Share

Keinginan Yang Kuat

“Saya yakin dengan keputusan saya ini, Mbah. Kalau saya tidak yakin, saya tidak mungkin akan hadir di sini, menemui Mbah. Apalagi, untuk menuju ke sini rutenya lumayan berat. Saya harus berjalan sekitar empat puluh lima menit.”

Ganang memperhatikan Mbah Sukoh yang tatapan matanya masih menerawang jauh.

“Kamu tahu, mengapa jalan untuk menuju kemari membutuhkan waktu yang lama?” Mbah Sukoh tiba-tiba balik bertanya, yang membuat Ganang tidak memahami mengapa hal itu terjadi.

Mbah Sukoh mengalihkan  pandangannya, kini menatap tajam pada Ganang. Tatapan yang menyiratkan agar Ganang memikirkan jawaban yang tepat untuk pertanyaan yang diajukannya.

Ganang menggelengkan kepalanya, “Saya tidak tahu, Mbah. Saya kira memang jaraknya jauh dari pinggir jalan tempat saya memarkirkan kendaraan saya.”

Mbah Sukoh menganggukkan kepalanya lagi, kemudian menghisap cerutunya, kali ini lebih lama, dari pada sebelumnya.

“Itu artinya bahwa sebenarnya kamu memiliki kemauan yang keras untuk mencapai tujuanmu. Bisa saja, dalam waktu satu menit kamu tiba di sini, yang akan membuat kamu semakin menggampangkan masalah.” Mbah Sukoh menghisap cerutunya lagi sebelum melanjutkan perkataannya. “Sebaliknya, semakin keras usaha yang dilakukan seseorang, menunjukkan betapa kuat  pula keinginannya untuk mencapai tujuan.” Mbah Sukoh tertawa keras, membuat tubuh ringkihnya terguncang.

“Saya kok bingung, ya, Mbah. Tidak mengerti apa yang Mbah maksudkan,” ucap Ganang dengan kerutan di keningnya.

Mbah Sukoh menghentikan tawanya sejenak, kemudian menatap Ganang sambil memicingkan matanya. Meyakinkan dirinya apakah benar yang diucapkan oleh Ganang. Kemudian senyum samar muncul di wajah tuanya.

“Jadi, intinya, bahwa kamu benar-benar berusaha keras untuk dapat menaklukkan perempuan itu. Benar atau salah ucapan saya?” Ganang akhirnya menganggukkan kepalanya, mengerti apa yang dimaksud oleh Mbah Sukoh.

“He … he… he ….” Mbah Sukoh terkekeh lagi dengan tubuh terguncang. “Dengan kata lain, bahwa kamu benar-benar berniat mencapai tujuanmu. Bukan sekedar niat untuk menaklukkan hati perempuan  itu, tapi jauh lebih dalam. Ingin memilikinya seutuhnya.” Seringai lebar tersirat dari wajah tua Mbah Sukoh. Sejenak ada rasa takut melintas di hati Ganang. Ada perasaan yang berbeda seketika itu juga. Namun, segera ditepisnya, mengingat bahwa tujuan yang ingin diraihnya saat ini sangatlah penting. Dia tidak main-main dalam hal ini.

“Jadi, apa yang harus saya lakukan, Mbah? Saya benar-benar telah membulatkan tekad saya. Perempuan itu harus membayar semua perbuatannya yang telah membuat saya merana. Tak dapat memejamkan mata sedetik pun untuk melupakannya. Sungguh, saya sangat menderita.” Ganang menghentikan ucapannya, menarik napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya secara kasar. “Bahkan, yang membuat saya lebih menderita lagi, saya tidak bisa menikmati hasrat biologis saya terhadap perempuan selain dia. Setiap kali akan memulai suatu hubungan, wajahnya selalu muncul, seakan menggoda saya. Hingga akhirnya saya merasa muak pada perempuan.”

Wajah Ganang yang tadinya begitu bersemangat dan penuh keyakinan, kini menyiratkan kegelisahan dan penderitaan batin. Tak disangka bahwa sosok Arumi terlalu dalam merampas jiwanya.

“Hmmm ….” Mbah Sukoh berguman, kemudian sesekali mulutnya seolah berkomat-kamit seperti membicarakan sesuatu yang tak dapat di mengerti oleh Ganang. Sesekali tangan Mbah Sukoh bergerak seperti mengungkapkan sesuatu, tapi Ganang tidak tahu dengan siapa Mbah Sukoh berkomunikasi.

Bulu-bulu halus di sekitar tengkuknya kembali meremang, rasa takut kembali menghinggapinya. Kali ini bahkan lebih kuat dari pada sebelumnya.

“Ataukah saya sudah di guna-gunai oleh dia, ya, Mbah? Kok rasanya hati ini nelongso, gitu, ya,” ucap Ganang dengan wajah memelas.

“Perempuan itu pernah terluka sama kamu. Ada alasan mengapa dia begitu membencimu. Apakah kamu tidak pernah tahu itu?” tanya Mbah Sukoh perlahan. Tangannya mengambil kotak kayu ukiran, mengambil sebuah cerutu menggantikan cerutu yang masih berukuran separuh dari ukuran sebelumnya.

Ganang memperhatikan apa yang dilakukan Mbah Sukoh tanpa melewati sedikitpun. Ketika Mbah Sukoh mengeluarkan cerutu yang berukuran separuh itu, ada hal ganjil. Mbah Sukoh memegang bagian ujung cerutu yang merah membara, karena adanya bara api.

Ganang terkesiap melihatnya, bagaimana mungkin tangan manusia bisa memegang bara api yang kemerahan tanpa merasakan panas sedikit pun. Orang biasa akan memekik dengan sentuhan panas di kulitnya, walau itu hanya sebentar.

Berbeda dengan Mbah Sukoh, yang memegang ujung cerutu dengan bara kemerahan seolah memegang mainan. Tak ada aroma terbakar kemerahan di kulitnya akibat terkena bara atau pun mendengar suara meringis kesakitan dari wajah Mbah Sukoh.

“Kamu siap dengan semua konsekuensinya kalau mau membuatnya bertekuk lutut padamu?” tanya Mbah Sukoh dengan pandangan tajam kearah Ganang.

Ganang terkesiap mendapatkan pertanyaan yang tiba-tiba itu, karena asyik memperhatikan jemari tangan Mbah Sukoh yang memainkan bara api dengan jari telunjuk dan ibu jarinya. Tanpa berpikir panjang lagi, Ganang secara spontan menganggukkan kepalanya berulang kali, yakin dengan keputusannya.

“Saya siap, Mbah. Semua sudah saya pikirkan matang-matang. Saya tidak akan mundur,” ucapnya mantap.

“Baiklah kalau begitu. Pesan saya, jangan sampai kamu melanggar pantangannya. Bila sampai kamu melanggarnya satu kali saja, maka semua akan berbalik kepadamu! Bahkan akan menjadi bumerang bagi dirimu sendiri. Jadi, berhati-hatilah,” ucap Mbah Sukoh tegas. Suara tawanya kembali terdengar. Dan kali ini lebih membahana memenuhi seisi ruangan di dalam pondoknya.

Ganang terpaku mendengar ucapan Mbah Sukoh, lehernya seolah tercekat, hingga untuk menelan air liur saja sudah tidak sanggup lagi. Kedua tangannya mengepal, hawa dingin seketika merambati melalui telapak tangannya. Kini waktunya Ganang memutuskan jalan mana yang akan dipilihnya.

***

Senja mulai menapak di batas cakrawala, ketika Ganang menghentikan kendaraan roda empatnya di pinggir jalan. Pemandangan di kaki gunung Semeru yang kemerahan menambah suasana temaram di  hati Ganang yang sedang kalut.

Pada akhirnya memang harus ada yang menjadi pilihan. Tetap memilih jalan yang ingin ditempuhnya, atau diabaikan saja. Mengingat bahwa kedua pilihan tersebut benar-benar memporak porandakan tatanan hatinya.

Tangannya merogoh saku celananya di sebelah kanan. Sebuah botol kecil terbuat dari kaca berada di telapak tangannya. Cairan berwarna merah muda berada dalam botol kecil itu. Aroma semerbak menguar dari bibir botol yang tertutup oleh gabus berwarna coklat muda.

Ganang menepuk-nepuk botol mungil itu di telapak tangannya. Mempertimbangkan lagi, apakah jalan yang diambilnya adalah benar adanya.

“Arimbi, tunggu saja pembalasanku. Kali ini kau akan bertekuk lutut di hadapanku,” gumam Ganang dengan mata menyipit menatap cakrawala senja di sekitar gunung Semeru. Seringai licik mundul di wajahnya dengan rahang mengeras.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status