Share

Memulai Tanpa Mereka

Author: Asma
last update Huling Na-update: 2025-03-07 04:20:42

Aku pikir setelah putus dengan Reza dan memutuskan hubungan dengan Karin, segalanya akan lebih mudah. Aku bisa melupakan mereka dan melanjutkan hidup seperti biasa. Tapi kenyataannya tidak semudah itu.

Di kampus, aku masih sering melihat mereka. Aku melihat bagaimana Karin tetap tertawa seperti tidak terjadi apa-apa. Aku melihat Reza yang sesekali mencoba menatapku, seakan menunggu kesempatan untuk bicara.

Aku benci itu.

Aku benci bagaimana mereka bisa melanjutkan hidup dengan mudah, sementara aku masih berjuang untuk tidak menangis setiap malam.

Hari pertama tanpa mereka benar-benar terasa aneh.

Biasanya, Karin akan menungguku di gerbang kampus, lalu kami berjalan bersama ke kelas. Biasanya, Reza akan mengirim pesan, mengingatkanku untuk sarapan.

Tapi sekarang, tidak ada lagi pesan dari mereka. Tidak ada lagi yang menungguku di gerbang.

Aku berjalan sendiri menuju kelas, mencoba mengabaikan tatapan orang-orang yang mungkin sudah tahu tentang apa yang terjadi.

Saat aku masuk ke dalam kelas, aku melihat Karin duduk di bangku yang biasanya kami tempati bersama. Kali ini, dia tidak sendiri. Reza duduk di sebelahnya.

Dadaku terasa sesak, tapi aku memaksakan diri untuk tetap berjalan tanpa menghiraukan mereka. Aku memilih duduk di bangku paling belakang, jauh dari mereka berdua.

Tidak butuh waktu lama sampai aku menyadari bahwa aku benar-benar sendirian sekarang.

Teman-teman yang dulu selalu bersamaku kini tampak ragu untuk mendekatiku. Mungkin mereka takut terjebak di tengah konflik ini.

Aku menunduk, berusaha fokus pada catatan di depanku.

Aku tidak butuh mereka.

Aku bisa melewati ini sendiri.

Tapi aku salah.

Melewati semua ini sendirian ternyata lebih sulit dari yang kubayangkan.

Aku merasa kehilangan arah. Aku tidak tahu harus berbicara dengan siapa. Aku ingin menangis, tapi aku lelah menangisi orang yang tidak pantas mendapatkan air mataku.

Hari-hari berlalu, tapi rasa sakitnya tidak juga berkurang. Aku mulai kehilangan semangat untuk datang ke kampus. Aku lebih sering menghabiskan waktu di kamar, berpikir tentang semua yang telah terjadi.

Malam itu, aku duduk di balkon kos sambil menatap langit. Udara malam terasa dingin, tapi aku tidak peduli. Aku hanya ingin merasakan sesuatu selain sakit hati ini.

Tiba-tiba, ponselku bergetar. Aku berharap itu bukan dari Reza atau Karin.

Saat kulihat layar ponsel, ternyata sebuah pesan dari seseorang yang tidak kusangka.

Dafa: Alya, kamu baik-baik aja?

Dafa adalah salah satu teman sekelasku. Kami tidak terlalu dekat, tapi aku tahu dia orang yang baik.

Aku ragu sejenak sebelum akhirnya membalas.

Aku: Aku baik-baik aja.

Tidak butuh waktu lama sebelum ia membalas lagi.

Dafa: Kamu nggak harus pura-pura kuat, Alya. Aku tahu kamu pasti terluka.

Mataku terasa panas. Bagaimana mungkin seseorang yang bahkan tidak terlalu dekat denganku bisa memahami apa yang kurasakan?

Aku: Aku nggak tahu harus gimana, Dafa.

Dafa: Kamu nggak sendirian. Kalau kamu butuh teman bicara, aku ada.

Aku menatap layar ponselku lama.

Mungkin benar. Mungkin aku tidak harus melewati ini sendirian.

Aku menghela napas panjang, lalu tersenyum tipis. Untuk pertama kalinya sejak hari itu, aku merasa sedikit lebih baik.

Mungkin ini awal yang baru untukku.

Tanpa mereka.

Tapi dengan seseorang yang mungkin bisa membantuku melewati ini.

Keesokan harinya, aku memutuskan untuk mencoba membuka diri.

Aku datang ke kampus lebih awal, tidak ingin bertemu dengan Karin atau Reza di gerbang. Saat aku memasuki kelas, aku melihat Dafa sudah duduk di bangkunya, membaca buku seperti biasa.

Aku ragu sejenak sebelum akhirnya berjalan ke arahnya.

"Dafa," panggilku pelan.

Ia mengangkat wajahnya, lalu tersenyum. "Hey, Alya. Duduk sini aja kalau mau."

Aku duduk di sebelahnya, merasa sedikit canggung. "Makasih udah ngechat aku kemarin."

Dafa mengangguk. "Aku cuma nggak mau kamu ngerasa sendirian."

Aku menatapnya, merasa sedikit terharu dengan perhatiannya.

"Makasih," ulangku lagi, kali ini dengan senyum yang lebih tulus.

Mungkin ini langkah kecil, tapi aku tahu aku sedang menuju ke arah yang lebih baik.

Aku akan menemukan kebahagiaanku sendiri.

Tanpa mereka.

Tapi dengan seseorang yang mungkin bisa menjadi sahabat baruku.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Rahasia yang Terkubur

    Langkah Alya terasa berat saat ia berjalan keluar dari kafe. Kata-kata Karin terus bergema di kepalanya."Ada seseorang yang lebih tertarik padamu daripada Reza… dan dia lebih berbahaya dari yang kamu kira."Siapa? Siapa yang bisa lebih berbahaya dari Karin sendiri? Alya ingin memaksa Karin bicara lebih banyak tadi, tapi tatapan mata itu—dingin dan penuh peringatan—membuatnya ragu. Sesuatu dalam diri Karin berubah, dan Alya bisa merasakannya. Ada luka lama yang belum sembuh, dan mungkin juga dendam yang belum padam.Sesampainya di apartemen, Alya langsung mendapati Dafa berdiri di dekat pintu, wajahnya tegang.“Kamu dari mana aja? Aku panik,” katanya segera begitu melihat Alya datang.“Aku ketemu Karin,” jawab Alya sambil melepas jaket. “Dan… dia bilang hal yang aneh.”Dafa menghela napas, lalu menunjukkan layar ponselnya. “Kamu harus lihat ini dulu.”Rekaman CCTV.Alya menatap layar. Tampak balkon unit mereka, direkam dari sudut atas. Jam menunjukkan pukul 00:43 malam tadi. Awalnya k

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Jejak di Ujung Malam

    Pagi datang dengan langit kelabu. Awan menggantung berat di atas kota, seolah menahan sesuatu yang akan jatuh kapan saja. Alya duduk diam di ujung tempat tidur, masih mengenakan kaus tidur, matanya sembab karena kurang tidur.Dafa sedang menelepon pihak keamanan apartemen. Sejak pesan aneh itu datang malam tadi, mereka sepakat untuk tidak mengabaikannya lagi. Sesuatu yang jahat sedang mengintai Alya—itu sudah jelas.“Pak, tolong cek rekaman CCTV yang mengarah ke unit kami, terutama balkon. Malam tadi sekitar pukul sebelas sampai jam satu pagi,” suara Dafa terdengar serius. “Kami curiga ada seseorang yang mencoba mengakses balkon dari luar.”Alya memejamkan mata. Ia ingin percaya bahwa semua ini hanya mimpi buruk, tapi rasa takut itu begitu nyata, menghantui tiap helaan napasnya.“Gimana?” tanyanya pelan saat Dafa menutup telepon.“Mereka bilang akan cek, tapi katanya balkon lantai enam nggak ada akses dari luar. Kecuali… orang itu punya alat panjat atau semacamnya.”Alya meremas jari-

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Nafas Dalam Kegelapan

    Alya baru saja menutup tirai balkon ketika ia merasa seseorang sedang mengawasinya dari luar. Tapi siapa? Ia tinggal di lantai enam. Tak mungkin ada orang di luar sana, kecuali mereka bisa terbang."Alya?" Dafa memanggil dari kamar mandi. Suara air masih mengalir deras. "Kamu ngomong sesuatu?"Alya menoleh, masih menahan tirai dengan satu tangan. Matanya tak lepas dari jendela. Kilasan bayangan tadi terlalu nyata. Terlalu cepat, tapi bukan halusinasi."Enggak, enggak apa-apa," sahutnya cepat. Tapi suaranya bergetar.Dafa keluar, rambutnya basah, hanya mengenakan kaos dan celana pendek. Ia mengerutkan kening saat melihat ekspresi Alya. “Kamu pucat. Ada apa?”"Aku… tadi lihat sesuatu di balkon," katanya lirih. "Seperti bayangan hitam. Aku nggak yakin itu cuma ilusi."Dafa langsung berjalan ke jendela, menarik tirai, lalu memandang ke luar. Tidak ada apa-apa. Hanya jalan, lampu, dan kegelapan malam.“Kamu yakin itu bukan bayangan pohon atau bayangan kamu sendiri?” Dafa mencoba meredakan

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Mata yang Mengintai

    Alya merinding. Bayangan di seberang jalan tidak bergerak. Ia tahu, siapapun itu… sedang mengawasinya.---Dafa langsung menangkap perubahan ekspresi Alya. “Kenapa?”Alya menunjuk ke luar jendela dengan tangan gemetar. “Dafa… lihat.”Dafa bergegas ke jendela. Di bawah cahaya lampu jalan yang temaram, seseorang berdiri diam di seberang jalan, mengenakan hoodie hitam dengan wajah tersembunyi dalam bayang-bayang.Orang itu tidak melakukan apa pun. Tidak mendekat. Tidak bergerak. Hanya berdiri di sana, menatap ke arah mereka.Dafa menggeram. “Aku keluar.”Alya langsung menarik lengannya. “Jangan! Itu yang dia mau. Kita nggak tahu siapa dia dan seberapa berbahayanya.”Dafa mengepalkan tangan. Jelas, ia tidak suka merasa tidak berdaya seperti ini. Tapi ia mengangguk. “Baik. Kita foto dulu orang itu.”Alya buru-buru mengangkat ponselnya, tapi sebelum sempat menekan tombol kamera…Bayangan itu berbalik dan berjalan pergi.Alya hampir menjatuhkan ponselnya. “Dia pergi.”Dafa menatap tajam ke l

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Bayangan di Kegelapan

    Alya menahan napas. Lampu mati. Kosan sunyi. Tapi ia tahu… ia tidak sendirian.---Alya berdiri terpaku di depan pintu kamarnya, amplop berisi foto masih tergenggam di tangannya. Napasnya memburu. Jantungnya berdetak begitu kencang hingga ia bisa mendengarnya sendiri.Matanya menatap ke sekeliling. Koridor kos yang tadi terang, kini berubah gelap gulita. Cahaya bulan dari jendela di ujung lorong menjadi satu-satunya sumber penerangan.Lalu… ia mendengar sesuatu.Tap. Tap.Langkah kaki.Seseorang ada di sana.Alya menelan ludah. Ia mencoba berpikir jernih, tapi rasa takut mengunci tubuhnya. Tiba-tiba, ponselnya bergetar dalam genggamannya. Ia hampir menjatuhkannya saking terkejutnya.Layar ponsel menyala, menampilkan nama Dafa.Dengan cepat, ia mengangkatnya. “Dafa—”“Sstt.” Suara di ujung telepon bukan suara Dafa. Suara itu pelan, dingin, dan membuat bulu kuduknya berdiri.Alya langsung menutup telepon, tangannya gemetar. Ini tidak masuk akal. Bagaimana mungkin seseorang bisa menelepo

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Ancaman yang Datang

    Alya mengira semuanya sudah berakhir, tapi satu pesan misterius mengubah segalanya.---Alya menatap layar ponselnya dengan perasaan tak nyaman. Pesan dari nomor tak dikenal tadi masih terpampang di sana.Nomor Tak Dikenal: Kamu pikir sudah menang, Alya? Jangan senang dulu. Aku akan pastikan kamu menyesal.Siapa yang mengirim pesan ini? Reza? Atau orang lain yang ingin membalas dendam?Tangannya gemetar saat ia meletakkan ponsel di meja. Rasa gelisah merayap di hatinya. Sejak tadi ia mencoba mengabaikan perasaan itu, tapi sekarang firasat buruk semakin kuat.Tiba-tiba, ponselnya kembali bergetar.Nomor Tak Dikenal: Hati-hati saat sendirian. Ada banyak hal yang bisa terjadi dalam gelap.Alya menelan ludah. Jantungnya berdebar kencang.Ia langsung menelepon Dafa.“Halo?” Suara Dafa terdengar serak, mungkin baru saja tidur.“Dafa…” Suara Alya terdengar lemah.Dafa langsung sadar ada yang tidak beres. “Alya? Kenapa? Kamu nangis?”Alya menggeleng meskipun Dafa tidak bisa melihatnya. “Aku…

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status