita    Bab 56 Hati yang Remuk

    Tak ada yang lebih sunyi dari seseorang yang berusaha terlihat tegar, sementara dalam dirinya sudah berkeping-keping. Dan itulah Nayla. Hari-hari setelah perpisahannya dengan Elhan terasa panjang dan asing. Ia masih datang ke kampus, masih tersenyum pada dosen, masih menjawab sapaan teman-temannya — tapi di dalam hatinya, ia sudah bukan Nayla yang sama. Semua yang dulu terasa hidup kini kehilangan warna. Setiap kali lewat di lorong tempat dulu mereka sering menunggu hujan reda, ingatannya menolak diam. Ia masih bisa mendengar suara tawa Elhan di telinganya — suara yang kini tinggal gema samar. Bahkan aroma kopi hitam dari kantin belakang kampus saja bisa membuat dadanya sesak. Dulu Elhan selalu membelinya untuk mereka berdua. Sekarang? Ia bahkan tak tahu apakah Elhan masih datang ke tempat itu atau tidak. “Udah dua minggu, La,” ucap Rara pelan suatu sore. “Kamu nggak bisa t

  • Angin di Antara Kita    Bab 55 Langkah yang Kembali

    Waktu ternyata tak benar-benar menghapus segalanya. Ia hanya menyamarkan luka di balik rutinitas, menyembunyikan kenangan di sela-sela napas yang berulang. Namun, ada hal-hal yang tetap bertahan — seperti nama yang diam-diam masih disebut dalam doa, atau tatapan yang terus terbayang meski tak lagi bertemu. Sudah dua tahun sejak Nayla dan Elhan memilih jalan masing-masing. Dua tahun tanpa kabar, tanpa pesan, tanpa suara. Tapi di dalam sunyi yang panjang itu, hati mereka tak pernah benar-benar berhenti saling memanggil. Pagi itu, Nayla duduk di taman belakang perpustakaan kampus lama mereka. Tempat yang dulu menjadi saksi setiap tawa, perdebatan, dan janji yang tak sempat ditepati. Ia datang bukan karena ingin bernostalgia, tapi karena ingin berdamai. Rambutnya kini lebih panjang, wajahnya terlihat lebih tenang, meski sorot matanya masih menyimpan sesuatu — sisa-sisa dari cinta yang pernah ia simpan terlalu dalam. I

  • Angin di Antara Kita    Bab 54 Langkah yang Pulang

    Waktu akhirnya sampai di titik tenang. Bukan karena segalanya mudah, tapi karena semua yang berat sudah diterima dengan lapang dada. Pagi itu, udara Bandung terasa berbeda. Tidak terlalu dingin, tapi masih cukup lembut untuk mengajak seseorang mengenang tanpa sakit lagi. Nayla melangkah keluar rumah, membawa satu tas kecil dan naskah buku keduanya. Di dalam tas itu juga terselip surat—bukan untuk Damar, bukan untuk siapa pun—melainkan untuk dirinya sendiri. Ia menatap jalan kecil di depan rumahnya. Jalan yang dulu sering ia lewati sambil menangis diam-diam, tempat di mana setiap langkah terasa seperti memikul seluruh dunia. Sekarang, langkah yang sama terasa ringan, bahkan menyenangkan. Di halte dekat taman, seseorang sudah menunggunya. “Pagi, Nay,” sapa Rara, tersenyum lebar. “Pagi. Udah lama?” “Baru aja. Kamu beneran mau berangkat sendirian?” Nayla mengangguk. “I

  • Angin di Antara Kita    Bab 53 Menulis untuk yang Tak Tertulis

    Beberapa hari terakhir, meja kerja Nayla dipenuhi catatan berserakan. Di antaranya, ada potongan dialog lama, surat tak terkirim, dan halaman-halaman jurnal yang sudah menguning. Semua terasa seperti kepingan hidup yang menunggu untuk disatukan. Ia menatap layar laptop yang menampilkan satu baris judul: “Langkah di Balik Gelap – Sebuah Kisah Tentang Bertahan dan Melepaskan.” Judul itu membuatnya terdiam lama. Itu bukan sekadar judul, tapi napas dari seluruh perjalanan yang telah ia lewati — cinta, kehilangan, perjuangan, dan semua yang tak sempat ia ucapkan. ⸻ Nayla mulai mengetik perlahan. Kata demi kata mengalir, bukan dari pikirannya, tapi dari tempat yang lebih dalam — hatinya sendiri. Ia menulis tentang seorang gadis yang mencintai dengan cara sederhana, tentang laki-laki yang memilih pergi demi menjaga yang dicintainya, tentang waktu yang mem

  • Angin di Antara Kita    Bab 52 Janji yang Tertinggal

    Sudah hampir satu tahun sejak pertemuan Nayla dan Damar di pameran buku itu. Kehidupan Nayla kini berubah begitu cepat. Buku-bukunya mulai dikenal, undangan wawancara datang silih berganti, dan kelas menulisnya makin ramai. Namun di tengah segala kesibukan dan tepuk tangan, ada satu ruang kecil dalam dirinya yang tetap hening — ruang yang dulu diisi Damar. Bukan berarti ia masih terjebak pada masa lalu. Tidak. Ia sudah berdamai. Tapi kedamaian itu menyisakan sesuatu yang tidak pernah benar-benar pergi: janji yang tertinggal. ⸻ Suatu pagi, Nayla duduk di teras rumah sambil menatap kebun kecil di depannya. Kopi hangat mengepul di genggaman, aroma melati dari pot bunga menyatu dengan udara. Pagi itu damai — sampai notifikasi di ponselnya berbunyi. Satu pesan masuk dari nomor yang lama tak aktif. “Hai, Nay. Aku di kota. Bisa ketemu?” – Damar. Nayla menatap layar l

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status