Share

Angin di Antara Kita
Angin di Antara Kita
Penulis: Elis Z. Faida

Prolog

Penulis: Elis Z. Faida
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-16 16:42:59

“Kalau cinta ini hanya akan jadi angin… semoga ia tetap singgah di antara kita.”

Angin malam berhembus, membawa rahasia yang tak pernah sempat mereka ucapkan.

Langit masih menyisakan jejak hujan—bau tanah basah menusuk indra, dingin menusuk tulang. Lampu jalanan berpendar redup, menciptakan bayangan panjang di jalanan yang lengang. Sesekali, tetesan air jatuh dari dedaunan, menimbulkan bunyi kecil yang justru menegaskan sepi.

Nayla berdiri di bawah cahaya itu. Tubuhnya gemetar, bukan semata karena udara yang menusuk, melainkan karena hatinya yang retak. Matanya buram, dadanya sesak, seolah udara pun enggan tinggal lebih lama di paru-parunya. Setiap napas seperti belati yang menusuk dari dalam.

“Elhan…” suaranya pecah, terhanyut dalam desiran angin yang liar. “Katakan kalau semua ini cuma mimpi. Katakan kalau kamu nggak benar-benar ninggalin aku.”

Kata-kata itu melayang, larut dalam gelap malam, seakan lebih cepat ditelan angin daripada sampai ke telinga lelaki di hadapannya.

Elhan hanya terdiam. Sorot matanya keras, tapi Nayla bisa membaca retakan halus di sana—retakan yang tak pernah dilihat orang lain. Jemarinya mengepal kuat, urat-urat tangannya menegang, seakan ada sesuatu yang terlalu sakit untuk diucapkan, terlalu berat untuk dibagi.

“Aku sudah coba, Nayla.” Suaranya rendah, bergetar, seperti pecahan kaca yang diseret di lantai. “Aku sudah lawan semuanya. Tapi kamu tahu sendiri… Mamaku nggak akan pernah merestui hubungan kita. Dan aku—” ia menunduk, menarik napas panjang yang terasa lebih seperti luka, “—aku nggak sanggup lagi lihat kamu terseret dalam kebencian yang bahkan bukan milikmu.”

Kata-kata itu jatuh, menghantam hati Nayla lebih keras dari apapun. Dadanya terasa diremukkan, matanya panas. Dunia seolah mengecil, hanya menyisakan jarak di antara mereka—jarak yang semakin lama semakin melebar.

“Jadi ini akhirnya?” bisiknya, lirih, nyaris kalah oleh suara angin. “Setelah semua yang kita lalui… cukup restu mamamu yang bisa memisahkan kita?”

Elhan memejamkan mata. Wajahnya pucat, seperti orang yang kehilangan arah. “Kalau suatu hari takdir mengizinkan…” ia berhenti, menahan napas, “mungkin kita akan bertemu lagi. Tapi sekarang—” suaranya pecah, terhempas seperti ranting kering, “—aku harus pergi.”

Satu langkah.

Dua langkah.

Perlahan ia menjauh.

Nayla tetap terpaku, tubuhnya membeku, sementara air mata jatuh tanpa henti. Setiap tetesnya terasa seperti serpihan kaca yang melukai pipinya. Angin berembus kencang, membawa suaranya yang tertahan, membawa segala yang tak sempat ia katakan.

Kenapa harus angin yang membawa pergi cintaku? Kenapa bukan aku yang bisa menahannya?

Di matanya, punggung Elhan semakin samar, semakin kabur, hingga akhirnya hilang ditelan gelap malam. Hanya sisa jejak langkahnya yang menguap bersama bau hujan.

Nayla terisak, menutup mulut dengan telapak tangan, seolah ingin menghentikan suara perih yang terus keluar. Namun semakin ia coba menahan, semakin keras tangis itu meledak dalam diam. Hatinya berteriak, tapi suaranya tertelan angin.

Malam itu, cinta mereka tak benar-benar berakhir, tapi juga tak bisa bertahan. Seperti lilin yang padam tertiup angin—meninggalkan sisa asap, samar, menggantung di udara.

Sejenak, langit menggeram. Kilatan samar petir menyambar jauh di horizon, meski hujan telah reda. Suara gemuruhnya seperti menyetujui perpisahan yang baru saja terjadi, seperti palu hakim yang mengetuk takdir.

Nayla menatap kosong ke arah jalan yang ditinggalkan Elhan. Bayangan itu sudah tak ada, hanya menyisakan kehampaan yang begitu pekat. Udara yang tadi dingin kini terasa menyesakkan, menekan dadanya hingga ia sulit bernapas.

Ia menggenggam ujung jaketnya, erat sekali, seakan dengan begitu ia bisa menahan dirinya agar tidak runtuh di tempat. Lututnya lemas, hampir saja ia jatuh berlutut di aspal yang masih basah. Namun ia bertahan, walau tubuhnya berguncang.

Di dalam hatinya, suara-suara bergaung. Potongan kenangan berkelebat—senyum Elhan, tatapannya yang hangat, janji-janji kecil yang pernah mereka ucapkan di antara tawa. Semua itu terasa seperti serpihan kaca yang kini berhamburan, menusuk ke segala arah.

Seandainya restu bukan halangan… seandainya cinta saja cukup… mungkin mereka tidak akan berdiri di titik ini.

Tapi dunia tidak selalu tunduk pada keinginan dua hati. Ada tembok besar yang berdiri di hadapan mereka—bukan jarak, bukan waktu, melainkan restu seorang ibu yang tak pernah mereka dapatkan.

Nayla menunduk. Air matanya jatuh ke tanah, menyatu dengan sisa hujan. Ia merasa kecil, rapuh, nyaris hancur. Dan entah kenapa, malam itu ia sadar: ada luka yang tidak bisa disembuhkan siapa pun, tidak juga oleh cinta yang sebesar apapun.

Jam terus berdetak, tapi malam seperti membeku di tempat. Lampu jalanan tetap redup, angin tetap berembus, seolah dunia menolak untuk ikut bergerak tanpa mereka berdua.

“Apa benar kita cuma bisa sampai di sini, Han?” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar. “Apa benar angin satu-satunya yang bisa menyimpan semua yang kita punya?”

Angin berdesir, menampar wajahnya dengan lembut, seakan menjawab. Tapi jawaban itu tak pernah cukup.

Mungkin suatu hari angin akan kembali, membawa jawaban.

Atau justru, membawa luka yang lebih dalam lagi.

Dan sejak malam itu, Nayla tahu—hidupnya tak akan lagi sama.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Angin di Antara Kita    Bab 14 Retakan yang Tak Terucap

    Suara tawa dari arah kantin masih terdengar samar meski mereka sudah menjauh. Nayla berjalan di samping Elhan, menunduk, tangannya sibuk meremas-remas ujung kemeja seragamnya sendiri. Seakan ada sesuatu yang ingin ia ucapkan, tapi tersangkut di tenggorokan. Elhan di sebelahnya melangkah tenang, seolah tidak ada yang mengganggunya. Padahal, sejak tadi, hatinya gelisah. Ada jarak di antara mereka. Jarak yang bukan tercipta karena langkah kaki, tapi karena kata-kata yang tak kunjung terucap. “Han…” Nayla akhirnya membuka suara, pelan, hampir seperti bisikan. Elhan menoleh sekilas, senyumnya tipis. “Hm?” Nayla menggigit bibir. Ia ingin bertanya, apa benar ucapan teman-teman di kantin tadi? Apakah benar Elhan akan dijodohkan dengan seseorang dari keluarga sahabat mamanya? Tapi lidahnya kelu. Kata-kata itu terasa seperti duri. Salah ucap sedikit saja, bisa jadi luka. Elhan yang peka, menangkap kegelisahan itu. “Kenapa? Ada yang mau kamu bilangin ke aku?” Nayla menatap wajahnya, dalam,

  • Angin di Antara Kita    Bab 13 Di Balik Restu yang Tak Pernah Datang

    Langit senja berwarna jingga pucat, memantul di kaca jendela kamar Nayla yang terbuka setengah. Angin sore berhembus lembut, membawa suara-suara samar dari jalan raya; deru kendaraan, suara anak-anak kecil bermain, bahkan riuh ayam jantan dari rumah tetangga. Semua terdengar biasa, seolah tak ada yang berubah. Namun bagi Nayla, hari-hari terakhir terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai. Sejak perpisahan itu, ia hidup di antara penyangkalan dan kenyataan. Setiap pagi ia berharap bangun dengan kabar bahwa semua hanya ilusi, tapi setiap kali membuka mata, ia kembali menemukan kenyataan pahit: Elhan benar-benar pergi. Di atas meja belajarnya, berserakan kertas-kertas yang penuh dengan tulisan tangan. Coretan-coretan yang lebih mirip puisi patah hati. Sebagian hanya satu kalimat pendek, seperti potongan pikiran yang tertinggal saat malam menghimpitnya. “Aku benci angin, karena ia terlalu mirip denganmu—datang tiba-tiba, pergi tanpa pamit.” “Kalau cinta ini dosa, biarlah aku me

  • Angin di Antara Kita    Bab 12 Luka yang Tak Terucap

    Pagi itu, ruang kelas terasa bising. Suara tawa mahasiswa bercampur dengan bunyi kursi yang digeser, kertas yang dibolak-balik, dan langkah kaki yang lalu-lalang. Semua tampak biasa—kecuali bagi Nayla. Ia duduk di bangku dekat jendela, menatap keluar. Matanya sembab, kantung matanya jelas terlihat. Ia mencoba tersenyum ketika Rani menepuk bahunya, tapi senyum itu hanya sekilas, lalu menghilang seperti asap. “Nay, kamu nggak apa-apa?” Rani berbisik, menyodorkan botol air mineral. “Muka kamu pucet banget.” Nayla menggeleng, menerima botol itu dengan tangan gemetar. “Aku cuma kurang tidur.” Rani menatapnya lama. Ia tahu sahabatnya sedang bohong. Tapi Rani memilih tidak mendesak. Hanya mengusap punggung Nayla pelan, seakan memberi kekuatan diam-diam. Di sudut lain kelas, Elhan duduk kaku. Ia mencoba menatap papan tulis, tapi matanya sesekali melirik ke arah Nayla. Dan setiap kali pandangan itu bertemu, Nayla buru-buru menunduk. Ada jarak aneh di antara mereka, jarak yang lebih tajam

  • Angin di Antara Kita    Bab 11 Jika Angin Membawa

    Malam itu kota seolah menutup dirinya dalam kabut tipis. Lampu jalan berpendar sayu, memantulkan cahaya kuning yang rapuh di atas aspal yang mulai lembap. Angin berembus dari arah utara, dingin menusuk, membawa sisa aroma hujan yang belum sepenuhnya sirna. Nayla duduk di tepi jendela kamarnya, menatap kosong ke luar. Dari tempatnya, ia bisa melihat jalanan sepi dengan sesekali suara kendaraan lewat, hanya menimbulkan jejak cahaya sebentar sebelum hilang ditelan gelap. Tangannya menggenggam sebuah cangkir berisi teh yang sudah lama mendingin. Uapnya tak lagi mengepul, sama seperti hangat di hatinya yang kian memudar. Ia menghela napas panjang. Sudah berhari-hari sejak percakapan terakhirnya dengan Elhan, tapi setiap detail kejadian itu masih membekas jelas. Bayangan punggung Elhan yang menjauh, suara parau yang pecah ketika ia berkata harus pergi—semuanya terasa masih hidup dalam kepalanya. Setiap kali mengingatnya, dadanya kembali sesak. “Kenapa harus berakhir begini…” gumamnya lir

  • Angin di Antara Kita    Bab 10 Luka yang Membayangi

    Udara di sekitar rumah keluarga Elhan dipenuhi aroma tanah basah yang samar, bercampur dengan harum bunga melati dari pekarangan. Semuanya begitu kontras dengan apa yang sedang bergemuruh di hati Nayla—sebuah ketidakpastian yang tak berhenti mencengkeram. Nayla menatap pintu besar bercat cokelat tua itu dengan perasaan campur aduk. Inilah rumah yang selama ini hanya ia dengar dalam cerita, hanya ia bayangkan dari balik kata-kata Elhan. Rumah yang megah, berdiri kokoh dengan pilar-pilar tinggi, tapi terasa dingin… sangat dingin. Langkah Nayla terhenti di depan gerbang. Jemarinya menggenggam erat tali tas yang ia bawa, seakan benda sederhana itu bisa menjadi penopang keberaniannya. Di sampingnya, Elhan berdiri dengan wajah tegang. Ia berusaha tersenyum, tapi senyum itu kaku, jauh dari ketulusan yang biasa Nayla lihat. “Jangan takut,” ucap Elhan pelan, suaranya lebih terdengar seperti menenangkan dirinya sendiri ketimbang menenangkan Nayla. “Aku ada di sini. Kamu nggak sendirian.” N

  • Angin di Antara Kita    Bab 9 Di Antara Rindu dan Penolakan

    Langit sore itu terbakar jingga, awan tipis berarak pelan, dan suara burung camar terdengar samar dari kejauhan. Di tepi danau kampus, angin bertiup lembut, memantulkan riak kecil di permukaan air. Tempat itu biasanya menjadi ruang tenang bagi Nayla, tempat di mana ia bisa melarikan diri dari hiruk-pikuk dunia. Namun sore itu, ketenangan justru terasa asing. Ia duduk di bangku kayu yang sedikit berlumut, menatap air dengan tatapan kosong. Buku catatan terbuka di pangkuannya, tetapi tangannya hanya menggenggam pena tanpa menulis apapun. Pikirannya kacau, seperti pusaran air yang berputar tanpa arah. Suara langkah mendekat membuatnya menoleh. Dan jantungnya langsung berdegup tak terkendali ketika melihat siapa yang datang. Elhan. Lelaki itu berjalan pelan, seolah takut langkahnya akan memecah udara di sekitarnya. Matanya redup, wajahnya lebih kurus, dan ada lelah yang jelas terlihat. Namun sorot itu tetap sama: sorot yang dulu pernah membuat Nayla merasa dunia ini hanya mereka berdua

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status