Share

Serpihan Satu

Wajah Agus berubah sendu, "Dek, bersabarlah dalam sepekan ini. Kakak janji situasi akan menjadi lebih baik," pinta Agus saat Hera terus mendesak untuk diperkenalkan pada keluarga suami sirinya.

"Adek sudah siap dengan segala kemungkinan yang akan terjadi saat kakak memperkenalkan adek sebagai istri kedua," ucap Hera, mencoba menyakinkan Agus yang terlihat ragu.

"Tidak semudah itu, Dek. Kondisi mama sedang kurang sehat. Kalau mama tahu hubungan kita sekarang, kakak khawatir semuanya akan kacau. Apalagi, beliau masih mengharapkan cucu dari kakak dan Vina," jelas Agus.

Hera menatap Agus yang ada di depannya, pandangan dalam dan menusuk. Hatinya begitu gamang. Kesempatan untuk masuk ke dalam keluarga Agus mulai terbuka. Namun, suaminya malah membuat terjebak lebih dalam lagi, hingga sulit untuk bangkit.

“Katakan saja pada mama, kalau kakak sudah punya anak dari adek. Apakah sulit?” Hera menepis tangan Agus kasar.

“Dek, kakak mohon. Situasinya tidak semudah itu, mama sering sakit-sakitan, karena memikirkan masalah cucu. Kakak takut jika kakak mendadak menyampaikannya, mama akan semakin drop. Kakak mohon bersabar dulu, ya," pinta Agus.

“Sepekan, Kak. Tidak kurang, tidak lebih. Mungkin, memang sebaiknya adek tidak perlu masuk ke dalam keluarga kakak.” Hera merajuk.

“Jangan bilang begitu, Sayang. Baiklah. Maksimal lima hari kakak akan datang lagi, ya. Tolong jaga Aiman.” Agus mengecup kening Hera sebelum pergi menemui istri pertama dan keluarganya.

Hera menatap punggung Agus yang menjauh, matanya berembun. Pertahanannya goyah. Hatinya berbisik, ini adalah kali terakhir ia akan bertemu dengan suaminya. Meskipun dia mencoba menepisnya.

***

"Setelah kepergian bapakmu, hari itu, ibu tidak bisa tidur hampir setiap malam. Berharap bapakmu datang meski hanya sekedar menemui ibu. Nyatanya, bapakmu benar-benar tidak kembali,” ujar Hera mengusap air matanya, ada riak kepedihan dari setiap kata yang dia lontarkan.

Aiman menatap wajah sang ibu, yang mencoba menahan kepedihannya sekuat tenaga. Aiman merasa gamang. Satu sisi, ia bahagia bisa bertemu dengan ayahnya. Di sisi lain, ia juga merasa bersalah karena telah membuka kembali luka di hati sang ibu.

Suara notifikasi handphone, membuyarkan suasana hening di antara keduanya. Sebuah pesan masuk di aplikasi hijau milik Aiman, dari Airin.

[Kak, ayah mau minta nomor kakak. Boleh?]

Aiman menatap Hera yang sedang mengusap air matanya, “Bu, apa boleh Aiman memberikan nomor Aiman ke bapak?" tanya Aiman ragu. Ia khawatir akan menyakiti hati sang ibu.

Hera menghela nafas, "dia bapakmu. Ibu tidak lagi berhak melarangmu. Keputusan ada di tanganmu, Nak. Apakah mau terus menjalin silaturahmi, atau menghindar lagi,” jawab Hera sambil tersenyum hambar.

“Aiman sudah memikirkan semuanya, Bu. Biar bagaimanapun, darah bapak mengalir dalam tubuh Aiman. Aiman tetap tidak akan bisa menghindari itu. Sekarang, kita sama-sama menghadapi ini ya, Bu,” ujar Aiman sambil merangkul Hera.

Suara isakan Hera terdengar lirih . Air matanya yang telah mengering setelah perpisahannya dengan Agus, kini kembali basah. Dulu, setiap malam dia menangisi Agus, menanti akan kedatangannya, tapi semua hanya semu belaka hingga air matanya mengering tidak bersisa dan Hera memutuskan untuk pergi menjauh hingga hari bersejarah kemarin.

***

“Ma, makan dong. Kalau mama ga mau makan, nanti mama sakit.” Arman, putra pertama Vina, masih berusaha membujuk sang ibu yang belum makan sejak malam kedatangan Aiman dan Hera. Sejak malam itu, Vina terus mengurung diri di kamarnya.

Vina hanya terus berbaring sembari memandang keluar jendela dengan tatapan hampa. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Sedangkan, Airin menatap sang bunda dengan perasaan bersalah. Jika saja, ia tidak meneruskan proses ta'aruf dengan Aiman, semua tidak akan jadi seperti ini, pikirnya. Dia lupa jika Tuhan-lah yang mengariskan nasi manusia.

"Dek, sudah jangan melamun," tegur Arman. "sebaiknya kita fokus ke mama, biar mau makan. Tapi, sepertinya mama ketiduran, nanti kita rayu lagi, " sambung Arman dan diamini oleh Airin.

Airin menghela nafasnya berat, lalu menoleh ke arah bundanya. Rasa penyesalan begitu kentara di wajah Airin, dan Arman hanya bisa merangku pundak adik tersayangnya.

"Kita pindah ke ruang keluarga. Abang mau dengar cerita dari adek,” ajak Arman sambil menuntun adik sambungnya itu.

***

"Hmm, bagaimana adek menyikapi ini?" tanya Arman, setelah selesai mendengar penjelasan dari Airin.

Airin menyeka airmatanya, yang luruh ketika bercerita. Rasa sakit di hatinya tidak mereda, ketika mengetahui, jika dia dan Aiman tidak diperbolehkan menikah karena hukum agama. Perasaan cinta telah tumbuh lama, bahkan sebelum adanya taaruf dari Aiman.

"Ai belum tahu, Bang. Mungkin saat ini, Ai masih harus menata hati. Ai akan berusaha menghindari Kak Aiman saat ini. Ya, meski kami belum ketemu lagi, sih. Kebetulan perkuliahan sedang diliburkan pekan ini,” ujar Airin. Arman mengangguk-angguk.

Aiman adalah salah seorang dosen muda yang jadi favorit para mahasiswi di kampusnya. Pun dengan Airin, meski tidak menunjukkan sikap berlebihan, ia tidak menampik perasaan kagum sempat memenuhi hatinya. Karenanya, ia begitu berbunga saat tahu Aiman menjadi salah satu calon yang diajukan murobbiah-nya.

"Tapi, Ai tidak tahu bagaimana nanti kalau Ai ketemu kak Aiman di kampus," Airin menghela nafasnya, "Bang. Ai baru ingat. Kak Aiman dosen pembimbing skripsi Ai. Ai harus bagaimana?” tanya Airin panik. Arman tergelak melihat wajah Airin yang tampak begitu frustrasi.

"Bagaimana kalau pas ketemu sama Aiman, adek pakai helm saja?" usul Arman sambil mengacak pucuk kepala sang adik.

"Ih, abang mah..." Bibir Airin mengerucut dan semakin membuat Arman tergelak.

Arman mengembangkan senyum, karena sudah bisa melihat adiknya kembali ceria. Meskipun tersisa kepedihan yang terpancar dari sorot matanya.

"Ya sudah, nanti kalau bimbingan, biar abang antar adek, ya. Abang juga mau ketemu sama adik baru abang itu,” ujar Arman tersenyum.

"Abang jangan menyesal, lho. Pokoknya, abang kalah keren sama kak Aiman,” ledek Airin. Arman hanya tertawa miris. Sebuah pikiran terlintas di benaknya.

***

"Nak Aiman!” Agus berdiri menyambut kedatangan Aiman di restoran tempat yang mereka janjikan.

Aiman tersenyum melihat Agus. Tidak menyangka, ia benar-benar bertemu ayahnya setelah ia berusaha meyakinkan dirinya kalau ayahnya memang sudah tiada.

Agus langsung memeluk anaknya, yang sudah lama dia rindukan, dan dibalas dengan canggung oleh Aiman. Kemudian, Aiman mengambil tangan ayahnya untuk dia kecup takzim.

"Duduk, Nak, duduk. Mau pesan apa? Aiman suka makan apa, Nak?" tanya Agus antusias. Ia merasa ada celah kosong yang harus segera ia isi antara ia dengan putra pertamanya.

"Apa saja, Pak. Aiman biasa makan seadanya. Aiman tidak pilih-pilih makanan, kok,” ujar Aiman tersenyum.

Namun, ucapan Aiman seperti belati di hati Agus. Ada rasa sesal dalam dirinya karna ia terlambat menemui Hera hari itu, kehidupan Hera dengan Aiman pasti sulit. Melihat reaksi ayahnya, Aiman merasa tidak enak hati. Dia meresa kata-katanya tidak ada yang menyinggung, tapi ayahnya terlihat murung.

Agus menceritakan kejadian sejak malam terakhir pertemuan dengan Hera. Vina melaporkan pertemuannya dengan Hera hingga Gina, ibunya, drop sampai meninggal dunia. Karena itulah, Agus tidak menemui Hera hingga pekan selanjutnya.

“Bapak benar-benar menyesal, Nak. Jika saja bapak saat itu datang meski sebentar, hanya untuk sekedar menjenguk ibumu, atau menitipkan pesan kepada Bang Jabir, orang kepercayaan bapak yang tinggal di sebelah rumah ibumu, mungkin ibumu tidak akan meninggalkan bapak,” ucap Agus penuh sesal. Aiman berusaha menenangkan Agus dengan menepuk tangannya lembut.

“Semua sudah terlanjur, Pak. Sekarang, kita sudah bertemu. Allah menakdirkan kita bertemu lagi. Allah masih sayang kita, Pak."

Agus mengangguk mengiyakan. Ia bahagia dengan reaksi Aiman yang menyambutnya dengan hangat. Hera benar-benar mendidik putranya dengan baik.

"Emm, bapak mau bawa kamu ke perusahaan bapak, Nak. Bapak akan menjadikan Aiman salah satu direktur di sana. Sekaligus memperkenalkan Aiman sebagai putra bapak. Bagaimana?" tawar Agus.

Aiman menatap ayahnya, mencoba menerka apakah ayahnya benar-benar memintanya atau hanya sekedar mengujinya.

"A-Aiman harus diskusikan dengan ibu dulu, Pak. Terima kasih banyak, bapak masih mau mengakui Aiman sebagai anak bapak,” ujarnya tulus.

"Kenapa bicara seperti itu, Nak? Bagaimanapun, kamu tetap anak bapak,” sela Agus.

Agus menggenggam tangan Aiman erat. Ia ingin menebus segala kesalahannya karena telah meninggalkan Hera dan putra kandungnya. Ia yakin, perjuangan Hera begitu berat membesarkan Aiman tanpa dirinya.

"Iya, Pak. Aiman masih belum terbiasa dengan semua yang telah terjadi," Lirih Aiman. Ia berusaha menerka, takdir apalagi yang akan menghampiri dia dan sang ibu.

"Aiman dosen di kampus Airin, kan?" tanya Agus.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status