Mag-log in
“Kalau cinta ini hanya akan jadi angin… semoga ia tetap singgah di antara kita.”
Angin malam berhembus, membawa rahasia yang tak pernah sempat mereka ucapkan. Langit masih menyisakan jejak hujan—bau tanah basah menusuk indra, dingin menusuk tulang. Lampu jalanan berpendar redup, menciptakan bayangan panjang di jalanan yang lengang. Sesekali, tetesan air jatuh dari dedaunan, menimbulkan bunyi kecil yang justru menegaskan sepi. Nayla berdiri di bawah cahaya itu. Tubuhnya gemetar, bukan semata karena udara yang menusuk, melainkan karena hatinya yang retak. Matanya buram, dadanya sesak, seolah udara pun enggan tinggal lebih lama di paru-parunya. Setiap napas seperti belati yang menusuk dari dalam. “Elhan…” suaranya pecah, terhanyut dalam desiran angin yang liar. “Katakan kalau semua ini cuma mimpi. Katakan kalau kamu nggak benar-benar ninggalin aku.” Kata-kata itu melayang, larut dalam gelap malam, seakan lebih cepat ditelan angin daripada sampai ke telinga lelaki di hadapannya. Elhan hanya terdiam. Sorot matanya keras, tapi Nayla bisa membaca retakan halus di sana—retakan yang tak pernah dilihat orang lain. Jemarinya mengepal kuat, urat-urat tangannya menegang, seakan ada sesuatu yang terlalu sakit untuk diucapkan, terlalu berat untuk dibagi. “Aku sudah coba, Nayla.” Suaranya rendah, bergetar, seperti pecahan kaca yang diseret di lantai. “Aku sudah lawan semuanya. Tapi kamu tahu sendiri… Mamaku nggak akan pernah merestui hubungan kita. Dan aku—” ia menunduk, menarik napas panjang yang terasa lebih seperti luka, “—aku nggak sanggup lagi lihat kamu terseret dalam kebencian yang bahkan bukan milikmu.” Kata-kata itu jatuh, menghantam hati Nayla lebih keras dari apapun. Dadanya terasa diremukkan, matanya panas. Dunia seolah mengecil, hanya menyisakan jarak di antara mereka—jarak yang semakin lama semakin melebar. “Jadi ini akhirnya?” bisiknya, lirih, nyaris kalah oleh suara angin. “Setelah semua yang kita lalui… cukup restu mamamu yang bisa memisahkan kita?” Elhan memejamkan mata. Wajahnya pucat, seperti orang yang kehilangan arah. “Kalau suatu hari takdir mengizinkan…” ia berhenti, menahan napas, “mungkin kita akan bertemu lagi. Tapi sekarang—” suaranya pecah, terhempas seperti ranting kering, “—aku harus pergi.” Satu langkah. Dua langkah. Perlahan ia menjauh. Nayla tetap terpaku, tubuhnya membeku, sementara air mata jatuh tanpa henti. Setiap tetesnya terasa seperti serpihan kaca yang melukai pipinya. Angin berembus kencang, membawa suaranya yang tertahan, membawa segala yang tak sempat ia katakan. Kenapa harus angin yang membawa pergi cintaku? Kenapa bukan aku yang bisa menahannya? Di matanya, punggung Elhan semakin samar, semakin kabur, hingga akhirnya hilang ditelan gelap malam. Hanya sisa jejak langkahnya yang menguap bersama bau hujan. Nayla terisak, menutup mulut dengan telapak tangan, seolah ingin menghentikan suara perih yang terus keluar. Namun semakin ia coba menahan, semakin keras tangis itu meledak dalam diam. Hatinya berteriak, tapi suaranya tertelan angin. Malam itu, cinta mereka tak benar-benar berakhir, tapi juga tak bisa bertahan. Seperti lilin yang padam tertiup angin—meninggalkan sisa asap, samar, menggantung di udara. ⸻ Sejenak, langit menggeram. Kilatan samar petir menyambar jauh di horizon, meski hujan telah reda. Suara gemuruhnya seperti menyetujui perpisahan yang baru saja terjadi, seperti palu hakim yang mengetuk takdir. Nayla menatap kosong ke arah jalan yang ditinggalkan Elhan. Bayangan itu sudah tak ada, hanya menyisakan kehampaan yang begitu pekat. Udara yang tadi dingin kini terasa menyesakkan, menekan dadanya hingga ia sulit bernapas. Ia menggenggam ujung jaketnya, erat sekali, seakan dengan begitu ia bisa menahan dirinya agar tidak runtuh di tempat. Lututnya lemas, hampir saja ia jatuh berlutut di aspal yang masih basah. Namun ia bertahan, walau tubuhnya berguncang. Di dalam hatinya, suara-suara bergaung. Potongan kenangan berkelebat—senyum Elhan, tatapannya yang hangat, janji-janji kecil yang pernah mereka ucapkan di antara tawa. Semua itu terasa seperti serpihan kaca yang kini berhamburan, menusuk ke segala arah. Seandainya restu bukan halangan… seandainya cinta saja cukup… mungkin mereka tidak akan berdiri di titik ini. Tapi dunia tidak selalu tunduk pada keinginan dua hati. Ada tembok besar yang berdiri di hadapan mereka—bukan jarak, bukan waktu, melainkan restu seorang ibu yang tak pernah mereka dapatkan. Nayla menunduk. Air matanya jatuh ke tanah, menyatu dengan sisa hujan. Ia merasa kecil, rapuh, nyaris hancur. Dan entah kenapa, malam itu ia sadar: ada luka yang tidak bisa disembuhkan siapa pun, tidak juga oleh cinta yang sebesar apapun. ⸻ Jam terus berdetak, tapi malam seperti membeku di tempat. Lampu jalanan tetap redup, angin tetap berembus, seolah dunia menolak untuk ikut bergerak tanpa mereka berdua. “Apa benar kita cuma bisa sampai di sini, Han?” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar. “Apa benar angin satu-satunya yang bisa menyimpan semua yang kita punya?” Angin berdesir, menampar wajahnya dengan lembut, seakan menjawab. Tapi jawaban itu tak pernah cukup. Mungkin suatu hari angin akan kembali, membawa jawaban. Atau justru, membawa luka yang lebih dalam lagi. Dan sejak malam itu, Nayla tahu—hidupnya tak akan lagi sama.Sudah berbulan-bulan berlalu sejak terakhir kali Nayla dan Elhan saling bicara. Waktu terus berjalan, tapi rasanya dunia mereka berhenti di titik yang sama — di antara yang masih ingin bertahan dan yang pura-pura kuat untuk melepaskan. Hari-hari Nayla kini terasa sunyi, bukan karena tak ada suara, tapi karena tak ada yang benar-benar didengarnya. Semua berjalan otomatis: bangun, kuliah, pulang, membaca, menatap langit, lalu menangis tanpa suara di dalam kamar. Tangis yang tidak lagi berisik, tapi semakin dalam. Tangis yang tak butuh alasan karena hatinya sendiri sudah cukup jadi luka. “Ra, kamu pernah ngerasa kehilangan sesuatu yang masih ada?” Suatu sore Nayla bertanya begitu pada Rara, tanpa menatapnya. Rara menoleh, terdiam sesaat sebelum menjawab. “Maksud kamu?” “Kayak… seseorang itu masih hidup, masih bisa aku lihat, tapi rasanya udah nggak bisa kugapai lagi. Padahal dia ngg
Tak ada yang lebih sunyi dari seseorang yang berusaha terlihat tegar, sementara dalam dirinya sudah berkeping-keping. Dan itulah Nayla. Hari-hari setelah perpisahannya dengan Elhan terasa panjang dan asing. Ia masih datang ke kampus, masih tersenyum pada dosen, masih menjawab sapaan teman-temannya — tapi di dalam hatinya, ia sudah bukan Nayla yang sama. Semua yang dulu terasa hidup kini kehilangan warna. Setiap kali lewat di lorong tempat dulu mereka sering menunggu hujan reda, ingatannya menolak diam. Ia masih bisa mendengar suara tawa Elhan di telinganya — suara yang kini tinggal gema samar. Bahkan aroma kopi hitam dari kantin belakang kampus saja bisa membuat dadanya sesak. Dulu Elhan selalu membelinya untuk mereka berdua. Sekarang? Ia bahkan tak tahu apakah Elhan masih datang ke tempat itu atau tidak. “Udah dua minggu, La,” ucap Rara pelan suatu sore. “Kamu nggak bisa t
Waktu ternyata tak benar-benar menghapus segalanya. Ia hanya menyamarkan luka di balik rutinitas, menyembunyikan kenangan di sela-sela napas yang berulang. Namun, ada hal-hal yang tetap bertahan — seperti nama yang diam-diam masih disebut dalam doa, atau tatapan yang terus terbayang meski tak lagi bertemu. Sudah dua tahun sejak Nayla dan Elhan memilih jalan masing-masing. Dua tahun tanpa kabar, tanpa pesan, tanpa suara. Tapi di dalam sunyi yang panjang itu, hati mereka tak pernah benar-benar berhenti saling memanggil. Pagi itu, Nayla duduk di taman belakang perpustakaan kampus lama mereka. Tempat yang dulu menjadi saksi setiap tawa, perdebatan, dan janji yang tak sempat ditepati. Ia datang bukan karena ingin bernostalgia, tapi karena ingin berdamai. Rambutnya kini lebih panjang, wajahnya terlihat lebih tenang, meski sorot matanya masih menyimpan sesuatu — sisa-sisa dari cinta yang pernah ia simpan terlalu dalam. I
Waktu akhirnya sampai di titik tenang. Bukan karena segalanya mudah, tapi karena semua yang berat sudah diterima dengan lapang dada. Pagi itu, udara Bandung terasa berbeda. Tidak terlalu dingin, tapi masih cukup lembut untuk mengajak seseorang mengenang tanpa sakit lagi. Nayla melangkah keluar rumah, membawa satu tas kecil dan naskah buku keduanya. Di dalam tas itu juga terselip surat—bukan untuk Damar, bukan untuk siapa pun—melainkan untuk dirinya sendiri. Ia menatap jalan kecil di depan rumahnya. Jalan yang dulu sering ia lewati sambil menangis diam-diam, tempat di mana setiap langkah terasa seperti memikul seluruh dunia. Sekarang, langkah yang sama terasa ringan, bahkan menyenangkan. Di halte dekat taman, seseorang sudah menunggunya. “Pagi, Nay,” sapa Rara, tersenyum lebar. “Pagi. Udah lama?” “Baru aja. Kamu beneran mau berangkat sendirian?” Nayla mengangguk. “I
Beberapa hari terakhir, meja kerja Nayla dipenuhi catatan berserakan. Di antaranya, ada potongan dialog lama, surat tak terkirim, dan halaman-halaman jurnal yang sudah menguning. Semua terasa seperti kepingan hidup yang menunggu untuk disatukan. Ia menatap layar laptop yang menampilkan satu baris judul: “Langkah di Balik Gelap – Sebuah Kisah Tentang Bertahan dan Melepaskan.” Judul itu membuatnya terdiam lama. Itu bukan sekadar judul, tapi napas dari seluruh perjalanan yang telah ia lewati — cinta, kehilangan, perjuangan, dan semua yang tak sempat ia ucapkan. ⸻ Nayla mulai mengetik perlahan. Kata demi kata mengalir, bukan dari pikirannya, tapi dari tempat yang lebih dalam — hatinya sendiri. Ia menulis tentang seorang gadis yang mencintai dengan cara sederhana, tentang laki-laki yang memilih pergi demi menjaga yang dicintainya, tentang waktu yang mem
Sudah hampir satu tahun sejak pertemuan Nayla dan Damar di pameran buku itu. Kehidupan Nayla kini berubah begitu cepat. Buku-bukunya mulai dikenal, undangan wawancara datang silih berganti, dan kelas menulisnya makin ramai. Namun di tengah segala kesibukan dan tepuk tangan, ada satu ruang kecil dalam dirinya yang tetap hening — ruang yang dulu diisi Damar. Bukan berarti ia masih terjebak pada masa lalu. Tidak. Ia sudah berdamai. Tapi kedamaian itu menyisakan sesuatu yang tidak pernah benar-benar pergi: janji yang tertinggal. ⸻ Suatu pagi, Nayla duduk di teras rumah sambil menatap kebun kecil di depannya. Kopi hangat mengepul di genggaman, aroma melati dari pot bunga menyatu dengan udara. Pagi itu damai — sampai notifikasi di ponselnya berbunyi. Satu pesan masuk dari nomor yang lama tak aktif. “Hai, Nay. Aku di kota. Bisa ketemu?” – Damar. Nayla menatap layar l







