Kriieecckkk....
Dalam keheningan ruangan yang sunyi, terdengar bunyi pintu yang perlahan dibuka oleh seseorang, diikuti langkah kaki yang perlahan mendekati meja yang ada di ruangan tersebut. Di atas meja terlihat beberapa tumpukan amplop map berwarna gelap.Sosok misterius yang memasuki ruangan memperhatikan keadaan sekitar ruangan itu, ruangan yang dipenuhi debu dan terlihat tidak terawat sedikitpun. Perabotan yang terlihat berkarat dihiasi dengan sarang laba-laba di sekelillingnya.Lampu hias antik yang sudah tak mampu memaparkan cahayanya yang indah, entah karena sudah rusak atau memang tenaga listriknya tidak mampu memompanya.Di balik meja ada seorang pria yang berperawakan tua dengan pakaian lusuh dan compang-camping, dia duduk membelakangi meja dan menatap jendela, cahaya tampak menyelinap masuk dari beberapa celah lubang dari jendela tersebut, sehingga mampu menerangi sedikit bagian dari ruangan itu."Seperti biasa langkahmu tidak terdengar sama sekali." ujar pria yang sedang duduk dikursi lalu memutar kursi tersebut dan menghadap tamu yang sudah ia tunggu."Apa kau tidak mau menyapa atasanmu sama sekali?" tanya pria itu."Aahhh sudahlah, aku sudah lelah berhadapan dengan patung bernyawa sepertimu." cibir pria itu lagi.“Kali ini misimu cukup berbahaya, karena targetnya merupakan orang yang sangat berpengaruh di kota ini.” papar pria itu."Yah lagi pula ini bukan pertama kalinya kau melakukan misi berbahaya, jadi kuharap kau berhasil." ujar pria itu lagi tanpa mendengarkan lawan bicaranya menjawab.Pria itu adalah Sam, agen penyedia informasi dari sebuah organisasi pembunuh bayaran yang sangat terkenal di duniah bawah, dunia dimana kejahatan sudah menjadi aktifitas sehari-hari.Dunia yang diisi dengan manusia yang hidup berdampingan dengan darah dan menormalisasikan sebuah tindakan kriminal, terlepas dari itu semua orang-orang yang menekuni dunia bawah memiliki satu kesamaan yaitu keserakahan dan sangat mementingkan uang diatas segalanya.The Black Shadows adalah organisasi pembunuh bayaran yang sangat terkenal sejak beberapa puluh tahun yang lalu, organisasi yang menjalani bisnis gelap yang anggotanya sangat mahir serta teroganisir dan menguasai bidangnya masing-masing.Tidak peduli apapun permintaan dari klien mereka, jika itu sebanding dengan bayarannya maka dengan senang hati mereka melakukannya. Yang membuat organisasi tersebut semakin terkenal dan disegani dari waktu ke waktu adalah fakta bahwa mereka tidak pernah gagal dalam menyelasaikan permintaan dari klien."Apa hanya ini informasinya?" tanya sosok misterius itu dengan suara datar setelah ia membuka amplop map warna hitam pekat yang disodorkan padanya."Ya, hanya itu yang di berikan oleh markas." jawab Sam dengan cepat."Haahhh"Helaan nafas terdengar dari sosok misterius itu, ia terlihat menahan kesal. Setelah itu ia membuka masker yang menutupi setengah wajahnya, namun tak membuka topi jenis Bucket hat yang ia kenakan.Terlihat wajah seorang wanita di balik masker itu, jika dilihat lebih dekat dia terlihat seperti seorang wanita yang berusia sekitar 20 tahunan. Tubuhnya yang kecil dan bulu mata yang lentik terlihat sangat feminin, kulit putih pucat yang dibalut pakaian yang hitam pekat."Ahh yaa, aku lupa kalau kemampuan Black Shadows hanya sebatas itu." cibir wanita itu tanpa memperhatikan mimik wajah dari orang yang mendengar perkataannya."Apaa?? Dasar kurang ajar, kau seharusnya mengetahui batasanmu." hardik pria bernama Sam mengepal tanganya dengan kuat."Bukankah yang kukatakan itu kenyataan, mereka bahkan tidak mampu mengumpulkan informasi yang berguna. Kenapa kalian memberiku informasi sampah ini, kualitasnya Black Shadows semakin rendah saja." ujar wanita itu dengan sengaja melempar isi dari amplop map yang berada ditangannya, kertas-kertas dan foto terkait informasi target berserakan di lantai."Dasar wanita tidak tau diri, jangan kau kira setelah kau merangkak naik ke posisi Silent Assassint kau bisa bertindak seenaknya dan menghina Black Shadowos!" Sam tampak geram tak terima saat organisasi tempatnya bernaung dihina didepan matanya sendiri."Ingat kau itu hanya anjing pesuruh Black Shadows, jadi ketahui posisimu Zora." berang Sam, tanpa sadar telah menyebutkan nama dari wanita itu.Namun respon yang dia harapkan dari wanita itu sangat mengecawakan, wanita itu tampak tidak peduli dengan apa yang ia katakan, berbeda dengan agen lain yang akan mengigil ketakutan ketika nama organisasi disebutkan. Jangankan takut, wanita itu bahkan tidak peduli sedikitpun tentang organisasi yang mempekerjakannya."Aku tanya sekali lagi! Apa cuma ini informasi dari misi kali ini?" dengan mata yang tajam, suara yang tak gentar sedikitpun wanita itu bertanya dan sengaja menekan suaranya mengintimidasi."B-benar." jawabnya gugup berusaha untuk tetap tenang."Ternyata benar, cuma segini kemampuan organisasiku." desis wanita itu."M-memangnya apa lagi yang bisa kulakukan, aku tidak bisa melakukan apa-apa. Semua keputusan ada ditangan ketua markas." keluh Sam."Ternyata kau tau siapa aku!" ujar wanita itu."Tentu saja" jawab Sam dengan bangga menyeringai."Kau adalah Zora, agen pembunuh dengan rekor tercepat yang mampu maraih posisi Silent Assassin kategori bahaya dalam organisasi The Black Shadows. Dalam kurun waktu 2 tahun kau mampu membuat namamu dikenal oleh pemimpin organisasi sehingga membuat agen lain merasa iri dan ingin membunuhmu. Tapi jangankan membunuh, menemukan batang hidungmu saja mereka kesulitan. Hahaha aku sangat terhibur dengan tindakan konyol mereka." jelas Sam panjang lebar sambil tertawa bangga.Wanita yang dipanggil Zora itu terlihat diam, dia mendengarkan tanpa membantah sedikitpun ucapan dari pria di depannya."Kenapa kau yakin kalau aku adalah Zora?" tanya wanita itu lagi."Hahah, pertanyaan konyol macam apa itu. Apa kau melupakan tato di jari tanganmu?" beber Sam sambil menunjuk bagian tangan kanan Zora."Tato itu hanya dimiliki oleh mereka yang sudah menduduki posisi Silent Assassin." lanjut Sam. Sam sangat yakin bahwa wanita itu adalah Zora saat dia memperhatikan tato yang ada di jari tangan Zora.Seketika itu Zora sadar, ia menatap tato yang membelit jari telunjuknya dengan lekat, tato berbentuk ular dengan gigi yang tajam dan lidah yang munjulur, tampak seperti ular yang merayap mengikuti lekuk dan kontur jari telunjuknya. Serta detail sisik hitam menambah kesan yang terlihat nyata sehingga mampu memberikan efek manakutkan .Zora terlihat kesal karena sebagian tentang informasinya sudah bocor, bahkan itu diketahui oleh agen tingkat rendah seperti pria yang ada di depannya.
Setelah mendengar ocehan dari Sam Zora menggerakan tangannya mengisyaratkan untuk bergerak.Sesaat kemudian Sam yang sedang tertawa ringan itu terdiam membeku, matanya terbuka lebar dan urat-urat terlihat menonjol di bagian dahinya. Hawa dingin terasa di bagian belakangnya, dia merasakan sesuatu yang tajam hampir menembus lehernya."Ssstttt, diam." bisik orang di balik kegelapan itu."S-siapa kau?" tanya Sam gemetar ketakutan.Setelah menempuh perjalanan yang memakan waktu cukup lama, Satya akhirnya sampai di rumah sakit.Tepat di depan lobi mereka disambut oleh beberapa dokter yang siap dengan perannya masing-masing.Setelah mendapatkan pertolongan pertama, Zora langsung dibawa masuk ke ruang IGD. Satya dengan setia menemaninya sampai akhir, ia benar-benar tidak peduli bagaimana pandangan orang-orang yang diarahkan padanya. Beberapa dokter yang mengenali dirinya merasa heran kenapa seorang Direktur terlihat sangat berantakan, dan ikut berlari bersama mereka mendorong tandu bersama mereka. Namun satu hal yang terlintas dipikiran para dokter, bahwa orang yang akan mereka tangani adalah orang yang sangat penting bagi Satya. Fakta itulah yang membuat semua dokter yang merawat Zora semakin fokus dan penuh dengan kehati-hati selama mereka berlari dan hingga sampai ke ruang IGD.Dengan rambut acak-acakan, kemeja penuh bercak darah Satya menghela napas kasar. Dia sudah tidak peduli lagi dengan penampilannya.“T
'Sial, aku lengah...' batinnya, getir."Ukhhh..." ringisnya Zora, suara nyaris tak terdengar. Darah mengucur deras dari luka di sisi kanan perutnya. Telapak tangannya berusaha aliran darahnya, tapi itu sia-sia cairan merah kental yang hangat itu terus mengalir, menodai kemeja putih polosnya yang tidak lagi bersih. Dengan sisa tenaganya, ia mendongak. Pandangannya buram tapi ia masih bisa melihat Satya sudah mendekat dan berlutut di depannya.“J-jangan.. jangan mendekat. Bodoh, kau bisa ikut tertembak…” tak lagi memiliki tenaga untuk bicara, kata-kata Zora terhenti di ujung lidah, terkubur bersama rasa sakitnya. "G-gea." panggil Satya. Suaranya Satya gemetar, ia menunduk perlahan hingga berlutut di sisi Zora, tangannya ikut menekan luka Zora mencoba membantu untuk menghentikan darah yang mengalir tak terkendali. Saat tangannya bersentuhan dengan tangan gadis yang terkulai lemas dengan wajah pucat di depannya, tangannya tidak berhenti gemetar, rasa dingin dari tubuh gadis itu membua
"Sekarang, apa yang harus kulakukan?" Zora memutar tubuhnya di tengah teriknya matahari menyapa, matanya menyapu area sekitar yang diliputi kesunyian mencekam. Tidak satu pun kendaraan melintas, tak ada tanda keberadaan orang-orang. Tempat ini nyaris seperti lukisan mati tanpa sentuhan kehidupan. Kesunyian yang mengelilingi Zora hingga ia meragukan bahwa dirinya sedang berhalusinasi. Ia menghela napas kasar, rambutnya yang lurus tergerai acak-acakan, pipinya tertoreh luka sayatan yang nyaris kering membuat Zora merasakan pipinya seolah ditarik oleh benang kasar. Rasa sakit tidak membuatnya berhenti berpikir. Sekali lagi Zora mengamati sekelilingnya, iris matanya yang tajam menangkap sosok yang menyerangnya, masih menggeliat dan merintih kesakitan dalam sisa nyawa mereka yang tertinggal. Mereka memegangi luka yang masih mengucurkan darah merah pekat tanpa henti membasahi aspal. Zora sengaja tidak mengakhiri mereka, hidup mereka akan menjadi kunci jawaban dari pertanyaan Zora dari
Kaca mobil hampir pecah akibat pukulan, memperlihatkan retakan-retakan halus yang siap meledak menjadi serpihan-serpihan tajam. Zora memutar sorot matanya dengan tajam, masih belum menemukan sesuatu yang bisa dijadikan senjata untuk melawan.Rasa penyesalan menghampiri hati Zora, penyesalan terbesar yang menggerogoti dirinya. Ia ceroboh, menjadi terlena dalam kehidupan yang tampak normal dan cerah hanya dalam waktu 1 bulan. Seharusnya ia tidak pernah melupakan bayangan kehidupan gelapnya yang penuh darah.Nafas berat masih bergema di sebelahnya, mengisyaratkan bahwa Satya belum sepenuhnya kehilangan kesadarannya. Namun, kedipan matanya semakin lambat dan terasa berat, rasa sakit di dahinya seakan menusuk dan menjalar diseluruh bagian kepalanya.Darah yang keluar dari luka di dahinya terus mengalir tak terbendung, menyusul saat Zora merobek lengan kemeja putih polos yang ia pakai untuk menutupi luka tersebut. Setelah memberikan pertolongan pertama, ia kembali fokus mencari objek yang b
Saat keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing, terlihat dari kejauhan seorang yang berlari dengan tergesa-gesa menghampiri Satya.Dengan nafas tersengal-sengal dia memperlambat langkahnya saat mendekati Satya. Wajahnya memerah dipenuhi keringat karena kehabisa nafas, ditambah rasa lelah yang membuat nafasnya tidak beraturan."I-ini pak, s-saya berlari kesini secepat mungkin." ucap Dani sekertaris Satya dengan suara yang terbata-bata, terdengar seperti orang yang kesulitan bernapas. Dia menarik nafas dalam-dalam untuk mengurangi rasa lelahnya yang berlebihan. "Kerja bagus." puji Satya merasa puas dengan usaha sekertarisnya itu. Dia memang mengancam akan memotong gajinya, jika ia tidak tepat waktu mengantarkan kunci mobil dan ponsel genggam milik Satya."K-kalah begitu apa saya boleh kembali kekantor? Pekerjaan saya sudah menumpuk." mohon Dani dengan wajah memelasnya. "Baiklah, jangan hubungi aku jika tidak ada urusan yang penting." pesan Satya, melambaikan tangannya untuk menyuruh
Seakan tidak terjadi apa-apa, Zora memasuki lift. Masih memegang tangan Johan, dia menekan tombol lantai 1. Mengabaikan Satya yang menatapnya dengan tajam, membuat jantung Zora berdetak tidak karuan. Entah mengapa dia merasa seperti telah tertangkap basah telah mencuri sesuatu. "Lepaskan tanganku." bisik Johan, Ia merasa tak enak karena di belakangnya ada Satya yang tidak mungkin wajahnya tak dikenali oleh Johan.Zora tak bergeming, dia tak menggubris bisikan pelan dari Johan yang berusaha membebaskan diri dari cengkraman tangannya yang semakin kuat."Padahal tanganmu sekecil ini, kenapa cengkramannya sangat kuat." kesal Johan. Dia menggeliat melepaskan tangannya dengan kasar.Zora yang tangannya di hempas begitu saja tersentak kaget, pikirannya yang fokus pada Satya tiba-tiba memudar.Dia melihat Johan yang menatapnya dengan bingung, lalu dia tersadar bahwa di lift itu juga ada Satya dan Andika yang masih melihatnya. Berbeda dengan dengan Satya yang matanya menyiratkan amarah, Andi