Share

Mbah Sukoh

Lelaki tua itu meletakkan sandal jepitnya di bawah dipan, kemudian mengangkat kedua kakinya di atas dipan. Dengan duduk bersila tepat menghadap ke meja berkaki rendah.

“Ayo, silahkan naik dan duduk di depanku,” ucap Mbah Sukoh sambil menatap wajah Ganang.

Perlahan, Ganang mengangkat kedua kakinya kemudian melipatnya, duduk dalam posisi bersila di hadapan Mbah Sukoh yang di batasi oleh meja.

Mereka terdiam cukup lama. Ganang menjadi salah tingkah, tidak tahu harus mulai dari mana untuk menyampaikan niat dan tujuannya datang menemui Mbah Sukoh.

“Onok opo, toh, cah ngganteng?” (ada apa, anak ganteng?) tanya Mbah Sukoh dengan senyum lebar di bibirnya. Kumis tipis berwarna abu-abu tumbuh di atas bibirnya.

“Anu, Mbah … itu … saya ….” Ganang kesulitan mengungkapkan maksud dan tujuan kehadirannya menemui Mbah Sukoh. Bingung mau memulainyan dari mana.

“Ojok gugup, ngomonge sing alon-alon,” (jangan gugup, ngomongongnya pelan-pelan saja) ucap Mbah Sukoh lagi masih dengan senyum lebarnya. Matanya menyipit sesekali.

“Siapa,  perempuan itu? Anaknya cantik, menarik. Masak ga bisa to, menaklukkan hatinya?” tanya Mbah Sukoh seolah mampu membaca isi kepala Ganang. Alisnya berkerut dengan ujung telunjuk berulang kali mengetuk meja di hadapannya.

Ganang terkejut mendengar pertanyaan Mbah Sukoh. Benar apa yang dikatakan Aryo, bahwa Mbah Sukoh benar-benar sakti, bisa membaca isi kepala orang yang datang menemuinya. Wajah Ganang seketika menunjukkan keyakinan besar, bahwa Mbah Sukoh akan mampu membantunya menyelesaikan permasalahan cintanya.

“Ya, itu tadi, Mbah. Dia ga bisa saya taklukkan. Padahal, perempuan cantik lainnya datang begitu saja sama saya,” jelas Ganang, sudah tak lagi gugup seperti semula.

Mbah Sukoh kembali terkekeh dan menganggukkan kepalanya berulang kali. Tangannya kirinya menepuk-nepuk paha kirinya.

“Gitu aja kok repot. Yang ditangkap itu ya, hatinya. Dapatkan dulu hatinya itu, baru nanti kamu bisa menaklukkannya. Semuanya. Dia bisa menjadi milikmu seutuhnya dan selamanya. Gampang, to?” ujar Mbah Sukoh dengan seringai di wajahnya.

Ganang tertegun mendengar pernyataan Mbah Sukoh. Yang jadi masalah saat ini adalah, Arumi itu sulit sekali untuk didekati. Jangankan didekati. Ditegur atau disapa saja hanya memalingkan wajah, seolah jijik melihat Ganang. Bahkan tak jarang Arumi meludah di hadapan Ganang.

“Susah, Mbah. Dia sombong sekali. Saya tidak bisa memenangkan hatinya. Apalagi menaklukkannya. Biasanya untuk perempuan cantik yang jual mahal, saya hanya butuh perjuangan sekitar satu minggu saja sudah cukup. Nah, gadis ini sudah membuat dunia saya jungkir balik, Mbah. Hampir enam bulan lamanya saya mencoba mengambil hatinya. Hasilnya nihil,” ungkap Ganang, dengan tatapan putus asa.

Memang benar adanya, apa yang dialami oleh Ganang saat ini. Arumi benar-benar jual mahal dan tidak berhasil ditaklukkan. Entah apa yang membuat Arumi begitu sulit dimenangkan hatinya.

“Kamu pernah menyakiti hatinya, Cah Ngganteng. Makane, jangan suka menyakiti hati perempuan. Akhirnya, kamu sendiri yang tersiksa. Bayangkan saja, kalau selama ini kamu berada di posisi perempuan-perempuan yang menjadi korbanmu. Sakit, to? Nelongso? Pasti.”

Mbah Sukoh mengeluarkan sebuah kotak dari bawah meja. Kotak terbuat dari kayu jati berpelitur dan berukir bunga daun waru itu dibuka oleh Mbah Sukoh. Di dalamnya terdapat susunan beberapa rokok berukuran besar, cerutu dan satu buah pipa.

Dikeluarkannya satu buah cerutu kemudian dimasukkan dalam selongsong pipa. Pada bagian ujungnya, dibakar menggunakan pemantik api modern, yang mengeluarkan bunyi ‘ctek’ ketika dinyalakan.

Mbah Sukoh menyodorkan cerutu pada Ganang. Namun, ia menolaknya, karena dia tidak merokok, apalagi cerutu.

“Saya tidak merokok, Mbah. Tidak bisa dan tidak boleh,” tolak Ganang, halus.

Pernah ia mencoba menghisap rokok putih berfilter dengan merk ternama sesekali. Efeknya, sesak napas dan batuk berkepanjangan hingga dua bulan lamanya. Sejak itu, Ganang tidak lagi mencoba menghisap rokok.

Perusahaan tempatnya bekerja juga menuntut para pegawainya untuk tidak merokok  di lingkungan kerja. Karena akan  rentan sekali terjadi kebakaran, di lingkungan kerja yang terdapat kilang-kilang minyak. Ganang bekerja di perusahaan Migas terbesar se-Indonesia, dan sudah mengabdi selama sepuluh tahun. Kini telah menduduki posisi sebagai senior analis, dan memiliki besaran gaji fantastis.

“Cah Ngganteng tidak merokok, rupanya. Bagus, itu. He … he ….” Mbah Sukoh terkekeh sambil menghisap cerutun melalui pipa, kemudian menghembuskan dari mulutnya asap yang mengepul membentuk bulatan secara bergantian.

Ganang takjub melihat pemandangan itu. Tak pernah ia melihat seseorang merokok menggunakan cerutu mampu memunculkan asap berbentuk lingkaran pipih secara bergantian.

“Iya, Mbah. Bukannya menolak, memang saya tidak bisa menghisap rokok. Efeknya batuk dan sesak napas berkepanjanan,” jelas Ganang, sopan.

Mbah Sukoh menganggukkan kepalanya berkali-kali, memahami apa yang dikatakan Ganang. Mulutnya mengecap mengeluarkan suara kecapan seperti orang yang sedang mengulum permen.

“Jadi, maunya sekarang bagaimana? Anak perempuan itu mau di apakan?” tanya Mbah Sukoh. Kali ini kedua kakinya di selonjorkan di bawah meja. Mungkin dia lelah dan ingin meluruskan kedua kaki rentanya.

Ganang sejenak ragu untuk mengungkapkan isi hatinya. Apakah akan diteruskan niatnya ini demi merebut kembali harga dirinya sebagai laki-laki. Harga diri yang seolah telah dijatuhkan serendah-rendahnya kemudian diinjak-injak oleh seorang Arumi.

Entah mengapa Ganang begitu terpikat pada Arumi. Bukahkah masih banyak perempuan lain yang lebih cantik dan menarik yang dapat dipikat hatinya dengan dengan mudah. Tiap detik, wajah ketus Arumi yang tidak menyenangkan dan tidak enak dilihat itu berseliweran di pelupuk matanya. Bahkan, di kala malam hari ketika matanya terpejam, bayangan Arumi menari-nari di pelupuk matanya.

Bayangan Arumi yang menggunakan pakaian minim dan menggairahkan muncul dan menggodanya. Tak jarang menimbulkan hasrat seorang pria untuk berfantasi dan membayangkan untuk menggauli tubuh indah Arumi.

Sayang sekali, akhir-akhir ini bayangan Arumi semakin sering muncul dan menggodanya, membuatnya kian tersiksa bila harus bertemu dengan Arumi.

Bagaimana tidak, Arumi yang bekerja menjadi sekretaris di perusahaan rekanan yang hampir setiap minggu hadir untuk melaporkan aktifitas pembelian minyak dan gas membuat mereka harus lebih sering bertemu. Dan hal itu semakin membuat Ganang tersiksa.

“Saya ingin memikat hatinya, Mbah. Biar dia kepincut sama saya. Saya sudah lelah berjuang untuk mendapatkan hatinya,” jelas Ganang, mantap.

Mbah Sukoh menganggukkan kepalanya, mengerti. Matanya menerawang dengan mulut yang masih mengecap.

“Hmmm …. Kamu yakin dengan keputusanmu ini, Cah Ngganteng?” tanya Mbah Sukoh tanpa menatap mata Ganang.

“Nama saya Ganang, Mbah. Panggil saja dengan nama itu,” ucap Ganang mengucapkan nama panggilannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status