Share

Meja Kerja dan Meja Makan

Jarum jam menunjukkan tepat pada angka delapan malam. Di sebuah ruangan penuh dengan manusia berpakaian formal, tak sedikit yang berjas dan berdasi duduk mengelilingi sebuah meja yang besar.

Seorang wanita berambut hitam kecokelatan sepunggung dengan memakai dress putih dan berbalut blazer hitam yang juga mengalungkan tanda nama Zarea Amarta berkali-kali melirik jam yang melingkar di tangan kanannya. Kakinya tak berhenti mengetuk-ngetuk lantai bersamaan dengan jari-jemari yang juga menari di atas meja. Terlihat sangat gelisah menunggu acara di dalam ruangan itu selesai.

"Cukup sekian meeting malam hari ini. Bisa pulang ke rumah masing-masing dan hati-hati di jalan. Selamat malam," ucap seorang pria paruh baya yang memimpin jalannya rapat itu. Pria itu merupakan CEO sebuah perusahaan besar di mana Zarea bekerja.

Zarea, wanita berusia dua puluh empat tahun yang dipercaya menjabat sebagai general manager di perusahaan Retro. Bukan dengan mudah wanita itu mendapatkan posisinya. Semenjak lulus kuliah, dia bekerja di perusahaan itu sebagai karyawan biasa. Karena kemampuan dan kecerdasannya yang di atas rata-rata, membuat CEO melirik dan mengangkatnya menjadi seorang general manager.

"Huft… Akhirnya...." Selepas kepergian CEO dari ruang meeting, Zarea menarik tangan ke atas seraya meregangkan otot punggungnya yang terasa kaku karena duduk berjam-jam.

Wanita berambut pendek yang duduk di sebelahnya mengerutkan kening melihat tingkahnya. "Kayak nenek-nenek nggak istirahat setahun aja lo, Zar?" sindir wanita itu dengan kekehan.

"Ya lo bayangin aja, Tan ... Pak Baskoro dari pagi nyuruh gue terus yang nemenin ketemu klien. Kayak nggak punya sekretaris aja. Tuh si Lia gunanya apa sih? Masa iya makan gaji buta terus tiap hari? Heran gue," keluh Zarea seraya merapikan dokumen-dokumen yang berserakan di atas mejanya.

Wanita yang dipanggil dengan nama Tania itu tak berhenti tertawa puas mendengar keluhan Zarea. "Maklum aja, lo kan anak emasnya Pak Baskoro."

Zarea mengembuskan napas jenuh. "Kalau bukan karena inget biaya kuliah adek gue mahal, mending jadi karyawan biasa ajalah gue."

"Yee, elo mah dikasih gaji gede nggak ada syukur-syukurnya. Malu noh sama mbak-mbak official girl!"

"Gue lebih sayang diri dari pada duit."

“Lo terlalu idealis, Zar!”

“Ya gitu. Menurut lo gue terlalu idealis, tapi bagi gue, lo yang terlalu realistis. Oke, semuanya memang butuh duit, tapi duit nggak semua bisa dibeli pakai duit.”

“Example?”

“Cinta, kesetiaan dan kejujuran. Lo nggak bisa beli pakai duit seberapa banyak pun.”

Tania tertawa mendengar ucapan Zarea. “No, Zarea … dengan duit lo bisa beli banyak pria di luaran sana, kalau lo punya banyak duit pasti dong disayang-sayang. Dan yang terakhir kejujuran, lo bisa menyuap siapa pun pakai duit. So, money is everything.”

Tanda-tanda berakhirnya adu argumen antara Zarea dan Tania belum terlihat. Zarea termasuk tipe dominan yang selalu unggul di atas siapa pun. Dia akan mempertahankan argumen sampai menemukan kata sepakat dari lawan. Tapi, meskipun begitu, dia juga tidak menutup mata dengan kebenaran ketika lawannya berhasil membuka pola pikirnya.

“Oke, lo mungkin bisa beli pria, tapi tidak sepaket dengan cintanya. Lo bisa beli kesetiaan, tapi tanpa ketulusan. Dan terakhir, lo mungkin bisa menyuap siapa pun, tapi yakin mereka jujur?” Zarea seketika menepuk keningnya karena teringat sesuatu. Dengan terburu-buru dia merapikan dokumen-dokumennya dan bergegas menenteng tas jinjing di atas meja.

Tingkah Zarea itu mengundang kerutan di kening Tania. "Buru-buru banget mau kemana lo sih, Nyah?"

"Ada urusan antara hidup dan mati. Gue pulang dulu ya, Tan? Bye!" Dengan secepat kilat Zarea meninggalkan ruangan meeting membuat Tania hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah rekannya itu.

***

Sementara di tempat lain seorang pria memakai kemeja hitam dengan potongan side part sedang duduk di sebuah restoran dengan berkali-kali melihat jam tangannya. Meja di hadapannya sudah siap makan malam romantis, namun dia hanya seorang diri. Menyandarkan punggungnya dengan helaan napas jenuh menantikan kedatangan seseorang.

Setelah cukup lama menunggu, tiba-tiba datang seorang wanita dengan napas yang terengah-engah dan raut wajah cemas langsung mendudukkan diri di hadapannya. Wanita itu terpaksa berlari dari depan restoran hingga ke lantai tiga tempat di mana pria itu menunggu. "Regan... Maaf banget aku telat. Kamu nggak marah, kan?"

Pria yang dia panggil dengan nama Regan itu mendengus kesal. Dia memejamkan mata sejenak sambil berhitung dalam hati dari angka satu sampai sembilan. Kebiasaannya untuk menahan emosi.

"Kamu kemana saja, Zarea? Kita janjian jam berapa? Sudah hampir dua jam aku nungguin kamu loh!" jawabnya dengan alis yang tertaut.

Raut wajah menyeramkan Regan membuat Zarea kesulitan menelan salivanya. Dia benar-benar tidak enak hati membuat pria itu menunggu lama. "Aduh, Regan ... jangan marah gitu dong mukanya. Tadi aku ada meeting mendadak. Kamu tolong ngertiin dong, ya?"

Regan mengembuskan napas jenuhnya. Terlihat sekali dia sangat kecewa. "Ini bukan sekali dua kalinya kamu telat, Zarea ... Kamu kapan sih benar-benar ada waktu buat aku?"

Pertanyaan Regan membuat Zarea tertunduk lesu. "Iya, aku salah. Maaf... Tapi, habis ini aku janji nggak akan telat lagi." Zarea mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya membentuk huruf v.

Regan hanya bisa tersenyum getir mendengarnya. "Bagaimana kamu bisa janji kalau pekerjaanmu itu menyita waktumu setiap hari, hm?"

Zarea mengangkat kepalanya dan menatap pria di depannya itu dengan sendu. "Regan..." rayunya dengan nada yang lirih. Berharap Regan kembali luluh.

Cara Zarea berhasil. Regan akhirnya sedikit mengembuskan napas lega mendengar suaranya. Tapi, dia tidak mau terus-terusan diabaikan oleh wanita itu. "Apa nggak sebaiknya kamu resign aja dari pekerjaan kamu, Za?"

Seketika jantung Zarea seolah berhenti berdetak. Dia menarik napas panjang untuk mengatur kembali irama jantungnya. "Aduh, gimana ya, Re... Aku nggak bisa resign sebelum kontrak habis. Kalau aku resign aku bakalan kena pinalty. Duit dari mana coba buat bayar?

Terus aku harus kerja apa lagi? Sekarang kan cari kerja susah, Re ... Apalagi kamu tahu sendiri biaya kuliah kedokteran Aslan mahal banget. Kalau aku nggak kerja, siapa yang biayai? Aslan kerja part time aja masih kurang buat kesehariannya sendiri."

Regan cukup tahu kesulitan yang dialami Zare. Tapi, dia juga tidak memberi saran tanpa solusi. Semua sudah dipikirkannya. "Nikah sama aku, nanti aku yang tanggung semua biaya hidup kamu dan Aslan."

Zarea terdiam sejenak. Tidak sekali dua kali Regan mengatakannya. Tapi, tidak semudah itu membuat keputusan bagi Zarea. "Kita sudah pernah bicarakan ini sebelumnya. Keputusan aku masih nggak berubah, Re... Aku nggak mau kamu beli kehidupanku dengan mudah. Meskipun kita menikah nantinya, aku tetap bertanggung jawab untuk diriku sendiri dan Aslan. Aku tahu kamu kaya, tapi aku mohon jangan gunakan kekuasaanmu untuk mengendalikan aku. Dengan kamu bicara begitu, secara nggak langsung kamu merendahkan aku. Aku punya tanggung jawab di pekerjaanku dan aku nggak bisa keluar seenaknya."

Wajah kesal Zarena membuat Regan panas dingin. Kemarahan wanita itulah yang paling dia takuti. Dengan cepat Regan menggenggam punggung tangan Zarea. Terlihat di jari manisnya melingkar sebuah cincin yang sama dengan yang dia gunakan. "Iya, aku minta maaf. Aku nggak pernah bermaksud merendahkan kamu, Zarea... Aku cuma mau berguna buat kamu. Aku juga mau ambil peran penting di kehidupanmu. Aku komitmen untuk mencintai kamu, itu artinya aku siap menerima segala keluh kesah kamu, Za ... Bukan seperti orang asing yang seolah nggak tahu apa-apa setiap tunangannya punya masalah. Aku punya perasaan. Kamu nggak bisa berlaku sombong seolah kamu bisa atasi sendiri. Kamu anggap apa aku sebenarnya, Za?"

Zarea lantas ikut menggenggam tangan Regan yang bertumpu di atasnya. Dia sangat merasa bersalah pada tunangannya itu. Semua yang dikatakan Regan benar, dia terlalu sombong menghadapi masalah. Tapi, di satu sisi dia tidak bisa lepas tanggung jawab begitu saja.

"Re ... tanpa kamu menawarkan materi buat aku, kamu sudah berperan penting di hidupku. Penerimaan kamu selama inilah yang selalu buat aku nyaman dan yakin sama kamu. Kalau kamu mau andil besar buat aku, cukup dukung aku apa pun yang terjadi. Kamu tepati janji seperti yang kita sepakati. Itu saja sudah lebih dari apa pun."

Regan mengembuskan napas lega. "Oke, aku tetap sabar nunggu kamu. Sampai Aslan lulus, kan?"

"Iya, setelah Aslan lulus, i'm yours," ucap Zarea dengan tulus membuat Regan menatapnya dengan senyuman manis. "Bagaimana sebagai permintaan maafku, aku yang traktir untuk malam ini?" sambung Zarea.

Bukannya menjawab, Regan justru tertawa. "Kamu mau traktir aku di restoran ku sendiri?" tanya Regan.

Zarea spontan melihat sekeliling dan menepuk keningnya. "Ya Ampun ... Aku lupa, Sayang ...."

Jarang sekali Zarea memanggil ‘Sayang' pada Regan. Tentu saja sepatah kata itu membuat sang empunya senyum-senyum kegirangan. Tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya melihat ekspresi Zarea yang terlihat polos. "Kamu capek banget ya sampai nggak sadar kalau kita makan di restoran siapa?" tanya Regan dengan terkekeh.

"Nggak gitu, Regan ... Gara-gara kamu marah-marah aku jadi nggak fokus. Kamu kan kalau marah nyeremin, tau ...."

"Siapa yang marah-marah sih, Za? Aku itu cuma khawatir sama kamu. Lagian gimana bisa marah kalau dilihatin sama pawangnya gini?"

Zarea mencebik maja menanggapi ucapan Regan. "Jadi, masalahnya clear ya? Aku pokoknya nggak mau dengar kamu bahas resign-resign lagi."

"Iya, aku nggak akan nyuruh kamu buat resig lagi. Tapi,kamu juga harus janji luangin waktu buat kita berdua.” Regan memperingatkan kembali.

"Makasih ya, Sayang ... i will always love you and i'm lucky to have you, My destiny," ucap Zarea dengan tulus. Matanya menatap Regan dengan lembut hingga membuat pria itu meleleh bagaikan es yang terpapar sinar matahari.

"Aku yang beruntung punya kamu, Zarea. My endless love will never end." Regan membalas ucapan Zarea tak kalah romantis. Dia tidak pernah mau kalah untuk menunjukkan rasa cintanya.

Namun, di tengah-tengah keromantisan mereka, tiba-tiba ponsel Zarea menyala dan menunjukkan panggilan dari Pak Baskoro. Setelah berkali-kali panggilannya diabaikan Zarea, Pak Baskoro tiba-tiba mengirim pesan pribadi.

“Jangan lupa besok pelantikan CEO baru. Kamu persiapkan diri untuk saya kenalkan padanya.”

Zarea melirik pesan dari atasannya itu dengan kerutan di kening. Mereka memang terlalu akrab. Bahkan Pak Baskoro selalu terang-terangan menjodohkan anaknya yang akan menggantikannya sebagai CEO itu dengan Zarea. Meskipun berulang kali Zarea mengatakan dia sudah punya tunangan dan sebentar lagi akan menikah, Pak Baskoro seolah tak mau tahu.

To be continue....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status