Awan kelabu mengintili ke mana aku berlalu, aku tidak terganggu hanya termangu tidak tahu apa yang dia mau. Matahari tidak lagi muncul di atas langit di hari-hariku. Dia pergi tertiup angin barat, sedangkan aku berdiri di utara. Esoknya kutunggu di langit utaraa, ia tak muncul lagi. Walau begitu, aku tetanp menunggu, tidak lelah jiwaku demi kehidupan yang baru. Tidak cukupkah di musim dingin aku sabar berlabu? Tuhan berikan aku musim semi yang matahari kembali bersinar di langit biru.
“Kenapa aku terbangun di kelas?”
“Teman-teman bangun! Kenapa kita ada di sini?”
Suaranya datang dari arah depan. Aku masih memejamkan mata. Terasa kedua kelopak mataku menempel rekat. Sulit sekali untuk tersingkap. Kesadaran sudah terkumpul di seluruh kujur tubuhku. Namun yang aku nikmati di dalam gelapnya pejaman mata ini hanyalah warna-warna yang terbentuk acak, tidak menentu, bergerak-gerak, meliuk-liuk.
“Eden bangun!”
Warna suaranya bertambah dari arah sebelah kananku.
Kepala ini seperti menggendong tumpukan batu candi. Sungguh berat sekali. Kedua tanganku membantu mendorong badan ini yang terbaring kedepan untuk bisa segera bangun. Awalnya semua tulangku terasa remuk dan kini mulai terangkai kembali, sepotong demi sepotong bak puzzel yang belum terangkai. Sambil memegangi kepala, aku mulai membuka kelopak mata. Cahaya menyeruak masuk kasar. Pertama-tama pandanganku masih kabur, bentukan warna acak yang berjumlah banyak masih menari-nari di udara, selanjutnya aku bisa dapati aku sedang duduk di bangku kelasku.
“Kepalaku sakit Nana.”
Aku menoleh ke asal suara, ke bangku Eden. Dia memegangi kepalanya sama seperti aku.
“Bukannya kita terakhir berada di bus sekolah?”
“Iya, di bus sekolah menuju rumah”, jawab Innanna.
Ternyata yang sedari tadi memanggil-manggil untuk segera sadar adalah Innana dan Kemala. Mereka berusaha meraih pundak-pundak yang masih berbaring lunglai di atas meja, tertidur lelap seperti orang mati. Langkah mereka tidak tegas, jalannya sempoyongan seakan bumi sebagai pijakan bergoncang. Tangannya berpegangan di apa saja yang ada, pundak seseorang, meja, tembok apa pun itu. Tangannya menyanggah beban badan mereka yang belum bisa disanggah seutuhnya oleh kedua kaki.
kesadaranku telah berkumpul seutuhnya, namun sekujur badanku masih mati rasa. Rasanya tidak sanggup untuk berdiri dan membantu Innana dan Kemala. Sambil menyender, dengan segenap energi yang masih aku miliki, aku meraih bahu seseorang yang tidak begitu jauh. Bahunya masih ada di dalam jangkauanku.
"Hai, siapa namamu? Ayo bangun!" tanganku meraih bahu kanannya.
Tidak, aku tidak amnesia. Aku tahu siapa nama anak laki-laki yang duduk di sampingku. Tepat satu minggu yang lalu dia memperkenalkan dirinya di depan kelas. Anak campuran Indonesia-Jepang itu, memperkenalkan dirinya lancar menggunakan bahasa Indonesia. Logat yang melekat tidak berbau Japaniess melainkan Javaness. Hanya saja aku ragu untuk memanggil namanya. Aku tidak tebiasa memanggil nama seseorang selain namaku di dalam sendiri.
“Yuuta, namaku Yuuta..” perlahan bahunya bergerak, kepalanya mengangkat sampai aku bisa melihat wajahnya.
“Iya, Yuuta, ayo bangun!”
Aku menarik kembali tangan kiriku setelah melihat dia terbangun. Di pipinya terjiplak guratan-guratan merah berornamen sesuai dengan meja, menandakan seberapa lama durasi pipi itu menyangga kepalanya. Dia terduduk, menyender ke belakang. Dia memang sudah sadar, namun matanya terlihat seperti belum terbuka sepenuhnya. Atau mungkin karena dia campuran Jepang jadi memang hanya sampai situ kemampuan matanya untuk terbuka.
Perlahan, satu per satu dari teman-teman mulai terbangun dari tidurnya. Setelah menyadari di mana kami terbangun, mulailah muncul pertanyaan mengapa kita berada di kelas? Ingatanku jelas, tidak buram, tidak kabur, aku sedang berada di bus sekolah yang berjalan menuju rumah. Seperti biasanya kami pulang bersama seragam putih yang berbau matahari, diiringi dengan genjrengan gitar anak laki-laki yang berkumpul di tempat duduk paling belakang bus dan bernyanyi bersamaan, menyatukan suara fals mereka. Riuh di dalam bus bersatu dengan hiruk-pikuk kota Jakarta di siang hari. Bunyi klakson angkutan umum yang beradu dengan para pengendara motor, memperindah genjrengan gitar si pujangga yang sedang menarik perhatian anak-anak gadis sebayanya.
Aku mengingatnya detail, aku duduk di baris keempat dari depan, dekat jendela dan tempat duduk di sampingku masih kosong. Walau begitu, tetap saja ada kemungkinan aku salah, aku mabuk karena es Nutrisari bi Ijah, atau kepalaku terbentur daun pintu kelas sehingga ingatan itu adalah ingatan yang aku buat sendiri. Tapi rasanya tidak mungkin, seisi kelas mengingat hal yang sama. Eden bilang kala itu aku sedang menggenjrer gitar dan kamu Michael, yang bernyanyi, walau kami tahu semua itu tidak bisa disebut sebagai nyanyian. Melodi juga ingat jelas dia sedang membicarakan rencana liburannya besama Anita dan Dinar. Ketika semua mengingat hal yang sama, itu berarti ingatan itu bukan mimpi belaka dan seharusnya kita sudah sampai rumah!
Aku meraba laci meja dan menemukan tasku tergeletak di sana. Seperti memiliki pikiran yang sama, aku dan teman-teman mulai mencari ponsel untuk setidaknya memastikan hari apa, tanggal berapa, dan jam berapa sekarang. Aku mulai merogoh-rogoh isi tas. Setiap kantung aku periksa, setiap resleting aku buka, sampai aku keluarkan semua benda yang ada di dalam tas. Semua usahaku berakhir nihil, aku tidak menemukan benda itu
“Apa kita dirampok? Aku tidak menemukan ponselku.” kata Dinar mewakili isi pikiranku.
“Aku juga tidak dapat menemukan ponselku. Tapi aku tidak yakin kita telah dirampok. Lihat! Dompetku utuh dengan isinya.” Jessica mengacungkan dompet panjang berwarna merah muda dengan glitter putih.
Kepalaku masih terlalu pening untuk mencoba mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi. Tertidur seperti orang mati, terbangun di kelas, memiliki ingatan terpotong yang sama, ponsel tidak ada. Kami terdampar di kelas ini begitu saja, menerka-nerka apa yang sebenarnya telah terjadi, terlebih lagi apa yang akan terjadi setelah ini karena dengan keadaan serba membingungkan ini aku mencium sesuatu yang tidak beres. Mataku berkeliling, memperhatikan seisi kelas yang gaduh. Teman-teman mulai mengkonfirmasi ingatan terakhir mereka satu sama lain. Mereka mengkonfrimasi bahwa mereka belum gila karena ingatan itu begitu jelas namun seperti tidak nyata.
Kita sedang ada di dalam bus sekolah untuk pulang kan?
Aku menemukan hal yang aneh, kelas ini tidak memiliki jam. Biasanya ada jam dinding di atas papan tulis kapur itu. Bukan hanya itu, seingatku sekolah kami tidak memiliki cctv di setiap sudut kelas. Ada namun tidak di setiap sudut kelas juga. Aroma kelas ini pun aneh, tidak seperti biasanya. Seperti aroma kayu basah dan rasanya sangat segar.
“Ini bukan kelas sekolah kita...” Yuuta menyadarinya hal yang sama.
“Lihat! Jendela kita ditutupi tralis.” Benar, jendela di sekolah kami tidak terpasang teralis. Tentu saja tidak, sekolah mana yang memasang teralis di jendela kelas?
“Bukan hanya itu. Ini memang jendela, namun aku tidak bisa melihat apa yang ada di seberang jendela ini.” Yuuta menunjukan jendelanya yang seperti tidak berfungsi, tidak terlihat apa pun dari jendela itu, kecuali gelap.
“Ini bukan kelas kita. Tengok!” Pekik Eden terkejut setengah mati, tidak memepercayai apa yang dia dapati.
Semua anak berebut melihat ke arah yang Eden tunjuk. Jendela yang terletak di sisi lain kelas berfungsi dengan baik. Jendela itu terletak berjejer sedikit tinggi di atas kepala kami, jika kami duduk di bangku kelas. Aku dan yang lainnya segera berdiri dan menemukan hal yang kepalaku tidak mampu menerimanya.
Ini tidak mungkin, apakah aku masih tertidur dan berada di dalam mimpi?
“Apa semua ini?!” desit Jessica seolah tidak percaya, dia berusaha membuka pintu kelas untuk memastikan apa yang dia lihat dari dalam kelas adalah nyata.
“Kenapa pintunya terkunci?!” Jessica mulai terlihat kesal, darahnya mendidih, memuncak ke kepala, tangannya terus menggoncang-goncangkan gagang pintu kelas dengan kasar.
Kemala, dia satu-satunya yang terduduk kembali setelah melihat apa yang ada di sebrang jendela. Matanya terbelalak memandang kosong ke udara. Kedua tangannya di atas meja, bergantian saling menggenggam dan sesekali mengelus-elus punggung telapak tangan.
“Seingat aku, sekolah kita tidak berada di dalam hutan.." Ingatan Bara sama seperti ingatan kami semua.
Kelas sunyi, kengerian mulai menggerogoti setiap tenggorokan sehingga tidak satu pun dari kami bisa berkata-kata. Pertanyaan seperti aku berada di mana? atau apakah aku masih bermimpi? bergulat sengit di dalam setiap benak. Aku sendiri masih belum percaya dengan apa yang aku lihat sekarang. Pohon-pohon yang menjulang tinggi, dedaunan rimbun nan hijau. Aku hampir tidak melihat langit karena daun-daun itu bekerjasama menutupinya. Tidak, seharusnya aku tidak dapat menemukan pohon-pohon itu di sekolah kami, di sekolah SMA yang mana terletak di pusat kota Jakarta.
“Selamat pagi anak-anakku tercinta.” Bergema, suaranya bergema seperti datang dari dalam dan luar kelas.
“Itu suara pak Darma!” Salah satu dari kami mengenali suara itu.
“Pak Darma, kita ada di mana?”
“Duduk dengan tenang semuanya.” Suara Pak Darma terpancarkan dari speaker yang menempel di pojok atas kelas. Aku sadari itu setelah menelusuri sumber suaranya terpencar.
Bersamaan dengan kami merapikan diri, duduk di bangku masing-masing, tiga murid, dua laki-laki dan satu perempuan, masuk melalui pintu yang terkunci tadi. Mereka menggunakan seragam sekolah yang sama seperti kami, putih dan abu-abu. Kedua anak laki-laki itu mendorong troli makanan dan yang satu lagi berjalan ke arah meja guru, membuka laptop, lalu menghadapkan layarnya kepada kami.
“Kepala kalian pasti berat sekali.” Masih Pak Darma yang berbicara, dan kini kami dapat melihatnya dari layar laptop tersebut.
“Itu mungkin karena kalian dehidrasi. Teman kita akan membagikan sebotol air putih dan roti untuk sarapan.”
“Teman kita” siapa? Ketiga anak itu?
Pak Darma terduduk di hadapan, mungkin layar laptop lainnya yang menghubungkan kami. Pak Darma adalah wali kelas kami, kelas XII. Sebagai wali kelas tentu kami dekat, hampir setiap hari kami bertemu dengannya. Pak Darma merupakan seseorang yang tidak asing di dalam kehidupan kami, tetapi hari ini, melalui layar laptop itu, aku merasakan Darma yang lain.
“Pak Darma, kita berada di mana ini?” Eden tidak membuang waktu, dia langsung menanyakan hal yang paling penting dari tumpukkan pertanyaan yang ada. Kami pun menyahuti pertanyaan Eden, tanda bukan hanya Eden yang mempunyai pertanyaan itu.
“Kita berada di sekolah.” Jawabnya datar, benar saja hangatnya menghilang. “Sekolah yang saya bangun untuk murid-murid terbaik seperti kalian.”
Tentu jawaban dari Pak Darma memupuk kebingungan di setiap kami. Jawaban yang seharusnya mencerahkan sesuatu yang buram, ini malah menambah keruh sehingga mata kami tidak mampu melihat jelas apa yang sebenarnya sedang terjadi.
“Sekolah ini bapak dedikasikan untuk murid-murid terbaikku. Hanya di sekolah ini, kita akan bermain bersama, tentu akan sangat menyenangkan.”
“Tapi Pak, kita sudah kelas XII, tidak ada waktu untuk bermain. Kita harus mempersiapkan diri untuk ujian kelulusan.” Salah satu dari kami menyuarakan ketidaksetujuannya.
“Kalian tenang saja.” Pak Darma tersenyum dingin. “Setelah keluar dari sekolah ini, kalian tidak perlu lagi ujian, tidak perlu lagi menghadapi masa depan. Kalian tidak harus tumbuh dewasa.”
Apa yang dia bilang barusan?
“Bapak akan menyelamatkan kalian semua.”
Manusia itu terlempar, ada tanpa tahu dari mana mereka berasal dan hendak ke mana mereka akan pergi. Hutan yang membentang, gelap gulita dan dingin, bersinarkan rembulan dibantu pelitnya sinar bintang nun jauh. Kecemasan selalu ada di pelupuk mata manusia di bumi. Manusia itu terlanjur hidup, terlanjur ada. Terlanjur di suatu hari membuka mataya dan mendapati matahari di langit. Terlanjur yang berarti tidak memiliki pilihan selain hidup karena Dia Yang Maha Ada, ada. Manusia itu tanpa henti berlari selama hidupnya. Sebagian karena mengejar apa yang ada di depannya. Sebagian lagi karena lari dari apa yang menguntit di belakang tengkuknya. Kedua kakinya tanpa henti mengitari bumi bak Adam yang mencari Hawa. Manusia, hiduplah sebagai manusia. Itulah kutukan yang ada di dunia. “Selamat datang di sekolah tanpa nama ini. Sekolah yang hanya akan membawa kalian semua kepada suka cita.” tangannya membentang kesamping, suaranya melambung megah. Seisi kelas tidak memberikan respon pada
Ternyata semuanya telah siap. Selagi kita menikmati pertunjukan jeruji besi itu menancap di lorong sekolah, Kronos dan Kyos mempersiapkan sesuatu. Mereka mengambil dua meja dari luar kelas dan menjejerkannya di depan. Setelah semua murid duduk rapi di bangkunya masing-masing, Thea mulai berkeliling, mengitari kelas dengan membawa sebuah kotak yang berisikan banyak potongan kertas. Dia menyodorkan dan meminta kami untuk mengambil secarik kertas secara acak dari dalam kotak tersebut. “Hari ini kita bermain permainan tradisional khas jawa tengah, cublek-cublek suweng. Kalian pasti pernah mendengarnya.” Pak Darma membuka permainan pertama kami. “Peraturannya sederhana, Thea telah membagikan nomor urut kepada kalian. Nomor satu sampai lima akan bermain terlebih dahulu. Satu dari lima orang tersebut akan menjadi Pak Empo yang harus tertelungkup di atas meja. Empat lainnya berdiri mengitari Pak Empo dan membuka telapak tangannya di atas punggung pak Empo.” Kronos menunjukan kelereng beruku
“Aku tidak memintamu menyelamatkanku. Kau tidak perlu melakukan itu!" “Aku tidak menyelamatkanmu.” jawabku singkat. Memang tidak, aku menggantikan posisinya di permainan tadi memang bukan karena dia. Kantin sekolah ini terasa berbeda. Kantin sekolah kami yang dulu ramai bagai pasar loak, begitu banyak bebunyian berkumpul di Sana. Suara bukantin yang memanggil nama murid yang memesan makanan. Sekelompok murid populer dengan gayanya slengean, tertawa terbahak-bahak. Beberapa dari mereka ada yang bernyanyi lagu yang sedang hits di beberapa minggu ini. Ada juga yang memakai kantin sesuai dengan fungsinya, makan siang. Kantin sekolah kami pun tidak luput dari fungsinya sebagai tempat sepasang kekasih anak SMA yang makan siang berbarengan, seperti yang selalu dilakukan oleh Eden dan Innana. Begitu juga di kantin sekolah ini. Eden dan Innana masih memilih duduk bersama untuk menyantap makan siang bersama, bedanya kini Eden tak bergeming melihat kekasihnya terisak-isak, air matanya melenyap
Pak Darma menyiapkan semuanya. Loker sekolah yang lengkap dengan peralatan pribadi, alat mandi, baju tidur, pakaian dalam hingga kantong tidur. Kami pun diberi sandal, sehingga kami tidak perlu khawatir alas kaki yang kami gunakan ketika mandi. Setelah mengeksekusi dua murid, Pak Darma dan yang lainnya meninggalkan kami. Aku bisa bilang begitu karena sehabis Karisma pergi, aku tidak lagi mendengar suaranya lagi keluar dari speaker. Kami yang tadinya kebingungan, perlahan memahami apa yang harus kita lakukan di sisa waktu kami.Di posisi ini, tidak ada yang bisa aku lakukan. Bahkan bukan hanya aku yang merasa dilumpuhkan oleh Pak Darma, seisi kelas. Bara, yang terbilang mempunyai sabuk hitam, terikat erat melingkari image-nya, hanya bisa terdiam, menahan tangannya untuk tidak merusak sesuatu di kelas ini. Cctv lebih menakutkan daripada petir di hujan badai di tengah malam. Kami memahami, di setiap sudut kelas dan ruangan yang ada di sekolah ini, terpasang cctv yang bergandengan dengan
“Aku tidak mau makan ini Jessica!” Aku melempar piring plastik kecil berwarna merah muda, lengkap dengan spageti karangan Jessica. “Kau melawan pada ibu mu? Kau mau ibu kutuk jadi batu?” Jari telunjuknya menuding tepat di depan mata ku. Dia berperan galak secara natural. “Jessica, benda itu tidak bisa dimakan.”Aku berdiri, menjauh dari telunjuk itu. Dia terus menyodorkan bagian dari tumbuhan yang mirip seperti mie. Aku tidak tahu namanya apa, tapi ia menjalar di atas tanaman pagar. Jessica berperan sebagai ibu yang berlaga mampu memasak. Aku mengisi kekosongan peran yang dimainkan oleh Jessica. Tadinya aku menawarkan diri berperan sebagai Athena, diriku sendiri, tapi ditolak mentah-mentah olehnya. Jessica bilang kita harus berperan bukan menjadi diri kita, baru permainannya akan menjadi menyenangkan. Tapi aku bingung, aku di kehidupan nyata pun menjadi seorang anak, kenapa ketika bermain dengannya harus berperan sebagai anak juga. Aku kira dia bilang kita tidak boleh memerankan p
“Mari kita bernyanyi!” Pak Darma memberikan aba-aba dan permainan pun dimulai. “Naik kereta api tuut…tuut…tuut..” Sebanyak 27 murid berbaris menjadi satu barisan dan memegangi pundak, menyerupai kereta bergandengan antara gerbongnya. Aku tidak yakin aku diurutan keberapa, yang aku tahu aku memegangi bahu Yuuta dan Jessica memegang bahu ku. Semenit sebelum permainan dimulai, Jessica menghampiri ku tanpa berkata-kata. Dia berdiri di belakang ku dan sangat berusaha untuk tidak memandang ku balik. Kereta api manusia ini, berbaris diselubungi dengan ketakutan. Sekrup yang tertanam di tangan yang menempel di bahu tidak begitu kencang. Kapan saja bisa terlepas dan berlari menyelamatkan diri masing-masing. Kami bernyanyi dan masuki terowongan aneh yang Pak Darma sediakan. Aku belum mengetahui bagaimana cara permainan ini bekerja. Kalau saja permainan naik kereta api ini normal, aku tidak perlu waspada dengan apa yang akan terjadi nanti. “Keretaku tak berhenti lama_” Kami salah, ternyata
Aku mungkin sudah gila. Meminta pertolongan dari seseorang yang juga menjadi penyebab dari semua ini. Aku tidak memiliki pilihan. Pak Darma berjalan tenang di tengah-tengah teriakkan para murid yang berhamburan. Ada beberapa dari mereka berlari menuju hutan, dan ada juga yang hanya berdiam memaku memandangi apa yang ada di tangan Thea. Mereka yang hanya mematung, ragu untuk ikut berlari menuju hutan, karena sebelumnya mereka tahu Thea menembak kepala Rama. Pak Darma menghampiri ku yang terduduk dengan kepala Jessica di pahaku. Dia berlutut. Sepatu pantofel hitamnya menginjak kubangan darah. Darah Jessica tidak berhenti mengalir dari kedua lengannya yang terputus. Wajah Jessica memucat, aku takut keberadaanya di dunia ini pun memudar. “Jangan menangis Athena.” Suaranya tenang. Ibu jarinya menyeka air mataku yang mengalir di pipi. “Jessica akan baik-baik_” “Dia tidak sedang baik-baik saja Pak! Darahnya terus keluar. Kalau begini terus dia bisa mati kehabisan darah!” Aku membent
“Ayah pergi ya nak.”Tentu aku tidak akan membiarkan itu. Ayahku berdiri di ujung jalan menuju matahari yang bentar lagi tenggelam dilahap bagian barat bumi. Jalannya sedikit licin karena banyak rumput liar dengan embun yang tersisa di untaian daunnya. Angin sore menghembus lembut ilalang. Cahaya matahari menjingga, mewarnai ilalang yang berbulu putih. Ayah tidak menoleh ke belakang setelah berpamitan. Langkahnya lunglai tapi tidak terhenti. Semakin lama punggungnya ditelan cahaya jingga, semakin jauh dari pandangan ku. Berjalan saja sudah tidak cukup, kaki ku mulai berlari mengejarnya. Sambil berteriak memanggil Ayah, aku berharap dia berubah pikiran untuk tidak pergi. Suara ku terdengar keras sampai ke bagian bumi timur namun tetap saja langkah ayahku tidak terhenti.Aku berlari dengan kaki telanjang. Menyusuri jalan setapak yang tiba-tiba b