Share

Anomali Dunia Darma
Anomali Dunia Darma
Penulis: Rahameem

Bab 1 Sekolah Baru

Awan kelabu mengintili ke mana aku berlalu, aku tidak terganggu hanya termangu tidak tahu apa yang dia mau. Matahari tidak lagi muncul di atas langit di hari-hariku. Dia pergi tertiup angin barat, sedangkan aku berdiri di utara. Esoknya kutunggu di langit utaraa, ia tak muncul lagi. Walau begitu, aku tetanp menunggu, tidak lelah jiwaku demi kehidupan yang baru. Tidak cukupkah di musim dingin aku sabar berlabu? Tuhan berikan aku musim semi yang matahari kembali bersinar di langit biru.

“Kenapa aku terbangun di kelas?”

“Teman-teman bangun! Kenapa kita ada di sini?”

Suaranya datang dari arah depan. Aku masih memejamkan mata. Terasa kedua kelopak mataku menempel rekat. Sulit sekali untuk tersingkap. Kesadaran sudah terkumpul di seluruh kujur tubuhku. Namun yang aku nikmati di dalam gelapnya pejaman mata ini hanyalah warna-warna yang terbentuk acak, tidak menentu, bergerak-gerak, meliuk-liuk. 

“Eden bangun!”

Warna suaranya bertambah dari arah sebelah kananku.

Kepala ini seperti menggendong tumpukan batu candi. Sungguh berat sekali. Kedua tanganku membantu mendorong badan ini yang terbaring kedepan untuk bisa segera bangun. Awalnya semua tulangku terasa remuk dan kini mulai terangkai kembali, sepotong demi sepotong bak puzzel yang belum terangkai. Sambil memegangi kepala, aku mulai membuka kelopak mata. Cahaya menyeruak masuk kasar. Pertama-tama pandanganku masih kabur, bentukan warna acak yang berjumlah banyak masih menari-nari di udara, selanjutnya aku bisa dapati aku sedang duduk di bangku kelasku.

“Kepalaku sakit Nana.”

Aku menoleh ke asal suara, ke bangku Eden. Dia memegangi kepalanya sama seperti aku.

“Bukannya kita terakhir berada di bus sekolah?”

“Iya, di bus sekolah menuju rumah”, jawab Innanna.

Ternyata yang sedari tadi memanggil-manggil untuk segera sadar adalah Innana dan Kemala. Mereka berusaha meraih pundak-pundak yang masih berbaring lunglai di atas meja, tertidur lelap seperti orang mati. Langkah mereka tidak tegas, jalannya sempoyongan seakan bumi sebagai pijakan bergoncang. Tangannya berpegangan di apa saja yang ada, pundak seseorang, meja, tembok apa pun itu. Tangannya menyanggah beban badan mereka yang belum bisa disanggah seutuhnya oleh kedua kaki. 

kesadaranku telah berkumpul  seutuhnya, namun sekujur badanku masih mati rasa. Rasanya tidak sanggup untuk berdiri dan membantu Innana dan Kemala.  Sambil menyender, dengan segenap energi yang masih aku miliki, aku meraih bahu seseorang yang tidak begitu jauh. Bahunya masih ada di dalam jangkauanku. 

"Hai, siapa namamu? Ayo bangun!" tanganku meraih bahu kanannya. 

Tidak, aku tidak amnesia. Aku tahu siapa nama anak laki-laki yang duduk di sampingku. Tepat satu minggu yang lalu dia memperkenalkan dirinya di depan kelas. Anak campuran Indonesia-Jepang itu, memperkenalkan dirinya lancar menggunakan bahasa Indonesia. Logat yang melekat tidak berbau Japaniess melainkan Javaness. Hanya saja aku ragu untuk memanggil namanya. Aku tidak tebiasa memanggil nama seseorang selain namaku di dalam sendiri. 

“Yuuta, namaku Yuuta..” perlahan bahunya bergerak, kepalanya mengangkat sampai aku bisa melihat wajahnya. 

“Iya, Yuuta, ayo bangun!”

Aku menarik kembali tangan kiriku setelah melihat dia terbangun. Di pipinya terjiplak guratan-guratan merah berornamen sesuai dengan meja, menandakan seberapa lama durasi pipi itu menyangga kepalanya. Dia terduduk, menyender ke belakang. Dia memang sudah sadar, namun matanya terlihat seperti belum terbuka sepenuhnya. Atau mungkin karena dia campuran Jepang jadi memang hanya sampai situ kemampuan matanya untuk terbuka.

Perlahan, satu per satu dari teman-teman mulai terbangun dari tidurnya. Setelah menyadari di mana kami terbangun, mulailah muncul pertanyaan mengapa kita berada di kelas? Ingatanku jelas, tidak buram, tidak kabur, aku sedang berada di bus sekolah yang berjalan menuju rumah. Seperti biasanya kami pulang bersama seragam putih yang berbau matahari, diiringi dengan genjrengan gitar anak laki-laki yang berkumpul di tempat duduk paling belakang bus dan bernyanyi bersamaan, menyatukan suara fals mereka. Riuh di dalam bus bersatu dengan hiruk-pikuk kota Jakarta di siang hari. Bunyi klakson angkutan umum yang beradu dengan para pengendara motor, memperindah genjrengan gitar si pujangga yang sedang menarik perhatian anak-anak gadis sebayanya. 

Aku mengingatnya detail, aku duduk di baris keempat dari depan, dekat jendela dan tempat duduk di sampingku masih kosong. Walau begitu, tetap saja ada kemungkinan aku salah, aku mabuk karena es Nutrisari bi Ijah, atau kepalaku terbentur daun pintu kelas sehingga ingatan itu adalah ingatan yang aku buat sendiri. Tapi rasanya tidak mungkin, seisi kelas mengingat hal yang sama. Eden bilang kala itu aku sedang menggenjrer gitar dan kamu Michael, yang bernyanyi, walau kami tahu semua itu tidak bisa disebut sebagai nyanyian. Melodi juga ingat jelas dia sedang membicarakan rencana liburannya besama Anita dan Dinar. Ketika semua mengingat hal yang sama, itu berarti ingatan itu bukan mimpi belaka dan seharusnya kita sudah sampai rumah!

Aku meraba laci meja dan menemukan tasku tergeletak di sana. Seperti memiliki pikiran yang sama, aku dan teman-teman mulai mencari ponsel untuk setidaknya memastikan hari apa, tanggal berapa, dan jam berapa sekarang. Aku mulai merogoh-rogoh isi tas. Setiap kantung aku periksa, setiap resleting aku buka, sampai aku keluarkan semua benda yang ada di dalam tas. Semua usahaku berakhir nihil, aku tidak menemukan benda itu

“Apa kita dirampok? Aku tidak menemukan ponselku.” kata Dinar mewakili isi pikiranku.

“Aku juga tidak dapat menemukan ponselku. Tapi aku tidak yakin kita telah dirampok. Lihat! Dompetku utuh dengan isinya.” Jessica mengacungkan dompet panjang berwarna merah muda dengan glitter putih.

Kepalaku masih terlalu pening untuk mencoba mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi. Tertidur seperti orang mati, terbangun di kelas, memiliki ingatan terpotong yang sama, ponsel tidak ada. Kami terdampar di kelas ini begitu saja, menerka-nerka apa yang sebenarnya telah terjadi, terlebih lagi apa yang akan terjadi setelah ini karena dengan keadaan serba membingungkan ini aku mencium sesuatu yang tidak beres. Mataku berkeliling, memperhatikan seisi kelas yang gaduh. Teman-teman mulai mengkonfirmasi ingatan terakhir mereka satu sama lain. Mereka mengkonfrimasi bahwa mereka belum gila karena ingatan itu begitu jelas namun seperti tidak nyata.

Kita sedang ada di dalam bus sekolah untuk pulang kan?

Aku menemukan hal yang aneh, kelas ini tidak memiliki jam. Biasanya ada jam dinding di atas papan tulis kapur itu. Bukan hanya itu, seingatku sekolah kami tidak memiliki cctv di setiap sudut kelas. Ada namun tidak di setiap sudut kelas juga. Aroma kelas ini pun aneh, tidak seperti biasanya. Seperti aroma kayu basah dan rasanya sangat segar.

“Ini bukan kelas sekolah kita...” Yuuta menyadarinya hal yang sama.

“Lihat! Jendela kita ditutupi tralis.” Benar, jendela di sekolah kami tidak terpasang teralis. Tentu saja tidak, sekolah mana yang memasang teralis di jendela kelas?

“Bukan hanya itu. Ini memang jendela, namun aku tidak bisa melihat apa yang ada di seberang jendela ini.” Yuuta menunjukan jendelanya yang seperti tidak berfungsi, tidak terlihat apa pun dari jendela itu, kecuali gelap.

“Ini bukan kelas kita. Tengok!” Pekik Eden terkejut setengah mati, tidak memepercayai apa yang dia dapati.

Semua anak berebut melihat ke arah yang Eden tunjuk. Jendela yang terletak di sisi lain kelas berfungsi dengan baik. Jendela itu terletak berjejer sedikit tinggi di atas kepala kami, jika kami duduk di bangku kelas. Aku dan yang lainnya segera berdiri dan menemukan hal yang kepalaku tidak mampu menerimanya. 

Ini tidak mungkin, apakah aku masih tertidur dan berada di dalam mimpi?

“Apa semua ini?!” desit Jessica seolah tidak percaya, dia berusaha membuka pintu kelas untuk memastikan apa yang dia lihat dari dalam kelas adalah nyata.

“Kenapa pintunya terkunci?!” Jessica mulai terlihat kesal, darahnya mendidih, memuncak ke kepala, tangannya terus menggoncang-goncangkan gagang pintu kelas dengan kasar.

Kemala, dia satu-satunya yang terduduk kembali setelah melihat apa yang ada di sebrang jendela. Matanya terbelalak memandang kosong ke udara. Kedua tangannya di atas meja, bergantian saling menggenggam dan sesekali mengelus-elus punggung telapak tangan.

“Seingat aku, sekolah kita tidak berada di dalam hutan.." Ingatan Bara sama seperti ingatan kami semua.

Kelas sunyi, kengerian mulai menggerogoti setiap tenggorokan sehingga tidak satu pun dari kami bisa berkata-kata. Pertanyaan seperti aku berada di mana? atau apakah aku masih bermimpi? bergulat sengit di dalam setiap benak. Aku sendiri masih belum percaya dengan apa yang aku lihat sekarang. Pohon-pohon yang menjulang tinggi, dedaunan rimbun nan hijau. Aku hampir tidak melihat langit karena daun-daun itu bekerjasama menutupinya. Tidak, seharusnya aku tidak dapat menemukan pohon-pohon itu di sekolah kami, di sekolah SMA yang mana terletak di pusat kota Jakarta.

“Selamat pagi anak-anakku tercinta.” Bergema, suaranya bergema seperti datang dari dalam dan luar kelas.

“Itu suara pak Darma!” Salah satu dari kami mengenali suara itu.

“Pak Darma, kita ada di mana?”

“Duduk dengan tenang semuanya.” Suara Pak Darma terpancarkan dari speaker yang menempel di pojok atas kelas. Aku sadari itu setelah menelusuri sumber suaranya terpencar.

Bersamaan dengan kami merapikan diri, duduk di bangku masing-masing, tiga murid, dua laki-laki dan satu perempuan, masuk melalui pintu yang terkunci tadi. Mereka menggunakan seragam sekolah yang sama seperti kami, putih dan abu-abu. Kedua anak laki-laki itu mendorong troli makanan dan yang satu lagi berjalan ke arah meja guru, membuka laptop, lalu menghadapkan layarnya kepada kami. 

“Kepala kalian pasti berat sekali.” Masih Pak Darma yang berbicara, dan kini kami dapat melihatnya dari layar laptop tersebut.

“Itu mungkin karena kalian dehidrasi. Teman kita akan membagikan sebotol air putih dan roti untuk sarapan.”

“Teman kita” siapa? Ketiga anak itu?

Pak Darma terduduk di hadapan, mungkin layar laptop lainnya yang menghubungkan kami. Pak Darma adalah wali kelas kami, kelas XII. Sebagai wali kelas tentu kami dekat, hampir setiap hari kami bertemu dengannya. Pak Darma merupakan seseorang yang tidak asing di dalam kehidupan kami, tetapi hari ini, melalui layar laptop itu, aku merasakan Darma yang lain. 

“Pak Darma, kita berada di mana ini?” Eden tidak membuang waktu, dia langsung menanyakan hal yang paling penting dari tumpukkan pertanyaan yang ada. Kami pun menyahuti pertanyaan Eden, tanda bukan hanya Eden yang mempunyai pertanyaan itu

“Kita berada di sekolah.” Jawabnya datar, benar saja hangatnya menghilang. “Sekolah yang saya bangun untuk murid-murid terbaik seperti kalian.” 

Tentu jawaban dari Pak Darma memupuk kebingungan di setiap kami. Jawaban yang seharusnya mencerahkan sesuatu yang buram, ini malah menambah keruh sehingga mata kami tidak mampu melihat jelas apa yang sebenarnya sedang terjadi.

“Sekolah ini bapak dedikasikan untuk murid-murid terbaikku. Hanya di sekolah ini, kita akan bermain bersama, tentu akan sangat menyenangkan.”

“Tapi Pak, kita sudah kelas XII, tidak ada waktu untuk bermain. Kita harus mempersiapkan diri untuk ujian kelulusan.” Salah satu dari kami menyuarakan ketidaksetujuannya.

“Kalian tenang saja.” Pak Darma tersenyum dingin. “Setelah keluar dari sekolah ini, kalian tidak perlu lagi ujian, tidak perlu lagi menghadapi masa depan. Kalian tidak harus tumbuh dewasa.”

Apa yang dia bilang barusan?

“Bapak akan menyelamatkan kalian semua.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status