Share

Diantar Pulang

Setelah menghubungi dokter perusahaan, Edward melihat Zarea yang masih mengaduh kesakitan. Penasaran sekali, hanya terkilir saja terlihat sesakit itu. Pria itu mencoba memegang kaki Zarea dan membuat empunya spontan memekik. "Aw!" teriak Zarea seraya menangkis tangan Edward.

"Oh maaf. Sakit ya?" tanya Edward dengan wajah polos. Hanya melihat bengkak di kaki Zarea saja seharusnya Edward tahu kalau itu sangat sakit.

"Sepertinya saya nggak perlu menjawab, Pak Edward sudah tahu jawabnnya. Ya Sakit lah, Pak!" bentak Zarea dengan nada sedikit kesal. Sudah tahu sakit, pakai di tanya.

Keberanian Zarea membuat Edward terbelalak. Berani-beraninya general manager membentk CEO. "Ehem!" Tidak mau terlihat kalah darI Zarea, Edward berdeham untuk menunjukkan wibawanya kembali.

Zarea peka dengan kode yang di tunjukkan Edward dan mengatupkan bibirnya dengan rapat. "Maaf, Pak Edward. Saya kelepasan, " ucapnya.

Tak lama kemudian seorang dokter memasuki rungan Edward untuk memberikan penanganan pada Zarea. Dokter itu membalutkan perban pada kaki Zarea dan membuat Edward mengerutkan kening. "Harus sampai di perban seperti itu, Dok?" tanya Edward dengn heran. Dia pikir cidera di kaki Zraea akan segera membaik hanya dipijit saja.

"Iya, Pak Edwrad. Terkilirnya cukup parah, apalagi Bu Zarea mengenakan high heels yang sangat tinggi. Butuh waktu cukup lama untuk pemulihan. Agar segera membaik, Bu Zarea harus membatasi jalannya. Kalau bisa memakai bantuan tongkat," ucap dokter itu.

Setelah memeberi obat pada Zarea, dokter itu meninggalkan ruangan Edward dan tersisa mereka berdua. Edward melihat ke arah Sharena dengan datar. "Bisa jalan, kan?" 

Zarea menarik napas jenuhnya dengan memutar mata. "Ya, tadi Pak Edward kan dengar sendiri kata dokter, kalau saya harus memakai bantuan tongkat buat jalan. Kalau di sini nggak ada tongkat, gimana saya jalannya, Pak Edward yang terhormat?"

Tanpa ada sepatah kata apapun Edward langsung menelepon sekretarisnya. "Ana, kamu carikan tongkat bantu jalan dan bawa ke ruangan saya!" Seperti biasa, tanpa kalimat pembuka dan penutup, Edward langsung menutup teleponnya sepihak setelah mengatakan tujuannya.

"Kamu itu terkilir aja menyusahkan!" dengus Edward seraya mentap Zarea dengan tajam.

Zarea justru mengerutkan keningnya. "Saya kan nggak minta Pak Edward mencarikan tongkat buat saya?" jawab Zarea. Sebagai bawahan, sikap Zarea memang sedikit tidak sopan. Tapi, untunglah Edward tidak terbawa emosi.

"Kamu pikir, kalau saya nggak mencarikanmu tongkat, bagaimana kamu keluar dari sini? Jangan harap saya berbaik hati mau nuntun kamu lagi," jawab Edward dengan ketusnya.

Tak lama kemudian, sekretaris Edward datang dengan membawa tongkat siku. Betapa terkejutnya dia, di dalam ruangan Edward sudah ada Zarea yang menjulurkan kakinya di atas sofa. "Loh, Bu Zarea kakinya kenapa?" tanya Ana dengan panik.

Zarea mendesah pelan. "Kepleset di depan tadi, Na."

Edward mengangkat sebelah alisnya. "Heh, kamu bilang tadi terkilir, sekarang bilang terpeleset? Mana yang benar?"  Pria itu memelototi Zarea hingga membuat nyalinya menciut karena ketahuan berbohong.

Tapi, Zarea tidak kehabisan akal untuk beralasan. "Maksudnya terkilir, Pak. Makhlum lagi kesakitan jadi nggak fokus. Lagian terkilir sama kepleset juga beda tipis. Karena kepleset itu, jadinya terkilir."

"Terpeleset itu banyak sebabnya, Zarea. Antara kamu sendiri yang tidak hati-hati atau memang lantainya licin?"

Kalau Zarea mengatakan sebenarnya, bisa-bisa office boy tadi terkena masalah. "Saya yang kurang hati-hati, Pak. Sepatu saya ketinggian."

" Ya sudah, Ana, kamu bisa kembali ke ruanganmu!"

"Baik, Pak."

Sepeninggal Ana dari ruangannya, Edward lantas mengulurkan tongkat yang dibawakan Ana pada Zarea.

"Pakai ini! Lebih baik kamu pulang lebih awal saja."

Zarea spontan melihat jam tangannya yang masih menunjuk di angka 2. "Yang benar, Pak saya diizinkan pulang?" Zarea hanya memastikan. Takutnya kalau Edward tiba-tiba berubah pikiran.

"Iya. Sekalian saya antar."

Zarea tak meyangka dengan tawaran Edward untuk mengantarnya pulang. Tak mau melewatkan kesempatan mendapat tumpangan gratis, Zarea melebarkan senyumnya. "Makasih, Pak."

Saat berjalan keluar, Edward dan Zarea menjadi pusat perhatian setiap karyawan. Pasalnya Zarea berjalan menggunakan tongkat dengan kaki di perban. Padahal pagi tadi masih baik-baik saja. Dan yang lebih membuat heran lagi, bagaimana Zarea bisa akrab dengan Edward yang digosipkan sebagai CEO baru yang cueknya minta ampun.

To be continue....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status